BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Putus
sekolah bukan merupakan salah satu permasalahan pendidikan yang tak pernah
berakhir. Masalah ini telah berakar dan sulit untuk dipecahkan penyebabnya,
tidak hanya karena kondisi ekonomi, tetapi ada juga yang disebabkan oleh
kekacauan dalam keluarga, dan lain-lain. Pendidikan nasional merupakan bagian dari pembangunan
nasional, melalui Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 dikatakan bahwa tujuan
pendidikan adalah:
”Untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya,
yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan
berbudi luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan
rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan
dan kebangsaan”.
Pembahasan ini berjudul
“Masalah Keterputusan Sekolah” dimana dalam pembahasan selanjutnya penyususn
akan membahas masalah keterpurusan sekolah umum dimana masalah utamanya adalah
kondisi ekonomi keluarga yang kurang mendukung. Sebagian lagi adalah faktor
keluarga yang menyebabkan anak- putus sekolah. Adapun orang tua dan masyarakat
dalam menghadapi anak putus sekolah ada dua yaitu upaya pencegahan dan upaya
pembinaan.
“Pendidikan
secara universal berarti upaya mengubah manusia menjadi cerdas, yang dalam
konsep filsafat pendidikan Indonesia dinyatakan bahwa pendidikan ialah upaya
mencerdaskan kehidupan bangsa” (Didin Syarifudin. 2010:119)
Seperti dipaparkan
diatas pendidikan ialah upaya untuk emncerdaskan suatu bangsa, dimana untuk menjadi
suatu bangsa yang maju pendidikan ialah modal terpenting untuk mencapai tujuan
itu. Sehingga masalah pendidikan ialah masalah yang harus segera dibenahi oleh
pemerintah. Karena masalah ini dapat menjadi salah satu faktor penghambang
dalam kemajuan suatu bangsa.
Dewasa ini khususnya di
masyarakat kota banyak sekali anak-anak yang tidak bersekolah dan mereka
tinggal dijalanan. Anak-anak yang tinggal di jalan atau biasa kita sebut anak
jalanan, dimana mereka mengalami masalah keterputusan sekolah. Masalah
keterputusan sekolah ini disebabkan oleh berbagai fakto, salah satunya faktor
ekonomi.
Banyak anak-anak yang
seharusnya mereka bermain dan duduk dibangku sekolah, justru mereka malah
bekerja di pinggir jalan. Phenomena yang tidak aneh bila kita berada dikota-kota
besar. Banyak anak yang seharusnya sekolah malah bekerja. Bahkan diperparah
dengan phenomena anak jalanan.
Upaya pencegahan yang
harus dilakukan sebelum putus sekolah dengan mengamati, memperhatikan
permasalahan-permasalahan anak-anak dan dengan menyadarkan orang tua akan
pentingnya pendidikan demi menjamin masa depan anak serta memberikan motivasi
belajar kepada anak. Adapun upaya pembinaan yang dilakukan adalah dengan
mengajarkan nilai-nilai keagamaan dan sosial kemasyarakatan kepada anak, serta
memberikan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya supaya anak disibukkan
serta dapat menghindarinya dari pikiran yang menyimpang. Dari pemaparan diatas
maka kami penyususn akan menggangkat judul makalah “Masalah Keterputusan Sekolah dan Solusinya”.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan judul
diatas maka penyusun merumuskan masalah utama dalam penulisan mengenai makalah
ini ialah “Faktor Apa Saja Penyebab
Keterputusan Sekolah”. Untuk memfokuskan pada pemerintahan masalah
keterputusan sekolah. Penulis membatasi pertanyaan sebagai perumusan masalah
yang akan diuraikan dalam makalah ini sebagai berikut:
1.
Apa Pengertian Anak Putus Sekolah?
2.
Bagaimana Hak Anak Akan Pendidikan?
3.
Apa Penyebab Anak Putus Sekolah dan Damfak Anak Putus Sekolah?
4.
Bagaimana Penomena Anak Jalanan?
5.
Bagaimana Praktek Pekerjaan Sosial
Dengan Anak Dalam Penanganan Anak Putus Sekolah
1.3
Tujuan Penulisan
Tujuan utama yang ingin
dicapai penulis adalah “Mendeskripsikan Masalah Keterputusan Sekolah dan
Penomena Anak Jalanan Disertai Solusinya”. Adapun yang menjadi tujuan khususnya
adalah:
1.
Mendeskripsikan Pengertian Anak Putus Sekolah.
2.
Mendeskripsikan Hak Anak Akan Pendidikan.
3.
Mendeskripsikan Penyebab Anak Putus
Sekolah dan Damfak Anak Putus Sekolah.
4.
Mendeskripsikan Praktek Pekerjaan Sosial
Dengan Anak Dalam Penanganan Anak Putus Sekolah
1.4
Metode dan Teknik Penulisan
Bab ini menjelaskan
secara rinci mengenai metode penelitian yang dipakai oleh penyusun untuk
mengumpulkan sumber berupa fakta dan data yang berkaitan dengan judul yang
penyusun angkat yaitu “Masalah Keterputusan Sekolah dan Solusinya”. Metode yang
digunakan penulis adalah metode Heuristik atau sejarah. Yang dimana penulis
mengumpulkan data sejarah yang relevan yaitu sumber sekunder yang berkaitan
dengan Masalah Keterputusan Sekolah, Hak Anak Akan Pendidikan. Sehingga sumber
yang didapat adalah sumber buku. Metodologi sejarah merupakan suatu keseluruhan
metode-metode, prosedur, konsep kerja, aturan-aturan dan teknik yang sistematis
yang digunakan oleh para penulis sejarah atau sejarawan dalam mengungkapkan
peristiwa sejarah. Langkah-langkah penulisan ini mengacu pada proses metodologi
penilitian dalam penulisan sejarah, yang mengandung empat langkah penting,
diantaranya:
- Heuristik,
merupakan upaya mencari dan mengumpulkan sumber-sumber yang berkaitan
dengan permasalahan yang dikaji. Dalam proses mencari sumber-sumber itu,
penulis mendatangi berbagai perpustakaan, diantaranya : Perpustakaan
Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), dan Lab Sejarah FPIPS UPI. Serta membeli
buku-buku di Palasari, dan mencari sumber-sumber melalui Internet.
