Kamis, 29 Maret 2012

peristiwa


Nama               : Nuraeni
Nim                 : 0906095
Mata Kuliah    : Sejarah Indonesia Pada Masa Liberal dan Terpimpin
PETA KONSEP


PERISTIWA TANJUNG MORAWA
Terjadinya peristiwa Tanjung Morawa pada tanggal 16 Maret 1953 merupakan salah satu akibat dari konflik antara petani (khususnya petani Sumatera Timur) dengan DPV (Deli Planters Vereniging) dan pemerintah di pihak lain, terkait masalah pembagan dan penggantian tanah di Sumatera Timur. Pada masa kabinet Sukiman, persetujuan pengembalian tanah perkebunan kepada pihak DPV itu sudah dicapai. Petani penggarap harus melepaskan tanahnya untuk dikembalikan kepada DPV, dan pemerintah menyediakan tanah lain bagi mereka. Luas tanah DPV yang dimiliki sebelum perang dunia II yakni seluas 255.000 ha. Dari tanah seluas itu pihak DPV meminta 125.000 ha tanah, sedangkan 130.000 ha dikembalikan kepada pemerintah. Kabinet Wilopo berusaha melaksanakan lebih lanjut ketentuan persetujuan itu, karena sebelum persetujuan itu dilaksanakan kabinet Sukiman telah jatuh. Dalam rangka pengembalian tanah ke pihak DPV itu, timbul suatu persoalan yakni mengenai pemindahan penduduk yang dulunya menempati tanah-tanah perkebunan ke tempat-tempat yang lain. Pemerintah memindahkan penduduk itu sesuai dengan yang tertera pada hasil undian yang telah diperoleh sebelumnya. Penelitian ini akan membahas tentang terjadinya peristiwa Tanjung Morawa, yakni terjadinya insiden terkait masalah rencana Jawatan Pertanian Kabupaten Deli Serdang yang mengajukan areal tanah seluas 5 ha untuk kebun percobaan pertanian dan Jawatan Perikanan Darat seluas 1 ha untuk kolam pembibitan ikan dengan recotnendatie terletak di Kecamatan Tanjung Morawa. Dari hasil penyelidikan instalasi terkait tanah itu sangat cocok bagi kedua jawatan tersebut. Tanah yang diminta itu ditempati oleh 10 kepala keluarga petani Tionghoa, yang tidak memiliki surat-surat ijin yang sah dalam memiliki dan mengusahakan tanah itu. Beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah latar belakang terjadinya peristiwa Tanjung Morawa, kronologi terjadinya peristiwa Tanjung Morawa, reaksi pemerintah pusat, pihak oposisi maupun masyarakat atas peristiwa Tanjung Morawa, serta dampak politik, dan sosial- ekonomi atas peristiwa Tanjung Morawa terhadap masyarakat setempat. Untuk membantu penelitian ini digunakan metode penelitian sejarah yang terdiri dari empat tahap. Melalui tahap-tahap ini, akhirnya akan dapat ditemukan beberapa fakta yang dapat digunakan untuk menjawab beberapa permasalahan yang telah diajukan. Peristiwa Tanjung Morawa terjadi disebabkan pula oleh adanya ketidakpuasan petani yang hendak dipindahkan ketempat yang lain oleh pemerintah dalam hal ini oleh Gubernur Sumatera Utara Abdul Hakim, karena proses dan hasil yang diperoleh sangat jauh berbeda dengan tanah yang telah mereka tempati sebelumnya. Akibatnya ketidakpuasan ini mengarah pada aksi demonstrasi untuk menggagalkan pentraktoran. Peristiwa Tanjung Morawa mendapat reaksi baik dari pemerintah pusat, pihak oposisi, maupun masyarakat. Karena peristiwa itulah golongan yang anti kabinet, termasuk tokoh-tokoh penganjur persatuan dari PNI, mencela tindakan pemerintah. Akibatnya Sidik Kertapati dari SAKTI (Sarekat Tani Indonesia) yang berhaluan kiri mengajukan mosi tidak percaya kepada cabinet dan sebelum mosi diputuskan, kabinet Wilopo mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno pada tanggal 2 Juni 1953.
Saya mengutip dan membandingkan artikel pendapat Ririn Darini yang berjudul “Sengketa Agraria: kebijakan dan perlawanan dari masa ke masa” Konflik perjuangan dan perebutan atas tanah akan selalu terjadi selama tanah masih menjadi sumber kehidupan masyarakat. Dalam masyarakat agraris tanah mempunyai arti yang sangat penting, baik sebagai sumber penghidupan maupun sebagai penentu tinggi rendahnya status sosial dalam masyarakat. Tanah mencerminkan bentuk dasar kemakmuran sebagai sumber kekuasaan ekonomi dan politik, serta mencerminkan hubungan dan klasifikasi sosial. Falsafah Jawa sadhumuk bathuk sanyari bumi, yen perlu ditohi pati menunjukkan betapa eratnya hubungan antara manusia dengan tanah yang dimilikinya. Setiap jengkal tanah merupakan harga diri yang akan dipertahankan mati-matian dengan seluruh jiwa raga. Konflik perebutan dan perjuangan atas tanah akan selalu terjadi selama tanah masih menjadi sumber kehidupan masyarakat. Hal ini terbukti sampai saat ini masalah tanah masih saja menjadi persoalan yang seringkali memunculkan perlawanan rakyat. Bentuk perlawanan yang dilakukan juga bermacam-macam, baik bersifat individual maupun kolektif, hanya sekedar berunjuk rasa atau bahkan melakukan pemberontakan. Salah satu bentuk perlawanan petani yang bersifat tersembunyi dan diam-diam disebut James Scott sebagai bentuk perlawanan sehari-hari (everyday forms of resistance). Perlawanan sehari-hari merupakan upaya perjuangan petani yang biasa-biasa saja namun terjadi secara terus-menerus antara kaum tani dengan orang-orang yang berusaha untuk menghisap tenaga kerja, makanan, pajak, sewa, dan keuntungan dari mereka. Perlawanan petani tidak selalu merupakan bentuk aksi bersama, tetapi kadang-kadang merupakan resistensi individual yang dilakukan secara diam-diam. Strategi perlawanan ini lebih aman karena tidak perlu dilakukan melalui sebuah organisasi lengkap dengan pemimpinnya yang mudah terdeteksi. Mereka menentang secara langsung norma dan dominasi kaum elit yang dapat saja menurunkan kewibawaan dan produktivitas pemerintah. Bentuk perlawanan ini misalnya menipu, membakar, melakukan sabotase, mengumpat di belakang, mencuri kecil-kecilan, dan sebagainya. Kasus tanah di Jenggawah, Jawa Timur misalnya, merupakan kasus sengketa antara petani penggarap lahan HGU dengan PTP XXVII yang didukung pemerintah. Gerakan petani di daerah tersebut merupakan perjuangan panjang yang dilakukan secara terus-menerus sejak akhir tahun 1970-an sampai akhir tahun 1990-an. Para petani tidak puas dengan keputusan pemerintah yang memberikan HGU kepada pihak PTP di lahan yang mereka garap. Para petani menuntut agar tanah yang sudah turun-temurun mereka garap itu bisa menjadi hak milik mereka. Mereka melancarkan aksi antara lain dengan pembakaran-pembakaran kantor, gudang-gudang, dan perkebunan. Kasus lain adalah kasus Cimacan, Jawa Barat (1991-2000) yang merupakan sengketa antara warga dengan PT Bandung Asri Mulya dan Pemerintah Daerah Cianjur. Petani melakukan pencangkulan lapangan golf sebagai bentuk protes petani atas pemberian ganti rugi yang tidak memuaskan. Kebijakan pertanahan yang dikeluarkan di era reformasi berupa Perpres No 36/2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum juga menimbulkan protes rakyat antara lain dengan melakukan unjuk rasa menolak Perpres tersebut. Melihat di era feodal bahwa perubahan-perubahan dalam sengketa tanah yang terjadi berkaitan dengan kebijakan agraria dari era feodal kerajaan tradisional hingga orde baru.
·         Era Feodal
Dalam era feodal, tanah adalah milik raja. Konflik sosial yang menyangkut masalah tanah juga sering terjadi pada masa feodal. Persoalan tanah yang sering menimbulkan konflik pada masa kerajaan terjadi ketika negara mempunyai program besar seperti perencanaanistana, jalan, pengairan, atau gedung. Sistem pancasan yang dilakukan raja dengan tujuan untuk meningkatkan jumlah pajak juga sering menimbulkan ketidakpuasan sosial. Sultan Hamengku Buwono II atau Sultan Sepuh antara tahun 1802-1803 berkali-kali melakukan pancasan. Kebijakan ini menimbulkan kebencian di kalangan bangsawan pemegang lungguh. Bentuk protes mereka lakukan dengan cara memalsu ukuran tanah, misalnya ukuran tumbak atau cengkal dibuat lebih pendek. Dalam tingkat yang lebih besar muncul pemberontakan seperti yang terjadi pada tahun 1812.
·         Era Kolonial
Pemerintahan Raffles memperkenalkan adanya domein theory, yang menyatakan bahwa semua tanah yang ada di Hindia Belanda adalah milik raja. Atas dasar teori itu pemerintah Inggris sebagai pengganti Raja Mataram memberlakukan sistem penarikan pajak (landrente) dengan asumsi bahwa rakyat adalah penyewa sedangkan pemilik tanah adalah pemerintah kolonial. Usaha Raffles tidak berlangsung lama (1811-1816) karena pemerintahan Hindia Belanda mengambil alih kekuasaan. Politik agraria yang dikembangkan pemerintah kolonial tersebut secara sistematis melemahkan kedudukan sosial ekonomi penduduk daerah pedesaan. Posisi mereka sebagai petani bergeser menjadi buruh di daerah pedesaan. Bentuk-bentuk eksploitasi kolonial baik berupa tekanan pajak, pengerahan tenaga kerja yang berlebihan, maupun peraturan-peraturan yang menindas sebagai bagian dari politik kolonial mengakibatkan kemiskinan rakyat yang meluas. Realitas kekuasaan kolonial tersebut tidak sesuai dengan realitas sosial yang ideal dalam masyarakat tradisional. Menurut James Scott, penghisapan merupakan faktor yang menentukan terjadinya pemberontakan petani. Pemberontakan itu bertumpu pada subsistensi petani yang terganggu oleh berbagai aturan kolonial yang memberatkan petani, misalnya beban pajak yang harus ditanggung petani.


·         Era Orde Lama
Berakhirnya pemerintahan kolonial telah mewariskan permasalahan pertanahan bagi bangsa Indonesia. Setelah kemerdekaan rakyat merasa bebas untuk mendapatkan kembali tanah peninggalan nenek moyangnya yang selama ini dikuasai oleh orang Belanda. Tanah-tanah perkebunan milik Belanda yang ditinggalkan Belanda dan menjadi terlantar kemudian diduduki oleh rakyat dan dijadikan lahan pertanian. Istilah yang dikenal pada saat itu adalah pendudukan liar oleh petani. Persoalan muncul ketika ditandatanganinya persetujuan KMB pada tahun 1949. Pemerintah RIS memberikan pengakuan hak orang asing akan tanah, yaitu hak konsesi dan hak erfpacht serta hak untuk mengusahakan selanjutnya. Pendudukan lahan oleh petani dengan demikian memiliki hukum semu sementara pengusaha perkebunan memiliki hukum yang sah. Berkaitan dengan hal tersebut pemerintah berkeinginan agar di satu pihak kepentingan penguasaha perkebunan mendapat perlindungan karena sektor ini merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang cukup penting. Di lain pihak petani yang kehidupannya tergantung pada tanah juga harus mendapat perlindungan hukum, antara lain dengan adanya ketentuan untuk mengakui keberadaan buruh yang sudah bekerja pada perusahaan tersebut dan rakyat yang menduduki dan menggarap lahan-lahan perkebunan. Mereka tidak boleh diusir secara sewenang-wenang. Meskipun aturan hukum menempatkan kepentingan semua pihak, tetapi dalam pelaksanaannya petani harus kecewa dengan adanya koalisi kekuatan ekonomi pengusaha perkebunan dengan kekuatan politik penguasa lokal. Pada saat itu pula, perlawanan petani semakin diperkuat dengan adanya kebebasan berorganisasi, seperti Barisan Tani Indonesia (BTI), Rukun Tani Indonesia (RTI), Sarekat Buruh Perkebunan Indonesia (Sarbupri), dan Persatuan Tani Nasional Indonesia (Petani). Organisasi-organisasi tersebut juga berafiliasi dengan partai politik sehingga perlawanan mereka semakin kuat seperti terbukti dengan terjadinya Peristiwa Tanjung Morawa pada tanggal 16 Maret 1953 yang menyebabkan jatuhnya kabinet Wilopo dan dibentuknya Kementrian Urusan Agraria. Selanjutnya pemerintah mengeluarkan Undang-undang Darurat No 8 tahun 1954 tentang pemakaian tanah perkebunan hak erfpacht oleh rakyat, bahwa pendudukan lahan tidak dinyatakan sebagai melanggar hukum dan penyelesaiannya diupayakan pemerintah melalui pemberian hak dan perundingan antara pihak yang bersengketa. Kebijakan tanah yang bersifat populis lain pada era Orde Lama adalah dikeluarkannya Undang-undang Pokok Agraria 1960 (UU No. 5 Tahun 1960).
Undang-undang ini mendasarkan pada hukum adat yang telah disempurnakan sehingga segala bentuk hak-hak tanah di zaman Belanda dihapuskan dan diubah menjadi hak-hak yang diatur oleh UUPA. UUPA menetapkan pembatasan penguasaan tanah agar tidak merugikan kepentingan umum, melindungi hak-hak tanah perseorangan yang diletakkan dalam dimensi fungsional, yang berarti hak atas tanah mengacu pada kepentingan umum. Implementasi program land reform untuk membatasi luas pemilikan tanah ini dalam pelaksanaannya ternyata mengalami hambatan. Para tuan tanah berusaha menghindari ketentuan-ketentuan UUPA dengan berbagai cara. Hal lain yang menarik dari masalah tanah pada saat itu adalah digunakannya pelaksanaan land reform sebagai strategi PKI untuk menanamkan pengaruhnya di kalangan masyarakat pedesaan. PKI menggunakan isu land reform untuk mempolarisasikan penduduk desa menjadi dua kelas yang bertentangan, yaitu tuan tanah “setan desa” dan petani. Pada akhirnya terjadi konflik sosial antara para petani tak bertanah dengan tuan tanah ketika PKI dengan alasan bahwa pemerintah tidak mampu melaksanakan land reform, memaksakan pelaksanaan land reform melalui tindakan-tindakan aksi sepihak.
·         Era Orde  Baru
Kebijakan pertanahan kembali mengalami perubahan ketika terjadi pergantian pemerintahan. Pemerintah Orde Baru cenderung melakukan kebijakan pembangunan dengan ekonomi sebagai panglimanya. Hal ini menyebabkan adanya perubahan persepsi terhadap fungsi tanah sebagai salah satu sumber daya alam yang sangat unik sifatnya. Tanah dilihat sebagai sarana investasi dan alat akumulasi modal. Perubahan ini berlangsung sejalan dengan perubahan kebijakan pertanahan yaitu dari kebijakan yang memihak kepentingan rakyat ke kebijakan yang lebih memihak pada kepentingan kapitalis. UUPA tetap dipertahankan meskipun tidak lagi menjadi induk seluruh peraturan yang berlaku di bidang agraria. Sejumlah undang-undang lain yang justru bertentangan dengan UUPA ditampilkan, misalnya UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan UU No. 5 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan yang memberikan kesempatan kepada berbagai kalangan untuk memperoleh Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH). Berlakunya undang-undang ini menyebabkan hak-hak masyarakat, misalnya hak-hak adat atas tanah atau hak ulayat menjadi terpinggirkan. Hak-hak mereka tergusur oleh kepentingan para pemilik modal.
Dengan demikian perubahan menyolok dalam sengketa tanah pada masa orde baru ini adalah pihak-pihak yang bersengketa. Pada periode ini konflik tidak lagi melibatkan petani kecil atau petani penggarap dengan tuan tanah melainkan antara pihak pemilik tanah (petani atau rakyat) dengan pihak pemilik modal besar dan negara. Negara dapat bertindak sebagai fasilitator yang memberi dukungan terhadap pemilik modal besar dan bahkan negara itu sendiri, dengan mengatasnamakan pembangunan, merupakan pihak yang secara langsung bersengketa dengan rakyat Sengketa tanah pada era Orde Baru justru muncul dalam frekuensi yang lebih banyak dengan alasan yang berbeda. Sengketa tanah perkebunan yang banyak terjadi, khususnya di daerah-daerah kantong perkebunan seperti di Jawa dan Sumatra, muncul karena adanya penetapan baru, perpanjangan, maupun pengalihan Hak Guna Usaha atas lahan perkebunan dan/atau bekas lahan perkebunan yang sudah digarap oleh rakyat. Wilayah sengketa juga semakin meluas, tidak hanya terjadi pada masyarakat pedesaan tetapi juga pada masyarakat perkotaan. Penggusuran rumah tinggal di berbagai kota besar misalnya, yang digunakan untuk keperluan para pemilik modal, pengembang perumahan-perumahan mewah, maupun sejumlah proyek milik pemerintah. UU No. 20 Tahun 1961 mengenai Pencabutan Hak-hak atas Tanah dan Benda-benda yang ada di atasnya ditafsirkan sedemikian rupa sehingga dalam praktek, untuk kepentingan umum atau bahkan untuk kepentingan swasta, pejabat setingkat gubernur atau bupati dapat melakukan pencabutan hak atas tanah. Penggusuran tanah milik rakyat dilakukan oleh pemerintah untuk kepentingan negara atas nama pembangunan, untuk kepentingan para pemilik modal, atau bahkan kepentingan individu yang mempunyai akses pada kekuasaan. Penggusuran tersebut biasanya dilakukan dengan ganti rugi yang tidak memadai yang jelas sangat tidak adil bagi pemilik tanah. Pada masa ini perlawanan yang dilakukan rakyat berkaitan dengan sengketa agraria terjadi dengan hadirnya kelompok mahasiswa, Lembaga Bantuan Hukum, maupun Lembaga Swadaya Masyarakat. Hal ini berbeda dengan perjuangan yang terjadi pada masa kolonial maupun orde lama. Pada masa kolonial para pemimpin agama berperan penting dalam menggerakkan para petani, sedangkan dalam masa orde lama, dalam memperjuangkan hak atas tanahnya para petani mendapat dukungan dari partai politik.
Analisis Peristiwa Tanjung Morawa
Peristiwa Tanjung Morawa merupakan salah satu peristiwa persengketaan tanah yang dimiliki oleh warga setempat yang terjadi di Sumatera Timur. Tanah tersebut merupakan tanah milik negara pada waktu penjajahan yang telah ditinggalkan kemudian digarap oleh masyarakat setempat yang dianggap bahwa tanah tersebut milik rakyat yang sudah lama digarap. Oleh karena itu rakyat tidak mau meninggalkan tanah tersebut yang telah dihasut oleh para PKI. Sebelum Kabinet Wilopo, Kabinet Sukiman menangani permasalahan sengketa tanah ini mungkin karena tidak sanggup dan sudah turun dari jabatan akhirnya diserahkan oleh Kabinet Wilopo. Yang lama kelamaan pada masa Kabinet Wilopo berakhir akhirnya persoalan tersebut diserahkan kepada pemerintah untuk menangani mereka. Pemerintah sudah membagi-bagikan tanah tersebut kepada rakyat tapi hasilnya tidak sesuai dengan yang diperoleh sebelumnya, tanah yang didapat rakyat luasnya lebih sedikit.  mosi tidak percaya kepada kabinet wilopo yang pada akhirnya diserahkan oleh presiden. adanya acampur tangan PKI dalam masalah persengketaan taah yang pada sekarang maupun dulu masih diperdebatkan masalah sengketa tanah.
Dampak terjadinya peristiwa tersebut diantaranya sebagai berikut :
·         Politik                          :  terjadinya kekuasaan wilayah dan memperebutkan tanah.
·         Sosial-Ekonomi           : masyarakat setempat tidak mempunyai penghasilan tersendiri, dimana tanah tersebut oleh pemerintah ingin menggantikannya tapi tanah tersebut adalah penghasilan masyarakat yang sudah lama digarap oleh masyarakat setempat, kalau tanah tersebut dipindahkan penghasilan dari masyarakat itu darimana lagi selain dari tanah tersebut ada diareal itu walaupun pemerintah menyediakan tanah untuk penggarap dan tempat tinggal mereka tapi mereka ingin tanah yang diareal itu. Akibatnya mayarakat tersebut akan berdemonstrasi kepada pemerintah, hingga terjadilah sebuah peristiwa ini. Peristiwanya sudah jelas merugikan bagi masyarakat setempatnya atas tanah tersebut kalau menurut saya.
Kalau dalam artikelnya Ririn persengketaan tanah agraria dari sejak dahulu sampai sekarang masih berlangsung dan tidak jauh berbeda dengan yang sebelumnya. Dalam persoalan ini pihak rakyat selalu dikalahkan, ketidakadilan yang mereka tidak terima dalam hal ini, seharusnya pemerintah hendaknya memberikan keperpihakkan kepada rakyat untuk mewujudkan masyarakat mencapai kemakmuran dan keadilan, Untuk mencegah kembali tentang persoalan ini yang terus berulang-ulang dari masa ke masa. Kebijakan tersebut tidak boleh hanya berpihak kepada penguasa sendiri atau kepemilikan modal sendiri. Negara atau pemerintah seharusnya memberikan sumber-sumber kekayaan yang ada di negara ini dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar