I.
Jelaskan
pertanyaan di bawah ini
a.
Jelaskan
bagaimana latar belakang terbentuknya ICMI ?
Jawaban :
Awal
terbentuk organisasi ICMI ini di mulai dari diskusi kecil dari orang yang berpendidikan
intelektual tinggi. Menjelang
akhir dekade 1980-an dan awal dekade 1990-an, dunia ditandai dengan berakhirnya
perang dingin dan konflik ideologi. Pada tahun 90an,
perkembangan dan pertumbuhan gerakan dakwah ini terbantu dengan berdirinya ICMI.
Dari sebuah diskusi para muslim, pada tanggal 1 Oktober 1990. Mahasiswa Unibraw
yang terdiri dari Erik Salman, Ali Mudakir, M. Zaenuri, Awang Surya dan M.
Iqbal berkeliling menemui para pembicara, di antaranya Immaduddin Abdurrahim
dan M. Dawam Rahardjo. Dari hasil pertemuan tersebut pemikiran mereka terus
berkembang sampai muncul ide untuk membentuk wadah cendekiawan muslim yang
berlingkup nasional. Kemudian para mahasiswa tersebut dengan diantar Imaduddin
Abdurrahim, M. Dawam Rahardjo dan Syafi’i Anwar menghadap Menristek Prof. B.J.
Habibie dan meminta beliau untuk memimpin wadah cendekiawan muslim dalam
lingkup nasional. Pada waktu itu B.J. Habibie menjawab, sebagai pribadi beliau
bersedia tapi sebagai menteri harus meminta izin dari Presiden Soeharto. Beliau
juga meminta agar pencalonannya dinyatakan secara resmi melalui surat dan
diperkuat dengan dukungan secara tertulis dari kalangan cendekiawan muslim.
Sebanyak 49 orang cendekiawan muslim menyetujui pencalonan B.J. Habibie untuk
memimpin wadah cendekiawan muslim tersebut.
Pada
tanggal 27 September 1990, dalam sebuah pertemuan di rumahnya B.J Habibie
memberitahukan
bahwa usulan sebagai pimpinan wadah cendekiawan muslim itu disetujui oleh
Presiden Soeharto. Beliau juga mengusulkan agar wadah cendekiawan muslim itu
diberi nama Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia atau di singkat dengan ICMI.
Tanggal 28 September 1990, sejumlah cendekiawan muslim bertemu lagi dalam
rangka persiapan simposium yang akan diselenggarakan bulan Desember. Pada
tanggal 25-26 November 1990, sekitar 22 orang cendekiawan yang akan membentuk
wadah baru berkumpul di Tawangmangu, Solo dalam rangka merumuskan beberapa
usulan untuk GBHN 1993 dan pembangunan Jangka Panjang Tahap kedua 1993-2018
serta rancangan Program Kerja dan Struktur Organisasi ICMI.
Pelaksanaan simposium sempat
terganggu oleh gugatan tentang rencana B.J. Habibie sebagai calon Ketua Umum
ICMI karena beliau sebagai birokrat. Kepemimpinannya dikhawatirkan akan
berdampak negatif terhadap kebebasan para cendekiawan muslim. Dari pertemuan
tersebut menghasilkan beberapa komitmen, pertama,
berdirinya ICMI merupakan ungkapan syukur umat Islam yang mempu melahirkan
sarjana dan cendekiawan. Kedua, untuk
memimpin ICMI diperlukan tokoh cendekiawan muslim yang reputasi nasional dan
internasinal serta dapat diterima oleh umat Islam, masyarakat Indonesia maupun
pemerintah. Ketiga, hanya Unibraw
(Universitas Brawijaya), salah satu wahana keilmuan yang cukup pantas
melahirkan organisasi itu, apalagi pemerkasanya adalah mahasiswa univeritas
tersebut. Halangan juga sempat datang dari aparat keamanan setempat. Dalam
rapat gabungan antara penyelenggara, pemda dan aparat keamanan di Surabaya,
empat hari menjelang acara, aparat keamanan menyoal pembentukan organisasi
tersebut. ICMI, kata mereka harus diwaspadai. Tapi Abdul Aziz Hosein yang
menghadiri acara tersebut sebagai panitia penyelenggara mengatakan bagaimanapun
ICMI akan terbentuk karena presiden sudah menyetujui dan AD atau ART-nya sudah
disusun.
Tanggal 7 Desember 1990 merupakan
lembaran baru dalam sejarah umat Islam Indonesia di era Orde Baru, secara resmi
Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) dibentuk di Malang. Saat itu juga
secara aklamasi disetujui kepemimpinan tunggal dan terpilih Bahharuddin Jusup
Habibie sebagai Ketua Umum ICMI yang pertama. Dalam sambutannya beliau
mengatakan bahwa dengan berdirinya ICMI tidak berarti kita hanya memperhatikan
umat Islam, tetapi mempunyai komitmen memperbaiki nasib seluruh bangsa
Indonesia, karena itu juga merupakan tugas utama. Organisasi
para cendekiawan muslim yang berdiri pada tahun 1990 di Malang, Jawa Timur itu
merupakan salah satu faktor penting perubahan pada tingkat negara yang membawa
pengaruh pada perkembangan politik pada tingkat nasional, khususnya yang
berkaitan dengan umat Islam. Kelahiran organisasi ini merupakan titik yang
mempengaruhi pola hubungan antar umat islam di satu sisi dan negara Orde Baru
di sisi lain. Kelahiran ICMI ini
disambut sebagai hal yang menggembirakan bagi banyak kalangan, khususnya kelas
menengah umat Islam. Sebab dengan berdirinya ICMI akan berdampak positif bagi
perkembangan umat islam.
Peran
seorang Habibie memang sangat dominan dalam menaikkan peran politik kalangan
islam ini. Sebagai seorang kepercayaan Soeharto penguasa yang sesungguhnya
pernah menaruh kecurigaan berlebihan kepada politik kalangan islam itu, Habibie
bisa dengan leluasa menjalankan program-program ICMI dan memanfaatkan sumber
daya birokrasi yang berada dalam wilayah kontrolnya, untuk men-support program dari organisasi
tersebut.
b.
Bagimana
peranan ICMI dalam transformasi islam di Indonesia ?
Jawaban :
Peranan
ICMI sebagai organisasi yang berbau Islam mempunyai peranan yang sangat penting
terhadap umat islam yang mengikuti dalam organisasi tersebut. Awalnya
organisasi ini yang berbau Islam pada waktu orde baru dilarang oleh
pemerintahan Soeharto tetapi karena kedekatan Habibie dengan Soeharto pada
akhirnya di setujui dengan mendirikan organisasi tersebut. ICMI membawa peranan yang sangat besar, sejak
kelahiran organisasi ini yaitu organisasi ini membangun program yang sangat
menguntungkan bagi mereka maupun masyarakat yang didasarkan pada landasan hukum
islam. Organisasi ini juga terjun dalam bidang Sosial, Ekonomi, dan Politik,
dalam bidang ekonomi organisasi ini membangun sebuah Bank yang berdasarkan
hukum islam yaitu Bank Muamalat Syariah.
Pandangan
menurut William dan Liddle mengatakan bahwa Indonesianis terkemuka ini melihat
kebangkitan politik Islam (yang dipresentasikan oleh ICMI) tidak sebagai hasil dari
desakan sosiologis masyarakat, tetapi sebagai fenomena pergesekan dan
pergeseran (sirkulasi) dielit politik belaka. Hubungan dekat Islam dan negara
di era 1990 an ini sekedar menunjukkan peralihan basis politik Soeharto setelah
mendinginnya hubungan antara presiden dan petinggi Angkatan Darat. Liddle juga
tidak percaya pada proses Islamisasi di tengah-tengah masyarakat secara luas
ataupun aparat birokrasi.
Menurut
Robert William Hefner melalui pendekatan sosiologis, kebangkitan politik islam
pada era 90 an berasal dari akar sosiologis yang lebih jauh dan dalam yaitu
dari dinamika yang terjadi secara internal dalam masyarakat dan kelas menengah
umat islam. Kebangkitan politik islam ini bukanlah sebagai hasil pergeseran
politik dalam elit negara, melainkan produk dari proses sosio-ekonomi-politik
masyarakat islam Indonesia yang cukup panjang.
Kebangkitan agama
itu secara mencolok juga ditandai dengan tampilnya Islam sebagai "ideologi
peradaban" dunia dan kekuatan alternatif bagi perkembangan peradaban
dunia. Tetapi bagi umat Islam sendiri, kebangkitan yang muncul justru
memberikan motivasi untuk mencari alternatif bagi munculnya transformasi
nilai-nilai kultural yang membebaskan manusia dari kegelisahan batin dan
ketidakpastian tujuan hidup, sebagai akibat perkembangan peradaban yang terlalu
berorientasi pada materialisme.
Dalam situasi
seperti ini, Islam ternyata menjadi pilihan yang lebih menjanjikan di banding
dengan ideologi atau peradaban mana pun. Bertahap tapi pasti, semangat
keislaman meningkat dan menyatu dalam identitas keindonesiaan bangsa Indonesia
yang tengah melaksanakan pembangunan. Ini membawa konsekuensi bagi meningkatnya
peran serta umat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Meningkatnya peran
serta umat Islam itu ditunjang dengan adanya ledakan kaum terdidik
(intellectual booming) di kalangan kelas menengah kaum santri Indonesia.
Program dan kebijaksanaan pendidikan Orde Baru secara langsung maupun tidak
langsung telah melahirkan generasi baru kaum santri yang terpelajar, modern,
berwawasan kosmopolitan, berbudaya kelas menengah, serta mendapat tempat dalam
institusi-institusi modern. Panen besar kaum terpelajar muslim itu semakin
bertambah ketika dunia pendidikan makin memberikan peluang kepada mereka untuk
bisa meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, baik di dalam maupun
di luar negeri. Berkat kecakapan dan kemampuan akademik yang tinggi, kelas
menengah "neo-santri" yang terpelajar itu dapat memasuki dan mengisi
lapisan birokrasi, dunia kampus, dunia usaha, dan lembaga-lembaga masyarakat
dengan profesionalisme yang teruji. Dengan kondisi yang membaik ini, maka pada
dasawarsa 80-an mitos bahwa umat Islam Indonesia merupakan "mayoritas
tetapi secara teknikal minoritas" runtuh dengan sendirinya. Ini semua
melahirkan kepemimpinan intelektual yang sangat kontributif terhadap
pembangunan bangsa. Melaui ICMI penduduk Indonesia dapat lebih berperan
dalam pembangunan nasional.
c.
Hambatan
apa yang dihadapi ICMI dalam pergerakannya ?
Jawaban :
Sebelum
lahirnya ICMI juga sudah terjadi pro dan kontra dalam mendirikan organisasi
ini, namun hal itu kembali lagi terhadap kepentingan setiap anggota ICMI karena
setiap orang pasti mempunyai kepentingan masing-masing walaupun terdapat dalam
sebuah ikatan yang bernama ICMI. Hambatan yang terjadi selama masa pergerakan
adanya tarik menarik antara kepentingan intelektual murni dengan kepentingan
politik.
d.
Bagaimana
dampak berdirinya ICMI bagi ORBA dan masyarakat RI ?
Jawaban :
Dampak berdirinya ICMI
bagi ORBA
Program dan kebijakan Orde Baru secara langsung maupun tidak
langsung telah melahirkan generasi baru kaum santri yang terpelajar, modern,
berwawasan kosmopolitan, berbudaya kelas menengah, serta mendapat tempat pada
institusi-institusi modern. Dalam sambutannya Bahharuddin Jusup Habibie sebagai
Ketua Umum ICMI yang pertama. mengatakan bahwa dengan berdirinya ICMI tidak
berarti kita hanya memperhatikan umat Islam, tetapi mempunyai komitmen
memperbaiki nasib seluruh bangsa Indonesia, karena itu juga merupakan tugas
utama.
Dampak berdirinya ICMI
bagi masyarakat RI
Keberadaan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia masih di
butuhkan masyarakat terutama dalam pengembangan sumber daya manusia dan
membangun peradaban masyarakat madani.
Menerapkan hukum sesuai dengan ke islaman dan memajukan Negara untuk lebih baik.
II.
Jelaskan
pertanyaan di bawah ini
a.
Jelaskan
manfaat dari perkuliahan sejarah orde baru dan reformasi di Indonesia bagi anda
selaku mahasiswa jurdik sejarah ?
Jawaban :
Manfaat
dalam perkulihan, mata kuliah Sejarah Orde Baru dan Reformasi selama satu
semester ini dan semenjak semester satu kemarin adalah kelanjutan sejarah
Indonesia yang menjadi tonggak dari sebuah perubahan sejarah ORBA dan negara
Indonesia. Selain itu juga sejarah Orba menjadikan perubahan Indonesia yang
lebih baik lagi. Setelah terjadinya peristiwa gerakan mahasiswa yang dilakukan
oleh mahasiswa Trisakti itu merupakan pelajaran bagi manusia dan proses
mengalami perubahan dalam sistem pemerintahan yang terjadi.
Selain
itu juga manfaat yang didapat oleh saya dalam mata kuliah ini dapat mengetahui
sebuah peristiwa dari tahun ke tahun yang terjadi di Indonesia karena dalam
perkuliahan ini sejarah Indonesia, kita juga harus mencintai negaranya sendiri
dan harus mengetahui sejarah Indonesianya sendiri. Yang harus di koreksi
biasanya Pak Erick memberikan review setiap presentasi dan dikumpulkan pada
esok harinya tetapi pada mata kuliah ini tidak memberikan review. Kemudian
tugas UTS itu membuat review artikel dari Pak Andi sudah sangat baik karena
memberikan dorongan bagi kita untuk membaca sebuah artikel maupun berita yang
lebih banyak lagi dan juga bermanfaat bagi kita mengetahui informasi yang
saling tukar menukar terhadap Universitas yang lainnya dan juga mempelajari
bahasa negara asing maupun lokal.
b.
Jelaskan
bagaimana latar belakang serta proses integrasi TIM-TIM ke NKRI ?