- Kritik atau
Analisis, yaitu usaha menilai sumber-sumber sejarah, baik isi maupun
bentuknya (internal dan eksternal). Kritik internal dilakukan penulis
untuk melihat layak tidaknya isi dari sumber-sumber yag telah diperoleh
untuk selanjutnya dijadikan bahan penelitian dan penulisankarya ilmiah.
Kritik eksternal dilakukan oleh penulis untuk melihat bentuk dari sumber
tersebut, penulis berusaha melakukan penelitian terhadap sumber-sumber
yang diperoleh yang tentunya berkaita dengan topik penelitian itu.
- Interpretasi
atau penafsiran, dalam hal ini penulis memberikan penafsiran terhadap
sumber-sumber yang telah dikumpulkan selama penelitian belangsung.
Penafsiran itu dilakukan dengan cara menafsirkan fakta dan data dengan
konsep-konsep yang telah diteliti oleh penulis sebelumnya. Penulis juga
melakukan pemberian makna terhadap fakta dan data yang kemudian disusun,
ditafsirkan dan dihubungkan satu sama lain. Fakta dan data yang telah
diseleksi dan ditafsirkan selanjutnya dijadikan pokok pikiran sebagai
kerangka dasar penyusunan penelitian ini.
- Historiografi
atau penulisan sejarah, merupakan langkah terakhir dalam penulisan skripsi
ini. Historiografi ialah proses penyusunan hasil penelitian yang telah
diperoleh sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh dalam bentuk karya
ilmiah, sehingga menghasilkan suau
tulisan yang logis dan sistematis, dengan demikian akan diperoleh suatu
karya ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.
Dalam
penyusunan makalah ini, teknik
pengumpulan data yang dipergunakan adalah kepustakaan. Langkah awal penyusunan
makalah ini ialah dengan mengumpulkan sumber-sumber tertulis yang menunjang
penelitian ini. Maka setelah itu diperoleh data-data yang dapat dibandingka
dengan sumber yang ada di lapangan.
1.5 Sistematika
Penulisan
Bab
satu, pendahuluan. Bagian ini menguraikan
masalah yang akan dibahas yang meliputi: latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penulisan, metode dan teknik penelitian serta sistematika
penulisan.
Bab
dua, merupakan pembahasan yang didalamnya
diuraikan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan seluruh hasil penelitian
yang dilakukan oleh penyusun. Dimana sistematika penulisan makalah ini ialah
Faktor penyebab keterputusan sekolah, hak anak akan pendidikan, dan solusi
dalam penanganannya.
Bab tiga,
merupakan uraian tentang kesimpulan yang didapatkan penulis sebagai jawaban
terhadap beberapa permasalahan yang telah diajukan sebelumnya.
BAB
II
KETERPUTUSAN
PENDIDIKAN DAN SOLUSINYA
2.1 Pengertian Anak Putus Sekolah
Pendidikan dapat diartikan sebagai perbuatan mendidik,
pengetahuan tentang mendidik. Pendidikan dapat pula diartikan sebagai usaha
manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai dan budaya masyarakat.
Pendidikan secara lebih luas dapat diartikan sebagai sebuah proses timbal balik dari pribadi-pribadi manusia dalam menyesuaikan diri dengan manusia lain dan dengan alam semesta. Sedangkan pengertian sekolah menurut WJS. Poerwodarminta adalah bangunan atau lembaga untuk belajar dan memberi pelajaran.
Pendidikan secara lebih luas dapat diartikan sebagai sebuah proses timbal balik dari pribadi-pribadi manusia dalam menyesuaikan diri dengan manusia lain dan dengan alam semesta. Sedangkan pengertian sekolah menurut WJS. Poerwodarminta adalah bangunan atau lembaga untuk belajar dan memberi pelajaran.
Putus sekolah diartikan sebagai Drop-Out (DO) yang artinya bahwa seorang anak didik yang telah masuk dalam sebuah lembaga pendidikan baik itu pada tingkat SD, SMP, maupun SMA untuk belajar dan menerina pelajaran tetapi tidak sampai tamat atau lulus kemudian mereka berhenti atau keluar dari sekolah. Hal itu bisa disebabkan oleh berbagai faktor yang bisa disebabkan karena malu, malas, takut, sekedar ikut-ikutan dengan temannya atau karena alasan lain sehingga mereka putus sekolah ditengah jalan atau keluar dan tidak lagi masuk untuk selama-lamanya.
Anak
putus sekolah adalah keadaan dimana anak mengalami keterlantaran karena sikap
dan perlakuan orang tua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap
proses tumbuh kembang anak tanpa memperhatikan hak – hak anak untuk mendapatkan
pendidikan yang layak.
Dalam Undang – Undang
nomor 4 tahun 1979, anak terlantar diartikan sebagai anak yang orang tuanya
karena suatu sebab, tidak mampu memenuhi kebutuhan anak sehingga anak menjadi
terlantar.Sedangkan menurut Undang – Undang nomor 23 tahun 2002 bahwa anak
terlantar yakni anak yang kebutuhannya tidak terpenuhi secara wajar, baik
kebutuhan fisik, mental, spiritual maupun social. Pengertian lainnya menurut
Departemen Pendidikan di Amerika Serikat (MC Millen Kaufman, dan Whitener,
1996) mendefinisikan bahwa anak putus sekolah adalah murid yang tidak dapat
menyelesaikan program belajarnya sebelum waktunya selesai atau murid yang tidak
tamat menyelesaikan program belajarnya.
Anak putus sekolah ialah
anak yang dimana seharusnya ia mengecap pendidikan atau duduk dibangku sekolah
akan tetapi dikarenakan berbagai faktor ia tidak dapat menyelesaikan program
belajarnya hingga tuntas. Anak-anak putus sekolah seharusnya mendapat perhatian
besar dari pemerintah dikarenakan mereka adalah generasi penerus bangsa, yang
seharusnya mendapatkan hak bersekolah dan dimana kemampuan mereka dan keinginan
mereka dikembangkan agar mereka dapat hidup sejahtera dikemudian hari.
2.2
Hak Anak Akan Pendidikan
Pendidikan merupakan
hak yang sangat fundamental bagi anak. Hak wajib dipenuhi dengan kerjasama
paling tidak dari orang tua siswa, lembaga pendidikan dan pemerintah.
Pendidikan akan mampu terealisasi jika semua komponen yaitu orang tua, lembaga
masyarakat, pendidikan dan pemerintah bersedia menunjang jalannya pendidikan.
Pendidikan itu tanggung
jawab semua masyarakat, bukan hanya tanggung jawab sekolah. Konsekuensinya
semua warga negara memiliki kewajiban moral untuk menyelamatkan pendidikan.
Sehingga ketika ada anggota masyarakat yang tidak bisa sekolah hanya karena
tidak punya uang, maka masyarakat yang kaya atau tergolong sejahtera memiliki
kewajiban moral untuk menjadi orang tua asuh bagi kelangsungan sekolah anak
yang putus sekolah pada tahun ini mencapai puluhan juta anak di seluruh
Indonesia.
Pendidikan itu dimulai
dari keluarga. Paradigma ini penting untuk dimiliki oleh seluruh orang tua
untuk membentuk karakter manusia masa depan bangsa ini. Keluarga adalah
lingkungan yang paling pertama dan utama dirasakan oleh seorang anak, bahkan
sejak masih dalam kandungan.Karena itu pendidikan di keluarga yang mencerahkan
dan mampu membentuk karakter anak yang soleh dan kreatif adalah modal penting
bagi kesuksesan anak di masa – masa selanjutnya.
Setiap
anak yang lahir secara otomatis akan mendapatkan hak sebagai mahluk hidup
ciptaan tuhan dan warga Negara. Termasuk bagi setiap anak yang lahir di Negara
Indonesia, yang telah memiliki undang – undang perlindungan anak, dimana KPAI
bertindak sebagai salah satu wadah yang sangat mengagung – agungkan undang –
undang tersebut.
Terlepas dari itu,
setiap anak pun memiliki hak yang sama terlebih bagi anak yang memiliki
kebutuhan khusus dalam menuntut ilmu. Dalam hal ini, anak – anak yang mengidap
autis. Penderita autis ini berbeda dengan ADHD atau (Attention Deficit
Hyperactive Disorders), dimana anak autis tidak dapat merespon lingkungan
sekitarnya, namun ADHD adalah situasi dimana anak mengalami kesulitan dalam
memfokuskan diri akan suatu hal, dan biasanya membutuhkan waktu yang cukup lama
untuk dapat memahami suatu hal.
Dalam hak-hak anak untuk mendapatkan pendidikan, undang – undang di Indonesia telah membahas hal tersebut. Hal itu tertuang dalam Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA) disahkan pada tanggal 22 Oktober 2002 melalui UU Nomor 23 tahun 2002. UUPA itu sendiri merupakan perangkat perundang-undangan yang paling akhir yang memberikan pengaturan tentang perlindungan anak, setelah beberapa uu untuk anak di revisi, antara lain :
Dalam hak-hak anak untuk mendapatkan pendidikan, undang – undang di Indonesia telah membahas hal tersebut. Hal itu tertuang dalam Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA) disahkan pada tanggal 22 Oktober 2002 melalui UU Nomor 23 tahun 2002. UUPA itu sendiri merupakan perangkat perundang-undangan yang paling akhir yang memberikan pengaturan tentang perlindungan anak, setelah beberapa uu untuk anak di revisi, antara lain :
· UU Kesejahteraan Anak (UU No.4 tahun 1979)
· UU Pengadilan Anak (UU No.3 tahun 1997)
· UU Hak Asasi Manusia (UU No.39 tahun 1999, khususnya Bab 3 Bagian ke-10
tentang Hak Anak).
UUPA merupakan kerangka
payung yang memberikan perlindungan bagi anak. Dalam UUPA sendiri, dijelaskan
beberapa hak anak terutama untuk hal pendidikan, antara lain tertuang pada pasal
9 ayat 1 dan 2, yang berisi :
1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka
pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan
bakatnya.
2)
Selain hak anak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), khusus bagi anak yang menyandang cacat
juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki
keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan.
2.3 Penyebab Anak Putus Sekolah
dan Dampak Anak Putus Sekolah
Putus
sekolah merupakan masalah yang tidak terjadi dengan sendiri.Ada beberapa faktor
yang dapat menyebabkan seseorang untuk putus sekolah. Faktor tersebut akan
menimbulkan dampak terhadap diri seseorang pada khususnya dan lingkungan sosial
masyarakat pada umumnya, mengingat pendidikan adalah hal yang sangat penting
bagi perkembangan di segala bidang kehidupan.
2.3.1
Faktor Penyebab Anak Putus Sekolah
Menurut Departemen
Pendidikan di Amerika Serikat (MC Millen Kaufman, dan Whitener, 1996)
mendefinisikan bahwa anak putus sekolah adalah murid yang tidak dapat
menyelesaikan program belajarnya sebelum waktunya selesai atau murid yang tidak
tamat menyelesaikan program belajarnya. Masalah keterputusan sekolah pada anak
disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya ialah:
a)
Faktor
Internal
Faktor
internal yang dapat menyebabkan seseorang putus sekolah antara lain:
1.
Kemalasan
Dari
dalam diri anak putus sekolah disebabkan malas untuk pergi sekolah karena
merasa minder, tidak dapat bersosialisasi dengan lingkungan sekolahnya, sering
dicemoohkan karena tidak mampu membayar kewajiban biaya sekola.ak dipengaruhi oleh berbagai
faktor .Ketidak mampuan ekonomi keluarga dalam menopang biaya pendidikan yang
berdampak terhadap masalah psikologi anak sehingga anak tidak bisa
bersosialisasi dengan baik dalam pergaulan dengan teman sekolahnya selain
itu adalah peranan lingkungan .
2.
Hobi
Bermain
Karena
pengaruh teman sehingga ikut-ikutan diajak bermain seperti play stasion sampai
akhirnya sering membolos dan tidak naik kelas , prestasi di sekolah menurun dan
malu pergi kembali ke sekolah.
3.
Hukuman
Anak
yang kena sanksi karena mangkir sekolah sehingga kena Droup Out.
b)
Faktor
Eksternal.
Faktor
eksternal yang menyebabkan seseorang putus sekolah antara lain:
1.
Keadaan
status ekonomi keluarga
Dalam keluarga miskin cenderung timbul berbagai
masalah yang berkaitan dengan pembiayaan hidup anak, sehingga anak sering
dilibatkan untuk membantu memenuhi
kebutuhan ekonomi keluarga sehingga merasa terbebani dengan masalah ekonomi ini
sehingga mengganggu kegiatan belajar dan kesulitan mengikuti pelajaran.
Kurangnya pendapatan keluarga menyebabkan orang tua terpaksa bekerja keras
mencukupi kebutuhan pokok sehari-hari, sehingga pendidikan anak kurang
terperhatikan dengan baik dan bahkan membantu orang tua dalam mencukupi
keperluan pokok untuk makan sehari-hari misalnya anak membantu orang tua ke
sawah, karena di anggap meringankan beban orang tua anak di ajak ikut orang tua
ke tempat kerja yang jauh dan meninggalkan sekolah dalam waktu yang cukup lama.
2.
Perhatian
orang tua
Kurangnya
perhatian orang tua cenderung akan
menimbulkan berbagai masalah. Makin besar anak perhatian orang tua makin diperlukan , dengan cara dan variasi dan
sesuai kemampuan. Kenakalan anak adalah salah satu penyebabnya adalah kurangnya perhatian orang tua.
3.
Hubungan
orang tua yang kurang harmonis
Hubungan
keluarga tidak harmonis dapat berupa perceraian orang tua, hubungan antar
keluarga tidak saling peduli, keadaan ini merupakan dasar anak mengalami
permasalahan uyang serius dan hambatan dalam pendidikannya sehingga
mengakibatkan anak mengalami putus sekolah.
4.
Latar belakang pendidikan orang tua
Pendidikan orang tua yang hanya tamat sekolah dasar apalagi tidak tamat
sekolah dasar, hal ini sangat berpengaruh terhadap cara berpikir orang tua
untuk menyekolahkan anaknya, dan terhadap cara berpikir orang tua untuk
menyekolahkan anaknya, dan cara pandangan orang tua tentu tidak sejauh dan
seluas orang tua yang berpendidikan lebih tinggi.
Latar belakang pendidikan orang tua yang rendah merupakan suatu hal yang
mempengaruhi anak sehingga menyebabkan anak menjadi putus sekolah dalam usia
sekolah. Akan tetapi ada juga orang tua yang telah mengalami dan mengenyam
pendidikan sampai ke tingkat lanjutan dan bahkan sampai perguruan tinggi tetapi
anaknya masih saja putus sekolah, maka dalam hal ini kita perlu mengkaitkannya
dengan minat anak itu sendiri untuk sekolah, dan mengenai minat ini akan
dijelaskan pada uraian berikutnya.
Hal-hal tersebut diatas sangat mempengaruhi anak dalam mencapai suksesnya
bersekolah.Pendapat keluarga yang serba kekurangan juga menyebabkan kurangnya
perhatian orang tua terhadap anak keran setiap harinya hanya memikirkan
bagaimana caranya agar keperluan keluarga bisa terpenuhi, apalagi kalau harus
meninggalkan keluarga untuk berusaha menempuh waktu berbulan-bulan bahkan kalau
sampai tahunan, hal ini tentu pendidikan anak menjadi terabaikan.
5. Kurangnya minat anak untuk
bersekolah
Penyebabkan
anak putus sekolah bukan hanya disebabkan oleh latar belakang pendidikan orang
tua, juga lemahnya ekonomi keluarga tetapi juga datang dari dirinya sendiri
yaitu kurangnya minat anak untuk bersekolah atau melanjutkan sekolah. Anak usia
wajib belajar semestinya menggebu-gebu ingin menuntut ilmu pengetahuan namun
karena sudah terpengaruh oleh lingkungan yang kurang baik terhadap perkembangan
pendidikan anak, sehingga minat anak untuk bersekolah kurang mendapat perhatian
sebagaimana mestinya, adapun yang menyebabkan anak kurang berminat untuk
bersekolah adalah: anak kurang mendapat perhatian dari orang tua terutama
tentang pendidikannya, juga karena kurangnya orang-orang terpelajar sehingga
yang mempengaruhi anak kebanyakan adalah orang yang tidak sekolah sehingga
minat anak untuk sekolah sangat kurang. Lingkungan permainan anak yang salah
dapat menimbulkan kemalasan untuk
bersekolah.
6. Kondisi lingkungan tempat
tinggal anak
Lingkungan
tempat tinggal anak adalah salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya
kegiatan dan proses belajar/pendidikan. Oleh sebab itu seyogyanya lingkungan
tempat tinggal anak atau lingkungan masyarakat ini dapat berperan dan ikut
serta di dalam membina kepribadian anak-anak kearah yang lebih positif.Jelasnya
suasana lingkungan tempat tinggal atau lingkungan masyarakat, kawan
sepergaulan, juga ikut serta memotivasi terlaksana kegiatan belajar bagi anak.
2.3.2
Dampak Anak
Putus Sekolah
Masalah keterputusan
sekolah bila tidak diatasi dengan baik akan sangat merugikan lingkungan karena
Anak-anak yang putus sekolah dapat
mengganggu keamanan. Karena tidak ada kegiatan yang menentu, sehingga
kadang-kadang dapat menimbulkan kelompok-kelompok pemuda liar. Anak-anak yang
putus sekolah tersebut berkembang menjadi anak nakal dengan kegiatannya yang
bersifat negatif, seperti mencuri, memakai narkoba, mabuk-mabukan, serta seks
bebas. Akibat lainnya adalah tingginya tingkat kriminalitas seperti pencurian,
pemalakan, perampokan, penipuan , merebaknya geng motor dan sebagainya.
Selain itu fenomena
kawin muda juga akan terjadi pada orang-orang yang putus sekolah. Salah satu
fungsi sekolah adalah memperlambat kedewasaan, maka apabila seseorang tidak
sekolah, kedewasaan itupun akan cepat datang karena pada akhirnya mereka akan
lebih memilih untuk menikah diusia dini.
Dampak lain akan
terlihat dari segi ekonomi. orang-orang yang putus sekolah atau berpendidikan
rendah, akan berpenghasilan rendah pula yang berakibat pada rendahnya
pendapatan perkapita negara. Selain itu merebak buruh kasar dikalangan
masyarakat, orang-orang berbondong-bondong jadi TKI, serta perumahan kumuh
adalah dampak lain dari putus pendidikan yang dapat kita temui di negeri yang
konon “bukan lautan tapi kolam susu” ini. Dengan pendidikan yang rendah pula,
banyak diantara mereka yang tidak mendapatkan pekerjaan alias kaum pengangguran
dan mereka merupakan tenaga kerja yang tidak terlatih. Sedangkan masalah
pengangguran ini di negara kita merupakan masalah yang sudah sedemikian
hebatnya, hingga merupakan suatu hal yang harus ditangani lebih serius. Produktifitas anak putus sekolah dalam
pembangunan tidak seluruhnya dapat mereka kembangkan, padahal semua
anakindonesia memiliki potensi untuk maju.
BAB III
STUDI KASUS
3.1 Kasus
Dalam
rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) Pendidikan memiliki
peranan yang sangat penting, di mana pendidikan merupakan proses pendewasaan
diri seseorang untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, kepribadian,
kecerdasan,
pengendalian diri, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya dalam bermasyarakat.
Salah satu program pemerintah dalam meningkatkan kualitas SDM melalui
pendidikan yaitu dengan pelaksanaan program wajib belajar sembilan tahun di
mana pada program tersebut mentargetkan 95% anak usia sekolah harus menempuh
pendidikan sampai jenjang SMP, akan tetapi pada kenyataan di lapangan khususnya
pada daerah penelitian terdapat fakta lebih dari 60% anak usia sekolah
mengalami putus sekolah pada jenjang Sekolah Dasar.
Kebutuhan
akan pendidikan telah berjalan dari masa ke masa. Tiap-tiap orang membutuhkan
pendidikan, baik pendidikan formal, informal, maupun nonformal. Pendidikan
formal adalah pendidikan yang berlangsung disekolah. Pendidikan informal adalah
pendidikan yang berlangsung dalam lingkungan keluarga. Pendidikan informal di
berikan dalam rumah tangga. Sedangkan pendidikan nonformal sendiri yaitu pendidikan yang terjadi
diluar sekolah dan rumah tangga, seperti kursus. Melalui pendidikan formal
dapat ditanamkan segi-segi pengembangan intelektual, perasaan, keagamaan, dan
keterampilan melalui berbagai bidang studi.
Hubungan
pertumbuhan penduduk dengan kebutuhan akan pendidikan sendiri sangat erat
sekali. Pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali mengakibatkan kesulitan
dalam masalah pendidikan. Betapapun banyaknya sekolah yang telah dibangun,
namun daya tampung sekolah untuk penduduk usia sekolah belum tentu bisa
terpenuhi. Mengapa ha itu bisa terjadi? Ini disebabkan oleh beberapa hal: (1)
tidak seimbangnya laju pertumbuhan penduduk dengan fasilitas atau sarana
pendidikan; (2) bergantung modal atau keuangan yang ada untuk mengadakan atau
memenuhi kebutuhan.
Pada
penelitian saat ini, penulis pada dasarnya berusaha
mengamati dan mendeskripsikan realitas anak putus sekolah berdasarkan kenyataan
riilnya. Oleh karenanya penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Fokus
penelitian ini adalah Profil anak putus sekolah di Pasar Jum’at Dramaga, Bogor yang ditinjau dari: latar belakang
keluarga anak jalanan, motif anak untuk pergi ke jalan, aktifitas keseharian
anak jalanan, interaksi sosial anak jalanan dengan lingkungannya. Selanjutnya
dari hasil penelitian disusun beberapa
solusi sebagai upaya untuk mengurangi jumlah anak putus sekolah
.
o
Latar
Belakang Keluarga
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa latar belakang keluarga berkaitan erat dengan
perginya anak ke jalan. Adapun faktor dominan penyebab anak pergi ke jalan
adalah kemiskinan dan disharmoni keluarga. Kedua faktor tersebut, adakalanya
berkaitan satu dengan yang lain, yakni, faktor disharmoni muncul sebagai akibat
dari faktor kemiskinan keluarga atau sebaliknya.
Umumnya
anak putus sekolah
di Pasar Jum’at Dramaga Bogor
berasal dari keluarga miskin. Orang tua mereka bekerja sebagai pekerja kasar,
seperti buruh pabrik, buruh pelabuhan, dan montir, dengan penghasilan rata-rata
di bawah Rp 400.000,00 per bulan dan beban tanggungan antara empat sampai enam
orang. Terutama untuk daerah Bogor, kondisi perekonomian tersebut sangat sulit
untuk memenuhi kebutuhan standar keluarga. Padahal keadaan ekonomi keluarga
memiliki peran yang penting terhadap perkembangan anak.
o
Motif Pergi Ke Jalan
Rata-rata anak jalanan di lokasi penelitian mengaku pergi ke jalan merupakan keinginan diri sendiri. Namun demikian motif tersebut bukanlah semata-mata motif biologis yang muncul dari dalam diri mereka melainkan juga di dorong oleh faktor lingkungan. Dengan kata lain motif anak jalanan pergi ke jalan tidak berkembang sendiri tetapi merupakan motif yang timbul sebagai hasil interaksi dengan lingkungan tempat anak tinggal.
Dari
hasil penelitian, peneliti mengelompokkan motif anak jalanan pergi ke jalan
sebagai berikut:
a.
motif semata-mata menopang kehidupan
ekonomi keluarga
b.
motif untuk mencari kompensasi dari
kurangnya perhatian keluarga
c. motif
sekedar mencari tambahan uang saku
Motif tipe pertama, anak jalanan pergi ke jalan karena kondisi ekonomi
keluarga yang tidak stabil dan terancam kelangsungannya sedangkan mereka
diposisikan sebagai tulang punggung keluarga. Umumnya ini terjadi pada anak
jalanan dengan keluarga yang mengalami disharmoni dan tidak memiliki
sumber-sumber ekonomi yang dapat mendukung, sehingga mereka harus ke jalan
untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Anak jalanan dengan motif seperti ini
umumnya membelanjakan penghasilannya hanya untuk memenuhi kebutuhan primer
keluarga.
Motif tipe kedua, anak pergi ke jalan sebagai kompensasi dari tidak
terpenuhinya kesejahteraa anak di rumah. Dalam penelitian ini anak jalanan yang
ditemukan dengan motif tipe kedua ini berasal dari keluarga dengan tingkat
ekonomi yang cukup baik. Akan tetapi karena terjadi disharmoni di da-lam
keluarga dan terabaikannya fungsi yang seharusnya diperankan orang tua
(perhatian, kasih sayang dan bimbingan) mereka kurang mendapat kesejahteraanya,
terutama dari aspek emosional, secara baik. Kasus ini sekali lagi menegaskan
bahwa kualitas rumah tangga memiliki peranan besar dalam mem-berikan dan
memenuhi kesejahteraan anak. Terpenuhinya aspek ekonomi saja bukan jaminan anak
sejahtera. Pada keluarga yang pecah atau tidak utuh, baik yang disebabkan oleh
perceraian atau meninggalnya salah satu atau kedua orang tua akan memberikan
akibat bagi anak berupa:
1.
kurang mendapatkan perhatian,
kasih sayang dan tuntunan pendidikan orang tua
2.
kebutuhan dan harapan tidak
terpenuhi
3.
tidak mendapat latihan fisik dan
mental
Sebagai akibat ketiga bentuk pengabaian tersebut anak dapat menjadi
bingung, risau, sedih, atau malu. Bahkan kadang diliputi rasa dendam dan benci
sehingga kemudian mereka menjadi liar dan mencari kompensasi diluar lingkungan
keluarga. Mereka mulai sering menghilang dari rumah dan lebih suka
menggelandang mencari kesenangan hidup imaginer di tempat-tempat lain.
Motif tipe yang ketiga, yaitu sekedar mencari tambahan unag saku. Pada kondisi ini, secara relatif kebutuhan primer anak telah terpenuhi. Namun demikian mereka memiliki inisiatif sendiri untuk mencari tambahan uang saku di jalan. Umumnya mereka berasal dari keluarga dengan status ekonomi menengah ke bawah. Mayoritas anak jalanan dengan motif seperti ini memilih pekerjaan sebagai pedagang koran dan pedagang kantong plastik.
Motif tipe yang ketiga, yaitu sekedar mencari tambahan unag saku. Pada kondisi ini, secara relatif kebutuhan primer anak telah terpenuhi. Namun demikian mereka memiliki inisiatif sendiri untuk mencari tambahan uang saku di jalan. Umumnya mereka berasal dari keluarga dengan status ekonomi menengah ke bawah. Mayoritas anak jalanan dengan motif seperti ini memilih pekerjaan sebagai pedagang koran dan pedagang kantong plastik.
o
Aktivitas Keseharian Anak Jalanan
Aktivitas mereka
bekerja tanpa ada batasan waktu yang tetap, tetapi waktu yang mereka habiskan
untuk bekerja rata-rata antara lima sampai dua belas jam per hari Anak jalanan
yang bekerja sebagai pedagang, memiliki waktu memulai bekerja relatif teratur
dan menyelesaikan pekerjaannya ketika barang dagangan yang dibawa habis.
Sedangkan anak jalanan yang bekerja sebagai pengamen tidak memiliki keteraturan
waktu bekerja. Mereka memulai dan mengakhiri pekerjaannya bergantung kepada
keinginan dirinya saat itu. Namun demikian ada kesamaan pada setiap anak
jalanan dalam bekerja, yaitu mereka dapat bekerja dan bermain dalam
aktivitasnya. Hal ini sulit ditemukan pada pekerja anak di sektor formal yang
terikat pada ketentuan-ketentuan perusahaan tempat mereka bekerja.
Rata-rata anak jalanan di lokasi penelitian mengaku mempunyai keluarga dengan tempat tinggal tetap di sekitar wilayah Bogor. Meskipun demikian tidak semua dari mereka yang tinggal menetap bersama keluarganya. Sebagian dari mereka setiap harinya pulang ke rumah, sebagian lagi dalam seminggu hanya dua sampai tiga hari pulang ke rumah, bahkan ada diantara mereka dalam satu bulan seringkali hanya pulang satu atau dua kali saja, itupun untuk keperluan me-ngantarkan uang yang dikumpulkan selama satu bulan untuk keluarganya. Namun, ada pula yang pulang kerumah hanya pada saat ia memiliki uang berlebih (banyak), tetapi jika ia tidak mendapatkan uang yang cukup maka ia memilih tidak pulang karena takut dimarahi oleh orang tuanya.
Rata-rata anak jalanan di lokasi penelitian mengaku mempunyai keluarga dengan tempat tinggal tetap di sekitar wilayah Bogor. Meskipun demikian tidak semua dari mereka yang tinggal menetap bersama keluarganya. Sebagian dari mereka setiap harinya pulang ke rumah, sebagian lagi dalam seminggu hanya dua sampai tiga hari pulang ke rumah, bahkan ada diantara mereka dalam satu bulan seringkali hanya pulang satu atau dua kali saja, itupun untuk keperluan me-ngantarkan uang yang dikumpulkan selama satu bulan untuk keluarganya. Namun, ada pula yang pulang kerumah hanya pada saat ia memiliki uang berlebih (banyak), tetapi jika ia tidak mendapatkan uang yang cukup maka ia memilih tidak pulang karena takut dimarahi oleh orang tuanya.
Umumnya pola hidup anak jalanan cenderung
monoton. Aktivitas sehari-hari dijalani sebagai rutinitas tanpa orientasi masa
depan yang baik. Aktivitas hari ini berulang pada esok hari tanpa ada sebuah
perubahan terutama yang berkaitan dengan pengembangan diri mereka.
o
Interaksi Sosial Anak Jalanan
dengan Lingkungannya
Anak jalanan banyak
berinteraksi dengan orang-orang yang lebih dewasa, seperti sopir, kernet, dan
pedagang kaki lima. Kekerasan hidup, kebutuhan akan uang, dan bagaimana
memenuhi kebutuhan konsumtif adalah hal-hal yang memenuhi orientasi hidup
mereka. Sehingga secara umum perkembangan orientasi pemikiran mereka mengalami
akselerasi dibandingkan dengan anak seusianya. Mereka cenderung teraleniasi
dari dunia anak-anak. Dalam interaksi sosialnya dengan lingkungan, penulis
melihat anak jalanan yang masih mendapat cukup perhatian dari orang tuanya,
menampakkan adanya filtrasi dalam menyerap nilai dan norma lingkungan mereka di
jalan. Hal ini nampak dalam tingkat ketahanan diri anak terhadap kecenderungan
perilaku menyimpang seperti tindakan asusila maupun tindakan kejahatan lainnya.
Dari pengakuannya, sebagian dari mereka tetap melaksanakan kewajiban agama dan
menghindari ajakan teman dari perbuatan asusila. Penulis melihat kuatnya
pertahanan diri ini lebih dikarenakan masih adanya bimbingan orang tua dalam
kehidupan mereka. Sedangkan untuk anak jalanan yang kurang atau tanpa perhatian
orang tua, mereka rentan terhadap pengaruh lingkungannya. Kurangnya perhatian
orang tua terutama dalam bentuk bimbingan untuk bersikap dan berperilaku serta
disiplin dan kontrol diri yang baik, membuat pertahanan diri mereka rapuh.
Mereka mengadopsi perilaku lingkungan di pasar tanpa filtrasi. Perilaku
sekelilingnya seringkali diadopsi sebagai acuan dalam bersikap dan berperilaku,
yang seringkali perilaku acuan yang mereka dapati adalah perilaku yang kurang
dan bahkan bertentangan dengan norma sosial yang ada. Salah satu kasus
kesalahan mengadopsi perilaku lingkungan adalah kebiasaan mengkonsumsi minuman
keras dan obat terlarang. Dalam kajian patologi sosial penyimpangan tersebut
dinyatakan sebagai produk dari perilaku defektif anggota keluarga, lingkungan
tetangga dekat dan ditambah agresivitas yang tak terkendali dalam diri anak itu
sendiri.
3.2 Solusi
Persoalan putus sekolah
merupakan tantangan bagi pekerja sosial. Data dari susenas menyebutkan ratusan
ribu pelajar terancam putus sekolah, mereka berasal dari keluarga miskin. Anak
usia sekolah dari keluarga miskin inilah yang potensial keluar dari bangku
sekolah sebelum mengantongi ijazah.
Secara umum cara
pelayanan anak-anak yang dikategorikan bermasalah seperti anak putus sekolah,
anak terlantar, anak jalanan, dan anak dalam situasi khusus, dapat dilakukan
melalui 2 sistem pelayanan sosial, yakni sistem panti dan sistem luar panti.
·
Sistem pelayanan dalam panti
Cara pelayanan sosial dilakukan
melalui instutisi pemerintah maupun swasta dengan memberi pelayanan guna
memenuhi seluruh kebutuhan dasar baik fisik maupun psikisnya meliputi pelayanan
makanan, pakaian, tempat tinggal, pendidikan, rekreasi, kesehatan dan
sebagianya. Pelayanan ini diarahkan pada terjadinya proses pembelajran
sebagaimana layaknya pendidikan dalam keluarga yang utuh karena panti merupakan
institusi yang berperan sebagai keluarga pengganti.
·
Sistem pelayanan diluar panti
Pelayanan ini menitik beratkan pada
cara pelayanan sosial yang berbasiskan masyarakat bagi anak diluar panti yang
bersifat mengganti, memperkuat, dan melengkapi pelayanan sistem panti.
Khususnya bagi anak-anak jalanan yang bentuk pelayanannya seperti rumah singgah
dan mobil sahabat anak.
·
Resosialisasi anak-anak jalanan
Menurut Horton (1984) Resosialisasi
berarti proses mempelajari sesuatu yang diperlukan dalam tahap transisi
perubahan suatu peran utama. Pendapat yang sama dari Nasution dan Faisal yang
melihat resosialisasi sebagi upaya mengembalikan sukap dan perilaku individu
kepada dunia sosial bisa secara terpaksa maupun sukarela.
Anak jalanan ini diidentikan dengan
anak yang hidup bebas, liar, dan tidak mau diatur. Dimana
anak jalanan ini sangat rentan dengan pengaruh-pengaruh negatif yang
tercipta dari lingkungan jalanan. Sehingga banyak diantara mereka yang
berperilaku menyimpang seperti mabuk-mabukan, mencuri, berkelahi, menggunakan
obat-obatan terlarang, minuman keras, dan seks bebas. Untuk mengatasinya maka
diperlukan resosialisasi kepada mereka.Resosialisasi menekankan pada perubahan
sikap dan perilaku anak, melalui ini maka anak akan diberikan pengetahuan,
penyadaran, dan kekuatan untuk kemampuan sendiri dalam dalam menghadapi hidup
sehari-hari dan mengatasi masalah. Dalam resosialisasi ini anak jalanan
diberikan prinsip perkawanan dan kesejajaran. Metode yang digunakan dalam
Resosialisasi anak jalanan ini antaralain:
§ Bimbingan
sosial perseorangan baik bimbingan kasus maupun umum.
§ Bimbingan
sosial kelompok, yaitu bimbingan dalam pemberianmateri atau informasi pada anak
yang memiliki masalah yang sama.
§ Home
visit, yaitu mengunjungi dan membimbing anak dalam keluarganya dan melibatkan
orang tua atau anggota keluarga lainnnya. Dalam
bimbingan ini menggunakan teknik diskusi, pemberian nasehat, sosio drama,
permainan peran, kuis, pemberian hadiah dan hukuman, menulis, bercerita,
pemberian motivasi, bertukat informasi, dsb.
·
Pendidikan Non Formal
Sistem pendidikan formal untuk anak jalanan akan sangat sulit diterima
karena mereka menjadi anak jalanan salah satu tujuannya adalah harus bekerja
guna membantu perekonomian keluarga. Dalam hal ini negara melalui Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa guna
memenuhi hak-hak warga negara akan suatu pendidikan khususnya Anak Jalanan,
dapat dilaksanakan melalui sistem pendidikan Non-Formal.
Pendidikan Nonformal diselenggarakan bagi warga
masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti,
penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung
pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan
potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan
keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional.
Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia
dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan
keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan,
serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta
didik.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Penyebab
timbulnya fenomena anak jalanan di kota-kota jika dilihat dari faktor makro
dikarenakan strategi pembangunan yang lebih mengarah pada industrialisasi dan
pertumbuhan ekonomi yang berpusat disekitar kota. Hal ini menimbulkan berbagai
ketimpangan ekonomi baik antar daerah maupun antar pelaku ekonomi.
(Saripudin:154, 2010). Pertumbuhan ekonomi dikota dan desa sangat mencolok
pebedaannnya, dimana pada masyarakat kota terlihat lebih maju, modern dan terlihat lebih menguntungkan dalam hal
ekonomi. Karena hal ini banyak masyarakat dari desa yang berdatangan dalam
skala besar ke kota-kota besar, dalam rangka mengadu nasib karena kota dianggap
lebih menguntungkan dan menjanjikan bagi masa depan mereka secara individu
maupun keluarga.
Untuk
memperoleh pekerjaan yang baik dikota, pendidikan merupakan faktor utama yang
diperhitungkan. Akan tetapi orang-orang yang datang dari desa ini kebanyakan
merupakan orang yang tidak memiliki pendidikan yang cukup dan memadai, mimpi
yang diangankan pun menjadi hal yang sangat sulit untuk tercapai bagi mereka.
Akibatnya, mereka tinggal di perkampungan yang kumuh di lingkungan masyarakat
miskin. Sebagian dari mereka enggan kembali ke kampung karena rasa malu yang
kuat, takut orang di kampungnya mengejeknya. Sehingga mereka tetap tinggal di
kota dalam perkampungan kumuh sampai mereka berkeluarga yang kemudian hal ini
berperan besar dalam tumbuhnya anak jalanan.
Daftar Pustaka
Anwar & Wongkaren. 1967. Masalah Anak dan Implikasi Ekonomi dalam
Prisma No. 2. Jakarta: LP3ES.
Bustam, Ali. 1982. Penelantaran dan Perlakukan Salah Terhadap Anak, Dalam Kumpulan
Dalam Kumpulan Makalah Seminar Nasional, Yogyakarta Fakultas Psikologi
Universitas Gadjah Mada dan BP3K Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Saripudin Didin. 2005. Mobilitas dan Perubahan Sosial. Bandung
: Masagi Foundation.
Saripudin, Didin. 2010. Intrepretasi Sosiologi dalam Pendidikan.
Bandung : Karya Putra Darwati.
_________.
(2010). Dinamika Anak Jalanan. [Online].
Tersedia : http://sosbud.kompasiana.com/2010/04/19/dinamika anak
jalanan/. [1 Mei 2012].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar