Nama : Nuraeni
Nim : 0906095
Mata Kuliah : Sejarah Indonesia Pada Masa Liberal dan
Terpimpin
PETA KONSEP
PERISTIWA
TANJUNG MORAWA
Terjadinya
peristiwa Tanjung Morawa pada tanggal 16 Maret 1953 merupakan salah satu akibat
dari konflik antara petani (khususnya petani Sumatera Timur) dengan DPV (Deli
Planters Vereniging) dan pemerintah di pihak lain, terkait masalah pembagan dan
penggantian tanah di Sumatera Timur. Pada masa kabinet Sukiman, persetujuan
pengembalian tanah perkebunan kepada pihak DPV itu sudah dicapai. Petani
penggarap harus melepaskan tanahnya untuk dikembalikan kepada DPV, dan pemerintah
menyediakan tanah lain bagi mereka. Luas tanah DPV yang dimiliki sebelum perang
dunia II yakni seluas 255.000 ha. Dari tanah seluas itu pihak DPV meminta
125.000 ha tanah, sedangkan 130.000 ha dikembalikan kepada pemerintah. Kabinet
Wilopo berusaha melaksanakan lebih lanjut ketentuan persetujuan itu, karena
sebelum persetujuan itu dilaksanakan kabinet Sukiman telah jatuh. Dalam rangka
pengembalian tanah ke pihak DPV itu, timbul suatu persoalan yakni mengenai
pemindahan penduduk yang dulunya menempati tanah-tanah perkebunan ke
tempat-tempat yang lain. Pemerintah memindahkan penduduk itu sesuai dengan yang
tertera pada hasil undian yang telah diperoleh sebelumnya. Penelitian ini akan
membahas tentang terjadinya peristiwa Tanjung Morawa, yakni terjadinya insiden
terkait masalah rencana Jawatan Pertanian Kabupaten Deli Serdang yang
mengajukan areal tanah seluas 5 ha untuk kebun percobaan pertanian dan Jawatan
Perikanan Darat seluas 1 ha untuk kolam pembibitan ikan dengan recotnendatie
terletak di Kecamatan Tanjung Morawa. Dari hasil penyelidikan instalasi terkait
tanah itu sangat cocok bagi kedua jawatan tersebut. Tanah yang diminta itu
ditempati oleh 10 kepala keluarga petani Tionghoa, yang tidak memiliki
surat-surat ijin yang sah dalam memiliki dan mengusahakan tanah itu. Beberapa
permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah latar belakang
terjadinya peristiwa Tanjung Morawa, kronologi terjadinya peristiwa Tanjung
Morawa, reaksi pemerintah pusat, pihak oposisi maupun masyarakat atas peristiwa
Tanjung Morawa, serta dampak politik, dan sosial- ekonomi atas peristiwa
Tanjung Morawa terhadap masyarakat setempat. Untuk membantu penelitian ini
digunakan metode penelitian sejarah yang terdiri dari empat tahap. Melalui
tahap-tahap ini, akhirnya akan dapat ditemukan beberapa fakta yang dapat
digunakan untuk menjawab beberapa permasalahan yang telah diajukan. Peristiwa
Tanjung Morawa terjadi disebabkan pula oleh adanya ketidakpuasan petani yang
hendak dipindahkan ketempat yang lain oleh pemerintah dalam hal ini oleh
Gubernur Sumatera Utara Abdul Hakim, karena proses dan hasil yang diperoleh
sangat jauh berbeda dengan tanah yang telah mereka tempati sebelumnya.
Akibatnya ketidakpuasan ini mengarah pada aksi demonstrasi untuk menggagalkan
pentraktoran. Peristiwa Tanjung Morawa mendapat reaksi baik dari pemerintah
pusat, pihak oposisi, maupun masyarakat. Karena peristiwa itulah golongan yang
anti kabinet, termasuk tokoh-tokoh penganjur persatuan dari PNI, mencela
tindakan pemerintah. Akibatnya Sidik Kertapati dari SAKTI (Sarekat Tani
Indonesia) yang berhaluan kiri mengajukan mosi tidak percaya kepada cabinet dan
sebelum mosi diputuskan, kabinet Wilopo mengembalikan mandatnya kepada Presiden
Soekarno pada tanggal 2 Juni 1953.
Saya mengutip dan membandingkan
artikel pendapat Ririn Darini yang berjudul “Sengketa Agraria: kebijakan dan perlawanan dari masa ke masa”
Konflik perjuangan dan perebutan atas tanah akan selalu terjadi selama tanah
masih menjadi sumber kehidupan masyarakat. Dalam masyarakat
agraris tanah mempunyai arti yang sangat penting, baik sebagai sumber
penghidupan maupun sebagai penentu tinggi rendahnya status sosial dalam
masyarakat. Tanah mencerminkan bentuk dasar kemakmuran sebagai sumber kekuasaan
ekonomi dan politik, serta mencerminkan hubungan dan klasifikasi sosial.
Falsafah Jawa sadhumuk bathuk sanyari bumi, yen perlu ditohi pati menunjukkan
betapa eratnya hubungan antara manusia dengan tanah yang dimilikinya. Setiap
jengkal tanah merupakan harga diri yang akan dipertahankan mati-matian dengan
seluruh jiwa raga. Konflik perebutan dan perjuangan atas tanah akan selalu
terjadi selama tanah masih menjadi sumber kehidupan masyarakat. Hal ini
terbukti sampai saat ini masalah tanah masih saja menjadi persoalan yang
seringkali memunculkan perlawanan rakyat. Bentuk perlawanan yang dilakukan juga
bermacam-macam, baik bersifat individual maupun kolektif, hanya sekedar
berunjuk rasa atau bahkan melakukan pemberontakan. Salah satu bentuk perlawanan
petani yang bersifat tersembunyi dan diam-diam disebut James Scott sebagai
bentuk perlawanan sehari-hari (everyday forms of resistance). Perlawanan
sehari-hari merupakan upaya perjuangan petani yang biasa-biasa saja namun
terjadi secara terus-menerus antara kaum tani dengan orang-orang yang berusaha
untuk menghisap tenaga kerja, makanan, pajak, sewa, dan keuntungan dari mereka.
Perlawanan petani tidak selalu merupakan bentuk aksi bersama, tetapi
kadang-kadang merupakan resistensi individual yang dilakukan secara diam-diam.
Strategi perlawanan ini lebih aman karena tidak perlu dilakukan melalui sebuah
organisasi lengkap dengan pemimpinnya yang mudah terdeteksi. Mereka menentang
secara langsung norma dan dominasi kaum elit yang dapat saja menurunkan
kewibawaan dan produktivitas pemerintah. Bentuk perlawanan ini misalnya menipu,
membakar, melakukan sabotase, mengumpat di belakang, mencuri kecil-kecilan, dan
sebagainya. Kasus tanah di Jenggawah, Jawa Timur misalnya, merupakan kasus
sengketa antara petani penggarap lahan HGU dengan PTP XXVII yang didukung
pemerintah. Gerakan petani di daerah tersebut merupakan perjuangan panjang yang
dilakukan secara terus-menerus sejak akhir tahun 1970-an sampai akhir tahun
1990-an. Para petani tidak puas dengan keputusan pemerintah yang memberikan HGU
kepada pihak PTP di lahan yang mereka garap. Para petani menuntut agar tanah
yang sudah turun-temurun mereka garap itu bisa menjadi hak milik mereka. Mereka
melancarkan aksi antara lain dengan pembakaran-pembakaran kantor,
gudang-gudang, dan perkebunan. Kasus lain adalah kasus Cimacan, Jawa Barat
(1991-2000) yang merupakan sengketa antara warga dengan PT Bandung Asri Mulya
dan Pemerintah Daerah Cianjur. Petani melakukan pencangkulan lapangan golf
sebagai bentuk protes petani atas pemberian ganti rugi yang tidak memuaskan.
Kebijakan pertanahan yang dikeluarkan di era reformasi berupa Perpres No
36/2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan
Umum juga menimbulkan protes rakyat antara lain dengan melakukan unjuk rasa
menolak Perpres tersebut. Melihat
di era feodal bahwa perubahan-perubahan dalam sengketa tanah yang terjadi
berkaitan dengan kebijakan agraria dari era feodal kerajaan tradisional hingga
orde baru.
·
Era Feodal
Dalam
era feodal, tanah adalah milik raja. Konflik sosial yang
menyangkut masalah tanah juga sering terjadi pada masa feodal. Persoalan tanah
yang sering menimbulkan konflik pada masa kerajaan terjadi ketika negara
mempunyai program besar seperti perencanaanistana, jalan, pengairan, atau
gedung. Sistem pancasan yang dilakukan raja dengan tujuan untuk
meningkatkan jumlah pajak juga sering menimbulkan ketidakpuasan sosial. Sultan
Hamengku Buwono II atau Sultan Sepuh antara tahun 1802-1803 berkali-kali
melakukan pancasan. Kebijakan ini menimbulkan kebencian di kalangan bangsawan pemegang
lungguh. Bentuk protes mereka lakukan dengan cara memalsu ukuran tanah,
misalnya ukuran tumbak atau cengkal dibuat lebih pendek. Dalam
tingkat yang lebih besar muncul pemberontakan seperti yang terjadi pada tahun
1812.
·
Era Kolonial
Pemerintahan Raffles memperkenalkan
adanya domein theory, yang menyatakan bahwa semua tanah yang ada di
Hindia Belanda adalah milik raja. Atas dasar teori itu pemerintah Inggris
sebagai pengganti Raja Mataram memberlakukan sistem penarikan pajak (landrente)
dengan asumsi bahwa rakyat adalah penyewa sedangkan pemilik tanah adalah
pemerintah kolonial. Usaha Raffles tidak berlangsung lama (1811-1816) karena
pemerintahan Hindia Belanda mengambil alih kekuasaan. Politik agraria yang
dikembangkan pemerintah kolonial tersebut secara sistematis melemahkan
kedudukan sosial ekonomi penduduk daerah pedesaan. Posisi mereka sebagai petani
bergeser menjadi buruh di daerah pedesaan. Bentuk-bentuk eksploitasi kolonial
baik berupa tekanan pajak, pengerahan tenaga kerja yang berlebihan, maupun
peraturan-peraturan yang menindas sebagai bagian dari politik kolonial
mengakibatkan kemiskinan rakyat yang meluas. Realitas kekuasaan kolonial
tersebut tidak sesuai dengan realitas sosial yang ideal dalam masyarakat
tradisional. Menurut James Scott, penghisapan merupakan faktor yang menentukan
terjadinya pemberontakan petani. Pemberontakan itu bertumpu pada subsistensi petani
yang terganggu oleh berbagai aturan kolonial yang memberatkan petani, misalnya
beban pajak yang harus ditanggung petani.
·
Era Orde Lama
Berakhirnya pemerintahan kolonial
telah mewariskan permasalahan pertanahan bagi bangsa Indonesia. Setelah
kemerdekaan rakyat merasa bebas untuk mendapatkan kembali tanah peninggalan
nenek moyangnya yang selama ini dikuasai oleh orang Belanda. Tanah-tanah perkebunan
milik Belanda yang ditinggalkan Belanda dan menjadi terlantar kemudian diduduki
oleh rakyat dan dijadikan lahan pertanian. Istilah yang dikenal pada saat itu
adalah pendudukan liar oleh petani. Persoalan muncul ketika ditandatanganinya
persetujuan KMB pada tahun 1949. Pemerintah RIS memberikan pengakuan hak orang
asing akan tanah, yaitu hak konsesi dan hak erfpacht serta hak untuk
mengusahakan selanjutnya. Pendudukan lahan oleh petani dengan demikian memiliki
hukum semu sementara pengusaha perkebunan memiliki hukum yang sah. Berkaitan
dengan hal tersebut pemerintah berkeinginan agar di satu pihak kepentingan
penguasaha perkebunan mendapat perlindungan karena sektor ini merupakan salah
satu sumber pendapatan negara yang cukup penting. Di lain pihak petani yang
kehidupannya tergantung pada tanah juga harus mendapat perlindungan hukum,
antara lain dengan adanya ketentuan untuk mengakui keberadaan buruh yang sudah
bekerja pada perusahaan tersebut dan rakyat yang menduduki dan menggarap
lahan-lahan perkebunan. Mereka tidak boleh diusir secara sewenang-wenang.
Meskipun aturan hukum menempatkan kepentingan semua pihak, tetapi dalam
pelaksanaannya petani harus kecewa dengan adanya koalisi kekuatan ekonomi
pengusaha perkebunan dengan kekuatan politik penguasa lokal. Pada saat itu
pula, perlawanan petani semakin diperkuat dengan adanya kebebasan
berorganisasi, seperti Barisan Tani Indonesia (BTI), Rukun Tani Indonesia
(RTI), Sarekat Buruh Perkebunan Indonesia (Sarbupri), dan Persatuan Tani
Nasional Indonesia (Petani). Organisasi-organisasi tersebut juga berafiliasi
dengan partai politik sehingga perlawanan mereka semakin kuat seperti terbukti
dengan terjadinya Peristiwa Tanjung Morawa pada tanggal 16 Maret 1953 yang
menyebabkan jatuhnya kabinet Wilopo dan dibentuknya Kementrian Urusan Agraria.
Selanjutnya pemerintah mengeluarkan Undang-undang Darurat No 8 tahun 1954
tentang pemakaian tanah perkebunan hak erfpacht oleh rakyat, bahwa
pendudukan lahan tidak dinyatakan sebagai melanggar hukum dan penyelesaiannya
diupayakan pemerintah melalui pemberian hak dan perundingan antara pihak yang
bersengketa. Kebijakan tanah yang bersifat populis lain pada era Orde Lama
adalah dikeluarkannya Undang-undang Pokok Agraria 1960 (UU No. 5 Tahun 1960).
Undang-undang ini mendasarkan pada
hukum adat yang telah disempurnakan sehingga segala bentuk hak-hak tanah di
zaman Belanda dihapuskan dan diubah menjadi hak-hak yang diatur oleh UUPA. UUPA
menetapkan pembatasan penguasaan tanah agar tidak merugikan kepentingan umum,
melindungi hak-hak tanah perseorangan yang diletakkan dalam dimensi fungsional,
yang berarti hak atas tanah mengacu pada kepentingan umum. Implementasi program
land reform untuk membatasi luas pemilikan tanah ini dalam
pelaksanaannya ternyata mengalami hambatan. Para tuan tanah berusaha
menghindari ketentuan-ketentuan UUPA dengan berbagai cara. Hal lain yang
menarik dari masalah tanah pada saat itu adalah digunakannya pelaksanaan land
reform sebagai strategi PKI untuk menanamkan pengaruhnya di kalangan masyarakat
pedesaan. PKI menggunakan isu land reform untuk mempolarisasikan
penduduk desa menjadi dua kelas yang bertentangan, yaitu tuan tanah “setan
desa” dan petani. Pada akhirnya terjadi konflik sosial antara para petani tak
bertanah dengan tuan tanah ketika PKI dengan alasan bahwa pemerintah tidak
mampu melaksanakan land reform, memaksakan pelaksanaan land reform melalui
tindakan-tindakan aksi sepihak.
·
Era Orde Baru
Kebijakan pertanahan kembali
mengalami perubahan ketika terjadi pergantian pemerintahan. Pemerintah Orde
Baru cenderung melakukan kebijakan pembangunan dengan ekonomi sebagai
panglimanya. Hal ini menyebabkan adanya perubahan persepsi terhadap fungsi
tanah sebagai salah satu sumber daya alam yang sangat unik sifatnya. Tanah
dilihat sebagai sarana investasi dan alat akumulasi modal. Perubahan ini
berlangsung sejalan dengan perubahan kebijakan pertanahan yaitu dari kebijakan
yang memihak kepentingan rakyat ke kebijakan yang lebih memihak pada
kepentingan kapitalis. UUPA tetap dipertahankan meskipun tidak lagi menjadi
induk seluruh peraturan yang berlaku di bidang agraria. Sejumlah undang-undang
lain yang justru bertentangan dengan UUPA ditampilkan, misalnya UU No. 1 Tahun
1967 tentang Penanaman Modal Asing dan UU No. 5 tahun 1967 tentang Ketentuan
Pokok Kehutanan yang memberikan kesempatan kepada berbagai kalangan untuk
memperoleh Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH).
Berlakunya undang-undang ini menyebabkan hak-hak masyarakat, misalnya hak-hak
adat atas tanah atau hak ulayat menjadi terpinggirkan. Hak-hak mereka tergusur
oleh kepentingan para pemilik modal.
Dengan demikian perubahan menyolok
dalam sengketa tanah pada masa orde baru ini adalah pihak-pihak yang
bersengketa. Pada periode ini konflik tidak lagi melibatkan petani kecil atau
petani penggarap dengan tuan tanah melainkan antara pihak pemilik tanah (petani
atau rakyat) dengan pihak pemilik modal besar dan negara. Negara dapat
bertindak sebagai fasilitator yang memberi dukungan terhadap pemilik modal
besar dan bahkan negara itu sendiri, dengan mengatasnamakan pembangunan,
merupakan pihak yang secara langsung bersengketa dengan rakyat Sengketa tanah
pada era Orde Baru justru muncul dalam frekuensi yang lebih banyak dengan
alasan yang berbeda. Sengketa tanah perkebunan yang banyak terjadi, khususnya
di daerah-daerah kantong perkebunan seperti di Jawa dan Sumatra, muncul karena
adanya penetapan baru, perpanjangan, maupun pengalihan Hak Guna Usaha atas
lahan perkebunan dan/atau bekas lahan perkebunan yang sudah digarap oleh
rakyat. Wilayah sengketa juga semakin meluas, tidak hanya terjadi pada
masyarakat pedesaan tetapi juga pada masyarakat perkotaan. Penggusuran rumah
tinggal di berbagai kota besar misalnya, yang digunakan untuk keperluan para
pemilik modal, pengembang perumahan-perumahan mewah, maupun sejumlah proyek
milik pemerintah. UU No. 20 Tahun 1961 mengenai Pencabutan Hak-hak atas Tanah
dan Benda-benda yang ada di atasnya ditafsirkan sedemikian rupa sehingga dalam
praktek, untuk kepentingan umum atau bahkan untuk kepentingan swasta, pejabat
setingkat gubernur atau bupati dapat melakukan pencabutan hak atas tanah.
Penggusuran tanah milik rakyat dilakukan oleh pemerintah untuk kepentingan
negara atas nama pembangunan, untuk kepentingan para pemilik modal, atau bahkan
kepentingan individu yang mempunyai akses pada kekuasaan. Penggusuran tersebut
biasanya dilakukan dengan ganti rugi yang tidak memadai yang jelas sangat tidak
adil bagi pemilik tanah. Pada masa ini perlawanan yang dilakukan rakyat
berkaitan dengan sengketa agraria terjadi dengan hadirnya kelompok mahasiswa,
Lembaga Bantuan Hukum, maupun Lembaga Swadaya Masyarakat. Hal ini berbeda
dengan perjuangan yang terjadi pada masa kolonial maupun orde lama. Pada masa
kolonial para pemimpin agama berperan penting dalam menggerakkan para petani,
sedangkan dalam masa orde lama, dalam memperjuangkan hak atas tanahnya para
petani mendapat dukungan dari partai politik.
Analisis Peristiwa Tanjung Morawa
Peristiwa Tanjung Morawa merupakan
salah satu peristiwa persengketaan tanah yang dimiliki oleh warga setempat yang
terjadi di Sumatera Timur. Tanah tersebut merupakan tanah milik negara pada
waktu penjajahan yang telah ditinggalkan kemudian digarap oleh masyarakat
setempat yang dianggap bahwa tanah tersebut milik rakyat yang sudah lama
digarap. Oleh karena itu rakyat tidak mau meninggalkan tanah tersebut yang
telah dihasut oleh para PKI. Sebelum Kabinet Wilopo, Kabinet Sukiman menangani
permasalahan sengketa tanah ini mungkin karena tidak sanggup dan sudah turun
dari jabatan akhirnya diserahkan oleh Kabinet Wilopo. Yang lama kelamaan pada
masa Kabinet Wilopo berakhir akhirnya persoalan tersebut diserahkan kepada
pemerintah untuk menangani mereka. Pemerintah sudah membagi-bagikan tanah
tersebut kepada rakyat tapi hasilnya tidak sesuai dengan yang diperoleh
sebelumnya, tanah yang didapat rakyat luasnya lebih sedikit. mosi tidak percaya kepada kabinet wilopo yang pada akhirnya diserahkan oleh presiden. adanya acampur tangan PKI dalam masalah persengketaan taah yang pada sekarang maupun dulu masih diperdebatkan masalah sengketa tanah.
Dampak terjadinya
peristiwa tersebut diantaranya sebagai berikut :
·
Politik
: terjadinya kekuasaan wilayah dan
memperebutkan tanah.
·
Sosial-Ekonomi
: masyarakat setempat tidak
mempunyai penghasilan tersendiri, dimana tanah tersebut oleh pemerintah ingin
menggantikannya tapi tanah tersebut adalah penghasilan masyarakat yang sudah
lama digarap oleh masyarakat setempat, kalau tanah tersebut dipindahkan
penghasilan dari masyarakat itu darimana lagi selain dari tanah tersebut ada
diareal itu walaupun pemerintah menyediakan tanah untuk penggarap dan tempat
tinggal mereka tapi mereka ingin tanah yang diareal itu. Akibatnya mayarakat
tersebut akan berdemonstrasi kepada pemerintah, hingga terjadilah sebuah
peristiwa ini. Peristiwanya sudah jelas merugikan bagi masyarakat setempatnya
atas tanah tersebut kalau menurut saya.
Kalau
dalam artikelnya Ririn persengketaan tanah agraria dari sejak dahulu sampai
sekarang masih berlangsung dan tidak jauh berbeda dengan yang sebelumnya. Dalam
persoalan ini pihak rakyat selalu dikalahkan, ketidakadilan yang mereka tidak terima
dalam hal ini, seharusnya pemerintah hendaknya memberikan keperpihakkan kepada
rakyat untuk mewujudkan masyarakat mencapai kemakmuran dan keadilan, Untuk
mencegah kembali tentang persoalan ini yang terus berulang-ulang dari masa ke
masa. Kebijakan tersebut tidak boleh hanya berpihak kepada penguasa sendiri
atau kepemilikan modal sendiri. Negara atau pemerintah seharusnya memberikan
sumber-sumber kekayaan yang ada di negara ini dipergunakan sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat kita.