Jawaban :
Perjuangan
sejarah untuk mendapatkan wilayah Timor Timur sangat panjang belum lagi masalah
yang terjadi di negara Portugis yang bersamaan dengan perebutan wilayah
kekuasaan Timor Timur tersebut. Waktu rakyat Timor Leste mengumumkan
kemerdekaan pada tahun 1999, mereka mengakhiri abad-abad kekuasan asing dan
kekerasan yang tersebar luas. Pemerintah Portugis menguasai daerah Timor
Portugis (bekas nama untuk Timor Leste) sejak awal abad ke-16. Politik
penjajahan Portugis kurang baik dan rakyat Portugis “dinina bobokkan” sementara
sumber-sumber alamnya dieksploitasi. Walaupun, transisi dari kekuasaan Portugis
tidak mengurangi kekerasan sehingga rakyat Timor Portugis terus menderita, di
bawah penguasaan Indonesia. Akhirnya,
pada tahun 1999, masyarakat Timor Timur (nama Timor Leste pada saat berada
dalam wilayah penguasaan Indonesia) diberikan kesempatan untuk memutuskan nasib
sendiri dan mengakhiri zaman penderitaan.
Masalah
merdeka atau integrasi untuk Timor Timur ditimbulkan karena peristiwa-peristiwa
di Portugal. Portugal
mengalami pergolakan politik sepanjang tahun 1974. Pada tanggal 25 April 1974 pemerintah Caetano
digulingkan revolusi militer- Revolusi
Anyelir- yang dipimpin Antonio de Spinola. Pemerintah Portugal
yang baru memulai memodernisasikan ekonominya dan menarik kembali secara
berangsur-angsur dari jajahan di Afrika dan Asia. Ketika penguasaan Timor Portugis dilepaskan
pemerintah Portugal, Timor Portugis diberikan kemerdekaannya.
Saat
itu banyak partai politik dibentuk termasuk UDT (Uni Demokratik Timor/ Uniao Democratica Timorense), Apodeti
(Perhimpunan Demokrasi Rakyat Timor/ Associacao
Popular Democratica da Timorense), Fretilin (Front untuk kemerdekaan Timor/
Frente Revolucionario da Timor), KOTA
dan Trabalhista. UDT-Fretilin membentuk
front anti-integrasi walaupun Apodeti, dan partai kecil yang lain, mendukung
integrasi dengan Indonesia. Sejak pemulaan, Apodeti disokong, secara keuangan
dan moril, pemerintah di Jakarta.
Sepanjang tahun 1974 Indonesia memelihara pendirian bahwa Indonesia
tidak berminat kepada penguasaan Timor Portugis. Betapapun, Indonesia terus menyokong tujuan
Apodeti dalam cara non-militer. Akan
tetapi Apodeti tidak disokong masyarakat Timor Portugis, sekalipun Jakarta
mengatakan sebagian besar penduduk Timor Portugis mendukung Apodeti dan
tujuannya integrasi dengan Indonesia.
Penggabungan UDT-Fretilin
didukung kebanyakan orang Timor Portugis tetapi penggabungannya berantakan
sebab perbedaan ideologi antara dua partai dan kecurigaan terhadap pihak atau partai
lain. Pada bulan Mei 1975 UDT menarik
diri dari penggabungan dan ia menjadi kurang anti-integrasi dan lebih
pro-integrasi. Dengan demikian Indonesia memperbesar kampanyenya mengasingkan
Fretilin dari masyarakat Timor Portugis, masyrakat Indonesia, dan yang paling
penting, negara-negara Barat.
Indonesia
melakukan ini karena mengatakan Fretilin adalah partai sosialis atau komunis
yang mengancam Indonesia dan kapitalismenya dan demokrasinya. Walaupun Portugal
tidak mendukung partai politik apa saja dalam secara aktif, kemerdekaan Timor-Portugis dilebihkan,
tetapi pemerintah Portugal juga tidak mau menghina pemerintah di Jakarta. Sebagai akibat Portugal
memainkan peranan yang batas di ketetapan masa depan jajahannya. Akhirnya Fretilin
menyatakan kemerdekaannya sebagai Republica
Democratica da Timor Leste pada tanggal 28 Nopember 1975. Ini
dijawab oleh gerakan pro-integrasi dengan pengumuman Pernyataan Balibo yang
merupakan pernyataan integrasi Timor Portugis di dalam Republik Indonesia, pada
tanggal 30 Nopember 1975. Dan
kemerdekaan Timor Portugis dialihkan.
Sesudah
Pernyataan Balibo dinyatakan, penggabungan
UDT-Apodeti-KOTA-Trabalhista angkatan-angkatan bersenjata Indonesia menyerbu
Timor Portugis supaya melindungi putusan integrasi dengan Indonesia. Pada
tanggal 7 Desember 1975, sebelum matahari terbit, Dili-ibu kota Timor Portugis-
dibombardir oleh pasukan yang diangkut dengan kapal, dan pasukan-pasukan payung
dari Kostrad. Penyerbuannya sekaligus
berhasil dan tidak berhasil.
Pasukan-pasukan
payung mendarat di tempat yang salah, bukan kota Dili, tetapi di atas pasukan
Fretilin yang sudah mundur dan kedua belah pihak menderita banyak korban. Pasukan-pasukan
Indonesia tidak bisa menyatukan rakyat Timor Portugis di bawah bendera Republik
Indonesia. Akhirnya,
pasukan Indonesia memperoleh kekuasaan yang terbatas. Akan tetapi ada lebih
banyak korban, kerusakan fasilitas umum, dan perlawanan dari pemimpin-pemimipin
Indonesia. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, pemerintah sementara dibentuk
oleh penguasa-penguasa Indonesia pada tanggal 17 Desember 1975. Kemudian Majelis
Rakyat, yang beranggotakan 37 orang yang dipilih karena mereka mendukung
integrasi, memilih integrasi ke dalam Republik Indonesia. Selanjutnya, pada
tanggal 17 Juli 1976 Daerah Tingkat I
Timor Timur dibentuk, menyusul dikeluarkannya Undang-undang No. 7 1976 tentang
penyatuan Timor Timur dengan Republik Indonesia. Timor Timur menjadi propinsi
ke-27 secara resmi dan menjadi bagian dari negara kesatuan Republik Indonesia
yang berdaulat.
Pencaplokan
Timor-Portugis yang sebagian besar
penduduknya beragama Katolik mengisyaratkan permulaan kampanye integrasi yang
kejam. Banyak organisasi dunia, misalnya Amnesty
International, memperkirakan bahwa sebanyak 100.000 orang Timor Portugis
terbunuh oleh pihak keamanan.
Kesimpulan
ini dipertegas oleh Laporan Dunn (yang ditulis diplomat Australia yang dulu,
James Dunn) yang mengatakan hampir 15 persen penduduk Timor Portugis dibunuh.
Setelah Timor Portugis dikuasai Indonesia, dengan proses integrasi tetapi tetap
akan menjatuhkan reputasi Indonesia di mata dunia.
Peristiwa-peristiwa
yang terjadi di Timor Portugis memang akan menjadi perhatian negara-negara lain. Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) menyesalkan penyerbuan Indonesia ke Timor Timur dan proses
integrasi tersebut, tidak diakui oleh PBB tetapi menganggap Timor Timur masih
sebagai jajahan Portugis. Majelis Umum PBB mengeluarkan resolusi-resolusi resmi
yang mengutuk tindakan baik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)
maupun pemerintah Indonesia, dan kekerasan yang terus terjadi. Portugal tidak memberi
realitas yang jelas, Portugal hanya berealitas sekitar bagaimana menjawab
penggabungan Timor Portugis dengan Indonesia.
Jawaban Portugis yang pertama adalah memutuskan hubungan diplomatik
dengan Indonesia. Akan tetapi, selama
tahun akhir tujuh puluhan dan permulaan delapan puluhan pemerintah Portugis
harus memutuskan apakah meneruskan pendirian kuat menentang penyerbuannya. Akan
tetapi sebelum akhir delapan puluhan pemerintah Portugis sudah menjelaskan
pendirian terhadap Timor Timur dan menaikkan tekanan terhadap PBB dan Indonesia
untuk membolehkan pemutusan nasib sendiri.
Meskipun
penghukuman PBB yang berulang-ulang integrasi Timor Portugis ke dalam Republik
Indonesia didukung secara mutlak oleh negara-negara yang terpenting AS dan Australia. Waktu
kemerdekaan dinyatakan Fretilin pada tanggal 28 Nopember 1975, Timor Leste
tidak diakui Indonesia, Portugal Australia atau AS. Kekurangan pengakuan
ini dimaksud oleh pemerintah Indonesia sebagai tanda bahwa negara-negara ini
mendukung integrasi Timor dengan Indonesia. Indonesia memaklumi sokongan AS dan
Australia karena negara-negara ini mampu mengancam Indonesia dengan penyerbuan
yang untuk melindungi kemerdekaan Timor Leste. Sebaliknya, Australia,
dan terutama AS, tidak mau menjadi terlibat dalam soal Timor Timur. Demikian juga Indonesia tidak mau membuat
marah Australia dan AS. Bahkan
rencana untuk integrasi diubahkan supaya penyerbuan tidak bertepatan dengan
kunjungan resmi Presiden AS Gerald Ford dan Menteri Luar Negeri Henry Kissinger
ke Jakarta. Ternyata
sementara kunjungan ini Kissinger menyetujui untuk penyerbuannya. Akan tetapi Kissinger
menanyakan penyerbuan diselesaikan dalam secara cepat dan efisien, dan tanpa
penggunaan bantuan dari Amerika.
Ada
bermacam-macam alasan untuk bantuan Amerika, dan Australia juga. Pertama soal kemerdekaan Timor Portugis yang
timbul sejak zaman Perang Dingin, dan ini mempunyai pengaruh yang kuat terhadap
reaksi-reaksi AS dan Australia. AS dan
Australia baru menarik kembali pasukan-pasukannya dari Vietnam. Perang Vietnam
sangat kejam dan pasukan-pasukan AS dan Australia menderita banyak korban. Akan tetapi AS tidak berhasil di Perang
Vietnam dan Vietnam dikuasai pemerintah komunis. Oleh karena itu, waktu pemerintah Indonesia
menggambarkan Fretilin sebagai partai politik yang komunis, AS menjadi sangat
khawatir karena kalau Fretilin menguasai Timor Portugis berada satu negara lagi
yang komunis dalam wilayah Asia.
Rezim
Suharto memiliki sejarah panjang anti-komunisme. Pada tahun 1965 kudeta terjadi
yang dipimpin perwira-perwira tentara. Menurut Suharto, perwira-perwira tentara
ini bersama Partai Komunis Indonesia (PKI), dan kudetanya dipadamkan Jenderal
Suharto. Waktu
Jend. Suharto menggantikan Sukarno sebagai Presiden Republik Indonesia Suharto
dan pemerintahnya melarang PKI dan menindas komunisme di seluruh Indonesia. Sebagai akibat
Pemerintah Suharto disokong Australia dan AS karena Indonesia menjadi bersekutu
yang kuat dengan mereka dalam wilayah Asia.
Pemerintah Suharto juga menyebabkan keamanan Indonesia untuk membantu
dengan sistem-sistem ekonomik dan keamanan Barat. Oleh karena itu AS, dan
Australia, memutuskan bahwa hubungan yang baik dan bersahabat dengan Indonesia
lebih penting daripada proses dekolonisasi yang adil atau dukungan untuk
menarik diri. Hak untuk memutuskan nasib sendiri untuk Timor Portugis diabaikan
karena negara-negara Barat memerlukan sekutu anti-komunisme yang kuat dalam
wilayah.
Dukungan
Australia untuk Timor Portugis integrasi dalam Republik Indonesia dilembutkan
kematian lima (5) wartawan Australia di Timor Portugis. Pada bulan Oktober 1975 wartawan-wartawan
Australia dibunuh dalam kekerasan antara Fretilin dan gabungan
UDT-Apodeti-Kota. Akhir Nopember 1975
Duta Besar Australia Richard Woolcott diberitahukan, dalam secara resmi, Kepala
Bakin Letnan Jenderal Yoga Sugama bahwa mayat-mayat lima (5) wartawan Australia
diketemukan di Balibo. Menurut surat resmi ditulis Presidium Apodeti D.
Guilhermo Maria Gonvalces lima belas (15) pendukung Fretilin terbunuh dalam
peperangan pada tanggal 22 Oktober, dan ada empat (4) mayat yang kulit
putih. Kemudian, partol Apodeti
menemukan dua (2) mayat di daerah pinggiran Balibo. Sebuah mayat kulit putih dan mempunyai
dokumen-dokumen dan kamera. Walaupun tidak ada bukti yang meyakinkan, dipercaya
mayat-mayat ini dimiliki lima (5) wartawan Australia. Reaksi masyarakat Australia terhadap kematian
ini melembutkan dukungan untuk Indonesia, karena kematian terjadi dalam keadaan
yang kurang jelas. Banyak orang Australia
mendukung tuntutan Fretilin untuk kemerdekaan, dan ada orang Australia di Timor
Portugis yang mencoba-coba untuk melembutkan tuntutan Indonesia untuk integrasi.
c.
Jelaskan
bagaimana sampai terjadinya TIM-TIM lepas dari NKRI?
Jawaban :
Berakhirnya
rezim pemerintahan otoritarian Orde Baru yang ditandai dengan pengunduran diri mantan
Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 sebagai akibat dari gerakan
reformasi yang dimotori oleh mahasiswa telah membuka cakrawala baru bagi
penyelesaian persoalan Timor Timur. Gerakan reformasi dilakukan sebagai bentuk
ungkapan kekecewaan yang dirasakan oleh rakyat Indonesia dan dilakukan pada
saat terjadi krisis multidimensi di Indonesia. Dengan momentum reformasi itu,
persoalan status Timor Timur yang menarik perhatian PBB dan masyarakat
internasional diharapkan memperoleh kejelasan. Penyelesaian masalah Timor Timur
ini dilanjutkan oleh B.J Habibie dengan mengeluarkan kebijakan berupa pemberian
status khusus dengan otonomi luas dalam sebuah rapat kabinet pada
tanggal 9 Juni 1998.
Konsep Otonomi Luas telah lama menjadi pembicaraan
banyak kalangan bagi penyelesaian persoalan Timor Timur. Setelah insiden Santa
Cruz, Uskup Carlos Filipe Ximenes Belo sudah berusaha menyerukan otonomi bagi
Timor Timur sebagai alternatif terbaik yang dapat dilakukan. Seruan tersebut
disampaikannya setelah surat usulan tentang referendum yang pernah
disampaikannya kepada Sekretaris Jendral PBB-Javier Perez de Cuellar mendapat
reaksi keras dari Pemerintah Republik Indonesia.
Dalam surat tersebut, Uskup
Belo mengungkapkan pengalamannya selama bertugas untuk memperjuangkan keadilan
dan kebebasan yang mengalami ancaman sehingga ia meminta bantuan
pengamanan dari
internasional. Hal itu dilakukannya dengan alasan di Timor Timur sudah tidak
ada tempat untuk melakukan pengaduan karena ABRI yang dianggap sebagai
pelindung telah melakukan hal sebaliknya berupa tindakan ancaman dan kekerasan. Akan tetapi semua usulan mengenai pemberian otonomi
luas di Timor Timur tidak mendapat perhatian serius dari pemerintah Republik
Indonesia pada saat itu karena posisi dan sikap pemerintah sangat jelas yang
menganggap bahwa integrasi Timor Timur merupakan hal yang telah final dan
tidak bisa ditawar. Pemberian otonomi luas menurut Presiden B.J.Habibie
merupakan suatu bentuk penyelesaian akhir yang adil, menyeluruh, dan dapat
diterima secara internasional.
Cara ini menurut Presiden B.J.Habibie merupakan suatu
cara penyelesaian yang paling realistis, paling mungkin terlaksana, dan
dianggap paling berprospek damai, sekaligus merupakan suatu kompromi yang adil
antara integrasi penuh dan aspirasi kemerdekaan. Tawaran dari pemerintah berupa Otonomi luas tersebut
memberi kesempatan bagi rakyat Timor Timur untuk dapat memilih Kepala Daerahnya
sendiri, menentukan kebijakan daerah sendiri, dan dapat mengurus daerahnya
sendiri. Keputusan untuk mengeluarkan Opsi mengenai otonomi luas di Timur Timur
diambil oleh Presiden B.J.Habibie karena integrasi wilayah itu ke Indonesia
selama hampir 23 tahun tidak mendapat pengakuan dari PBB.
Pemerintah Portugal maupun
PBB menyambut positif tawaran status khusus dengan otonomi luas bagi Timor
Timur yang diajukan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Hal ini terlihat pada
saat Presiden mengutus Menteri Luar Negeri Ali Alatas untuk menyampaikan usulan
Indonesia tentang pemberian status khusus ini kepada Sekjen PBB di New York pada
tanggal 18 Juli 1998. Selain itu juga diperkuat dengan berlangsungnya kembali
Perundingan “Senior
Official
Meeting” (SOM) atau Pejabat Senior dibawah tingkat menteri di New
York pada tanggal 4 –5 Agustus 1998.
Ketiga pihak sepakat untuk membahas dan menjabarkan
lebih lanjut usulan baru dari Pemerintah Republik Indonesia mengenai otonomi
luas sebagai usaha penyelesaian persoalan Timor Timur tanpa merugikan posisi
masing-masing pihak. Pada saat yang sama Sekretaris jendral PBB juga sedang
berusaha untuk meningkatkan konsultasi dengan berbagai tokoh masyarakat Timor
Timur yang berada di dalam negeri maupun luar negeri. Hal itu dilakukan dengan
tujuan untuk menyampaikan perkembangan perundingan yang telah
dilakukan kepada mereka dan sekaligus untuk mendapatkan masukan-masukan dari
mereka sebagai bahan pertimbangan dalam mempersiapkan rancangan naskah
persetujuan tentang rancangan otonomi luas pada pertemuan dialog segitiga ( tripartite talks
)tersebut.
Tanggapan positif mengenai rancangan otonomi luas juga diberikan oleh
banyak tokoh dan kalangan moderat Timor Timur. Hal ini antara lain
terlihat dalam diskusi yang diprakarsai oleh East Timor Study Group (ETSG). Mereka melihat konsep otonomi
luas tersebut di dalam kerangka suatu masa transisi yang cukup lama sebelum
suatu penyelesaian menyeluruh melalui referendum diadakan. Otonomi luas
tersebut bisa dilaksanakan secara konsisten oleh Pemerintah Republik Indonesia,
bisa juga tidak diperlukan apabila masyarakat sudah puas dengan pilihan
tersebut. Sebagaimana otonomi yang telah diterapkan di berbagai
negara lain, wewenang Pemerintah Daerah Timor Timur adalah mengatur berbagai
aspek kehidupan kecuali aspek pertahanan, politik luar negeri, moneter dan
fiskal. Wewenang pemberian otonomi luas terhadap masyarakat Timor Timur
ini jika dilihat dan ditinjau terdapat perbedaan dan jauh lebih luas daripada
kebebasan yang diberikan kepada propinsi-propinsi lain di Indonesia dalam
mengatur kehidupan masyarakatnya. Tindakan ini diambil oleh pemerintah
mengingat Timor Timur memiliki kekhususan sejarah dan sosial budaya sehingga
diperlukan pengaturan yang lebih bersifat khusus.
Akan tetapi semua perkembangan mengenai otonomi
tersebut mengalami perubahan karena pada saat Pemerintah Republik Indonesia dan
Portugal sedang melanjutkan pembicaraan berkaitan dengan tawaran otonomi luas
bagi Timor Timur, Presiden B.J.Habibie mengajukan Opsi II pada tanggal 27
Januari 1999. Opsi II menyebutkan bahwa jika rakyat Timor Timur menolak Opsi I
tentang pemberian otonomi luas maka Pemerintah Republik Indonesia akan
memberikan kewenangannya kepada MPR hasil pemilu bulan Juni 1999 untuk
memutuskan kemungkinan melepaskan wilayah tersebut dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) secara terhormat, baik-baik, dan damai, serta secara
konstitusional.
Usulan mengenai Opsi II disampaikan oleh Presiden
B.J.Habibie pada saat berlangsung Rapat Koordinasi Khusus Tingkat Menteri
Bidang Politik dan Keamanan (Rakorpolkam) pada tanggal 25 Januari 1999. Rapat
tersebut dilakukan untuk membahas surat yang dikirim oleh Perdana Menteri
Australia-John Howard kepada Presiden RI tanggal 19 Desember 1998 mengenai
perubahan sikap Pemerintah Australia terhadap Pemerintah Indonesia. Di dalam
suratnya, PM John Howard mendesak dilakukannya Jajak Pendapat (referendum)
setelah penerapan status khusus dengan otonomi luas di Timor Timur untuk jangka
waktu tertentu. Perubahan sikap Australia itu berpengaruh bagi Pemerintah
Republik Indonesia karena Australia sebelumnya menjadi salah satu dari beberapa
negara yang mendukung integrasi dan mengakui kedaulatan RI atas Timor Timur.
Usulan Presiden B.J.Habibie kemudian dilanjutkan kembali pada tanggal 27
Januari 1999 dan disetujui oleh para anggota dalam Sidang Kabinet Paripurna
terbatas Bidang Politik dan Keamanan. Apapun hasil dari referendum menurut
Presiden B.J.Habibie akan berdampak positip bagi Pemerintah Republik Indonesia.
Indonesia akan terbebas dari beban nasional untuk membiayai pembangunan di
Timor Timur, maupun tekanan-tekanan internasional dan kritik dari negara lain.
Tekanan-tekanan internasional, khususnya berasal dari
PBB yang tidak mengakui kedaulatan Indonesia atas Timor Timur. Selain itu
keputusan tersebut diambil dengan pertimbangan berbagai permasalahan ekonomi
dan politik dalam negeri pada saat itu. Kebijakan Presiden B.J.Habibie mengenai Opsi II
merupakan suatu usaha untuk membangun citra baik sebagai pemerintahan transisi
yang reformis dan demokratis serta merupakan suatu usaha untuk membangun
kembali perekonomian negara yang kacau sebagai akibat dari krisis multidimensi
yang sedang terjadi di Indonesia. Selain itu, keputusan keluarnya Opsi II juga
didasari oleh sikap Presiden B.J. Habibie yang menghormati Hak Asasi Manusia
(HAM) dan memberikan
kebebasan di atas prinsip kemerdekaan kepada setiap rakyat Indonesia.
Pengambilan keputusan terhadap penyelesaian persoalan
Timor Timur menurut beberapa pakar dan pengamat politik Indonesia dianggap
sebagai suatu tindakan yang gegabah. Hal itu dilandasi alasan bahwa keadaan
situasi di dalam negeri Indonesia sedang mengalami masa-masa sulit terbukti
dengan, pertama, krisis ekonomi-moneter yang sedang dialami oleh negara Indonesia sejak
tahun 1997 dan berdampak kedalam politik Indonesia sehingga menimbulkan krisis
multidimensional yang ditandai dengan jatuhnya Pemerintahan Presiden Soeharto.
Berakhirnya kekuasaan pemimpin Orde Baru atas desakan para mahasiswa dan rakyat
Indonesia melalui gerakan reformasi secara berkesinambungan menunjukkan
ketidakpercayaan masyarakat dalam negeri terhadap pemerintah sehingga
menimbulkan “krisis kepercayaan terhadap pemerintah”. Keadaan pemerintah
yang sedang mengalami banyak persoalan dimanfaatkan oleh pihak-pihak sparatis
Timor Timur yang menuntut diadakannya referendum sebagai sarana penentuan nasib
rakyat Timor Timur.
Tuntutan tersebut mendapat banyak simpati dari
kelompok-kelompok masyarakat lain di tanah air dan dunia internasional. Dari
dalam negeri dukungan diberikan oleh kelompok pembela HAM dan demokrasi,
seperti LSM dan Komnas HAM. Sedangkan dari internasional adalah Amerika dan
Australia yang selalu mengontrol dan melakukan provokasi kepada
Pemerintah Indonesia untuk segera menyelesaikan masalah Timor Timur. Kedua
negara itu bersama-sama
dengan PBB selalu memantau perkembangan yang terjadi di Timor Timur. Perubahan
sikap kedua negara ini dipengaruhi oleh perkembangan global dan isu-isu
internasional tentang demokratisasi dan HAM.
Kedua, terjadi pergeseran posisi dasar Republik Indonesia
pada tanggal 9 Juni 1998 pada saat Presiden B.J Habibie mengumumkan kesediaan
Pemerintah Republik Indonesia untuk memberikan “ status khusus dengan Otonomi luas”. Pemberian status
ini dianggap sebagai formula dan usaha untuk mencapai penyelesaian politik
dalam masalah Timor Timur. Akan tetapi pada tanggal 27 Januari 1999 Menteri
Luar Negeri Ali Alatas mengumumkan keputusan dalam Sidang Kabinet Paripurna
bidang Politik dan Keamanan mengenai pemberian “Opsi II” yang berhubungan
dengan pemberian tanggapan atas otonomi luas apabila pemberian status khusus
itu ditolak oleh mayoritas masyarakat Timor Timur maka jalan yang akan diambil
selanjutnya adalah Pemerintah Republik Indonesia akan mengusulkan kepada Sidang
Umum MPR hasil Pemilu yang baru terpilih agar Timor Timur dapat berpisah dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia secara baik-baik, damai, terhormat, tertib,
dan konstitusional.
Keluarnya Opsi II mengejutkan bagi banyak pihak dan
tidak diterima secara menyeluruh di Indonesia. Salah satu pihak yang sangat
menentang Opsi II adalah tentara Indonesia (ABRI/TNI). Mereka mengkhawatirkan
bahwa pemisahan Timor Timur dapat membawa akibat yang merugikan bagi persatuan
dan keamanan di wilayah itu. Ancaman terhadap instabilitas keamanan di Timor
Timur seperti yang dikhawatirkan menjadi kenyataan, terbukti dengan kekerasan
yang terjadi disana. Meningkatnya intensitas kekerasan dan ketegangan di Timor
Timur disebabkan oleh kedua kelompok (pro-integrasi dan pro-kemerdekaan) saling
melakukan teror dan intimidasi. Kelompok pro-kemerdekaan yang mendapat “angin
segar” atas keputusan pemberian Opsi II semakin menunjukkan sikap permusuhan
terhadap kelompok pro-integrasi dan Pemerintah Republik Indonesia. Tindak
kekerasan tidak hanya menghantui rakyat setempat tetapi juga masyarakat
pendatang, baik para pedagang maupun aparat pemerintah yang bertugas dan
ditugaskan di wilayah itu. Selain itu kemunculan berbagai kelompok milisi pro
integrasi yang tidak dapat dicegah menjadi faktor pendukung bagi
meningkatnya intensitas konflik di wilayah yang pernah menjadi propinsi ke-27
Indonesia.
Keadaan di Timor Timur, khususnya Dili semakin kacau
setelah pemimpin Gerakan Perlawanan Rakyat Timor Timur (CNRT/Concelho Nacional Resistencia
Timorense)- Xanana Gusmao pada tanggal 5 April 1999 mengumumkan perang
terhadap Pemerintah RI dan TNI. Pertikaian dan konflik, serta tindak kekerasan
yang sering terjadi antara kelompok pro-integrasi dan pro-kemerdekaan
menyebabkan Pemerintah RI khususnya TNI/POLRI melakukan usaha-usaha
rekonsiliasi untuk mendamaikan kedua pihak tersebut. Usaha tersebut juga
dilakukan untuk menjaga stabilitas keamanan dan ketertiban di Timor Timur.
Usaha yang telah dilakukan oleh TNI/POLRI antara lain adalah dengan
memfasilitasi suatu perjanjian damai yang diselenggarakan di Diosis Keuskupan
Dili pada tanggal 21 April 1999.
Pertemuan tersebut diprakarsai oleh Menhankam/Panglima
TNI Jendral Wiranto, Komnas HAM, dan Gereja Katholik di Timor Timur dan
menghasilkan kesepakatan tentang penghentian permusuhan dan penciptaan
perdamaian. Menindaklanjuti perjanjian damai tersebut maka TNI/POLRI dan Komnas
HAM kemudian membentuk Komisi Perdamaian dan Stabilitas (KPS). Unsur-unsur
keanggotaan KPS terdiri dari perwakilan Fretilin, kelompok pro-integrasi,
TNI/POLRI, Komnas HAM, dan perwakilan Pemerintah RI serta wakil dari UNAMET.
Tugas dari KPS antaralain adalah (1) memonitor terjadinya
pelanggaran-pelanggaran serta dampak perjanjian damai; (2) melakukan koordinasi
dengan semua pihak untuk menghentikan segala bentuk permusuhan, intimidasi, dan
kekerasan; (3) menerima pengaduan masyarakat tentang pelanggaran yang
terjadi di Timor Timur, baik yang dilakukan oleh aparat maupun pihak-pihak yang
bertikai; (4) KPS bersama UNAMET akan menyusun suatu aturan main (code of conduct) untuk mengatur perilaku pada masa
sebelum, selama, dan setelah konsultasi yang harus ditaati oleh semua pihak.
Pada tanggal 18 Juni 1999 TNI/POLRI berhasil memfasilitasi kesepakatan antaraConcelho
Nacional Resistencia Timorense (CNRT)
dan Falintil dengan pihak pro-integrasi untuk menyambut Jajak Pendapat di Timor
Timur. TNI/POLRI juga berhasil menjadi fasilitator penyelenggaraan Pertemuan
Dare II di Jakarta pada tanggal 25-30 Juni 1999
yang membahas empat masalah
pokok, yaitu rekonsiliasi, Jajak Pendapat, keamanan, dan masalah politik.
Hasil dari usaha-usaha tersebut tidak sesuai dengan harapan karena kedua
pihak yang bertikai sering melanggar kesepakatan yang telah dibuat
bersama. Hal itu disebabkan oleh kuatnya rasa dendam diantara mereka. Keadaan
tersebut semakin meningkatkan kekacauan di Timor Timur. Ketegangan diantara
kedua pihak semakin meningkat setelah dilakukan Jajak Pendapat yang
diselenggarakan oleh UNAMET. Hasil jajak Pendapat yang diumumkan oleh PBB pada
tanggal 4 September 1999 menunjukkan bahwa sebesar 78,5% atau sekitar 344.580
orang menolak tawaran status khusus dengan otonomi luas, sedangkan sebanyak
21,5% atau sekitar 94.388 orang menerima Opsi I. Hal ini menunjukkan bahwa
mayoritas rakyat Timor Timur memilih untuk merdeka berpisah dari NKRI.
d.
Bagaimana
peranan USA, PBB dan Australia dalam lepaskan TIM-TIM ?
Jawaban :
Peranan
USA
Amerika sebagai negara
yang mengaku dirinya adalah negara super power atau adi daya tidak memperoleh
keuntungan materi dari disahkannya RUU itu menjadi UU. Pihak Amerika kepada
negara-negara lain untuk mengakui bahwa Timor Timur telah resmi bergabung
dengan Indonesia. Bantuan dari Amerika itu membuat Indonesia terbuai. Ketika
paham komunis telah berhasil mereka tumpas, maka mereka mulai lepas tangan.
Sehingga, pemerintah Indonesia terhanyut dalam kegamangan dan kekayaan
propinsi-propinsi yang berpotensi besar menyumbangkan “upetinya” ke
pemerintahan pusat. Jadi, dengan bergabungnya Timor Timur dengan Indonesia,
Amerika berharap, ideologi itu dapat diberangus guna mempermudah dan memuluskan
paham modernisasi. Dengan demikian, peranan USA disini hanya ingin menyebarkan
paham yang masuk ke seluruh dunia, untuk mempermudah paham itu masuk maka USA
ini memihak untuk bergabung dalam Indonesia.
Peranan
PBB
Tugas dari perserikatan
bangsa-bangsa (PBB) ini adalah untuk mengamankan pertempuran atau kerusuhan
yang terjadi di Timor Timur yang semakin memanas antara negara yang satu dengan
yang lainnya, yang memperebutkan wilayah tersebut. Serta mendamaikan negara-negara
pihak yang bersangkutan, yang pada akhirnya dari negara Timor Timur sendiri
ingin memisahkan dengan Indonesia dan ingin merdeka sendiri.
Peranan
Australia
Australia adalah
satu-satunya negara yang mengakuinya resmi melalui persetujuan dengan Indonesia
tentang Selat Timor. Australia menyumbang sebagian terbesar sumber-sumber
intervensi PBB, kedua personil dan peralatan. peranan Australia cukup besar
untuk menggangu hubungannya dengan Indonesia dan menghancurkan suasana
kerjasama dan jasa baik. Australia juga memainkan peran strategis untuk
Indonesia. Kalau ada ancaman komunis
Australia akan mencampuri dan melindungi pemerintah anti-komunis.
III.
Jelaskan
pertanyaan di bawah ini
a.
Jelaskan
bagaimana latar belakang munculnya OTDA ?
Jawaban :
Kebijakan
otonomi daerah lahir ditengah gejolak tuntutan berbagai daerah terhadap
berbagai kewenangan yang selama 20 tahun pemerintahan orde baru menjalankan
mesin sentralistiknya. UU No.5 1974 tentang pemerintahan daerah yang kemudian
di susul dengan UU No.5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa menjadi tiang
utama tegaknya sentralisasi kekuasaan orde baru. Semua mesin partisipasi dan
prakarsa yang sebelumnya tumbuh sebelum orde baru berkuasa, secara perlahan
dilumpuhkan dibawah kontrol kekuasaan. Stabilitas politik demi kelangsungan
investasi ekonomi (pertumbuhan) menjadi alasan petama bagi orde baru untuk
mematahkan setiap gerak prakarsa yang tumbuh dari rakyat. Paling tidak ada dua
faktor yang berperan kuat dalam mendorong lahirnya kebiajkan otonomi daerah
berupa UU No.22/1999. Pertama, faktor internal yang didorong oleh berbagai
protes atas kebijakan politik sentralisme dimasa lalu. Kedua, adalah faktor
eksternal yang dipengaruhi oleh dorongan internasional terhadap kepentingan
investasi terutama untuk efisiensi dari biaya investasi yang tinggi sebagai
akibat korupsi dan rantai birokrasi yang panjang.
Selama
lima tahun pelaksanaan UU No.22 tahun 1999, otonomi daerah telah menjadi
kebutuhan politik yang penting untuk memajukan kehidupan demokrasi. Bukan hanya
kenyataan bahwa masyarakat Indonesia sangat heterogen dari segi perkembangan
politiknya, namun juga otonomi sudah menjadi alas bagi tumbuhnya dinamika
politik yang diharapkan akan mendorong lahirnya prakarsa dan keadilan. Walaupun
ada upaya kritis bahwa otonomi daerah tetap dipahami sebagai jalan lurus bagi
eksploitasi dan investasi, namun sebagai upaya membangun prakarsa
ditengah-tengah surutnya kemauan baik (good
will) penguasa, maka otonomi daerah dapat menjadi jalan alternatif bagi
tumbuhnya harapan bagi kemajuan daerah.
Pada
saat rakyat Indonesia disibukkan dengan pelaksanaan pemilu 2004, Departemen
Dalam Negeri (Depdagri) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melakukan revisi
terhadap UU No.22 tahun 1999. Dilihat dati proses penyusunan revisi, paling
tidak ada dua cacat yang dibawa oleh UU yang baru (UU No.32 tahun 2004) yakni
proses penyusunan yang tergesa-gesa dan tertutup ditengah-tengah rakyat sedang
melakukan hajatan besar pemilu. Padahal UU otonomi daerah adalah kebijakan yang
sangat penting dan menyangkut tentang kualitas pelaksanaan partisipasi rakyat
dan pelembagaan demokrasi. Kedua, UU tersebut disusun oleh DPR hasil pemilu
2004 dimana pada waktu penyusunan revisi tersebut anggota DPR sudah mau
demisioner. Tanggal 29 September 2004 bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan
anggota DPR priode 1999-2004, Sidang Paripurna DPR menyetujui rancangan
perubahan (revisi) terhadap UU No.22 tahun 1999 menjadi UU No.32 tahun 2004.
Tanggal 1 Oktober anggota DPR baru hasil pemilu 2004 dilantik. Secara de facto DPR pemilu 1999 sudah
kehilangan relevansinya untuk menyusun dan mengagendakan pembahasan kebijakan
yang sangat krusial.
Tibalah
saatnya pemerintahan di uji kesungguhannya untuk menjalankan amanat politik
rakyat, termasuk komitmennya mengenai pelaksanaan desentralisasi. Pasang surut
desentralisasi yang diwarnai dengan tarik ulur kepentingan pusat dan daerah
harus segera digantikan dengan penciptaan sistem pemerintahan ditingkat lokal
yang demokratis. Sehubungan dengan itu, maka diperlukan upaya yang sistematis
untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan desentralisasi yang
membuka ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas
politik di tingkat lokal (political
equality), mengedepankan pelayanan kepada kepentingan publik (local accountability), dan menigkatkan
akselerasi pembangunan sosial ekonomi yang berbasis pada kebutuhan masyarakat
setempat (Local responbility). Selain
harus tercermin dalam produk kebijakan, indikator-indikator itu juga harus
terimplementasi dalam praktek desentralisasi yang dijalankan oleh pemerintahan
lokal.
b.
Bagaimana
implikasi kebijakan OTDA di bidang politik, ekonomi, dan pendidikan di era
reformasi ?
Jawaban :
Bidang
ekonomi
Dalam
sektor di bidang ekonomi ini sangat sensitif apabila dihubungkan dengan proses
otonomi daerah. Pembangunan ekonomi ekonomi suatu daerah seharusnya lebih baik
apabila diselenggarakan dengan konsep desentralisasi. Pembangunan ekonomi
adalah suatu proses dimana suatu masyarakat menciptakan suatu lingkungan yang
mempengaruhi hasil-hasil indikator ekonomi seperti kenaikan kesempatan kerja.
Lingkungan yang dimaksud sebagai sumber daya perencanaan meliputi lingkungan
fisik, peraturan dan perilaku (Blakley, 1989). Dalam proses pengembangan
ekonomi lokal, pemerintah daerah bersama dengan organisasi berbasis masyarakat
mendorong dan merangsang kegiatan yang dapat meningkatkan aktivitas usaha serta
penciptaan lapangan pekerjaan. Dalam pelaksanaan otonomi daerah , pembangunan
ekonomi lokal memiliki pengaruh besar terhadap suatu daerah. Hal ini tidak lain
adalah untuk penguatan daya saing ekonomi lokal untuk pengembangan ekonomi
daerah. Kemandirian dalam melakukan kegiatan ekonomi dapat menambah pendapatan
asli daerah, selain itu tingkat pemberdayaan masyarakat kecil juga dapat
terlaksana.
Dengan
adanya otonomi daerah, suatu daerah dituntut untuk lebih peka dan bertanggung
jawab terhadap permasalahan ekonomi lokal sekaligus mengoptimalkan potensi
ekonomi yang dimilikinya. Maka dari itu perlu adanya tata kelola ekonomi daerah
supaya terbentuk otonomi daerah yang baik. Di negeri kita maupun di berbagai
macam daerah sering meneriakkan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas,
efisiensi, partisipasi yang tidak lain hanya menuju ke arah good governance. Seperti halnya otonomi
daerah harus memiliki tata kelola ekonomi yang baik, dengan mempertimbangkan
fungsi desentralisasi yang semakin kompleks khususnya dibidang ekonomi. Ciri
utama suatu daerah yang mampu menjalankan otonomi daerah dapat dilihat dari
kemampuan daerah untuk membiayai pembangunan didaerahnya dengan tingkat
ketergantungan kepada pemerintah pusat dengan proporsi yang sangat kecil.
Artinya kemandirian keuangan adalah hal yang paling diutamakan dalam
terwujudnya otonomi daerah. Dengan adanya kemandirian tersebut, suatu daerah
diharapkan mampu dalam pengumpulan pendapatan asli daerah yang menjadi bagian
terbesar dalam mobilisasi dana penyelenggaraan pemerintahan daerah dan sudah
sewajarnya PAD dijadikan tolak ukur dalam pelaksanaan otonomi daerah. Pendapatan
asli daerah adalah penerimaan yang diperoleh dari sektor pajak daerah,
retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan
daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
Pendapatan asli daerah merupakan salah satu komponen sumber pendapatan daerah
sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 79 undang-undang no 22 tahun 1999
tentang pemerintahan daerah, berdasarkan pasal 79 UU 22/1999 disimpulkan bahwa
sesuatu yang diperoleh pemerintah daerah yang dapat diukur dengan uang karena
kewenangan (otoritas) yang diberikan masyarakat dapat berupa hasil pajak daerah
dan retribusi daerah. Sumber pendapatan daerah terdiri pendapatan asli daerah,
yaitu :
a. Hasil
pajak daerah. Menurut Davey (1988:118) pemerintahan daerah memliki wewenang
untuk menjangkau sumber pajak di daerah yakni melalui pemungutan langsung serta
menetapkan tarif di derah. Pajak-pajak tersebut antara lain pajak atas jasa,
pajak atas produksi, pajak atas kendaraan, dan lain-lain.
b. Hasil
retribusi daerah. Pemerintah daerah juga memiliki wewenang dalam menetapkan
retribusi daerah serta menarik retribusi dalam rangka pemasukkan daerah.
Bidang
pendidikan
Dalam
otonomi daerah banyak undang-undang yang mengatur khusus mengenai pendidikan
salah satu undang-undang yang di implementasikan dalam pendidikan yaitu UU
Nomor 2 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, privitasi perguruan
tinggi negeri dengan status terbaru BHMN melalui PP no 60 tahun 2000 sampai UU
No.32 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah yang mengatur konsep, sistem dan pola pendidikan juga
kewenangan di sektor pendidikan yang digariskan bagi pusat maupun daerah.
Desentralisasi pendidikan secara konseptual dapat dibedakan menjadi dua jenis
yaitu, pertama desentralisasi kewenangan disektor pendidikan dan kedua
desentralisasi pendidikan dengan fokus pada pemberian kewenangan yang lebih
besar ditingkat sekolah. Konsep pertama berkaitan dengan penyelengaraan
pemerintah dari pusat ke daerah sebagai wujud dari demokratisasi, kebijakan
yang dimaksud lebih pada kebijakan pendidikan dan aspek pendanaannya dari
pemerintah pusat ke daerah. Pada konsep kedua lebih fokus terhadap pemberian
kewenangan yang lebih besar ditingkat manajemen sekolah untuk meningkatkan
kualitas pendidikannya.
Dengan
adanya desentralisasi pendidikan bukan berarti pemerintah pusat lepas tangan
atau tidak mencampuri urusan pendidikan. Pemerintah pusat masih mempertahankan
kewenangannya dalam dunia pendidikan yang terdapat pada peraturan pemerintah
Republik Indonesia Nomor 25 tahun 2000 mengenai kewenangan pemerintah dan
kewenangan provinsi sebagai daerah otonomi. Kewenangan tersebut diantaranya
berhubungan dengan standar kompetensi siswa serta pengaturan kurikulum
nasional, standar materi pelajaran pokok, gelar akademik, biaya penyelenggaraan
pendidikan, benda cagar budaya dan kalender akademik. Kebijakan otonomi daerah
dalam pendidikan memberikan dampak baik positif maupun negatif. Daerah yang dapat
memanfaatkan kondisi yang ada tentu saja akan memberikan dampak positif dari otonomi daerah tersebut. Fenomena muncul
raja-raja kecil diderah diakibatkan ketika kontrol pemerintah pusat tidak ada
lagi berperan dalam pengambilan keputusan dan pengawasan hal ini menjadi dampak
negatif jika pemerintah belum siap dalam desentralisasi. Kebijakan
desentralisasi ini kemungkinan akan menimbulkan jurang pemisah antara daerah
yang maju dan tidak. Pemerataan yang tidak berhasil terlihat jelas dari
kualitas pendidikan yang dihasilkan tiap daerah. Kemungkinan yang terjadi
karena tidak meratanya pendistribusian tenaga guru. Daerah yang kaya akan jauh
lebih banyak menyedot tenaga guru yang berkualitas. Akhirnya daerah-daerah
tertentu di Indonesia akan kelebihan guru dan daerah yang lainnya kekurangan
tenaga guru. Desentralisasi pendidikan menentuan pula hasil belajar siswa. Hal
ini disebabkan pembuatan silabus materi pembelajaran dibuat berdasarkan
kebutuhan siswa, keadaan sekolah dan kondisi daerah. Perbedaan-perbedaan
tersebut memberikan kemungkinan terjadinya hasil belajar siswa. Salah satu
hasil dari desentralisasi pendidikan adanya implikasi konsep manajemen berbasis
sekolah (MBS) yang mulai diimplimentasikan pada sekolah-sekolah dasar dan
menengah di beberapa provinsi di Indonesia. Desentralisasi pendidikan menjadi
suatu gagasan yang brilian namun juga menjadi suatu tantangan bagi kita. Dalam
bukunya Sam M. Chan dan Tuty T.Sam yang berjudul Kebijakan Pendidikan Era Reformasi Daerah, dituliskan :
Adapun tantangan yang harus di
perhitungkan dalam pengimplimentasian kebijakan ini adalah munculnya
individu-individu atau lembaga-lembaga serakah yang mencari kesempatan dalam
kesempitan ... (Sam, 2005: 12).
Bidang
politik
Kebijaksanaan
otonomi daerah yang baru membawa implikasi yang laus diantaranya terhadap
pembinaan birokrasi di daerah, sekalipun segala sesuatu yang menyangkut masalah
kepegawaian masih tetap menggunakan peraturan perundangan yang sudah ada, yaitu
undang-undang pokok kepegawaian. Hal ini dinyatakan dengan tegas dalam pasal 75
UU no 22 tahun 1999 yang menyatakan “ norma, standar dan prosedur mengenai
pengangkutan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, gaji, tunjangan,
kesejahteraan, hak dan kewajiban, serta kedudukan hukum pegawai negeri sipil daerah,
ditetapkan dengan perundang-undangan. Akan tetapi daerah memepunyai wewenang
yang luas, khususnya propinsi, kabupaten dan kota untuk membuat perencanaan
kepegawaian yang sesuai dengan kebutuhan pada waktu tertentu. Demikian pula
daerah mempunyai kewenangan untuk
melakukan pembinaan, pendidikan dan latihan bagi aparat penyelenggara
pemerintah daerah. Hal itu dinayatkan dengan tegas pula dalam pasal 76 UU no 22
tahun 1999 yaitu “daerah mempunyai wewenang untuk melakukan pengangkatan,
pemberhentian, penetapan pensiun, gaji tunjangan dan kesejahteraan pegawai
serta pendidikan dan pelatihan sesuai dengan peraturan daerah berdasarkan
perundang-undangan”. Tentu saja hal ini akan membawa implikasi yang sangat
luas, terutama yang menyangkut pola rekrutmen dan pembinaan. Hanya saja yang
perlu diperhatikan adalah mengingat potensi daerah berbeda satu sama lainnya
maka seharusnya memperhatikan dimensi keadilan dan kesetaraan antara satu
daerah dengan adaerah lainnya, jangan sampai menimbulkan diskrepensi sosial yang
membawa akibat gejolak sosial politik di daerah.
c.
Bagaimana
upaya mengatasi masalah OTDA di era reformasi ?
Jawaban :
Ada beberapa upaya yang
dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan dalam otonomi daerah adalah
sebagai berikut :
·
Pemerintah pusat harus
melaksanakan otonomi daerah dengan penuh keikhlasan agar daerah dapat
memperoleh hak untuk mengolah sumber daya di daerah secara optimal.
·
Bahwa semangat dan
tujuan yang melandasi otonomi daerah adalah hasrat untuk menggali sendiri
pendapatan daerahnya serta kewenangan untuk meningkatkan PAD masing-masing
daerah menuju peningkatan kesejahteraan masyarakat daerah. Oleh karena
itubuntuk mencegah kondisi disintesif, pemda dalam rangka otonomi daerah perlu
mengembangkan strategi efisiensi dalam segala bidang.
·
Untuk menopang
pelaksanaan otonomi daerah perlu dikembangkan ekonomi kerakyatan secara
sistematik, mensinergikan kegiatan lembaga atau institusiriset pada PTN atau PTS
di daerah dengan industri kecil menengah dan tradisional.
·
Merekomendasikan kepada
pemerintah untuk memperbaiki dasar-dasar ekonomi yang sudah rapuh, dengan
mengembangkan usaha kecil atau menengah dan koperasi menjadi lebih produktif
serta berupaya terus untuk memberantas kemiskinan struktural.
·
Memanfaatkan dan
mengelola sumber daya alam dengan baik agar supaya sumber kekayaan yang
tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal dan secara lestari.
·
Mendorong
desentralisasi pembangunan daerah, mendayagunakan lembaga di daerah khususnya
DPRD untuk memiliki wewenang dalam kemandirian dalam membuat produk hukum
pembangunan di daerah. Ketentuan-ketentuan yang menyangkut perizinan,
pengelolaan, pendayagunaan, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan masalah
pembangunan yang dirumuskan oleh DPRD dan pemerintah daerah.
IV.
Jelaskan
pertanyaan di bawah ini
a.
Jelaskan
tentang Undang-undang OTDA, apakah anda setuju atau menolak OTDA ? berikan
argumentasi alasannya ?
Jawaban :
Pada periode setelah orde baru, lahir dua undang-undang
tentang pemerintahan daerah yang dianggap aspiratif mengakomodasikan prinsip
demokrasi dalam sistem pemerintahan daearah di Indonesia. Kedua undang-undang tersebut adalah: UU No.
22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No. 32 Tahun 2004 yang
dianggap sebagai revisi terhadap UU No. 22 Tahun 1999.
a)
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
Pada periode Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, desentralisasi ditegaskan sebagai penyerahan wewenang
pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka NKRI.
Pemerintah daerah adalah kepala daerah beserta perangkat daerah otonom yang
tidak lain sebagai badan eksekutif daerah. Daerah provinsi berkedudukan sebagai
wilayah administrasi kewenangan daerah, mencakup kewenangan dalam seluruh
bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri,
pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan di
bidang lainnya. Kewenangan-kewenangan daerah otonom lebih luas dan bertumpu
pada tingkat kabupaten atau kota. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 memberikan implikasi
dan simplikasi terhadap melemahnya peran dominasi pemerintah pusat kepada
daerah. Hal ini tercermin dalam proses pencalonan, pemilihan, usulan
pengangkatan calon kepala dan wakil kepala
daerah dilakukan sepenuhnya dan menjadi wewenang DPRD.
Langkah reformasi telah mengubah sistem pemerintahan era
sebelumya dengan dilahirkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah ini.
Euforia politik sebagai hasil pemilu tahun 1999 telah
memberikan kerangka dasar dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan di tingkat
pusat dan daerah, yang lebih banyak dipengaruhi kekuatan politik dalam
penyelenggaraannya. Beberapa indikator yang mewarnai penyelenggaraan sistem
pemerintahan di era ini antara lain:
§
Kekuasaan
Legislatif lebih besar dibanding kekuasaan eksekutif
§
Pemerintahan
dikendalikan oleh kekuasaan politik
§
Pertanggungjawaban
kepala daerah kepada lembaga legislatif
§
Kepala
daerah dapat diberhentikan oleh DPRD
§
Wewenang
DPRD menetapkan belanja DPRD
§
Menjamurnya
pemekaran daerah kabupaten / kota.
b)
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
Kelahiran undang-undang ini dilatarbelakangi dengan
adanya perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan otonomi daerah. Menurut
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 ini, dalam penyelenggaraan otonomi
menggunakan format otonomi seluas-luasnya.
Artinya, azas ini diberlakukan oleh pemerintah seperti pada era sebelum
UU Nomor 5 Tahun 1974. Alasan
pertimbangan ini didasarkan suatu asumsi bahwa hal-hal mengenai urusan
pemerintahan yang dapat dilaksanakan oleh daerah itu sendiri, sangat tepat
diberikan kebijakan otonomi sehingga setiap daerah mampu dan mandiri untuk
memberikan pelayanan demi meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah.
Kontrol pusat atas daerah dilakukan dengan mekanisme
pengawasan yang menunjukkan formulasi cukup ketat dengan mekanisme pengawasan
preventif, represif, dan pengawasan umum.
Proses pemilihan kepala/wakil kepala daerah menurut UU Nomor 32 Tahun
2004 tidak lagi menjadi wewenang DPRD, melainkan dilaksanakan dengan pemilihan
langsung yang diselenggarakan oleh lembaga Komisi Pemilihan Umum daerah
(KPUD). Hal ini amat berbeda dengan UU
Nomor 22 Tahun 1999 bahwa DPRD merupakan wahana untuk melaksanakan demokrasi
berdasarkan Pancasila dan kedudukannya sejajar (mitra) dari pemerintah daerah,
namun dalam praktek sering kali terjadi penafsiran berbeda.
Sebagai upaya mencapai tujuan otonomi daerah yang
berhasil guna dan berdaya guna, diperlukan
suatu sistem yang dapat mendorong kreativitas dan motifasi daerah itu dalam
menjalankan urusan pemerintahan sendiri.
Beberapa
format sistem pengawasan dapat dikaji dari produk perundangan berikut:
a. Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1999
Pada pasal 16 ayat 2 UU No. 22 Tahun 1999 dinyatakan
dalam kedudukannya sebagai badan legislatif daerah, DPRD bukan merupakan bagian
dari pemerintahan daerah. Demikian pula
pada pasal 69 dinyatakan: Peraturan daerah hanya ditandatangani oleh kepala
daerah, dan tidak ditandatangani oleh pimpinan DPRD karena DPRD bukan bagian
dari pemerintahan daerah. Kegiatan pembinaan lebih ditekankan pada memfasilitasi
dalam upaya pemberdayaan daerah otonom, sedangkan pengawasan lebih ditekankan
pada pengawasan represif. Hal ini untuk
lebih memberikan kebebasan kepada daerah otonom dalam mengambil keputusan serta
memberikan peran kepada DPRD dalam mewujudkan fungsinya sebagai badan pengawas
terhadap pelaksanaan otonomi daerah. Oleh karena itu, peraturan daerah yang
ditetapkan daerah otonom tidak memerlukan pengesahan terlebih dahulu oleh
pejabat yang berwenang. Hal itu sesuai
dengan ketentuan tentang pembinaan dan pengawasan, bahwa dalam rangka
pengawasan peraturan daerah dan keputusan kepala daerah disampaikan kepada
pemerintah selambat-lambatnya lima belas hari setelah ditetapkan. Pemerintah dapat membatalkan peraturan daerah
dan keputusan kepala daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum atau
perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau peraturan perundang-undangan
lainnya. Keputusan pembatalan
diberitahukan kepada daerah yang bersangkutan dengan menyebutkan alasan-alasannya
dalam masa selambat- lambatnya satu minggu setelah keputusan pembatalan
pelaksanaan ditetapkan. Daerah yang
tidak dapat menerima keputusan pembatalan peraturan daerah dan keputusan kepala
daerah tersebut dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung setelah
mengajukannya kepada pemerintah. Sistem
pembinaan dan pengawasan yang dianut oleh produk UU No 22 Tahun 1999 lebih
bersifat demokratis dan berupaya untuk mendewasakan, serta penguatan daerah
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam rangka otonomi.
b.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
Berdasarkan undang-undang ini, prinsip otonomi daerah
menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan
kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi
urusan pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Daerah memiliki
kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberikan pelayanan, peningkatan
peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan
kesejahteraan rakyat.
Penyelenggaraan otonomi harus benar-benar sejalan dengan
tujuan dan maksud pemberian otonomi yang pada dasarnya untuk memberdayakan
daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama
dari tujuan nasional. Pengawasan yang dianut menurut undang-undang ini meliputi
dua bentuk pengawasan yakni pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintah di
daerah dan pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah. Pengawasan ini dilaksanakan oleh aparat
pengawas intern pemerintah. Hasil
pembinaan dan pengawasan tersebut digunakan sebagai bahan pembinaan selanjutnya
oleh pemerintah dan dapat digunakan sebagai bahan pemeriksaan oleh Badan
Pemeriksa Keuangan. Pembinaan atas
penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah
dan/atau gubernurselaku wakil pemerintah di daerah untuk mewujudkan tercapainya
tujuan penyelenggaraan otonomi daerah.
Dalam rangka pembinaan oleh pemerintah, menteri dan pimpinan lembega
pemerintah non-departemen melakukan pembinaan sesuai dengan fungsi dan kewenangan
masing-masing yang dikoordinasikan oleh Mmenteri Dalam Negeri untuk pembinaan
dan pengawasan provinsi, serta oleh gubernur untuk pembinaan dan pengawasan
kabupaten atau kota. Dalam hal pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah
dan perataturan kepala daerah, pemerintah melakukan dua cara sebagai berikut:
·
Pengawasan
terhadap rancangan perda yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD,
dan RUTR, sebelum disyahkan oleh kepala daerah terlebih dahulu dievaluasi oleh
Menteri Dalam Negeri untuk Raperda Provinsi, dan oleh gubernur terhadap Raperda
Kabupaten/Kota. Mekanisme ini dilakukan
agar pengaturan tentang hal-hal tersebut dapat mencapai daya guna dan hasil
guna yang optimal.
·
Pengawasan
terhadap semua peraturan daerah di luar yang termuat di atas, peraturan daerah
wajib disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk provinsi dan gubernur untuk
kabuapten/kota, untuk memperoleh klarifikasi terhadap peraturan daerah yang
bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan lain yang lebih tinggi dan
sebab itu dapat dibatalkan sesuai mekanisme yang berlaku.
Dalam rangka mengoptimalkan fungsi pembinaan dan
pengawasan, pemerintah dapat menerapkan sanksi kepada penyelenggara
pemerintahan daerah apabila ditemukan adanya penyimpangan dan pelanggaran. Sanksi
yang dimaksud antara lain berupa penataan kembali suatu daerah otonom,
pembatalan pengangkatan pejabat, penangguhan dan pembatalan berlakunya suatu
kebijakan yang ditetapkan daerah, sanksi pidana yang diproses sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Pemberdayaan
terhadap legislatif daerah pada era reformasi dituangkan dan diatur dalam UU
Nomor 22 Tahun 1999 dan UU N0 32 Tahun 2004.
a)
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
Kebijakan politik yang dianut dalam undang-undang ini
adalah bahwa sistem pemerintahan NKRI menurut UUD 1945 memberikan keleluasaan
kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi. Dengan memerhatikan pengalaman
penyelenggaraan otonomi daerah pada masa lampau yang menganut prinsip otonomi
yang nyata dan bertanggung jawab dengan penekanan pada otonomi yang lebih
merupakan kewajiban daripada hak maka, dalam UU No 22 Tahun 1999 ini pemberian
kewenangan otonomi kepada daerah kabupaten/kota didasarkan atas azas desentralisasi
saja, dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab.
Berdasarkan hal tersebut prinsip penyelenggaraan
pemerintah daerah adalah:
Ø Digunakan azas desentralisasi, dekonsentrasi, dan
tugas pembantuan.
Ø Penyelenggaraan azas desentralisasi secara utuh dan
bulat yang dilaksanakan di daerah kabupaten dan daerah kota.
Ø Azas tugas pembantuan yang dapat dilaksanakan di
daeah provinsi, daerah kabupaten, daerah kota, dan desa.
Susunan pemerintahan daerah otonom meliputi DPRD dan
pemerintah daerah. DPRD dipisahkan dari
pemerintah daerah dengan maksud untuk lebih memberdayakan DPRD dan meningkatkan
pertanggungjawaban pemerintah daerah kepada rakyat. Hak-hak DPRD cukup luas dan
diarahkan untuk menyerap serta menyalurkan aspirasi masyarakat menjadi kebijakan
daerah dan melakukan fungsi pengawasan.
Dalam menjalankan tugas
dan kewajiban pemerintah daerah, gubernur bertanggung jawab kepada DPRD provinsi, sedangkan kedudukannya sebagai
wakil pemerintah gubernur bertanggung jawab kepada presiden. Penyelenggaraan otonomi daerah di daerah
kabupaten dan kota, bupati atau walikota bertanggung jawab kepada DPRD
kabupaten/kota dan berkewajiban memberikan laporan kepada presiden melalui
Menteri Dalam Negeri.
b) Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004
Kebijakan politik pemerintah berdasarkan
undang-undang ini ialah, pemerintahan daerah dalam rangka meningkatkan
efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan otonomi daerah perlu memerhatikan
hubungan antarsusunan pemerintahan dan antarpemerintahan daerah, potensi, dan
keanekaragaman daerah. Aspek hubungan
wewenang memerhatikan kekhususan dan keragaman daerah dalam sistem NKRI. Agar
mampu menjalankan perannya tersebut, daerah diberikan kewenangan seluas-luasnya
disertai pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam
kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pemerintah daerah adalah pelaksana fungsi-fungsi pemerintahan daerah yang
dilakukan oleh lembaga pemerintahan daerah, yaitu pemerintah daerah dan DPRD. Kepala
daerah adalah kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis
berdasarkan pemilihan yang demokratis pula. Hubungan antara pemerintah daerah
dan DPRD merupakan hubungan kerja yang kedudukannya setara dan bersifat
kemitraan. Kedudukan yang setara bermakna bahwa di antara lembaga pemerintahan
daerah itu memiliki kedudukan yang sama dan sejajar, tidak saling
membawahi. Dengan demikian antarkedua
lembaga itu membangun suatu hubungan kerja yang sifatnya saling mendukung dan
bukan merupakan lawan ataupun pesaing dalam melaksanakan fungsi masing-masing. Peraturan
daerah dibuat oleh DPRD bersama pemerintah daerah, artinya prakarsa dapat
bermula dari DPRD maupun dari pemerintah daerah. Khusus peraturan daerah
tentang APBD, rancangannya disipkan oleh pemerintah daerah yang telah mencakup
keuangan DPRD untuk dibahas bersama DPRD. Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 ini juga mengatur hak-hak DPRD sebagai berikut:
Hak interpelasi adalah hak DPRD untuk
meminta keterangan kepada kepala daerah mengenai kebijakan pemerintah daerah
yang penting dan strategis yang berdampak luas pada kehidupan masyarakat,
daerah, dan negara.
Hak angket adalah pelaksanaan fungsi
pengawasan DPRD untuk melakukan penyelidikan terhadap suatu kebijakan tertentu
kepala daerah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan
masyarakat, daerah, dan negara yang diduga bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan.
Hak menyatakan pendapat adalah hak DPRD
untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan kepla daerah atau mengenai
kejadian luar biasa yang terjadi di daerah dengan rekomendasipenyelesaiannya
atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket.
Menurut
Undang-undamg Nomor 32 Tahun 2004 dengan kebijakan politik yang menganut
prinsip kesetaraan dan checks and balances, maka otonomi daerah menggunakan
seluas-luasnya kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan,
peningkatan peran serta, prakarsa, dan penberdayaan masyarakat yang bertujuan
pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Dengan
adanya undang-undang tentang peraturan mendirikan atau membangun otonomi daerah
maupun dalam undang-undang pengawasan daerah tersebut menurut saya tidak setuju
karena mendirikan otonomi daerah itu tidak semudah yang dibayangkan harus
melalui proses yang panjang juga, begitupun kalau daerah tersebut sudah berdiri
sendiri dan semua pekerja pegawai negeri harus membayarinya sendiri dengan dana
pemerintahan daerah. Belum juga kalau jalanan rusak harus membenahi dengan dana
daerah. Membangun otonomi daerah itu harus sudah benar-benar mandiri tanpa
bantuan pemerintahan pusat. Pada kenyataanya otonomi daerah yang ada di
Indonesia secara luas tidak atau belum dapat terlaksana. Hubungan antara pemerintah pusat dan
daerah tetap terpelihara dengan melakukan pengawasan untuk mecegah timbulnya
perselisihan yang tidak dikehendaki. Walaupun membangun otonomi daerah itu
sebenarnya baik juga bagi masyarakat kita tapi harus membutuhkan proses yang begitu panjang. Dengan
demikian pembangunan otonomi daerah itu harus benar-benar yang mapan,
bertanggung jawab terhadap daerahnya sendiri dan mensejahterakan masyarakatnya.
Kalaupun otonomi daerah itu sudah mandiri tidak
bergantung pada daerah yang lainnya dan memakmurkan masyarakat saya setuju saja
dalam mendirikan otonomi daerah tersebut.
b.
Bagaimana
penerapan hukum di era reformasi ? hubungkan dengan kasus pencurian sandal yang
di dakwa 5 tahun penjara dengan kasus korupsi ?
bagaimana analisis anda ?
Jawaban :
Penerapan
hukum pada masa era reformasi ini di jelaskan diatas bahwa seiring dengan
perubahan undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, kebijakan
tentang pemerintah daerah mengalami perubahan yang cukup mendasar. Pada masa
reformasi sendiri di berlakukan undang-undang no 22 dan 29 tahun 1999 tentang
otonomi daerah. Dengan berbagai macam perubahan tersebut akhirnya di revisi
menjadi UU No.32 dan 33 tahun 2004 pemerintah daerah diberikan wewenang untuk
mengatur segala urusan rumah tangganya masing-masing, tuntutan bagi pemerintah
daerah untuk mengembangkan potensi yang dimiliki dengan menjalankan roda
pemerintahan yang efektif dan efisien sesuai dengan kemampuan masing-masing
daerah.
Pada
ranah implementasi, pelaksanaan otonomi daerah justru jauh berbeda. Hasil
evaluasi pelaksanaan otonomi daerah oleh berbagai kalangan, termasuk LIPI
(2007) dan UNDP (2008), memperlihatkan bahwa agenda ini lebih menunjukkan
kegagalan daripada wujud kesuksesannya. Kegagalan yang sangat nyata
adalah nampak dari “terdesentralisasikannya” korupsi ke daerah, sehingga banyak
kepala daerah yang terlibat kasus korupsi. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa
UU No 22/1999 yang kemudian diubah menjadi UU No 32/2004 tentang Pemerintah
Daerah memicu kegairahan baru yang membuka ruang kebebasan lebih bagi
masyarakat dan elite lokal. Namun, kebebasan itu justru dipahami berbeda oleh
para elite lokal sebagai kebebasan dalam berbagai hal. Menurut Prof Dr Saldi
Isra (2009), menjamurnya korupsi di daerah dapat dilihat melalui tiga persoalan
penting. Pertama, sadar atau tidak,
program otonomi daerah yang digulirkan oleh pemerintah hanya terfokus pada
pelimpahan wewenang dalam pembuatan kebijakan, keuangan dan administrasi dari
pemerintah pusat ke daerah, tanpa disertai pembagian kekuasaan kepada
masyarakat. Dengan kata lain, program otonomi daerah tidak diikuti dengan
program demokratisasi yang membuka peluang keterlibatan masyarakat dalam
pemerintahan di daerah. Karenanya, program desentralisasi ini hanya memberi
peluang kepada elite lokal untuk mengakses sumber-sumber ekonomi dan politik
daerah, yang rawan terhadap korupsi atau penyalahgunaan wewenang. Kedua, tidak ada institusi negara yang
mampu mengontrol secara efektif penyimpangan wewenang di daerah. Program
otonomi daerah telah memotong struktur hierarki pemerintahan, sehingga tidak
efektif lagi control pemerintah pusat ke daerah karena tidak ada lagi hubungan
struktural secara langsung yang memaksakan kepatuhan pemerintah daerah kepada
pemerintah pusat. Kepala daerah, baik gubernur, bupati, maupun walikota, tidak
lagi ditentukan oleh pemerintah pusat, melainkan oleh mekanisme pemilihan
kepala daerah oleh DPRD dan bertanggunjawab ke DPRD. Hubungan pemerintahan
pusat dan daerah hanya fungsional, yaitu hanya kekuasaan untuk memberi policy
guidance kepada pemerintah daerah tanpa diikuti oleh pengawasan yang memadai. Ketiga, legislatif daerah gagal dalam
menjalankan fungsinya sebagai lembaga kontrol. Justru sebaliknya terjadi kolusi
yang erat antara pemerintah daerah dan DPRD sehingga kontrol terhadap
penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak terjadi, sementara kontrol dari
kalangan civil society masih lemah. Yang perlu digaris bawahi, adanya lembaga
kontrol seperti DPRD yang secara konstitusi harus mengawasi kebijakan pihak
eksekutif (pemerintah daerah) tidak berarti peluang adanya penyelewengan dan
korupsi menjadi hilang. Justru ketika kolusi terjadi antara pihak eksekutif dan
legislatif, sangat sulit bagi masyarakat untuk melakukan kontrol.
Menurut
saya dengan kasus pencurian sandal tersebut oleh seorang anak yang dibawah umur dengan dikaitkan dalam undang-undang otonomi daerah
tersebut tidak ada hubungannya sama sekali karena ini kasus pencurian sandal,
yang berhak untuk mengadili itu pihak yang berwenang. Walaupun dalam pencurian
itu di daerah tapi setidaknya musyawarah secara baik-baik dari orang yang bersangkutan
yang mempunyai sandal tersebut dengan orang yang mencurinya.
V.
Jelaskan
pertanyaan di bawah ini
a.
Jelaskan
bagaimana pemerintah ORBA melakukan tindakan represif terhadap mahasiswa
setelah terjadinya MALARI ?
Jawaban :
Pada
masa Orde Baru banyak peristiwa yang terjadi di daerah-daerah selain peristiwa
Malari, ada juga peristiwa tanjung priok dan sebagainya.
Tindakan pemerintah melakukan kerjasama dengan militer atau ABRI. ABRI sebagai bagian dari unit
ketentaraan menganggap bahwa unjuk rasa, demonstrasi, dan kerusuhan bukan
sebagai bagian tak terpisakan dari hak-hak asasi rakyat untuk melakukan
aspirasi politik, melainkan suatu hal yang perlu ditindak. Membedah
peristiwa atau permasalahan pada masa orde baru, kiranya sangat menarik jika
dikaitkan dengan mahasiswa dan islam. Dalam masa-masa apapun, mahasiswa tentu
mempunyai pergerakan yang fluktuatif. Begitu pula dengan islam, merupakan salah
satu kekuatan besar yang harus diperhitungkan. aktivis atau mantan aktivis
mahasiswa pada masa itu mungkin tidak akan lupa dengan masalah NKK (Normalisasi
Kehidupan Kmpus)-BKK (Badan Koordinasi Kemahasiswaan). Ormas, partai, atau umat
islam mungkin tidak akan lupa dengan peristiwa Tanjung Priok atau pendirian
ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia).
SK
No.0156/U/1978 menerapkan kebijakan NKK pada perguruan tinggi. Konsep ini
mencoba mengarahkan mahasiswa hanya menuju pada jalur kegiatan akademik, dan
menjauhkan dari aktivitas politik karena dinilai secara nyata dapat
membahayakan posisi rezim. Menyusul pemberlakuan konsep NKK, pemerintah dalam
hal ini Pangkopkamtib Soedomo melakukan
pembekuan atas lembaga Dewan Mahasiswa
(DM), sebagai gantinya pemerintah membentuk struktur
keorganisasian baru yang disebut BKK. Berdasarkan SK menteri P&K
No.037/U/1979 kebijakan ini membahas
tentang
Bentuk Susunan Lembaga Organisasi Kemahasiswaan di Lingkungan Perguruan Tinggi,
dan dimantapkan dengan penjelasan teknis melalui Instruksi Dirjen Pendidikan
Tinggi tahun 1978 tentang pokok-pokok pelaksanaan penataan kembali lembaga
kemahasiswaan di Perguruan Tinggi
(Wikipedia: gerakan mahasiswa di Indonesia). Dikeluarkannya Tap MPR No. II/MPR/1983 mengharuskan
semua organisasi masyarakat dan partai berdasarkan pada asas tunggal pancasila.
Semua organisasi islam dan agama lain tidak terkecuali terkenai kewajiban
mengubah anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (Suwarno, 2009: 138). Hal ini
pula yang menjadi salah satu penyebab terjadinya peristiwa Tanjung Priok pada
tahun 1984 (Wikipedia: peristiwa Tanjung Priok). Dalam suatu negara, setiap
pemimpin kiranya bercita-cita menciptakan stabilitas dalam semua bidang. Cara
yang ditempuh masing-masing dapat berbeda sesuai dengan kapasitas,
situasi-kondisi, atau kebudayaan masyarakatnya.
Pada masa orde baru, nyatanya sebagian besar
masyarakat Indonesia masih bersifat paternalistik. Ini terbukti dari sebagian
besar masyarakat yang mengalami masa orde baru, saat ini merindukan masa-masa
yang oleh para kaum intelektual disebut-sebut sebagai masa-masa yang penuh
pengekangan tersebut. Inti dari persoalan tindakan represif tersebut adalah
menjaga stabilitas dari suatu negara. Apakah jawaban lain seperti gila kekuasaan,
psikopat, atau faktor lainnya, kami tidak bisa mengemukakan hal tersebut.
Karena hal ini dapat berupa ranah psikologis atau berkaitan dengan budaya jawa
kuno yang sangat banyak dan detail, sebagaimana Soeharto adalah seorang yang
kental akan petatah-petitih kebudayaan jawa.
b.
Bagaimana
tindakan represif pemerintah ORBA terhadap ISLAM ?
Jawaban :
Ideologi
pada Masa Orde Baru adalah Pancasila, sehingga siapapun orang yang memunculkan
ideology baru akan ditekan dan ditindas, seakan semua yang dilakukan oleh
pemerintah itu demi melanggengkan kedudukakannya. Pada masa itu pun dikeluarkan
UU No. 3 tahun 1985, Orde Baru kembali mengeluarkan kebijakan mengenai
Pancasila sebagai asas tunggal untuk organisasi-organisasi kemasyarakatan
melalui UU No. 8 tahun 1985. Organisasi masyarakat diberi waktu dua tahun untuk
menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Banyak Ormas yang melakukan
penolakan, sehingga banyak hal yang dilakukan oleh pemerintah untuk menekan
Islam termasuk tindakan represif (Online : http://sangpenyihirkata.wordpress.com/2011/01/01/asas-tunggal-pancasila-representasi-paranoia-rezim-orde-baru-terhadap-pergerakan-islam-1970-1990/). Seakan-akan setiap
ormas atau pun partai politik harus berpindah haluan mengikuti ideologi
Pancasila, tidak boleh menganut ideologi yang lain. Begitu pun dengan ormas
atau partai politik Islam yang kemudian ditekan karena dianggap radikal dan
membayakan, sementara yang dianggap moderat dirangkul dan dijadikan alat
intervensi pemerintah.
Berbagai
cara yang dilakukan pemerintah agar Ideologi Pancasila yang dijadikan ideologi
negara itu tidak dicampuradukkan dengan ideology yang dianut oleh masyarakat
karena dapat menghancurkan stabilitas bangsa pada waktu itu. Tidakan refresif
adalah salah satu dari tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru untuk
menjinakkan partai Islam, banyak sekali ormas yang diadili, dihakimi, bahkan
ditindak, dan hal itu dilakukan semi menegakkan ideology pancasila yang harus
ditegakkan dan dilaksanakan secara utuh.
Pemerintah
Orde Baru pada saat itu menggunakan politik bulldozer yang tidak lain menindas
dan menghancurkan, sehingga bisa dipastikan partai politik yang nantinya
mengikuti Pemilu adalah partai politik yang beraliran sama dan tidak
menggoyahkan kekuasaan. Sehingga bisa dipastikan hanya ada beberapa partai
politik yang dibiarkan menonjol dan yang lainnya dipukul rata hingga ke akarnya
karena dianggap tidak sesuai dan memang dimusnahkan demi stabilitas bangsa
Indonesian pada saat itu. Tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah Orde Baru ini
terhadap Islam, sebagai salah satu ideologi yang dianggap menyimpang sangatlah
represif, bukan sekedar larangan atau pun undang-undang tetapi tindakan
represif pun muncul mulai dari penindasan hingga penculikan yang dilakukan
kepada para pendukung Islam.
Banyak
sekali peraturan atau ketetapan yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk
meyakinkan bahwa ideologi yang satu-satunya harus ditaati adalah Pancasila, dan
partai politik yang harus dipilih oleh rakyat adalah Golkar, bahkan pada saat
itu setiap pegawai negeri sipil diharuskan untuk memilih Golkar. Dengan
kenyataan seperti ini, dengan tekanan dari pemerintah, maka banyak pegawai
negeri yang tadinya memilih partai politik Islam menjadi pindah haluan untuk
lebih memilih Golkar dan taat pada pemerintah, sehingga bisa dipastikan
presentase kedudukan partai Islam pada saat itu sangatlah kecil. Peraturan yang
dibuat oleh Pemerintah Orde Baru yaitu :
1. Berdasarkan
SU MPR 1978 mengenai Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4) dan UU
No. 3 tahun 1985 tentang partai politik dan Golongan Karya yang menjadikan
Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara.
2. UU
No. 3 tahun 1985, Orde Baru kembali mengeluarkan kebijakan mengenai Pancasila
sebagai asas tunggal untuk organisasi-organisasi kemasyarakatan melalui UU No.
8 tahun 1985. Organisasi masyarakat diberi waktu dua tahun untuk menjadikan
Pancasila sebagai satu-satunya asas (online : http://sangpenyihirkata.wordpress.com/2011/01/01/asas-tunggal-pancasila-representasi-paranoia-rezim-orde-baru-terhadap-pergerakan-islam-1970-1990/
)
Dari banyaknya aturan yang dibuat
diatas, maka bisa disimpulkan bahwa pemerintah Orde Baru pada saat itu memamg
sangat berpegang teguh pada ideologi Pancasila, dan menjadikan Golongan Karya
sebagai partai politiknya. Begitu pula dengan organisasi masyarakat yang
diharuskan untuk berganti asas dengan asas Pancasila yang merupakan asas
tunggal, dan jika tidak berganti azas sudah bisa dipastikan partai tersebut
akan ditindas dan akan menjadi mati. Dan kala itu partai Isam memang dianggap
sebagai penghalang dan penghambat karena pendukungnya yang sangat banyak. Rezim
Orde Baru ini sendiri sangat dekat dan merangkul partai Islam yang moderat, hal
ini dilakukan agar adanya hubungan yang baik, sehingga nantinya partai Islam
tersebut lebih memihak kepada pemerintah dan tidak bertindak macam-macam. Dalam
hal ini, bisa dikatakan bahwa meskipun Islam dibiarkan berkembang, tetapi tetap
dimotori dan dibuat untuk kepentingan penguasa, sehingga memuluskan jalan bukan
menghambat jalan seperti apa yang dilakukan oleh partai ataupun gerakan Islam
yang radikal.
Proses represif yang dilakukan oleh
pemerintah ini bukan hanya wacana atau isapan jempol belaka, tetapi memang ada
bukti yang menunjukkan bahwa pemerintah sangat menekan dan menindas Islam pada
saat itu sebagai hal yang sangat berbahaya. Banyak tragedi dan peristiwa yang
terjadi sebagai saksi represifnya rezim Orde Baru pada saat itu, peristiwa yang
sangat terkenal salah satunya adalah peristiwa Tanjung Priok yang terjadi di
Jakarta dan peristiwa Talangsari yang terjadi di Lampung yang dikategorikan
sebagai peristiwa pelanggaran HAM.
c.
Bagaimana
kebijakan perintah ORBA terhadap etnis minoritas China ? serta apa dampaknya
bagi etnis Thionghoa tersebut ?
Jawaban :
Pada
era pemerintahan Soeharto, insiden anti-Tionghoa terjadi di berbagai tempat
meskipun tidak meluas secara serempak di banyak tempat. Kebijakan rezim Orde
Baru terhadap warga Cina lebih sistematis dibandingkan kebijakan negara
sebelumnya. Pemerintah berpendapat bahwa keterlibatan warga Tionghoa dalam
peristiwa September 1965 merupakan hasil dari tidak berasimilasinya warga
Tionghoa dalam masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu pemerintah meluncurkan
program asimilasi yang sangat gencar. Pemerintah mengeluarkan Instruksi
Presiden No. 14 tahun 1967 mengenai pelarangan agama, kepercayaan, dan adat
istiadat Tionghoa yang menghalangi ekspresi kehidupan sehari-hari warga
Tionghoa. Proses marginalisasi dilakukan dengan cermat. Partisipasi politik
dihambat dengan berbagai alasan, termasuk dalam bidang sosial budaya. Pada masa
Orde Baru terdapat pengaruh keamanan dan Departemen Agama yang kadang-kadang
ikut campur dalam pelaksanaan ibadah keagamaan khususnya pada bentuk-bentuk
yang lebih Tionghoa.
Dulunya
acara seperti Tahun Baru Imlek, Perayaan Rebutan, atau Festival Kapal Naga
adalah acara umum yang menarik penonton dan bahkan pesertanya berasal dari
semua komunitas dengan disertai arak-arakan, menebar hadiah, dan membuka
arak-arakan besar. Selanjutnya acara keagamaan Tionghoa hanya dilakukan di
lingkungan kelenteng atau dalam kediaman keluarga. Selain alasan ketertiban
umum, pemerintah berdalih bahwa perayaan seperti Tahun Baru Imlek bukanlah
perayaan agama Budha dan oleh karenanya tidak ada alasan yang kuat
(Suhandinata, 2009: 135).
Meski
kemudian hal ini diperjuangkan oleh etnis Tionghoa Indonesia terutama dari
komunitas pengobatan Cina tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak
pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa di tulis dengan bahasa
mandarin. Mereka pergi hingga ke Makhamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung
Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia
bejanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan
pemerintahan Indonesia. Untuk keberhasilan ini kita mesti memberi penghormatan
bagi Ikatan Naturopatis Indonesia (I.N.I) yang anggota dan pengurusnya pada
waktu itu memperjuangkan hal ini demi masyarakat Tionghoa Indonesia dan
kesehatan rakyat Indonesia. Hingga Cina Indonesia mempunyai sedikit kebebasan
dalam menggunakan bahasa Mandarin. (Suryadinata, 1984: 146).
Satu-satunya
surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia
yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola
dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa
etnis Tionghoa bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang.
Akibatnya agama Tionghoa kehilangan pengakuan pemerintah. (Suryadinata, 1984:
165).
Pemerintah
Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai
kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan
menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa
kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak
belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan
perdagangan dilakukan Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis.
Sebagian lagi memilih untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan
keselamatan dirinya.
Pemerintah
melakukan asimilasi orang-orang Tionghoa dengan memutuskan hubungan dengan
leluhur dengan penggantian nama bagi WNI yang memakai nama Tionghoa, larangan
memperdagangkan dan mengedarkan segala jenis barang cetakan dalam bahasa
Mandarin, sekolah-sekolah Tionghoa ditutup dan semua anak sekolah harus pindah
ke pengajaran yang disampaikan dalam bahasa Indonesia. Koran berbahasa Mandarin
juga dilarang terbit. Organisasi Tionghoa tertentu dilarang, apakah itu
organisasi kaum totok seperti perhimpunan masyarakat berdasarkan tempat asal
atau organisasi kaum peranakan seperti BAPERKI, sebuah organisasi untuk
menggalakkan kewarganegaraan Indonesia dan membela kepentingan kaum minoritas.
(Suhandinata, 2009: 143).
Etnis
Tionghoa kembali berkonsentrasi dalam bidang ekonomi. Bentuk ekonomi kerjasama
atau ekonomi Ali-Baba pada tahun 1950-an kembali muncul pada masa pemerintahan
Soeharto. Praktek bisnis seperti ini dalam era orde baru dikenal sebagai sistem
cukongisme.(Supriyatna, 1996: 64). Cukong adalah istilah Cina (Hokkien)
yang berarti majikan. Di Indonesia istilah ini dipakai untuk menunjuk pengusaha
Tionghoa yang terampil, bekerja sama secara erat dengan mereka yang berkuasa,
khususnya militer sebagai perantara.
Orientasi
Orde Baru pada ekonomi membutuhkan penciptaan basis investasi yang luas dan
bersifat massal. Dalam hal ini yang memenuhi syarat untuk menghimpun modal
hanyalah golongan etnis Tionghoa karena lemahnya struktur modal yang dimiliki
oleh para pengusaha pribumi. Pemerintah Soeharto benar-benar memberikan
fasilitas dan proteksi untuk kemajuan bisnis beberapa tokoh Tionghoa, misalnya
Sudono Salim. Motif dibalik program pemerintah tersebut adalah untuk
mengerahkan potensi ekonomi Tionghoa di Indonesia dan dengan demikian mendorong
mereka menarik lebih banyak modal dari Singapura, Hongkong, dan pusat-pusat
bisnis Tionghoa perantauan di Asia. Segala fasilitas pemerintah yang
menguntungkan mempercepat kebangkitan kembali dominasi Tionghoa dalam ekonomi
Indonesia dan mendepak perusahaan-perusahaan pribumi (Mas’oed,1989: 99).
Kebijakan
ini dilatarbelakangi kepentingan politik dan ekonomi yang tampak sebagai upaya
untuk menyangga dan melanggengkan kekuasaannya. Sukses ekonomi warga etnis
Tionghoa pada masa Orde Baru akibat kebijakan yang diterapkan pemerintah telah
melahirkan sejumlah konglomerat. Akibatnya sentimen anti-Cina muncul kembali.
Misalnya pada Januari 1974 terjadi demonstrasi massa anti-Cina dan anti-Jepang.
Walaupun
jumlah orang etnis Tionghoa di Indonesia relatif sedikit, namun berhubung
dengan peranan mereka dalam kehidupan ekonomi, suatu peranan kunci dalam
masyarakat mana pun, maka mereka merupakan suatu minoritas yang berarti.
Keadaan inilah yang merupakan sumber permasalahan apa yang dinamakan “masalah
Cina”. (Melly G. Tan, 1981). Dari pernyataan Melly G. Tan tersebut dapat kita
lihat bahwa masalah ekonomi merupakan salah satu sebab pokok mengapa sampai
muncul “masalah Cina”. Masyarakat Tionghoa yang sebagian besar terjun dalam
bidang usaha dan pada akhirnya berhasil meraih sukses dianggap mengeruk
keuntungan dari masyarakat Indonesia lain.
Banyaknya
orang yang berasal dari etnis Tionghoa yang meraih sukses dalam bidang ekonomi
menyebabkan pemerintahan Orde Baru mengeluarkan kebijakan yang bersifat
diskriminatif, yaitu PP 10 Tahun 1959-1960 dan Keputusan Menteri Perdagangan
dan Koperasi Nomor 286/KP/XII/1978 yang menyebutkan orang Tionghoa di Jawa
tidak diperbolehkan berusaha di tingkat kabupaten. Kebijakan ini menyebabkan
terpusatnya pemukiman etnis Tionghoa di perkotaan. Di masa Orde Baru segelintir pengusaha
Tionghoa dijadikan kroni oleh para penguasa untuk memupuk kekayaan. Dalam
melakukan bisnisnya mereka banyak melakukan tindakan-tindakan kotor yang sangat
merugikan rakyat. Sudah tentu hal ini menimbulkan citra yang sangat buruk bagi
orang-orang Tionghoa di Indonesia. Perbuatan mereka benar-benar merusak
kehormatan etnis Tionghoa dan menjadikan mereka sasaran empuk ketidakpuasan
rakyat. "Binatang ekonomi dan apolitis" adalah dua stigma populer
yang berurat-akar bagi orang Tionghoa. Persepsi mayoritas elite politik
Indonesia tampaknya masih berkutat di situ karena menilai partisipasi Tionghoa
sebatas keuntungan ekonomis. Persepsi ini adalah buah dari asumsi tidak
mendasar bahwa komunitas Tionghoa yang hanya 2 persen dari populasi menguasai
70 persen perekonomian nasional. Citra kekuatan ekonomi komunitas Tionghoa
memang sudah ada sejauh sejarah kolonial. Terjadi generalisasi di masyarakat
bahwa etnis Tionghoa adalah binatang ekonomi yang rakus belaka. Padahal
mayoritas etnis Tionghoa adalah kalangan menengah ke bawah. Pada umumnya para
pedagang Tionghoa adalah pedagang perantara dan distribusi yang jauh dari
praktek KKN, malahan merekalah yang selalu menjadi korban pemerasan para
birokrat dan preman. Dalam setiap aksi kerusuhan merekalah yang selalu menjadi
korban penjarahan dan perusakan.
Demikian
juga tuduhan bahwa pengusaha-pengusaha Tionghoa anasionalis karena memindahkan
modalnya ke luar negeri terutama ke RRC harus dipelajari dengan seksama. Di era
globalisasi, perpindahan modal adalah hal yang wajar. Modal akan mencari
tempat-tempat di mana mereka akan berkembang dan memperoleh untung. Modal para
pengusaha baik domestik maupun asing akan pergi apabila terjadi situasi yang
tidak menguntungkan di suatu tempat atau negara manapun. Tetapi sebaliknya
modal asing akan berduyun-duyun masuk ke sebuah negara yang situasinya kondusif
dan menjanjikan keuntungan. Untuk itulah kita perlu memberi kemudahan, menjamin
stabilitas keamanan, adanya kepastian dan tegaknya hukum serta menghapuskan KKN
yang menjadi momok para pengusaha baik domestik maupun asing. (Suryadinata,
1984: 179).
Apabila
kita berkunjung ke kampung-kampung di sekitar Jabotabek seperti di perkampungan
Penjaringan Jakarta, Dadap, Kamal, Mauk di Tangerang, Cileungsi di Bogor, dan
Babelan di Bekasi maka kita akan menjumpai banyak sekali orang-orang Tionghoa
yang sangat miskin. Demikian juga apabila kita berkunjung ke kampung-kampung di
Kalimantan Barat terutama di Singkawang. Hal yang sama akan kita jumpai di
provinsi Riau dan Bangka Bilitung. Semua ini membuktikan bahwa tidak semua
orang Tionghoa adalah golongan ekonomi kuat seperti yang selalu
digembar-gemborkan sehingga dapat menimbulkan kesan yang sangat negatif di
kalangan masyarakat luas yang sangat merugikan etnis Tionghoa. Sedangkan di
bidang sosial selain yang disebutkan di atas, pada masa Orde Baru terdapat
beberapa kebijakan pemerintah yang bersifat diskriminatif, seperti Surat Edaran
No.06/Preskab/6/67 yang memuat tentang perubahan nama. Dalam surat itu
disebutkan bahwa masyarakat keturunan Tionghoa harus mengubah nama Cinanya
menjadi nama yang berbau Indonesia, misalnya Liem Sioe Liong menjadi Sudono
Salim. Selain itu, penggunaan bahasa Cinapun dilarang.
Adapun beberapa dampak
kebijakan pemerintah Orde Baru terhadap Etnis Tinghoa sebagai berikut :
Kekuasaan
rezim Soeharto membelenggu hak-hak kewarganegaraan etnis Cina. Selama lebih
dari 30 tahun masyarakat Tionghoa Indonesia tidak menerima hak kebebasannya
dalam beragama, berkeyakinan, berpikir, dan berkewarganegaraan. Dalam bidang
politik, etnis Tionghoa tidak diberikan tempat di pemerintahan maupun Badan
Legislatif pada waktu itu. Pada Orde Baru, penguasa mencoba untuk
meng-Indonesia-kan mereka dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang bersifat
semu, seperti penghilangan bahasa dan huruf Tionghoa, mengganti nama, melakukan
perkawinan campuran dan anti agama. Akibatnya kehidupan social terganggu,
contohnya mereka sulit mencari pekerjaan.
Untuk
mengidentifikasi lebih jauh bagaimana dampak kebijakan pemerintahan Soeharto
pada Masa Orde Baru terhadap Etnis Tionghoa, penyusun membaginya kedalam tiga
hal besar (Sulistiyani, 2011: 90-101), yaitu:
1. Ekonomi
Pada
1966 Jenderal Soeharto menjadi penguasa baru Indonesia dan merupakan orang
pertama yang menerapkan politik pro bisnis juga membuka pintu Indonesia kepada
etnis Tionghoa. Kebijakan politik Soeharto terhadap etnis Tionghoa adalah
memberikan kesempatan yang besar dalam bidang ekonomi. Kebijakan tersebut
mengandung 2 dimensi, budaya dan ekonomi.
Dalam
bidang budaya dia memperkenalkan politik asimilasi total dengan menghapuskan 3
pilar budaya Tionghoa, yakni sekolah, organisasi, dan media. Dalam bidang
ekonomi, penguasa baru ini memberikan kesempatan kepada etnis Tionghoa. Hal ini
berhubungan dengan strategi besarnya dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan
perkembangan Indonesia untuk memberikan legitimasi kekuasaannya.
2. Pendidikan
Setelah
pelimpahan kekuasaan 11 Maret 1966 dari Soekarno ke Soeharto terjadi aksi
penutupan sekolah-sekolah asing terutama sekolah Baperki yang melayani
kebutuhan masyarakat Tionghoa dilakukan oleh para Kesatuan Aksi Pemuda pelajar
Indonesia (KAPPI) dan dibantu oleh aparat militer dari LPKB. Pihak militer
tidak melarang aksi pengambil-alihan sekolah-sekolah Baperki sebagai bagian
dari pembersihan yang lebih luas terhadap unsure Gestapu/PKI. Aksi tersebut
semakin meluas. Barulah pada tanggal 19 Mei, Wakil Perdana Menteri Roeslan
Abdulgani mengumumkan keputusan cabinet bahwa semua sekolah asing di Indonesia
dilarang. Statistik yang dipersiapkan oleh Biro Hubungan Luar Negeri dari
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dalam bulan April tahun 1966 menunjukkan
bahwa jumlah sekolah asing di Indonesia dalam tahun pelajaran 1965-1966, ada
667 dan 629 diantaranya adalah sekolah Tionghoa. Jumlah murid seluruhnya yang
masuk sekolah-sekolah tersebut adalah 276.382 orang, dimana 272.782 diantaranya
adalah orang Tionghoa asing. Dan diantara 8.602 guru ada 6.478 yang merupakan
orang Tionghoa asing.
Penutupan
sekolah-sekolah asing tersebut, menetapkan bahwa siswa yang menjadi murid di
bekas sekolah itu tidak akan ditampung di sekolah-sekolah nasional–swasta.
Mereka berhak untuk sekolah di sekolah-sekolah negara jika mereka bisa memenuhi
syarat-syarat masuk yang serupa dengan murid-murid lainnya dan mereka di bagi-bagi
agar tidak ada pengelompokkan di salah satu sekolah. Namun jumlah murid
Tionghoa yang dapat diterima hanya 5 % dan dalam praktek ternyata sangat sukar
bagi mereka untuk memasuki sekolah-sekolah negeri. Hal ini berdampak pada etnis
Tionghoa:
·
Hanya berpendidikan
sampai jenjang SD
·
Tidak bisa menulis dan
membaca
·
Hidup dalam kemiskinan
dari generasi ke generasi
3. Budaya
Tionghoa
Secara
yurisdis, segala budaya Tionghoa telah ditolak dan dilarang oleh pemerintah
dalam segala bentuknya. Warisan budaya Tionghoa dianggap berbahaya karena dapat
menghambat proses asimilasi yang sedang digalakkan oleh pemerintah. Lebih
lanjut, semua teks yang memakai tulisan Mandarin dilarang. bahkan surat yang
sedikit saja mengandung tulisan Mandarin ditolak dan tidak akan dikirimkan oleh
Kantor Pos Indonesia. Penayangan film maupun video yang menggunakan bahasa
Mandarin pun dilarang. segala hal yang beraktivitas dengan budaya Tiongkok
dilarang.
Meskipun
demikian, menurut Oey tjin Eng, disana-sini masih saja terdapat berbagai macam
budaya Tonghoa yang dijalankan meski tidak dalam skala yang meriah dan
nasional. Sejak tahun 1993 budaya Imlek telah dilarang namun masih ada yang
melaksanakannya, seolah pemerintah diam saja dengan kenyataan itu semua, karena
menyadari bahwa hal itu akan mendatangkan keuntungan yaitu pungutan-pungutan
bagi mereka yang telah melanggar peraturan dari pemerintah. Peraturan
pemerintah menjadi senjata untuk merampok orang-orang Tionghoa. Ini
pertama-tama menunjukkan bahwa pemerintah sebetulnya memiliki kuasa. Maka dari
semua pelarangan budaya atersebu, motif di balik semua pelarangan tersebut
adalah ekonomi.
Sumber
Internet
Paschall.
(2011). Lepasnya Timor Timur Dari NKRI.
[Online]. Tersedia : http://paschall-ab.blogspot.com/2011/08/lepasnya-timor-timur-dari-nkri.html
[23 Desember 2012]
Ridho,
Y. (2011). Peran Militer Dalam Konflik
Masa Orde Baru. [Online]. Tersedia : http://yanuaridho.wordpress.com/2011/12/24/peran-militer-dalam-konflik-masa-orde-baru/
[23 Desember 2012]
_________.
(_____). Makalah ICMI. [Online].
Tersedia : http://www.scribd.com/doc/46303737/makalah-ICMI
[23 Desember 2012]
________.
(______). Masalah Timor Timur Dan Politik
Luar Negeri. [Online]. Tersedia: http://frenndw.wordpress.com/2010/01/13/masalah-timor-timur-dan-politik-luar-negeri-ri/
[23 Desember 2012]
________.
(_____). Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia.
[Online]. Tersedia : http://id.wikipedia.org/wiki/Ikatan_Cendekiawan_Muslim_Indonesia
[23 Desember 2012]
_________.
(_______). Otonomi Daerah Di Indonesia.
[Online]. Tersedia : http://id.wikipedia.org/wiki/Otonomi_daerah_di_Indonesia
[23 Desember 2012]
Sumber
Skripsi
Ratican,
R. (2005). Pengaruh Kemerdekaan Timor
Leste terhadap Hubungan Australia dengan Indonesia. Malang: Di terbitkan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar