Jumat, 27 Desember 2013

UAS Orba dan Reformasi


       I.            Jelaskan pertanyaan di bawah ini
a.    Jelaskan bagaimana latar belakang terbentuknya ICMI ?
Jawaban :
Awal terbentuk organisasi ICMI ini di mulai dari diskusi kecil dari orang yang berpendidikan intelektual tinggi. Menjelang akhir dekade 1980-an dan awal dekade 1990-an, dunia ditandai dengan berakhirnya perang dingin dan konflik ideologi. Pada tahun 90an, perkembangan dan pertumbuhan gerakan dakwah ini terbantu dengan berdirinya ICMI. Dari sebuah diskusi para muslim, pada tanggal 1 Oktober 1990. Mahasiswa Unibraw yang terdiri dari Erik Salman, Ali Mudakir, M. Zaenuri, Awang Surya dan M. Iqbal berkeliling menemui para pembicara, di antaranya Immaduddin Abdurrahim dan M. Dawam Rahardjo. Dari hasil pertemuan tersebut pemikiran mereka terus berkembang sampai muncul ide untuk membentuk wadah cendekiawan muslim yang berlingkup nasional. Kemudian para mahasiswa tersebut dengan diantar Imaduddin Abdurrahim, M. Dawam Rahardjo dan Syafi’i Anwar menghadap Menristek Prof. B.J. Habibie dan meminta beliau untuk memimpin wadah cendekiawan muslim dalam lingkup nasional. Pada waktu itu B.J. Habibie menjawab, sebagai pribadi beliau bersedia tapi sebagai menteri harus meminta izin dari Presiden Soeharto. Beliau juga meminta agar pencalonannya dinyatakan secara resmi melalui surat dan diperkuat dengan dukungan secara tertulis dari kalangan cendekiawan muslim. Sebanyak 49 orang cendekiawan muslim menyetujui pencalonan B.J. Habibie untuk memimpin wadah cendekiawan muslim tersebut.
Pada tanggal 27 September 1990, dalam sebuah pertemuan di rumahnya B.J Habibie memberitahukan bahwa usulan sebagai pimpinan wadah cendekiawan muslim itu disetujui oleh Presiden Soeharto. Beliau juga mengusulkan agar wadah cendekiawan muslim itu diberi nama Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia atau di singkat dengan ICMI. Tanggal 28 September 1990, sejumlah cendekiawan muslim bertemu lagi dalam rangka persiapan simposium yang akan diselenggarakan bulan Desember. Pada tanggal 25-26 November 1990, sekitar 22 orang cendekiawan yang akan membentuk wadah baru berkumpul di Tawangmangu, Solo dalam rangka merumuskan beberapa usulan untuk GBHN 1993 dan pembangunan Jangka Panjang Tahap kedua 1993-2018 serta rancangan Program Kerja dan Struktur Organisasi ICMI.
Pelaksanaan simposium sempat terganggu oleh gugatan tentang rencana B.J. Habibie sebagai calon Ketua Umum ICMI karena beliau sebagai birokrat. Kepemimpinannya dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap kebebasan para cendekiawan muslim. Dari pertemuan tersebut menghasilkan beberapa komitmen, pertama, berdirinya ICMI merupakan ungkapan syukur umat Islam yang mempu melahirkan sarjana dan cendekiawan. Kedua, untuk memimpin ICMI diperlukan tokoh cendekiawan muslim yang reputasi nasional dan internasinal serta dapat diterima oleh umat Islam, masyarakat Indonesia maupun pemerintah. Ketiga, hanya Unibraw (Universitas Brawijaya), salah satu wahana keilmuan yang cukup pantas melahirkan organisasi itu, apalagi pemerkasanya adalah mahasiswa univeritas tersebut. Halangan juga sempat datang dari aparat keamanan setempat. Dalam rapat gabungan antara penyelenggara, pemda dan aparat keamanan di Surabaya, empat hari menjelang acara, aparat keamanan menyoal pembentukan organisasi tersebut. ICMI, kata mereka harus diwaspadai. Tapi Abdul Aziz Hosein yang menghadiri acara tersebut sebagai panitia penyelenggara mengatakan bagaimanapun ICMI akan terbentuk karena presiden sudah menyetujui dan AD atau ART-nya sudah disusun.
Tanggal 7 Desember 1990 merupakan lembaran baru dalam sejarah umat Islam Indonesia di era Orde Baru, secara resmi Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) dibentuk di Malang. Saat itu juga secara aklamasi disetujui kepemimpinan tunggal dan terpilih Bahharuddin Jusup Habibie sebagai Ketua Umum ICMI yang pertama. Dalam sambutannya beliau mengatakan bahwa dengan berdirinya ICMI tidak berarti kita hanya memperhatikan umat Islam, tetapi mempunyai komitmen memperbaiki nasib seluruh bangsa Indonesia, karena itu juga merupakan tugas utama. Organisasi para cendekiawan muslim yang berdiri pada tahun 1990 di Malang, Jawa Timur itu merupakan salah satu faktor penting perubahan pada tingkat negara yang membawa pengaruh pada perkembangan politik pada tingkat nasional, khususnya yang berkaitan dengan umat Islam. Kelahiran organisasi ini merupakan titik yang mempengaruhi pola hubungan antar umat islam di satu sisi dan negara Orde Baru di sisi lain.  Kelahiran ICMI ini disambut sebagai hal yang menggembirakan bagi banyak kalangan, khususnya kelas menengah umat Islam. Sebab dengan berdirinya ICMI akan berdampak positif bagi perkembangan umat islam.
Peran seorang Habibie memang sangat dominan dalam menaikkan peran politik kalangan islam ini. Sebagai seorang kepercayaan Soeharto penguasa yang sesungguhnya pernah menaruh kecurigaan berlebihan kepada politik kalangan islam itu, Habibie bisa dengan leluasa menjalankan program-program ICMI dan memanfaatkan sumber daya birokrasi yang berada dalam wilayah kontrolnya, untuk men-support program dari organisasi tersebut.
b.   Bagimana peranan ICMI dalam transformasi islam di Indonesia ?
Jawaban :
Peranan ICMI sebagai organisasi yang berbau Islam mempunyai peranan yang sangat penting terhadap umat islam yang mengikuti dalam organisasi tersebut. Awalnya organisasi ini yang berbau Islam pada waktu orde baru dilarang oleh pemerintahan Soeharto tetapi karena kedekatan Habibie dengan Soeharto pada akhirnya di setujui dengan mendirikan organisasi tersebut.  ICMI membawa peranan yang sangat besar, sejak kelahiran organisasi ini yaitu organisasi ini membangun program yang sangat menguntungkan bagi mereka maupun masyarakat yang didasarkan pada landasan hukum islam. Organisasi ini juga terjun dalam bidang Sosial, Ekonomi, dan Politik, dalam bidang ekonomi organisasi ini membangun sebuah Bank yang berdasarkan hukum islam yaitu Bank Muamalat Syariah. 
Pandangan menurut William dan Liddle mengatakan bahwa Indonesianis terkemuka ini melihat kebangkitan politik Islam (yang dipresentasikan oleh ICMI) tidak sebagai hasil dari desakan sosiologis masyarakat, tetapi sebagai fenomena pergesekan dan pergeseran (sirkulasi) dielit politik belaka. Hubungan dekat Islam dan negara di era 1990 an ini sekedar menunjukkan peralihan basis politik Soeharto setelah mendinginnya hubungan antara presiden dan petinggi Angkatan Darat. Liddle juga tidak percaya pada proses Islamisasi di tengah-tengah masyarakat secara luas ataupun aparat birokrasi.
Menurut Robert William Hefner melalui pendekatan sosiologis, kebangkitan politik islam pada era 90 an berasal dari akar sosiologis yang lebih jauh dan dalam yaitu dari dinamika yang terjadi secara internal dalam masyarakat dan kelas menengah umat islam. Kebangkitan politik islam ini bukanlah sebagai hasil pergeseran politik dalam elit negara, melainkan produk dari proses sosio-ekonomi-politik masyarakat islam Indonesia yang cukup panjang.
Kebangkitan agama itu secara mencolok juga ditandai dengan tampilnya Islam sebagai "ideologi peradaban" dunia dan kekuatan alternatif bagi perkembangan peradaban dunia. Tetapi bagi umat Islam sendiri, kebangkitan yang muncul justru memberikan motivasi untuk mencari alternatif bagi munculnya transformasi nilai-nilai kultural yang membebaskan manusia dari kegelisahan batin dan ketidakpastian tujuan hidup, sebagai akibat perkembangan peradaban yang terlalu berorientasi pada materialisme. 
Dalam situasi seperti ini, Islam ternyata menjadi pilihan yang lebih menjanjikan di banding dengan ideologi atau peradaban mana pun. Bertahap tapi pasti, semangat keislaman meningkat dan menyatu dalam identitas keindonesiaan bangsa Indonesia yang tengah melaksanakan pembangunan. Ini membawa konsekuensi bagi meningkatnya peran serta umat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 
Meningkatnya peran serta umat Islam itu ditunjang dengan adanya ledakan kaum terdidik (intellectual booming) di kalangan kelas menengah kaum santri Indonesia. Program dan kebijaksanaan pendidikan Orde Baru secara langsung maupun tidak langsung telah melahirkan generasi baru kaum santri yang terpelajar, modern, berwawasan kosmopolitan, berbudaya kelas menengah, serta mendapat tempat dalam institusi-institusi modern. Panen besar kaum terpelajar muslim itu semakin bertambah ketika dunia pendidikan makin memberikan peluang kepada mereka untuk bisa meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, baik di dalam maupun di luar negeri. Berkat kecakapan dan kemampuan akademik yang tinggi, kelas menengah "neo-santri" yang terpelajar itu dapat memasuki dan mengisi lapisan birokrasi, dunia kampus, dunia usaha, dan lembaga-lembaga masyarakat dengan profesionalisme yang teruji. Dengan kondisi yang membaik ini, maka pada dasawarsa 80-an mitos bahwa umat Islam Indonesia merupakan "mayoritas tetapi secara teknikal minoritas" runtuh dengan sendirinya. Ini semua melahirkan kepemimpinan intelektual yang sangat kontributif terhadap pembangunan bangsa. Melaui ICMI penduduk Indonesia dapat lebih berperan dalam pembangunan nasional.
c.    Hambatan apa yang dihadapi ICMI dalam pergerakannya ?
Jawaban :
Sebelum lahirnya ICMI juga sudah terjadi pro dan kontra dalam mendirikan organisasi ini, namun hal itu kembali lagi terhadap kepentingan setiap anggota ICMI karena setiap orang pasti mempunyai kepentingan masing-masing walaupun terdapat dalam sebuah ikatan yang bernama ICMI. Hambatan yang terjadi selama masa pergerakan adanya tarik menarik antara kepentingan intelektual murni dengan kepentingan politik.
d.   Bagaimana dampak berdirinya ICMI bagi ORBA dan masyarakat RI ?
Jawaban :
Dampak berdirinya ICMI bagi ORBA
Program dan kebijakan Orde Baru secara langsung maupun tidak langsung telah melahirkan generasi baru kaum santri yang terpelajar, modern, berwawasan kosmopolitan, berbudaya kelas menengah, serta mendapat tempat pada institusi-institusi modern. Dalam sambutannya Bahharuddin Jusup Habibie sebagai Ketua Umum ICMI yang pertama. mengatakan bahwa dengan berdirinya ICMI tidak berarti kita hanya memperhatikan umat Islam, tetapi mempunyai komitmen memperbaiki nasib seluruh bangsa Indonesia, karena itu juga merupakan tugas utama.
Dampak berdirinya ICMI bagi masyarakat RI
        Keberadaan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia masih di butuhkan masyarakat terutama dalam pengembangan sumber daya manusia dan membangun peradaban masyarakat madani. Menerapkan hukum sesuai dengan ke islaman dan memajukan  Negara untuk lebih baik.
    II.            Jelaskan pertanyaan di bawah ini
a.      Jelaskan manfaat dari perkuliahan sejarah orde baru dan reformasi di Indonesia bagi anda selaku mahasiswa jurdik sejarah ?
Jawaban :
Manfaat dalam perkulihan, mata kuliah Sejarah Orde Baru dan Reformasi selama satu semester ini dan semenjak semester satu kemarin adalah kelanjutan sejarah Indonesia yang menjadi tonggak dari sebuah perubahan sejarah ORBA dan negara Indonesia. Selain itu juga sejarah Orba menjadikan perubahan Indonesia yang lebih baik lagi. Setelah terjadinya peristiwa gerakan mahasiswa yang dilakukan oleh mahasiswa Trisakti itu merupakan pelajaran bagi manusia dan proses mengalami perubahan dalam sistem pemerintahan yang terjadi.
Selain itu juga manfaat yang didapat oleh saya dalam mata kuliah ini dapat mengetahui sebuah peristiwa dari tahun ke tahun yang terjadi di Indonesia karena dalam perkuliahan ini sejarah Indonesia, kita juga harus mencintai negaranya sendiri dan harus mengetahui sejarah Indonesianya sendiri. Yang harus di koreksi biasanya Pak Erick memberikan review setiap presentasi dan dikumpulkan pada esok harinya tetapi pada mata kuliah ini tidak memberikan review. Kemudian tugas UTS itu membuat review artikel dari Pak Andi sudah sangat baik karena memberikan dorongan bagi kita untuk membaca sebuah artikel maupun berita yang lebih banyak lagi dan juga bermanfaat bagi kita mengetahui informasi yang saling tukar menukar terhadap Universitas yang lainnya dan juga mempelajari bahasa negara asing maupun lokal.    
b.      Jelaskan bagaimana latar belakang serta proses integrasi TIM-TIM  ke NKRI ?
Jawaban :
Perjuangan sejarah untuk mendapatkan wilayah Timor Timur sangat panjang belum lagi masalah yang terjadi di negara Portugis yang bersamaan dengan perebutan wilayah kekuasaan Timor Timur tersebut. Waktu rakyat Timor Leste mengumumkan kemerdekaan pada tahun 1999, mereka mengakhiri abad-abad kekuasan asing dan kekerasan yang tersebar luas. Pemerintah Portugis menguasai daerah Timor Portugis (bekas nama untuk Timor Leste) sejak awal abad ke-16. Politik penjajahan Portugis kurang baik dan rakyat Portugis “dinina bobokkan” sementara sumber-sumber alamnya dieksploitasi. Walaupun, transisi dari kekuasaan Portugis tidak mengurangi kekerasan sehingga rakyat Timor Portugis terus menderita, di bawah penguasaan Indonesia.  Akhirnya, pada tahun 1999, masyarakat Timor Timur (nama Timor Leste pada saat berada dalam wilayah penguasaan Indonesia) diberikan kesempatan untuk memutuskan nasib sendiri dan mengakhiri zaman penderitaan.
Masalah merdeka atau integrasi untuk Timor Timur ditimbulkan karena peristiwa-peristiwa di Portugal. Portugal mengalami pergolakan politik sepanjang tahun 1974.  Pada tanggal 25 April 1974 pemerintah Caetano digulingkan revolusi militer- Revolusi Anyelir- yang dipimpin Antonio de Spinola. Pemerintah Portugal yang baru memulai memodernisasikan ekonominya dan menarik kembali secara berangsur-angsur dari jajahan di Afrika dan Asia.  Ketika penguasaan Timor Portugis dilepaskan pemerintah Portugal, Timor Portugis diberikan kemerdekaannya. 
Saat itu banyak partai politik dibentuk termasuk UDT (Uni Demokratik Timor/ Uniao Democratica Timorense), Apodeti (Perhimpunan Demokrasi Rakyat Timor/ Associacao Popular Democratica da Timorense), Fretilin (Front untuk kemerdekaan Timor/ Frente Revolucionario da Timor), KOTA dan Trabalhista.  UDT-Fretilin membentuk front anti-integrasi walaupun Apodeti, dan partai kecil yang lain, mendukung integrasi dengan Indonesia. Sejak pemulaan, Apodeti disokong, secara keuangan dan moril, pemerintah di Jakarta.  Sepanjang tahun 1974 Indonesia memelihara pendirian bahwa Indonesia tidak berminat kepada penguasaan Timor Portugis.  Betapapun, Indonesia terus menyokong tujuan Apodeti dalam cara non-militer.  Akan tetapi Apodeti tidak disokong masyarakat Timor Portugis, sekalipun Jakarta mengatakan sebagian besar penduduk Timor Portugis mendukung Apodeti dan tujuannya integrasi dengan Indonesia.
Penggabungan UDT-Fretilin didukung kebanyakan orang Timor Portugis tetapi penggabungannya berantakan sebab perbedaan ideologi antara dua partai dan kecurigaan terhadap pihak atau partai lain.  Pada bulan Mei 1975 UDT menarik diri dari penggabungan dan ia menjadi kurang anti-integrasi dan lebih pro-integrasi. Dengan demikian Indonesia memperbesar kampanyenya mengasingkan Fretilin dari masyarakat Timor Portugis, masyrakat Indonesia, dan yang paling penting, negara-negara Barat. Indonesia melakukan ini karena mengatakan Fretilin adalah partai sosialis atau komunis yang mengancam Indonesia dan kapitalismenya dan demokrasinya. Walaupun Portugal tidak mendukung partai politik apa saja dalam secara aktif, kemerdekaan Timor-Portugis dilebihkan, tetapi pemerintah Portugal juga tidak mau menghina pemerintah di Jakarta. Sebagai akibat Portugal memainkan peranan yang batas di ketetapan masa depan jajahannya. Akhirnya Fretilin menyatakan kemerdekaannya sebagai Republica Democratica da Timor Leste pada tanggal 28 Nopember 1975. Ini dijawab oleh gerakan pro-integrasi dengan pengumuman Pernyataan Balibo yang merupakan pernyataan integrasi Timor Portugis di dalam Republik Indonesia, pada tanggal 30 Nopember 1975.  Dan kemerdekaan Timor Portugis dialihkan.
Sesudah Pernyataan Balibo dinyatakan, penggabungan UDT-Apodeti-KOTA-Trabalhista angkatan-angkatan bersenjata Indonesia menyerbu Timor Portugis supaya melindungi putusan integrasi dengan Indonesia. Pada tanggal 7 Desember 1975, sebelum matahari terbit, Dili-ibu kota Timor Portugis- dibombardir oleh pasukan yang diangkut dengan kapal, dan pasukan-pasukan payung dari Kostrad. Penyerbuannya sekaligus berhasil dan tidak berhasil. Pasukan-pasukan payung mendarat di tempat yang salah, bukan kota Dili, tetapi di atas pasukan Fretilin yang sudah mundur dan kedua belah pihak menderita banyak korban. Pasukan-pasukan Indonesia tidak bisa menyatukan rakyat Timor Portugis di bawah bendera Republik Indonesia. Akhirnya, pasukan Indonesia memperoleh kekuasaan yang terbatas. Akan tetapi ada lebih banyak korban, kerusakan fasilitas umum, dan perlawanan dari pemimpin-pemimipin Indonesia. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, pemerintah sementara dibentuk oleh penguasa-penguasa Indonesia pada tanggal 17 Desember 1975. Kemudian Majelis Rakyat, yang beranggotakan 37 orang yang dipilih karena mereka mendukung integrasi, memilih integrasi ke dalam Republik Indonesia. Selanjutnya, pada tanggal 17 Juli 1976  Daerah Tingkat I Timor Timur dibentuk, menyusul dikeluarkannya Undang-undang No. 7 1976 tentang penyatuan Timor Timur dengan Republik Indonesia. Timor Timur menjadi propinsi ke-27 secara resmi dan menjadi bagian dari negara kesatuan Republik Indonesia yang berdaulat.
Pencaplokan Timor-Portugis yang sebagian besar penduduknya beragama Katolik mengisyaratkan permulaan kampanye integrasi yang kejam. Banyak organisasi dunia, misalnya Amnesty International, memperkirakan bahwa sebanyak 100.000 orang Timor Portugis terbunuh oleh pihak keamanan. Kesimpulan ini dipertegas oleh Laporan Dunn (yang ditulis diplomat Australia yang dulu, James Dunn) yang mengatakan hampir 15 persen penduduk Timor Portugis dibunuh. Setelah Timor Portugis dikuasai Indonesia, dengan proses integrasi tetapi tetap akan menjatuhkan reputasi Indonesia di mata dunia.
Peristiwa-peristiwa yang terjadi di Timor Portugis memang akan menjadi perhatian negara-negara lain. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyesalkan penyerbuan Indonesia ke Timor Timur dan proses integrasi tersebut, tidak diakui oleh PBB tetapi menganggap Timor Timur masih sebagai jajahan Portugis. Majelis Umum PBB mengeluarkan resolusi-resolusi resmi yang mengutuk tindakan baik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) maupun pemerintah Indonesia, dan kekerasan yang terus terjadi. Portugal tidak memberi realitas yang jelas, Portugal hanya berealitas sekitar bagaimana menjawab penggabungan Timor Portugis dengan Indonesia.  Jawaban Portugis yang pertama adalah memutuskan hubungan diplomatik dengan Indonesia.  Akan tetapi, selama tahun akhir tujuh puluhan dan permulaan delapan puluhan pemerintah Portugis harus memutuskan apakah meneruskan pendirian kuat menentang penyerbuannya. Akan tetapi sebelum akhir delapan puluhan pemerintah Portugis sudah menjelaskan pendirian terhadap Timor Timur dan menaikkan tekanan terhadap PBB dan Indonesia untuk membolehkan pemutusan nasib sendiri.
Meskipun penghukuman PBB yang berulang-ulang integrasi Timor Portugis ke dalam Republik Indonesia didukung secara mutlak oleh negara-negara yang terpenting AS dan Australia. Waktu kemerdekaan dinyatakan Fretilin pada tanggal 28 Nopember 1975, Timor Leste tidak diakui Indonesia, Portugal Australia atau AS. Kekurangan pengakuan ini dimaksud oleh pemerintah Indonesia sebagai tanda bahwa negara-negara ini mendukung integrasi Timor dengan Indonesia. Indonesia memaklumi sokongan AS dan Australia karena negara-negara ini mampu mengancam Indonesia dengan penyerbuan yang untuk melindungi kemerdekaan Timor Leste. Sebaliknya, Australia, dan terutama AS, tidak mau menjadi terlibat dalam soal Timor Timur.  Demikian juga Indonesia tidak mau membuat marah Australia dan AS. Bahkan rencana untuk integrasi diubahkan supaya penyerbuan tidak bertepatan dengan kunjungan resmi Presiden AS Gerald Ford dan Menteri Luar Negeri Henry Kissinger ke Jakarta. Ternyata sementara kunjungan ini Kissinger menyetujui untuk penyerbuannya. Akan tetapi Kissinger menanyakan penyerbuan diselesaikan dalam secara cepat dan efisien, dan tanpa penggunaan bantuan dari Amerika.
Ada bermacam-macam alasan untuk bantuan Amerika, dan Australia juga.  Pertama soal kemerdekaan Timor Portugis yang timbul sejak zaman Perang Dingin, dan ini mempunyai pengaruh yang kuat terhadap reaksi-reaksi AS dan Australia.  AS dan Australia baru menarik kembali pasukan-pasukannya dari Vietnam. Perang Vietnam sangat kejam dan pasukan-pasukan AS dan Australia menderita banyak korban.  Akan tetapi AS tidak berhasil di Perang Vietnam dan Vietnam dikuasai pemerintah komunis.  Oleh karena itu, waktu pemerintah Indonesia menggambarkan Fretilin sebagai partai politik yang komunis, AS menjadi sangat khawatir karena kalau Fretilin menguasai Timor Portugis berada satu negara lagi yang komunis dalam wilayah Asia.
Rezim Suharto memiliki sejarah panjang anti-komunisme. Pada tahun 1965 kudeta terjadi yang dipimpin perwira-perwira tentara. Menurut Suharto, perwira-perwira tentara ini bersama Partai Komunis Indonesia (PKI), dan kudetanya dipadamkan Jenderal Suharto. Waktu Jend. Suharto menggantikan Sukarno sebagai Presiden Republik Indonesia Suharto dan pemerintahnya melarang PKI dan menindas komunisme di seluruh Indonesia. Sebagai akibat Pemerintah Suharto disokong Australia dan AS karena Indonesia menjadi bersekutu yang kuat dengan mereka dalam wilayah Asia.  Pemerintah Suharto juga menyebabkan keamanan Indonesia untuk membantu dengan sistem-sistem ekonomik dan keamanan Barat. Oleh karena itu AS, dan Australia, memutuskan bahwa hubungan yang baik dan bersahabat dengan Indonesia lebih penting daripada proses dekolonisasi yang adil atau dukungan untuk menarik diri. Hak untuk memutuskan nasib sendiri untuk Timor Portugis diabaikan karena negara-negara Barat memerlukan sekutu anti-komunisme yang kuat dalam wilayah.
Dukungan Australia untuk Timor Portugis integrasi dalam Republik Indonesia dilembutkan kematian lima (5) wartawan Australia di Timor Portugis.  Pada bulan Oktober 1975 wartawan-wartawan Australia dibunuh dalam kekerasan antara Fretilin dan gabungan UDT-Apodeti-Kota.  Akhir Nopember 1975 Duta Besar Australia Richard Woolcott diberitahukan, dalam secara resmi, Kepala Bakin Letnan Jenderal Yoga Sugama bahwa mayat-mayat lima (5) wartawan Australia diketemukan di Balibo. Menurut surat resmi ditulis Presidium Apodeti D. Guilhermo Maria Gonvalces lima belas (15) pendukung Fretilin terbunuh dalam peperangan pada tanggal 22 Oktober, dan ada empat (4) mayat yang kulit putih.  Kemudian, partol Apodeti menemukan dua (2) mayat di daerah pinggiran Balibo.  Sebuah mayat kulit putih dan mempunyai dokumen-dokumen dan kamera. Walaupun tidak ada bukti yang meyakinkan, dipercaya mayat-mayat ini dimiliki lima (5) wartawan Australia.  Reaksi masyarakat Australia terhadap kematian ini melembutkan dukungan untuk Indonesia, karena kematian terjadi dalam keadaan yang kurang jelas.  Banyak orang Australia mendukung tuntutan Fretilin untuk kemerdekaan, dan ada orang Australia di Timor Portugis yang mencoba-coba untuk melembutkan tuntutan Indonesia  untuk integrasi. 
c.       Jelaskan bagaimana sampai terjadinya TIM-TIM lepas dari NKRI?
Jawaban :
Berakhirnya rezim pemerintahan otoritarian Orde Baru yang ditandai dengan pengunduran diri mantan Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 sebagai akibat dari gerakan reformasi yang dimotori oleh mahasiswa telah membuka cakrawala baru bagi penyelesaian persoalan Timor Timur. Gerakan reformasi dilakukan sebagai bentuk ungkapan kekecewaan yang dirasakan oleh rakyat Indonesia dan dilakukan pada saat terjadi krisis multidimensi di Indonesia. Dengan momentum reformasi itu, persoalan status Timor Timur yang menarik perhatian PBB dan masyarakat internasional diharapkan memperoleh kejelasan. Penyelesaian masalah Timor Timur ini dilanjutkan oleh B.J Habibie dengan mengeluarkan kebijakan berupa pemberian status khusus dengan otonomi luas dalam sebuah rapat kabinet pada tanggal 9 Juni 1998.
Konsep Otonomi Luas telah lama menjadi pembicaraan banyak kalangan bagi penyelesaian persoalan Timor Timur. Setelah insiden Santa Cruz, Uskup Carlos Filipe Ximenes Belo sudah berusaha menyerukan otonomi bagi Timor Timur sebagai alternatif terbaik yang dapat dilakukan. Seruan tersebut disampaikannya setelah surat usulan tentang referendum yang pernah disampaikannya kepada Sekretaris Jendral PBB-Javier Perez de Cuellar mendapat reaksi keras dari Pemerintah Republik Indonesia. Dalam surat tersebut, Uskup Belo mengungkapkan pengalamannya selama bertugas untuk memperjuangkan keadilan dan kebebasan yang mengalami ancaman sehingga ia meminta bantuan  pengamanan dari internasional. Hal itu dilakukannya dengan alasan di Timor Timur sudah tidak ada tempat untuk melakukan pengaduan karena ABRI yang dianggap sebagai pelindung telah melakukan hal sebaliknya berupa tindakan ancaman dan kekerasan. Akan tetapi semua usulan mengenai pemberian otonomi luas di Timor Timur tidak mendapat perhatian serius dari pemerintah Republik Indonesia pada saat itu karena posisi dan sikap pemerintah sangat jelas yang menganggap  bahwa integrasi Timor Timur merupakan hal yang telah final dan tidak bisa ditawar. Pemberian otonomi luas menurut Presiden B.J.Habibie merupakan suatu bentuk penyelesaian akhir yang adil, menyeluruh, dan dapat diterima secara internasional.
Cara ini menurut Presiden B.J.Habibie merupakan suatu cara  penyelesaian yang paling realistis, paling mungkin terlaksana, dan dianggap paling berprospek damai, sekaligus merupakan suatu kompromi yang adil antara integrasi penuh dan aspirasi kemerdekaan. Tawaran dari pemerintah berupa Otonomi luas tersebut memberi kesempatan bagi rakyat Timor Timur untuk dapat memilih Kepala Daerahnya sendiri, menentukan kebijakan daerah sendiri, dan dapat mengurus daerahnya sendiri. Keputusan untuk mengeluarkan Opsi mengenai otonomi luas di Timur Timur diambil oleh Presiden B.J.Habibie karena integrasi wilayah itu ke Indonesia selama hampir 23 tahun tidak mendapat pengakuan dari PBB. Pemerintah Portugal maupun PBB menyambut positif tawaran status khusus dengan otonomi luas bagi Timor Timur yang diajukan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Hal ini terlihat pada saat Presiden mengutus Menteri Luar Negeri Ali Alatas untuk menyampaikan usulan Indonesia tentang pemberian status khusus ini kepada Sekjen PBB di New York pada tanggal 18 Juli 1998. Selain itu juga diperkuat dengan berlangsungnya kembali Perundingan “Senior Official Meeting” (SOM) atau Pejabat Senior dibawah tingkat menteri di New York pada tanggal 4 –5 Agustus 1998.
Ketiga pihak sepakat untuk membahas dan menjabarkan lebih lanjut usulan baru dari Pemerintah Republik Indonesia mengenai otonomi luas sebagai usaha penyelesaian persoalan Timor Timur tanpa merugikan posisi masing-masing pihak. Pada saat yang sama Sekretaris jendral PBB juga sedang berusaha untuk meningkatkan konsultasi dengan berbagai tokoh masyarakat Timor Timur yang berada di dalam negeri maupun luar negeri. Hal itu dilakukan dengan tujuan untuk   menyampaikan perkembangan perundingan yang telah dilakukan kepada mereka dan sekaligus untuk mendapatkan masukan-masukan dari mereka sebagai bahan pertimbangan dalam mempersiapkan rancangan naskah persetujuan tentang rancangan otonomi luas pada pertemuan dialog segitiga ( tripartite talks )tersebut.
Tanggapan positif mengenai rancangan otonomi luas juga diberikan oleh banyak tokoh dan kalangan moderat Timor Timur. Hal ini antara lain terlihat  dalam diskusi yang diprakarsai oleh East Timor Study Group (ETSG). Mereka melihat konsep otonomi luas tersebut di dalam kerangka suatu masa transisi yang cukup lama sebelum suatu penyelesaian menyeluruh melalui referendum diadakan. Otonomi luas tersebut bisa dilaksanakan secara konsisten oleh Pemerintah Republik Indonesia, bisa juga tidak diperlukan apabila masyarakat sudah puas dengan pilihan tersebut. Sebagaimana otonomi yang telah diterapkan di berbagai negara lain, wewenang Pemerintah Daerah Timor Timur adalah mengatur berbagai aspek kehidupan kecuali aspek pertahanan, politik luar negeri, moneter dan fiskal. Wewenang pemberian otonomi  luas terhadap masyarakat Timor Timur ini jika dilihat dan ditinjau terdapat perbedaan dan jauh lebih luas daripada kebebasan yang diberikan kepada propinsi-propinsi lain di Indonesia dalam mengatur kehidupan masyarakatnya. Tindakan ini diambil oleh pemerintah mengingat Timor Timur memiliki kekhususan sejarah dan sosial budaya sehingga diperlukan pengaturan yang lebih bersifat khusus.
Akan tetapi semua perkembangan mengenai otonomi tersebut mengalami perubahan karena pada saat Pemerintah Republik Indonesia dan Portugal sedang melanjutkan pembicaraan berkaitan dengan tawaran otonomi luas bagi Timor Timur, Presiden B.J.Habibie mengajukan Opsi II pada tanggal 27 Januari 1999. Opsi II menyebutkan bahwa jika rakyat Timor Timur menolak Opsi I tentang pemberian otonomi luas maka Pemerintah Republik Indonesia akan memberikan kewenangannya kepada MPR hasil pemilu bulan Juni 1999 untuk memutuskan kemungkinan melepaskan wilayah tersebut dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) secara terhormat, baik-baik, dan damai, serta secara konstitusional.
Usulan mengenai Opsi II disampaikan oleh Presiden B.J.Habibie pada saat berlangsung Rapat Koordinasi Khusus Tingkat Menteri Bidang Politik dan Keamanan (Rakorpolkam) pada tanggal 25 Januari 1999. Rapat tersebut dilakukan untuk membahas surat yang dikirim oleh Perdana Menteri Australia-John Howard kepada Presiden RI tanggal 19 Desember 1998 mengenai perubahan sikap Pemerintah Australia terhadap Pemerintah Indonesia. Di dalam suratnya, PM John Howard mendesak dilakukannya Jajak Pendapat (referendum) setelah penerapan status khusus dengan otonomi luas di Timor Timur untuk jangka waktu tertentu. Perubahan sikap Australia itu berpengaruh bagi Pemerintah Republik Indonesia karena Australia sebelumnya menjadi salah satu dari beberapa negara yang mendukung integrasi dan mengakui kedaulatan RI atas Timor Timur. Usulan Presiden B.J.Habibie kemudian dilanjutkan kembali pada tanggal 27 Januari 1999 dan disetujui oleh para anggota dalam Sidang Kabinet Paripurna terbatas Bidang Politik dan Keamanan. Apapun hasil dari referendum menurut Presiden B.J.Habibie akan berdampak positip bagi Pemerintah Republik Indonesia. Indonesia akan terbebas dari beban nasional untuk membiayai pembangunan di Timor Timur, maupun tekanan-tekanan internasional dan kritik dari negara lain.
Tekanan-tekanan internasional, khususnya berasal dari PBB yang tidak mengakui kedaulatan Indonesia atas Timor Timur. Selain itu keputusan tersebut diambil dengan pertimbangan berbagai permasalahan ekonomi dan politik dalam negeri pada saat itu. Kebijakan Presiden B.J.Habibie mengenai Opsi II merupakan suatu usaha untuk membangun citra baik sebagai pemerintahan transisi yang reformis dan demokratis serta merupakan suatu usaha untuk membangun kembali perekonomian negara yang kacau sebagai akibat dari krisis multidimensi yang sedang terjadi di Indonesia. Selain itu, keputusan keluarnya Opsi II juga didasari oleh sikap Presiden B.J. Habibie yang menghormati Hak Asasi Manusia (HAM) dan memberikan kebebasan di atas prinsip kemerdekaan kepada setiap rakyat Indonesia.
Pengambilan keputusan terhadap penyelesaian persoalan Timor Timur menurut beberapa pakar dan pengamat politik Indonesia dianggap sebagai suatu tindakan yang gegabah. Hal itu dilandasi alasan bahwa keadaan situasi di dalam negeri Indonesia sedang mengalami masa-masa sulit terbukti dengan, pertama, krisis ekonomi-moneter yang sedang dialami oleh negara Indonesia sejak tahun 1997 dan berdampak kedalam politik Indonesia sehingga menimbulkan krisis multidimensional yang ditandai dengan jatuhnya Pemerintahan Presiden Soeharto. Berakhirnya kekuasaan pemimpin Orde Baru atas desakan para mahasiswa dan rakyat Indonesia melalui gerakan reformasi secara berkesinambungan menunjukkan ketidakpercayaan masyarakat dalam negeri terhadap pemerintah sehingga menimbulkan “krisis kepercayaan terhadap pemerintah”. Keadaan pemerintah yang sedang mengalami banyak persoalan dimanfaatkan oleh pihak-pihak sparatis Timor Timur yang menuntut diadakannya referendum sebagai sarana penentuan nasib rakyat Timor Timur.
Tuntutan tersebut mendapat banyak simpati dari kelompok-kelompok masyarakat lain di tanah air dan dunia internasional. Dari dalam negeri dukungan diberikan oleh kelompok pembela HAM dan demokrasi, seperti LSM dan Komnas HAM. Sedangkan dari internasional adalah Amerika dan Australia  yang selalu mengontrol dan melakukan provokasi kepada Pemerintah Indonesia untuk segera menyelesaikan masalah Timor Timur. Kedua negara itu bersama-sama dengan PBB selalu memantau perkembangan yang terjadi di Timor Timur. Perubahan sikap kedua negara ini dipengaruhi oleh perkembangan global dan isu-isu internasional tentang demokratisasi dan HAM.
Kedua, terjadi pergeseran posisi dasar Republik Indonesia pada tanggal 9 Juni 1998 pada saat Presiden B.J Habibie mengumumkan kesediaan Pemerintah Republik Indonesia untuk memberikan “ status khusus dengan Otonomi luas”. Pemberian status ini dianggap sebagai formula dan usaha untuk mencapai penyelesaian politik dalam masalah Timor Timur. Akan tetapi pada tanggal 27 Januari 1999 Menteri Luar Negeri Ali Alatas mengumumkan keputusan dalam Sidang Kabinet Paripurna bidang Politik dan Keamanan mengenai pemberian “Opsi II” yang berhubungan dengan pemberian tanggapan atas otonomi luas apabila pemberian status khusus itu ditolak oleh mayoritas masyarakat Timor Timur maka jalan yang akan diambil selanjutnya adalah Pemerintah Republik Indonesia akan mengusulkan kepada Sidang Umum MPR hasil Pemilu yang baru terpilih agar Timor Timur dapat berpisah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia secara baik-baik, damai, terhormat, tertib, dan konstitusional.
Keluarnya Opsi II mengejutkan bagi banyak pihak dan tidak diterima secara menyeluruh di Indonesia. Salah satu pihak yang sangat menentang Opsi II adalah tentara Indonesia (ABRI/TNI). Mereka mengkhawatirkan bahwa pemisahan Timor Timur dapat membawa akibat yang merugikan bagi persatuan dan keamanan di wilayah itu. Ancaman terhadap instabilitas keamanan di Timor Timur seperti yang dikhawatirkan menjadi kenyataan, terbukti dengan kekerasan yang terjadi disana. Meningkatnya intensitas kekerasan dan ketegangan di Timor Timur disebabkan oleh kedua kelompok (pro-integrasi dan pro-kemerdekaan) saling melakukan teror dan intimidasi. Kelompok pro-kemerdekaan yang mendapat “angin segar” atas keputusan pemberian Opsi II semakin menunjukkan sikap permusuhan terhadap kelompok pro-integrasi dan Pemerintah Republik Indonesia. Tindak kekerasan tidak hanya menghantui rakyat setempat tetapi juga masyarakat pendatang, baik para pedagang maupun aparat pemerintah yang bertugas dan ditugaskan di wilayah itu. Selain itu kemunculan berbagai kelompok milisi pro integrasi yang tidak dapat dicegah menjadi faktor pendukung  bagi meningkatnya intensitas konflik di wilayah yang pernah menjadi propinsi ke-27 Indonesia.
Keadaan di Timor Timur, khususnya Dili semakin kacau setelah pemimpin Gerakan Perlawanan Rakyat Timor Timur (CNRT/Concelho Nacional Resistencia Timorense)- Xanana Gusmao pada tanggal 5 April 1999 mengumumkan perang terhadap Pemerintah RI dan TNI. Pertikaian dan konflik, serta tindak kekerasan yang sering terjadi antara kelompok pro-integrasi dan pro-kemerdekaan menyebabkan Pemerintah RI khususnya TNI/POLRI melakukan usaha-usaha rekonsiliasi untuk mendamaikan kedua pihak tersebut. Usaha tersebut juga dilakukan untuk menjaga stabilitas keamanan dan ketertiban di Timor Timur. Usaha yang telah dilakukan oleh TNI/POLRI antara lain adalah dengan memfasilitasi suatu perjanjian damai yang diselenggarakan di Diosis Keuskupan Dili pada tanggal 21 April 1999.
Pertemuan tersebut diprakarsai oleh Menhankam/Panglima TNI Jendral Wiranto, Komnas HAM, dan Gereja Katholik di Timor Timur dan menghasilkan kesepakatan tentang penghentian permusuhan dan penciptaan perdamaian. Menindaklanjuti perjanjian damai tersebut maka TNI/POLRI dan Komnas HAM kemudian membentuk Komisi Perdamaian dan Stabilitas (KPS). Unsur-unsur keanggotaan KPS terdiri dari perwakilan Fretilin, kelompok pro-integrasi, TNI/POLRI, Komnas HAM, dan perwakilan Pemerintah RI serta wakil dari UNAMET. Tugas dari KPS antaralain adalah (1) memonitor terjadinya pelanggaran-pelanggaran serta dampak perjanjian damai; (2) melakukan koordinasi dengan semua pihak untuk menghentikan segala bentuk permusuhan, intimidasi, dan kekerasan; (3) menerima pengaduan masyarakat tentang  pelanggaran yang terjadi di Timor Timur, baik yang dilakukan oleh aparat maupun pihak-pihak yang bertikai; (4) KPS bersama UNAMET akan menyusun suatu aturan main (code of conduct) untuk mengatur perilaku pada masa sebelum, selama, dan setelah konsultasi yang harus ditaati oleh semua pihak. Pada tanggal 18 Juni 1999 TNI/POLRI berhasil memfasilitasi kesepakatan antaraConcelho Nacional Resistencia Timorense (CNRT) dan Falintil dengan pihak pro-integrasi untuk menyambut Jajak Pendapat di Timor Timur. TNI/POLRI juga berhasil menjadi fasilitator penyelenggaraan Pertemuan Dare II di Jakarta pada tanggal 25-30 Juni 1999 yang membahas empat masalah pokok, yaitu rekonsiliasi, Jajak Pendapat, keamanan, dan masalah politik.
             Hasil dari usaha-usaha tersebut tidak sesuai dengan harapan karena kedua pihak yang bertikai  sering melanggar kesepakatan yang telah dibuat bersama. Hal itu disebabkan oleh kuatnya rasa dendam diantara mereka. Keadaan tersebut semakin meningkatkan kekacauan di Timor Timur. Ketegangan diantara kedua pihak semakin meningkat setelah dilakukan Jajak Pendapat yang diselenggarakan oleh UNAMET. Hasil jajak Pendapat yang diumumkan oleh PBB pada tanggal 4 September 1999 menunjukkan bahwa sebesar 78,5% atau sekitar 344.580 orang menolak tawaran status khusus dengan otonomi luas, sedangkan sebanyak 21,5% atau sekitar 94.388 orang menerima Opsi I. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas rakyat Timor Timur memilih untuk merdeka berpisah dari NKRI.
d.      Bagaimana peranan USA, PBB dan Australia dalam lepaskan TIM-TIM ?
Jawaban :
Peranan USA
Amerika sebagai negara yang mengaku dirinya adalah negara super power atau adi daya tidak memperoleh keuntungan materi dari disahkannya RUU itu menjadi UU. Pihak Amerika kepada negara-negara lain untuk mengakui bahwa Timor Timur telah resmi bergabung dengan Indonesia. Bantuan dari Amerika itu membuat Indonesia terbuai. Ketika paham komunis telah berhasil mereka tumpas, maka mereka mulai lepas tangan. Sehingga, pemerintah Indonesia terhanyut dalam kegamangan dan kekayaan propinsi-propinsi yang berpotensi besar menyumbangkan “upetinya” ke pemerintahan pusat. Jadi, dengan bergabungnya Timor Timur dengan Indonesia, Amerika berharap, ideologi itu dapat diberangus guna mempermudah dan memuluskan paham modernisasi. Dengan demikian, peranan USA disini hanya ingin menyebarkan paham yang masuk ke seluruh dunia, untuk mempermudah paham itu masuk maka USA ini memihak untuk bergabung dalam Indonesia.
Peranan PBB
Tugas dari perserikatan bangsa-bangsa (PBB) ini adalah untuk mengamankan pertempuran atau kerusuhan yang terjadi di Timor Timur yang semakin memanas antara negara yang satu dengan yang lainnya, yang memperebutkan wilayah tersebut. Serta mendamaikan negara-negara pihak yang bersangkutan, yang pada akhirnya dari negara Timor Timur sendiri ingin memisahkan dengan Indonesia dan ingin merdeka sendiri.
Peranan Australia
Australia adalah satu-satunya negara yang mengakuinya resmi melalui persetujuan dengan Indonesia tentang Selat Timor. Australia menyumbang sebagian terbesar sumber-sumber intervensi PBB, kedua personil dan peralatan. peranan Australia cukup besar untuk menggangu hubungannya dengan Indonesia dan menghancurkan suasana kerjasama dan jasa baik. Australia juga memainkan peran strategis untuk Indonesia.  Kalau ada ancaman komunis Australia akan mencampuri dan melindungi pemerintah anti-komunis.
 III.            Jelaskan pertanyaan di bawah ini
a.      Jelaskan bagaimana latar belakang munculnya OTDA ?
Jawaban :
Kebijakan otonomi daerah lahir ditengah gejolak tuntutan berbagai daerah terhadap berbagai kewenangan yang selama 20 tahun pemerintahan orde baru menjalankan mesin sentralistiknya. UU No.5 1974 tentang pemerintahan daerah yang kemudian di susul dengan UU No.5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa menjadi tiang utama tegaknya sentralisasi kekuasaan orde baru. Semua mesin partisipasi dan prakarsa yang sebelumnya tumbuh sebelum orde baru berkuasa, secara perlahan dilumpuhkan dibawah kontrol kekuasaan. Stabilitas politik demi kelangsungan investasi ekonomi (pertumbuhan) menjadi alasan petama bagi orde baru untuk mematahkan setiap gerak prakarsa yang tumbuh dari rakyat. Paling tidak ada dua faktor yang berperan kuat dalam mendorong lahirnya kebiajkan otonomi daerah berupa UU No.22/1999. Pertama, faktor internal yang didorong oleh berbagai protes atas kebijakan politik sentralisme dimasa lalu. Kedua, adalah faktor eksternal yang dipengaruhi oleh dorongan internasional terhadap kepentingan investasi terutama untuk efisiensi dari biaya investasi yang tinggi sebagai akibat korupsi dan rantai birokrasi yang panjang.
Selama lima tahun pelaksanaan UU No.22 tahun 1999, otonomi daerah telah menjadi kebutuhan politik yang penting untuk memajukan kehidupan demokrasi. Bukan hanya kenyataan bahwa masyarakat Indonesia sangat heterogen dari segi perkembangan politiknya, namun juga otonomi sudah menjadi alas bagi tumbuhnya dinamika politik yang diharapkan akan mendorong lahirnya prakarsa dan keadilan. Walaupun ada upaya kritis bahwa otonomi daerah tetap dipahami sebagai jalan lurus bagi eksploitasi dan investasi, namun sebagai upaya membangun prakarsa ditengah-tengah surutnya kemauan baik (good will) penguasa, maka otonomi daerah dapat menjadi jalan alternatif bagi tumbuhnya harapan bagi kemajuan daerah.
Pada saat rakyat Indonesia disibukkan dengan pelaksanaan pemilu 2004, Departemen Dalam Negeri (Depdagri) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melakukan revisi terhadap UU No.22 tahun 1999. Dilihat dati proses penyusunan revisi, paling tidak ada dua cacat yang dibawa oleh UU yang baru (UU No.32 tahun 2004) yakni proses penyusunan yang tergesa-gesa dan tertutup ditengah-tengah rakyat sedang melakukan hajatan besar pemilu. Padahal UU otonomi daerah adalah kebijakan yang sangat penting dan menyangkut tentang kualitas pelaksanaan partisipasi rakyat dan pelembagaan demokrasi. Kedua, UU tersebut disusun oleh DPR hasil pemilu 2004 dimana pada waktu penyusunan revisi tersebut anggota DPR sudah mau demisioner. Tanggal 29 September 2004 bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan anggota DPR priode 1999-2004, Sidang Paripurna DPR menyetujui rancangan perubahan (revisi) terhadap UU No.22 tahun 1999 menjadi UU No.32 tahun 2004. Tanggal 1 Oktober anggota DPR baru hasil pemilu 2004 dilantik. Secara de facto DPR pemilu 1999 sudah kehilangan relevansinya untuk menyusun dan mengagendakan pembahasan kebijakan yang sangat krusial.
Tibalah saatnya pemerintahan di uji kesungguhannya untuk menjalankan amanat politik rakyat, termasuk komitmennya mengenai pelaksanaan desentralisasi. Pasang surut desentralisasi yang diwarnai dengan tarik ulur kepentingan pusat dan daerah harus segera digantikan dengan penciptaan sistem pemerintahan ditingkat lokal yang demokratis. Sehubungan dengan itu, maka diperlukan upaya yang sistematis untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan desentralisasi yang membuka ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas politik di tingkat lokal (political equality), mengedepankan pelayanan kepada kepentingan publik (local accountability), dan menigkatkan akselerasi pembangunan sosial ekonomi yang berbasis pada kebutuhan masyarakat setempat (Local responbility). Selain harus tercermin dalam produk kebijakan, indikator-indikator itu juga harus terimplementasi dalam praktek desentralisasi yang dijalankan oleh pemerintahan lokal.       
b.      Bagaimana implikasi kebijakan OTDA di bidang politik, ekonomi, dan pendidikan di era reformasi ?
Jawaban :
Bidang ekonomi
Dalam sektor di bidang ekonomi ini sangat sensitif apabila dihubungkan dengan proses otonomi daerah. Pembangunan ekonomi ekonomi suatu daerah seharusnya lebih baik apabila diselenggarakan dengan konsep desentralisasi. Pembangunan ekonomi adalah suatu proses dimana suatu masyarakat menciptakan suatu lingkungan yang mempengaruhi hasil-hasil indikator ekonomi seperti kenaikan kesempatan kerja. Lingkungan yang dimaksud sebagai sumber daya perencanaan meliputi lingkungan fisik, peraturan dan perilaku (Blakley, 1989). Dalam proses pengembangan ekonomi lokal, pemerintah daerah bersama dengan organisasi berbasis masyarakat mendorong dan merangsang kegiatan yang dapat meningkatkan aktivitas usaha serta penciptaan lapangan pekerjaan. Dalam pelaksanaan otonomi daerah , pembangunan ekonomi lokal memiliki pengaruh besar terhadap suatu daerah. Hal ini tidak lain adalah untuk penguatan daya saing ekonomi lokal untuk pengembangan ekonomi daerah. Kemandirian dalam melakukan kegiatan ekonomi dapat menambah pendapatan asli daerah, selain itu tingkat pemberdayaan masyarakat kecil juga dapat terlaksana.
Dengan adanya otonomi daerah, suatu daerah dituntut untuk lebih peka dan bertanggung jawab terhadap permasalahan ekonomi lokal sekaligus mengoptimalkan potensi ekonomi yang dimilikinya. Maka dari itu perlu adanya tata kelola ekonomi daerah supaya terbentuk otonomi daerah yang baik. Di negeri kita maupun di berbagai macam daerah sering meneriakkan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, efisiensi, partisipasi yang tidak lain hanya menuju ke arah good governance. Seperti halnya otonomi daerah harus memiliki tata kelola ekonomi yang baik, dengan mempertimbangkan fungsi desentralisasi yang semakin kompleks khususnya dibidang ekonomi. Ciri utama suatu daerah yang mampu menjalankan otonomi daerah dapat dilihat dari kemampuan daerah untuk membiayai pembangunan didaerahnya dengan tingkat ketergantungan kepada pemerintah pusat dengan proporsi yang sangat kecil. Artinya kemandirian keuangan adalah hal yang paling diutamakan dalam terwujudnya otonomi daerah. Dengan adanya kemandirian tersebut, suatu daerah diharapkan mampu dalam pengumpulan pendapatan asli daerah yang menjadi bagian terbesar dalam mobilisasi dana penyelenggaraan pemerintahan daerah dan sudah sewajarnya PAD dijadikan tolak ukur dalam pelaksanaan otonomi daerah. Pendapatan asli daerah adalah penerimaan yang diperoleh dari sektor pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Pendapatan asli daerah merupakan salah satu komponen sumber pendapatan daerah sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 79 undang-undang no 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, berdasarkan pasal 79 UU 22/1999 disimpulkan bahwa sesuatu yang diperoleh pemerintah daerah yang dapat diukur dengan uang karena kewenangan (otoritas) yang diberikan masyarakat dapat berupa hasil pajak daerah dan retribusi daerah. Sumber pendapatan daerah terdiri pendapatan asli daerah, yaitu :
a.       Hasil pajak daerah. Menurut Davey (1988:118) pemerintahan daerah memliki wewenang untuk menjangkau sumber pajak di daerah yakni melalui pemungutan langsung serta menetapkan tarif di derah. Pajak-pajak tersebut antara lain pajak atas jasa, pajak atas produksi, pajak atas kendaraan, dan lain-lain.
b.      Hasil retribusi daerah. Pemerintah daerah juga memiliki wewenang dalam menetapkan retribusi daerah serta menarik retribusi dalam rangka pemasukkan daerah.
Bidang pendidikan
Dalam otonomi daerah banyak undang-undang yang mengatur khusus mengenai pendidikan salah satu undang-undang yang di implementasikan dalam pendidikan yaitu UU Nomor 2 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, privitasi perguruan tinggi negeri dengan status terbaru BHMN melalui PP no 60 tahun 2000 sampai UU No.32 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah yang mengatur konsep, sistem dan pola pendidikan juga kewenangan di sektor pendidikan yang digariskan bagi pusat maupun daerah. Desentralisasi pendidikan secara konseptual dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu, pertama desentralisasi kewenangan disektor pendidikan dan kedua desentralisasi pendidikan dengan fokus pada pemberian kewenangan yang lebih besar ditingkat sekolah. Konsep pertama berkaitan dengan penyelengaraan pemerintah dari pusat ke daerah sebagai wujud dari demokratisasi, kebijakan yang dimaksud lebih pada kebijakan pendidikan dan aspek pendanaannya dari pemerintah pusat ke daerah. Pada konsep kedua lebih fokus terhadap pemberian kewenangan yang lebih besar ditingkat manajemen sekolah untuk meningkatkan kualitas pendidikannya.
Dengan adanya desentralisasi pendidikan bukan berarti pemerintah pusat lepas tangan atau tidak mencampuri urusan pendidikan. Pemerintah pusat masih mempertahankan kewenangannya dalam dunia pendidikan yang terdapat pada peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 tahun 2000 mengenai kewenangan pemerintah dan kewenangan provinsi sebagai daerah otonomi. Kewenangan tersebut diantaranya berhubungan dengan standar kompetensi siswa serta pengaturan kurikulum nasional, standar materi pelajaran pokok, gelar akademik, biaya penyelenggaraan pendidikan, benda cagar budaya dan kalender akademik. Kebijakan otonomi daerah dalam pendidikan memberikan dampak baik positif maupun negatif. Daerah yang dapat memanfaatkan kondisi yang ada tentu saja akan memberikan dampak positif  dari otonomi daerah tersebut. Fenomena muncul raja-raja kecil diderah diakibatkan ketika kontrol pemerintah pusat tidak ada lagi berperan dalam pengambilan keputusan dan pengawasan hal ini menjadi dampak negatif jika pemerintah belum siap dalam desentralisasi. Kebijakan desentralisasi ini kemungkinan akan menimbulkan jurang pemisah antara daerah yang maju dan tidak. Pemerataan yang tidak berhasil terlihat jelas dari kualitas pendidikan yang dihasilkan tiap daerah. Kemungkinan yang terjadi karena tidak meratanya pendistribusian tenaga guru. Daerah yang kaya akan jauh lebih banyak menyedot tenaga guru yang berkualitas. Akhirnya daerah-daerah tertentu di Indonesia akan kelebihan guru dan daerah yang lainnya kekurangan tenaga guru. Desentralisasi pendidikan menentuan pula hasil belajar siswa. Hal ini disebabkan pembuatan silabus materi pembelajaran dibuat berdasarkan kebutuhan siswa, keadaan sekolah dan kondisi daerah. Perbedaan-perbedaan tersebut memberikan kemungkinan terjadinya hasil belajar siswa. Salah satu hasil dari desentralisasi pendidikan adanya implikasi konsep manajemen berbasis sekolah (MBS) yang mulai diimplimentasikan pada sekolah-sekolah dasar dan menengah di beberapa provinsi di Indonesia. Desentralisasi pendidikan menjadi suatu gagasan yang brilian namun juga menjadi suatu tantangan bagi kita. Dalam bukunya Sam M. Chan dan Tuty T.Sam yang berjudul Kebijakan Pendidikan Era Reformasi Daerah, dituliskan :
Adapun tantangan yang harus di perhitungkan dalam pengimplimentasian kebijakan ini adalah munculnya individu-individu atau lembaga-lembaga serakah yang mencari kesempatan dalam kesempitan ... (Sam, 2005: 12).  
Bidang politik
Kebijaksanaan otonomi daerah yang baru membawa implikasi yang laus diantaranya terhadap pembinaan birokrasi di daerah, sekalipun segala sesuatu yang menyangkut masalah kepegawaian masih tetap menggunakan peraturan perundangan yang sudah ada, yaitu undang-undang pokok kepegawaian. Hal ini dinyatakan dengan tegas dalam pasal 75 UU no 22 tahun 1999 yang menyatakan “ norma, standar dan prosedur mengenai pengangkutan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, gaji, tunjangan, kesejahteraan, hak dan kewajiban, serta kedudukan hukum pegawai negeri sipil daerah, ditetapkan dengan perundang-undangan. Akan tetapi daerah memepunyai wewenang yang luas, khususnya propinsi, kabupaten dan kota untuk membuat perencanaan kepegawaian yang sesuai dengan kebutuhan pada waktu tertentu. Demikian pula daerah mempunyai kewenangan untuk  melakukan pembinaan, pendidikan dan latihan bagi aparat penyelenggara pemerintah daerah. Hal itu dinayatkan dengan tegas pula dalam pasal 76 UU no 22 tahun 1999 yaitu “daerah mempunyai wewenang untuk melakukan pengangkatan, pemberhentian, penetapan pensiun, gaji tunjangan dan kesejahteraan pegawai serta pendidikan dan pelatihan sesuai dengan peraturan daerah berdasarkan perundang-undangan”. Tentu saja hal ini akan membawa implikasi yang sangat luas, terutama yang menyangkut pola rekrutmen dan pembinaan. Hanya saja yang perlu diperhatikan adalah mengingat potensi daerah berbeda satu sama lainnya maka seharusnya memperhatikan dimensi keadilan dan kesetaraan antara satu daerah dengan adaerah lainnya, jangan sampai menimbulkan diskrepensi sosial yang membawa akibat gejolak sosial politik di daerah.
c.       Bagaimana upaya mengatasi masalah OTDA di era reformasi ?
Jawaban :
Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan dalam otonomi daerah adalah sebagai berikut :
·         Pemerintah pusat harus melaksanakan otonomi daerah dengan penuh keikhlasan agar daerah dapat memperoleh hak untuk mengolah sumber daya di daerah secara optimal.
·         Bahwa semangat dan tujuan yang melandasi otonomi daerah adalah hasrat untuk menggali sendiri pendapatan daerahnya serta kewenangan untuk meningkatkan PAD masing-masing daerah menuju peningkatan kesejahteraan masyarakat daerah. Oleh karena itubuntuk mencegah kondisi disintesif, pemda dalam rangka otonomi daerah perlu mengembangkan strategi efisiensi dalam segala bidang.
·         Untuk menopang pelaksanaan otonomi daerah perlu dikembangkan ekonomi kerakyatan secara sistematik, mensinergikan kegiatan lembaga atau institusiriset pada PTN atau PTS di daerah dengan industri kecil menengah dan tradisional.
·         Merekomendasikan kepada pemerintah untuk memperbaiki dasar-dasar ekonomi yang sudah rapuh, dengan mengembangkan usaha kecil atau menengah dan koperasi menjadi lebih produktif serta berupaya terus untuk memberantas kemiskinan struktural.
·         Memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam dengan baik agar supaya sumber kekayaan yang tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal dan secara lestari.
·         Mendorong desentralisasi pembangunan daerah, mendayagunakan lembaga di daerah khususnya DPRD untuk memiliki wewenang dalam kemandirian dalam membuat produk hukum pembangunan di daerah. Ketentuan-ketentuan yang menyangkut perizinan, pengelolaan, pendayagunaan, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan masalah pembangunan yang dirumuskan oleh DPRD dan pemerintah daerah.
 IV.            Jelaskan pertanyaan di bawah ini
a.      Jelaskan tentang Undang-undang OTDA, apakah anda setuju atau menolak OTDA ? berikan argumentasi alasannya ?
Jawaban :
Pada periode setelah orde baru, lahir dua undang-undang tentang pemerintahan daerah yang dianggap aspiratif mengakomodasikan prinsip demokrasi dalam sistem pemerintahan daearah di Indonesia.  Kedua undang-undang tersebut adalah: UU No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No. 32 Tahun 2004 yang dianggap sebagai revisi terhadap UU No. 22 Tahun 1999.
a)        Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
Pada periode Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, desentralisasi ditegaskan sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka NKRI. Pemerintah daerah adalah kepala daerah beserta perangkat daerah otonom yang tidak lain sebagai badan eksekutif daerah. Daerah provinsi berkedudukan sebagai wilayah administrasi kewenangan daerah, mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan di bidang lainnya. Kewenangan-kewenangan daerah otonom lebih luas dan bertumpu pada tingkat kabupaten atau kota. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 memberikan implikasi dan simplikasi terhadap melemahnya peran dominasi pemerintah pusat kepada daerah. Hal ini tercermin dalam proses pencalonan, pemilihan, usulan pengangkatan calon kepala dan wakil kepala  daerah dilakukan sepenuhnya dan menjadi wewenang DPRD. Langkah reformasi telah mengubah sistem pemerintahan era sebelumya dengan dilahirkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah ini.
Euforia politik sebagai hasil pemilu tahun 1999 telah memberikan kerangka dasar dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan di tingkat pusat dan daerah, yang lebih banyak dipengaruhi kekuatan politik dalam penyelenggaraannya. Beberapa indikator yang mewarnai penyelenggaraan sistem pemerintahan di era ini antara lain:
§   Kekuasaan Legislatif lebih besar dibanding kekuasaan eksekutif
§   Pemerintahan dikendalikan oleh kekuasaan politik
§   Pertanggungjawaban kepala daerah kepada lembaga legislatif
§   Kepala daerah dapat diberhentikan oleh DPRD
§   Wewenang DPRD menetapkan belanja DPRD
§   Menjamurnya pemekaran daerah kabupaten / kota.
b)        Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
Kelahiran undang-undang ini dilatarbelakangi dengan adanya perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan otonomi daerah. Menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 ini, dalam penyelenggaraan otonomi menggunakan format otonomi seluas-luasnya.  Artinya, azas ini diberlakukan oleh pemerintah seperti pada era sebelum UU Nomor 5 Tahun 1974.  Alasan pertimbangan ini didasarkan suatu asumsi bahwa hal-hal mengenai urusan pemerintahan yang dapat dilaksanakan oleh daerah itu sendiri, sangat tepat diberikan kebijakan otonomi sehingga setiap daerah mampu dan mandiri untuk memberikan pelayanan demi meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah.
Kontrol pusat atas daerah dilakukan dengan mekanisme pengawasan yang menunjukkan formulasi cukup ketat dengan mekanisme pengawasan preventif, represif, dan pengawasan umum.  Proses pemilihan kepala/wakil kepala daerah menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 tidak lagi menjadi wewenang DPRD, melainkan dilaksanakan dengan pemilihan langsung yang diselenggarakan oleh lembaga Komisi Pemilihan Umum daerah (KPUD).  Hal ini amat berbeda dengan UU Nomor 22 Tahun 1999 bahwa DPRD merupakan wahana untuk melaksanakan demokrasi berdasarkan Pancasila dan kedudukannya sejajar (mitra) dari pemerintah daerah, namun dalam praktek sering kali terjadi penafsiran berbeda. Sebagai upaya mencapai tujuan otonomi daerah yang berhasil guna dan berdaya guna, diperlukan suatu sistem yang dapat mendorong kreativitas dan motifasi daerah itu dalam menjalankan urusan pemerintahan sendiri.
Beberapa format sistem pengawasan dapat dikaji dari produk perundangan berikut:
a.    Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
Pada pasal 16 ayat 2 UU No. 22 Tahun 1999 dinyatakan dalam kedudukannya sebagai badan legislatif daerah, DPRD bukan merupakan bagian dari pemerintahan daerah.  Demikian pula pada pasal 69 dinyatakan: Peraturan daerah hanya ditandatangani oleh kepala daerah, dan tidak ditandatangani oleh pimpinan DPRD karena DPRD bukan bagian dari pemerintahan daerah. Kegiatan pembinaan lebih ditekankan pada memfasilitasi dalam upaya pemberdayaan daerah otonom, sedangkan pengawasan lebih ditekankan pada pengawasan represif.  Hal ini untuk lebih memberikan kebebasan kepada daerah otonom dalam mengambil keputusan serta memberikan peran kepada DPRD dalam mewujudkan fungsinya sebagai badan pengawas terhadap pelaksanaan otonomi daerah. Oleh karena itu, peraturan daerah yang ditetapkan daerah otonom tidak memerlukan pengesahan terlebih dahulu oleh pejabat yang berwenang.  Hal itu sesuai dengan ketentuan tentang pembinaan dan pengawasan, bahwa dalam rangka pengawasan peraturan daerah dan keputusan kepala daerah disampaikan kepada pemerintah selambat-lambatnya lima belas hari setelah ditetapkan.  Pemerintah dapat membatalkan peraturan daerah dan keputusan kepala daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum atau perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau peraturan perundang-undangan lainnya.  Keputusan pembatalan diberitahukan kepada daerah yang bersangkutan dengan menyebutkan alasan-alasannya dalam masa selambat- lambatnya satu minggu setelah keputusan pembatalan pelaksanaan ditetapkan.  Daerah yang tidak dapat menerima keputusan pembatalan peraturan daerah dan keputusan kepala daerah tersebut dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung setelah mengajukannya kepada pemerintah.  Sistem pembinaan dan pengawasan yang dianut oleh produk UU No 22 Tahun 1999 lebih bersifat demokratis dan berupaya untuk mendewasakan, serta penguatan daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam rangka otonomi.
b.    Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
Berdasarkan undang-undang ini, prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberikan pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Penyelenggaraan otonomi harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional. Pengawasan yang dianut menurut undang-undang ini meliputi dua bentuk pengawasan yakni pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintah di daerah dan pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan  kepala daerah.  Pengawasan ini dilaksanakan oleh aparat pengawas intern pemerintah.  Hasil pembinaan dan pengawasan tersebut digunakan sebagai bahan pembinaan selanjutnya oleh pemerintah dan dapat digunakan sebagai bahan pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.  Pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan/atau gubernurselaku wakil pemerintah di daerah untuk mewujudkan tercapainya tujuan penyelenggaraan otonomi daerah.  Dalam rangka pembinaan oleh pemerintah, menteri dan pimpinan lembega pemerintah non-departemen melakukan pembinaan sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing yang dikoordinasikan oleh Mmenteri Dalam Negeri untuk pembinaan dan pengawasan provinsi, serta oleh gubernur untuk pembinaan dan pengawasan kabupaten atau kota. Dalam hal pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah dan perataturan kepala daerah, pemerintah melakukan dua cara sebagai berikut:
·      Pengawasan terhadap rancangan perda yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD, dan RUTR, sebelum disyahkan oleh kepala daerah terlebih dahulu dievaluasi oleh Menteri Dalam Negeri untuk Raperda Provinsi, dan oleh gubernur terhadap Raperda Kabupaten/Kota.  Mekanisme ini dilakukan agar pengaturan tentang hal-hal tersebut dapat mencapai daya guna dan hasil guna yang optimal.
·      Pengawasan terhadap semua peraturan daerah di luar yang termuat di atas, peraturan daerah wajib disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk provinsi dan gubernur untuk kabuapten/kota, untuk memperoleh klarifikasi terhadap peraturan daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan lain yang lebih tinggi dan sebab itu dapat dibatalkan sesuai mekanisme yang berlaku.
Dalam rangka mengoptimalkan fungsi pembinaan dan pengawasan, pemerintah dapat menerapkan sanksi kepada penyelenggara pemerintahan daerah apabila ditemukan adanya penyimpangan dan pelanggaran. Sanksi yang dimaksud antara lain berupa penataan kembali suatu daerah otonom, pembatalan pengangkatan pejabat, penangguhan dan pembatalan berlakunya suatu kebijakan yang ditetapkan daerah, sanksi pidana yang diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pemberdayaan terhadap legislatif daerah pada era reformasi dituangkan dan diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU N0 32 Tahun 2004.
a)   Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
Kebijakan politik yang dianut dalam undang-undang ini adalah bahwa sistem pemerintahan NKRI menurut UUD 1945 memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi. Dengan memerhatikan pengalaman penyelenggaraan otonomi daerah pada masa lampau yang menganut prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab dengan penekanan pada otonomi yang lebih merupakan kewajiban daripada hak maka, dalam UU No 22 Tahun 1999 ini pemberian kewenangan otonomi kepada daerah kabupaten/kota didasarkan atas azas desentralisasi saja, dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Berdasarkan hal tersebut prinsip penyelenggaraan pemerintah daerah adalah:
Ø  Digunakan azas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan.
Ø  Penyelenggaraan azas desentralisasi secara utuh dan bulat yang dilaksanakan di daerah kabupaten dan daerah kota.
Ø  Azas tugas pembantuan yang dapat dilaksanakan di daeah provinsi, daerah kabupaten, daerah kota, dan desa.
Susunan pemerintahan daerah otonom meliputi DPRD dan pemerintah daerah.  DPRD dipisahkan dari pemerintah daerah dengan maksud untuk lebih memberdayakan DPRD dan meningkatkan pertanggungjawaban pemerintah daerah kepada rakyat. Hak-hak DPRD cukup luas dan diarahkan untuk menyerap serta menyalurkan aspirasi masyarakat menjadi kebijakan daerah dan melakukan fungsi pengawasan. Dalam menjalankan tugas dan kewajiban pemerintah daerah, gubernur bertanggung jawab kepada  DPRD provinsi, sedangkan kedudukannya sebagai wakil pemerintah gubernur bertanggung jawab kepada presiden.  Penyelenggaraan otonomi daerah di daerah kabupaten dan kota, bupati atau walikota bertanggung jawab kepada DPRD kabupaten/kota dan berkewajiban memberikan laporan kepada presiden melalui Menteri Dalam Negeri.
b)   Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
Kebijakan politik pemerintah berdasarkan undang-undang ini ialah, pemerintahan daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan otonomi daerah perlu memerhatikan hubungan antarsusunan pemerintahan dan antarpemerintahan daerah, potensi, dan keanekaragaman daerah.  Aspek hubungan wewenang memerhatikan kekhususan dan keragaman daerah dalam sistem NKRI. Agar mampu menjalankan perannya tersebut, daerah diberikan kewenangan seluas-luasnya disertai pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pemerintah daerah adalah pelaksana fungsi-fungsi pemerintahan daerah yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan daerah, yaitu pemerintah daerah dan DPRD. Kepala daerah adalah kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis berdasarkan pemilihan yang demokratis pula. Hubungan antara pemerintah daerah dan DPRD merupakan hubungan kerja yang kedudukannya setara dan bersifat kemitraan. Kedudukan yang setara bermakna bahwa di antara lembaga pemerintahan daerah itu memiliki kedudukan yang sama dan sejajar, tidak saling membawahi.  Dengan demikian antarkedua lembaga itu membangun suatu hubungan kerja yang sifatnya saling mendukung dan bukan merupakan lawan ataupun pesaing dalam melaksanakan fungsi masing-masing. Peraturan daerah dibuat oleh DPRD bersama pemerintah daerah, artinya prakarsa dapat bermula dari DPRD maupun dari pemerintah daerah. Khusus peraturan daerah tentang APBD, rancangannya disipkan oleh pemerintah daerah yang telah mencakup keuangan DPRD untuk dibahas bersama DPRD. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 ini juga mengatur hak-hak DPRD sebagai berikut:
*        Hak interpelasi adalah hak DPRD untuk meminta keterangan kepada kepala daerah mengenai kebijakan pemerintah daerah yang penting dan strategis yang berdampak luas pada kehidupan masyarakat, daerah, dan negara.
*        Hak angket adalah pelaksanaan fungsi pengawasan DPRD untuk melakukan penyelidikan terhadap suatu kebijakan tertentu kepala daerah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat, daerah, dan negara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
*        Hak menyatakan pendapat adalah hak DPRD untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan kepla daerah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di daerah dengan rekomendasipenyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket.
            Menurut Undang-undamg Nomor 32 Tahun 2004 dengan kebijakan politik yang menganut prinsip kesetaraan dan checks and balances, maka otonomi daerah menggunakan seluas-luasnya kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan penberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Dengan adanya undang-undang tentang peraturan mendirikan atau membangun otonomi daerah maupun dalam undang-undang pengawasan daerah tersebut menurut saya tidak setuju karena mendirikan otonomi daerah itu tidak semudah yang dibayangkan harus melalui proses yang panjang juga, begitupun kalau daerah tersebut sudah berdiri sendiri dan semua pekerja pegawai negeri harus membayarinya sendiri dengan dana pemerintahan daerah. Belum juga kalau jalanan rusak harus membenahi dengan dana daerah. Membangun otonomi daerah itu harus sudah benar-benar mandiri tanpa bantuan pemerintahan pusat. Pada kenyataanya otonomi daerah yang ada di Indonesia secara luas tidak atau belum dapat terlaksana. Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah tetap terpelihara dengan melakukan pengawasan untuk mecegah timbulnya perselisihan yang tidak dikehendaki. Walaupun membangun otonomi daerah itu sebenarnya baik juga bagi masyarakat kita tapi harus  membutuhkan proses yang begitu panjang. Dengan demikian pembangunan otonomi daerah itu harus benar-benar yang mapan, bertanggung jawab terhadap daerahnya sendiri dan mensejahterakan masyarakatnya. Kalaupun otonomi daerah itu sudah mandiri tidak bergantung pada daerah yang lainnya dan memakmurkan masyarakat saya setuju saja dalam mendirikan otonomi daerah tersebut.
b.      Bagaimana penerapan hukum di era reformasi ? hubungkan dengan kasus pencurian sandal yang di dakwa 5 tahun penjara dengan kasus korupsi ?  bagaimana analisis anda ?
Jawaban :
Penerapan hukum pada masa era reformasi ini di jelaskan diatas bahwa seiring dengan perubahan undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, kebijakan tentang pemerintah daerah mengalami perubahan yang cukup mendasar. Pada masa reformasi sendiri di berlakukan undang-undang no 22 dan 29 tahun 1999 tentang otonomi daerah. Dengan berbagai macam perubahan tersebut akhirnya di revisi menjadi UU No.32 dan 33 tahun 2004 pemerintah daerah diberikan wewenang untuk mengatur segala urusan rumah tangganya masing-masing, tuntutan bagi pemerintah daerah untuk mengembangkan potensi yang dimiliki dengan menjalankan roda pemerintahan yang efektif dan efisien sesuai dengan kemampuan masing-masing daerah.
Pada ranah implementasi, pelaksanaan otonomi daerah justru jauh berbeda. Hasil evaluasi pelaksanaan otonomi daerah oleh berbagai kalangan, termasuk LIPI (2007) dan UNDP (2008), memperlihatkan bahwa agenda ini lebih menunjukkan kegagalan  daripada wujud kesuksesannya. Kegagalan yang sangat nyata adalah nampak dari “terdesentralisasikannya” korupsi ke daerah, sehingga banyak kepala daerah yang terlibat kasus korupsi. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa UU No 22/1999 yang kemudian diubah menjadi UU No 32/2004 tentang Pemerintah Daerah memicu kegairahan baru yang membuka ruang kebebasan lebih bagi masyarakat dan elite lokal. Namun, kebebasan itu justru dipahami berbeda oleh para elite lokal sebagai kebebasan dalam berbagai hal. Menurut Prof Dr Saldi Isra (2009), menjamurnya korupsi di daerah dapat dilihat melalui tiga persoalan penting. Pertama, sadar atau tidak, program otonomi daerah yang digulirkan oleh pemerintah hanya terfokus pada pelimpahan wewenang dalam pembuatan kebijakan, keuangan dan administrasi dari pemerintah pusat ke daerah, tanpa disertai pembagian kekuasaan kepada masyarakat. Dengan kata lain, program otonomi daerah tidak diikuti dengan program demokratisasi yang membuka peluang keterlibatan masyarakat dalam pemerintahan di daerah. Karenanya, program desentralisasi ini hanya memberi peluang kepada elite lokal untuk mengakses sumber-sumber ekonomi dan politik daerah, yang rawan terhadap korupsi atau penyalahgunaan wewenang. Kedua, tidak ada institusi negara yang mampu mengontrol secara efektif penyimpangan wewenang di daerah. Program otonomi daerah telah memotong struktur hierarki pemerintahan, sehingga tidak efektif lagi control pemerintah pusat ke daerah karena tidak ada lagi hubungan struktural secara langsung yang memaksakan kepatuhan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat. Kepala daerah, baik gubernur, bupati, maupun walikota, tidak lagi ditentukan oleh pemerintah pusat, melainkan oleh mekanisme pemilihan kepala daerah oleh DPRD dan bertanggunjawab ke DPRD. Hubungan pemerintahan pusat dan daerah hanya fungsional, yaitu hanya kekuasaan untuk memberi policy guidance kepada pemerintah daerah tanpa diikuti oleh pengawasan yang memadai. Ketiga, legislatif daerah gagal dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga kontrol. Justru sebaliknya terjadi kolusi yang erat antara pemerintah daerah dan DPRD sehingga kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak terjadi, sementara kontrol dari kalangan civil society masih lemah. Yang perlu digaris bawahi, adanya lembaga kontrol seperti DPRD yang secara konstitusi harus mengawasi kebijakan pihak eksekutif (pemerintah daerah) tidak berarti peluang adanya penyelewengan dan korupsi menjadi hilang. Justru ketika kolusi terjadi antara pihak eksekutif dan legislatif, sangat sulit bagi masyarakat untuk melakukan kontrol.
Menurut saya dengan kasus pencurian sandal tersebut oleh seorang anak yang dibawah umur dengan dikaitkan dalam undang-undang otonomi daerah tersebut tidak ada hubungannya sama sekali karena ini kasus pencurian sandal, yang berhak untuk mengadili itu pihak yang berwenang. Walaupun dalam pencurian itu di daerah tapi setidaknya musyawarah secara baik-baik dari orang yang bersangkutan yang mempunyai sandal tersebut dengan orang yang mencurinya.
    V.            Jelaskan pertanyaan di bawah ini
a.      Jelaskan bagaimana pemerintah ORBA melakukan tindakan represif terhadap mahasiswa setelah terjadinya MALARI ?
Jawaban :
Pada masa Orde Baru banyak peristiwa yang terjadi di daerah-daerah selain peristiwa Malari, ada juga peristiwa tanjung priok dan sebagainya. Tindakan pemerintah melakukan kerjasama dengan militer atau ABRI. ABRI sebagai bagian dari unit ketentaraan menganggap bahwa unjuk rasa, demonstrasi, dan kerusuhan bukan sebagai bagian tak terpisakan dari hak-hak asasi rakyat untuk melakukan aspirasi politik, melainkan suatu hal yang perlu ditindak. Membedah peristiwa atau permasalahan pada masa orde baru, kiranya sangat menarik jika dikaitkan dengan mahasiswa dan islam. Dalam masa-masa apapun, mahasiswa tentu mempunyai pergerakan yang fluktuatif. Begitu pula dengan islam, merupakan salah satu kekuatan besar yang harus diperhitungkan. aktivis atau mantan aktivis mahasiswa pada masa itu mungkin tidak akan lupa dengan masalah NKK (Normalisasi Kehidupan Kmpus)-BKK (Badan Koordinasi Kemahasiswaan). Ormas, partai, atau umat islam mungkin tidak akan lupa dengan peristiwa Tanjung Priok atau pendirian ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia).
SK No.0156/U/1978 menerapkan kebijakan NKK pada perguruan tinggi. Konsep ini mencoba mengarahkan mahasiswa hanya menuju pada jalur kegiatan akademik, dan menjauhkan dari aktivitas politik karena dinilai secara nyata dapat membahayakan posisi rezim. Menyusul pemberlakuan konsep NKK, pemerintah dalam hal ini Pangkopkamtib Soedomo melakukan pembekuan atas lembaga Dewan Mahasiswa (DM), sebagai gantinya pemerintah membentuk struktur keorganisasian baru yang disebut BKK. Berdasarkan SK menteri P&K No.037/U/1979 kebijakan ini membahas tentang Bentuk Susunan Lembaga Organisasi Kemahasiswaan di Lingkungan Perguruan Tinggi, dan dimantapkan dengan penjelasan teknis melalui Instruksi Dirjen Pendidikan Tinggi tahun 1978 tentang pokok-pokok pelaksanaan penataan kembali lembaga kemahasiswaan di Perguruan Tinggi (Wikipedia: gerakan mahasiswa di Indonesia). Dikeluarkannya Tap MPR No. II/MPR/1983 mengharuskan semua organisasi masyarakat dan partai berdasarkan pada asas tunggal pancasila. Semua organisasi islam dan agama lain tidak terkecuali terkenai kewajiban mengubah anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (Suwarno, 2009: 138). Hal ini pula yang menjadi salah satu penyebab terjadinya peristiwa Tanjung Priok pada tahun 1984 (Wikipedia: peristiwa Tanjung Priok). Dalam suatu negara, setiap pemimpin kiranya bercita-cita menciptakan stabilitas dalam semua bidang. Cara yang ditempuh masing-masing dapat berbeda sesuai dengan kapasitas, situasi-kondisi, atau kebudayaan masyarakatnya.
Pada masa orde baru, nyatanya sebagian besar masyarakat Indonesia masih bersifat paternalistik. Ini terbukti dari sebagian besar masyarakat yang mengalami masa orde baru, saat ini merindukan masa-masa yang oleh para kaum intelektual disebut-sebut sebagai masa-masa yang penuh pengekangan tersebut. Inti dari persoalan tindakan represif tersebut adalah menjaga stabilitas dari suatu negara. Apakah jawaban lain seperti gila kekuasaan, psikopat, atau faktor lainnya, kami tidak bisa mengemukakan hal tersebut. Karena hal ini dapat berupa ranah psikologis atau berkaitan dengan budaya jawa kuno yang sangat banyak dan detail, sebagaimana Soeharto adalah seorang yang kental akan petatah-petitih kebudayaan jawa.
b.      Bagaimana tindakan represif pemerintah ORBA terhadap ISLAM ?
Jawaban :
Ideologi pada Masa Orde Baru adalah Pancasila, sehingga siapapun orang yang memunculkan ideology baru akan ditekan dan ditindas, seakan semua yang dilakukan oleh pemerintah itu demi melanggengkan kedudukakannya. Pada masa itu pun dikeluarkan UU No. 3 tahun 1985, Orde Baru kembali mengeluarkan kebijakan mengenai Pancasila sebagai asas tunggal untuk organisasi-organisasi kemasyarakatan melalui UU No. 8 tahun 1985. Organisasi masyarakat diberi waktu dua tahun untuk menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Banyak Ormas yang melakukan penolakan, sehingga banyak hal yang dilakukan oleh pemerintah untuk menekan Islam termasuk tindakan represif (Online : http://sangpenyihirkata.wordpress.com/2011/01/01/asas-tunggal-pancasila-representasi-paranoia-rezim-orde-baru-terhadap-pergerakan-islam-1970-1990/). Seakan-akan setiap ormas atau pun partai politik harus berpindah haluan mengikuti ideologi Pancasila, tidak boleh menganut ideologi yang lain. Begitu pun dengan ormas atau partai politik Islam yang kemudian ditekan karena dianggap radikal dan membayakan, sementara yang dianggap moderat dirangkul dan dijadikan alat intervensi pemerintah.
Berbagai cara yang dilakukan pemerintah agar Ideologi Pancasila yang dijadikan ideologi negara itu tidak dicampuradukkan dengan ideology yang dianut oleh masyarakat karena dapat menghancurkan stabilitas bangsa pada waktu itu. Tidakan refresif adalah salah satu dari tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru untuk menjinakkan partai Islam, banyak sekali ormas yang diadili, dihakimi, bahkan ditindak, dan hal itu dilakukan semi menegakkan ideology pancasila yang harus ditegakkan dan dilaksanakan secara utuh.
Pemerintah Orde Baru pada saat itu menggunakan politik bulldozer yang tidak lain menindas dan menghancurkan, sehingga bisa dipastikan partai politik yang nantinya mengikuti Pemilu adalah partai politik yang beraliran sama dan tidak menggoyahkan kekuasaan. Sehingga bisa dipastikan hanya ada beberapa partai politik yang dibiarkan menonjol dan yang lainnya dipukul rata hingga ke akarnya karena dianggap tidak sesuai dan memang dimusnahkan demi stabilitas bangsa Indonesian pada saat itu. Tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah Orde Baru ini terhadap Islam, sebagai salah satu ideologi yang dianggap menyimpang sangatlah represif, bukan sekedar larangan atau pun undang-undang tetapi tindakan represif pun muncul mulai dari penindasan hingga penculikan yang dilakukan kepada para pendukung Islam.
Banyak sekali peraturan atau ketetapan yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk meyakinkan bahwa ideologi yang satu-satunya harus ditaati adalah Pancasila, dan partai politik yang harus dipilih oleh rakyat adalah Golkar, bahkan pada saat itu setiap pegawai negeri sipil diharuskan untuk memilih Golkar. Dengan kenyataan seperti ini, dengan tekanan dari pemerintah, maka banyak pegawai negeri yang tadinya memilih partai politik Islam menjadi pindah haluan untuk lebih memilih Golkar dan taat pada pemerintah, sehingga bisa dipastikan presentase kedudukan partai Islam pada saat itu sangatlah kecil. Peraturan yang dibuat oleh Pemerintah Orde Baru yaitu :
1.      Berdasarkan SU MPR 1978 mengenai Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4) dan UU No. 3 tahun 1985 tentang partai politik dan Golongan Karya yang menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
2.      UU No. 3 tahun 1985, Orde Baru kembali mengeluarkan kebijakan mengenai Pancasila sebagai asas tunggal untuk organisasi-organisasi kemasyarakatan melalui UU No. 8 tahun 1985. Organisasi masyarakat diberi waktu dua tahun untuk menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas (online : http://sangpenyihirkata.wordpress.com/2011/01/01/asas-tunggal-pancasila-representasi-paranoia-rezim-orde-baru-terhadap-pergerakan-islam-1970-1990/ )
Dari banyaknya aturan yang dibuat diatas, maka bisa disimpulkan bahwa pemerintah Orde Baru pada saat itu memamg sangat berpegang teguh pada ideologi Pancasila, dan menjadikan Golongan Karya sebagai partai politiknya. Begitu pula dengan organisasi masyarakat yang diharuskan untuk berganti asas dengan asas Pancasila yang merupakan asas tunggal, dan jika tidak berganti azas sudah bisa dipastikan partai tersebut akan ditindas dan akan menjadi mati. Dan kala itu partai Isam memang dianggap sebagai penghalang dan penghambat karena pendukungnya yang sangat banyak. Rezim Orde Baru ini sendiri sangat dekat dan merangkul partai Islam yang moderat, hal ini dilakukan agar adanya hubungan yang baik, sehingga nantinya partai Islam tersebut lebih memihak kepada pemerintah dan tidak bertindak macam-macam. Dalam hal ini, bisa dikatakan bahwa meskipun Islam dibiarkan berkembang, tetapi tetap dimotori dan dibuat untuk kepentingan penguasa, sehingga memuluskan jalan bukan menghambat jalan seperti apa yang dilakukan oleh partai ataupun gerakan Islam yang radikal.
Proses represif yang dilakukan oleh pemerintah ini bukan hanya wacana atau isapan jempol belaka, tetapi memang ada bukti yang menunjukkan bahwa pemerintah sangat menekan dan menindas Islam pada saat itu sebagai hal yang sangat berbahaya. Banyak tragedi dan peristiwa yang terjadi sebagai saksi represifnya rezim Orde Baru pada saat itu, peristiwa yang sangat terkenal salah satunya adalah peristiwa Tanjung Priok yang terjadi di Jakarta dan peristiwa Talangsari yang terjadi di Lampung yang dikategorikan sebagai peristiwa pelanggaran HAM.
c.       Bagaimana kebijakan perintah ORBA terhadap etnis minoritas China ? serta apa dampaknya bagi etnis Thionghoa tersebut ? 
Jawaban :
Pada era pemerintahan Soeharto, insiden anti-Tionghoa terjadi di berbagai tempat meskipun tidak meluas secara serempak di banyak tempat. Kebijakan rezim Orde Baru terhadap warga Cina lebih sistematis dibandingkan kebijakan negara sebelumnya. Pemerintah berpendapat bahwa keterlibatan warga Tionghoa dalam peristiwa September 1965 merupakan hasil dari tidak berasimilasinya warga Tionghoa dalam masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu pemerintah meluncurkan program asimilasi yang sangat gencar. Pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden No. 14 tahun 1967 mengenai pelarangan agama, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa yang menghalangi ekspresi kehidupan sehari-hari warga Tionghoa. Proses marginalisasi dilakukan dengan cermat. Partisipasi politik dihambat dengan berbagai alasan, termasuk dalam bidang sosial budaya. Pada masa Orde Baru terdapat pengaruh keamanan dan Departemen Agama yang kadang-kadang ikut campur dalam pelaksanaan ibadah keagamaan khususnya pada bentuk-bentuk yang lebih Tionghoa.
Dulunya acara seperti Tahun Baru Imlek, Perayaan Rebutan, atau Festival Kapal Naga adalah acara umum yang menarik penonton dan bahkan pesertanya berasal dari semua komunitas dengan disertai arak-arakan, menebar hadiah, dan membuka arak-arakan besar. Selanjutnya acara keagamaan Tionghoa hanya dilakukan di lingkungan kelenteng atau dalam kediaman keluarga. Selain alasan ketertiban umum, pemerintah berdalih bahwa perayaan seperti Tahun Baru Imlek bukanlah perayaan agama Budha dan oleh karenanya tidak ada alasan yang kuat (Suhandinata, 2009: 135).
Meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh etnis Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Cina tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa di tulis dengan bahasa mandarin. Mereka pergi hingga ke Makhamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia bejanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia. Untuk keberhasilan ini kita mesti memberi penghormatan bagi Ikatan Naturopatis Indonesia (I.N.I) yang anggota dan pengurusnya pada waktu itu memperjuangkan hal ini demi masyarakat Tionghoa Indonesia dan kesehatan rakyat Indonesia. Hingga Cina Indonesia mempunyai sedikit kebebasan dalam menggunakan bahasa Mandarin. (Suryadinata, 1984: 146).
Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa etnis Tionghoa bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Tionghoa kehilangan pengakuan pemerintah. (Suryadinata, 1984: 165).
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.
Pemerintah melakukan asimilasi orang-orang Tionghoa dengan memutuskan hubungan dengan leluhur dengan penggantian nama bagi WNI yang memakai nama Tionghoa, larangan memperdagangkan dan mengedarkan segala jenis barang cetakan dalam bahasa Mandarin, sekolah-sekolah Tionghoa ditutup dan semua anak sekolah harus pindah ke pengajaran yang disampaikan dalam bahasa Indonesia. Koran berbahasa Mandarin juga dilarang terbit. Organisasi Tionghoa tertentu dilarang, apakah itu organisasi kaum totok seperti perhimpunan masyarakat berdasarkan tempat asal atau organisasi kaum peranakan seperti BAPERKI, sebuah organisasi untuk menggalakkan kewarganegaraan Indonesia dan membela kepentingan kaum minoritas. (Suhandinata, 2009: 143).
Etnis Tionghoa kembali berkonsentrasi dalam bidang ekonomi. Bentuk ekonomi kerjasama atau ekonomi Ali-Baba pada tahun 1950-an kembali muncul pada masa pemerintahan Soeharto. Praktek bisnis seperti ini dalam era orde baru dikenal sebagai sistem cukongisme.(Supriyatna, 1996: 64). Cukong adalah istilah Cina (Hokkien) yang berarti majikan. Di Indonesia istilah ini dipakai untuk menunjuk pengusaha Tionghoa yang terampil, bekerja sama secara erat dengan mereka yang berkuasa, khususnya militer sebagai perantara.
Orientasi Orde Baru pada ekonomi membutuhkan penciptaan basis investasi yang luas dan bersifat massal. Dalam hal ini yang memenuhi syarat untuk menghimpun modal hanyalah golongan etnis Tionghoa karena lemahnya struktur modal yang dimiliki oleh para pengusaha pribumi. Pemerintah Soeharto benar-benar memberikan fasilitas dan proteksi untuk kemajuan bisnis beberapa tokoh Tionghoa, misalnya Sudono Salim. Motif dibalik program pemerintah tersebut adalah untuk mengerahkan potensi ekonomi Tionghoa di Indonesia dan dengan demikian mendorong mereka menarik lebih banyak modal dari Singapura, Hongkong, dan pusat-pusat bisnis Tionghoa perantauan di Asia. Segala fasilitas pemerintah yang menguntungkan mempercepat kebangkitan kembali dominasi Tionghoa dalam ekonomi Indonesia dan mendepak perusahaan-perusahaan pribumi (Mas’oed,1989: 99).
Kebijakan ini dilatarbelakangi kepentingan politik dan ekonomi yang tampak sebagai upaya untuk menyangga dan melanggengkan kekuasaannya. Sukses ekonomi warga etnis Tionghoa pada masa Orde Baru akibat kebijakan yang diterapkan pemerintah telah melahirkan sejumlah konglomerat. Akibatnya sentimen anti-Cina muncul kembali. Misalnya pada Januari 1974 terjadi demonstrasi massa anti-Cina dan anti-Jepang.
Walaupun jumlah orang etnis Tionghoa di Indonesia relatif sedikit, namun berhubung dengan peranan mereka dalam kehidupan ekonomi, suatu peranan kunci dalam masyarakat mana pun, maka mereka merupakan suatu minoritas yang berarti. Keadaan inilah yang merupakan sumber permasalahan apa yang dinamakan “masalah Cina”. (Melly G. Tan, 1981). Dari pernyataan Melly G. Tan tersebut dapat kita lihat bahwa masalah ekonomi merupakan salah satu sebab pokok mengapa sampai muncul “masalah Cina”. Masyarakat Tionghoa yang sebagian besar terjun dalam bidang usaha dan pada akhirnya berhasil meraih sukses dianggap mengeruk keuntungan dari masyarakat Indonesia lain.
Banyaknya orang yang berasal dari etnis Tionghoa yang meraih sukses dalam bidang ekonomi menyebabkan pemerintahan Orde Baru mengeluarkan kebijakan yang bersifat diskriminatif, yaitu PP 10 Tahun 1959-1960 dan Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 286/KP/XII/1978 yang menyebutkan orang Tionghoa di Jawa tidak diperbolehkan berusaha di tingkat kabupaten. Kebijakan ini menyebabkan terpusatnya pemukiman etnis Tionghoa di perkotaan.  Di masa Orde Baru segelintir pengusaha Tionghoa dijadikan kroni oleh para penguasa untuk memupuk kekayaan. Dalam melakukan bisnisnya mereka banyak melakukan tindakan-tindakan kotor yang sangat merugikan rakyat. Sudah tentu hal ini menimbulkan citra yang sangat buruk bagi orang-orang Tionghoa di Indonesia. Perbuatan mereka benar-benar merusak kehormatan etnis Tionghoa dan menjadikan mereka sasaran empuk ketidakpuasan rakyat. "Binatang ekonomi dan apolitis" adalah dua stigma populer yang berurat-akar bagi orang Tionghoa. Persepsi mayoritas elite politik Indonesia tampaknya masih berkutat di situ karena menilai partisipasi Tionghoa sebatas keuntungan ekonomis. Persepsi ini adalah buah dari asumsi tidak mendasar bahwa komunitas Tionghoa yang hanya 2 persen dari populasi menguasai 70 persen perekonomian nasional. Citra kekuatan ekonomi komunitas Tionghoa memang sudah ada sejauh sejarah kolonial. Terjadi generalisasi di masyarakat bahwa etnis Tionghoa adalah binatang ekonomi yang rakus belaka. Padahal mayoritas etnis Tionghoa adalah kalangan menengah ke bawah. Pada umumnya para pedagang Tionghoa adalah pedagang perantara dan distribusi yang jauh dari praktek KKN, malahan merekalah yang selalu menjadi korban pemerasan para birokrat dan preman. Dalam setiap aksi kerusuhan merekalah yang selalu menjadi korban penjarahan dan perusakan.
Demikian juga tuduhan bahwa pengusaha-pengusaha Tionghoa anasionalis karena memindahkan modalnya ke luar negeri terutama ke RRC harus dipelajari dengan seksama. Di era globalisasi, perpindahan modal adalah hal yang wajar. Modal akan mencari tempat-tempat di mana mereka akan berkembang dan memperoleh untung. Modal para pengusaha baik domestik maupun asing akan pergi apabila terjadi situasi yang tidak menguntungkan di suatu tempat atau negara manapun. Tetapi sebaliknya modal asing akan berduyun-duyun masuk ke sebuah negara yang situasinya kondusif dan menjanjikan keuntungan. Untuk itulah kita perlu memberi kemudahan, menjamin stabilitas keamanan, adanya kepastian dan tegaknya hukum serta menghapuskan KKN yang menjadi momok para pengusaha baik domestik maupun asing. (Suryadinata, 1984: 179).
Apabila kita berkunjung ke kampung-kampung di sekitar Jabotabek seperti di perkampungan Penjaringan Jakarta, Dadap, Kamal, Mauk di Tangerang, Cileungsi di Bogor, dan Babelan di Bekasi maka kita akan menjumpai banyak sekali orang-orang Tionghoa yang sangat miskin. Demikian juga apabila kita berkunjung ke kampung-kampung di Kalimantan Barat terutama di Singkawang. Hal yang sama akan kita jumpai di provinsi Riau dan Bangka Bilitung. Semua ini membuktikan bahwa tidak semua orang Tionghoa adalah golongan ekonomi kuat seperti yang selalu digembar-gemborkan sehingga dapat menimbulkan kesan yang sangat negatif di kalangan masyarakat luas yang sangat merugikan etnis Tionghoa. Sedangkan di bidang sosial selain yang disebutkan di atas, pada masa Orde Baru terdapat beberapa kebijakan pemerintah yang bersifat diskriminatif, seperti Surat Edaran No.06/Preskab/6/67 yang memuat tentang perubahan nama. Dalam surat itu disebutkan bahwa masyarakat keturunan Tionghoa harus mengubah nama Cinanya menjadi nama yang berbau Indonesia, misalnya Liem Sioe Liong menjadi Sudono Salim. Selain itu, penggunaan bahasa Cinapun dilarang.
Adapun beberapa dampak kebijakan pemerintah Orde Baru terhadap Etnis Tinghoa sebagai berikut :
Kekuasaan rezim Soeharto membelenggu hak-hak kewarganegaraan etnis Cina. Selama lebih dari 30 tahun masyarakat Tionghoa Indonesia tidak menerima hak kebebasannya dalam beragama, berkeyakinan, berpikir, dan berkewarganegaraan. Dalam bidang politik, etnis Tionghoa tidak diberikan tempat di pemerintahan maupun Badan Legislatif pada waktu itu. Pada Orde Baru, penguasa mencoba untuk meng-Indonesia-kan mereka dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang bersifat semu, seperti penghilangan bahasa dan huruf Tionghoa, mengganti nama, melakukan perkawinan campuran dan anti agama. Akibatnya kehidupan social terganggu, contohnya mereka sulit mencari pekerjaan.
Untuk mengidentifikasi lebih jauh bagaimana dampak kebijakan pemerintahan Soeharto pada Masa Orde Baru terhadap Etnis Tionghoa, penyusun membaginya kedalam tiga hal besar (Sulistiyani, 2011: 90-101), yaitu:
1.    Ekonomi
Pada 1966 Jenderal Soeharto menjadi penguasa baru Indonesia dan merupakan orang pertama yang menerapkan politik pro bisnis juga membuka pintu Indonesia kepada etnis Tionghoa. Kebijakan politik Soeharto terhadap etnis Tionghoa adalah memberikan kesempatan yang besar dalam bidang ekonomi. Kebijakan tersebut mengandung 2 dimensi, budaya dan ekonomi.
Dalam bidang budaya dia memperkenalkan politik asimilasi total dengan menghapuskan 3 pilar budaya Tionghoa, yakni sekolah, organisasi, dan media. Dalam bidang ekonomi, penguasa baru ini memberikan kesempatan kepada etnis Tionghoa. Hal ini berhubungan dengan strategi besarnya dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan perkembangan Indonesia untuk memberikan legitimasi kekuasaannya.
2.   Pendidikan
Setelah pelimpahan kekuasaan 11 Maret 1966 dari Soekarno ke Soeharto terjadi aksi penutupan sekolah-sekolah asing terutama sekolah Baperki yang melayani kebutuhan masyarakat Tionghoa dilakukan oleh para Kesatuan Aksi Pemuda pelajar Indonesia (KAPPI) dan dibantu oleh aparat militer dari LPKB. Pihak militer tidak melarang aksi pengambil-alihan sekolah-sekolah Baperki sebagai bagian dari pembersihan yang lebih luas terhadap unsure Gestapu/PKI. Aksi tersebut semakin meluas. Barulah pada tanggal 19 Mei, Wakil Perdana Menteri Roeslan Abdulgani mengumumkan keputusan cabinet bahwa semua sekolah asing di Indonesia dilarang. Statistik yang dipersiapkan oleh Biro Hubungan Luar Negeri dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dalam bulan April tahun 1966 menunjukkan bahwa jumlah sekolah asing di Indonesia dalam tahun pelajaran 1965-1966, ada 667 dan 629 diantaranya adalah sekolah Tionghoa. Jumlah murid seluruhnya yang masuk sekolah-sekolah tersebut adalah 276.382 orang, dimana 272.782 diantaranya adalah orang Tionghoa asing. Dan diantara 8.602 guru ada 6.478 yang merupakan orang Tionghoa asing.
Penutupan sekolah-sekolah asing tersebut, menetapkan bahwa siswa yang menjadi murid di bekas sekolah itu tidak akan ditampung di sekolah-sekolah nasional–swasta. Mereka berhak untuk sekolah di sekolah-sekolah negara jika mereka bisa memenuhi syarat-syarat masuk yang serupa dengan murid-murid lainnya dan mereka di bagi-bagi agar tidak ada pengelompokkan di salah satu sekolah. Namun jumlah murid Tionghoa yang dapat diterima hanya 5 % dan dalam praktek ternyata sangat sukar bagi mereka untuk memasuki sekolah-sekolah negeri. Hal ini berdampak pada etnis Tionghoa:
·         Hanya berpendidikan sampai jenjang SD
·         Tidak bisa menulis dan membaca
·         Hidup dalam kemiskinan dari generasi ke generasi
3.    Budaya Tionghoa
Secara yurisdis, segala budaya Tionghoa telah ditolak dan dilarang oleh pemerintah dalam segala bentuknya. Warisan budaya Tionghoa dianggap berbahaya karena dapat menghambat proses asimilasi yang sedang digalakkan oleh pemerintah. Lebih lanjut, semua teks yang memakai tulisan Mandarin dilarang. bahkan surat yang sedikit saja mengandung tulisan Mandarin ditolak dan tidak akan dikirimkan oleh Kantor Pos Indonesia. Penayangan film maupun video yang menggunakan bahasa Mandarin pun dilarang. segala hal yang beraktivitas dengan budaya Tiongkok dilarang.
Meskipun demikian, menurut Oey tjin Eng, disana-sini masih saja terdapat berbagai macam budaya Tonghoa yang dijalankan meski tidak dalam skala yang meriah dan nasional. Sejak tahun 1993 budaya Imlek telah dilarang namun masih ada yang melaksanakannya, seolah pemerintah diam saja dengan kenyataan itu semua, karena menyadari bahwa hal itu akan mendatangkan keuntungan yaitu pungutan-pungutan bagi mereka yang telah melanggar peraturan dari pemerintah. Peraturan pemerintah menjadi senjata untuk merampok orang-orang Tionghoa. Ini pertama-tama menunjukkan bahwa pemerintah sebetulnya memiliki kuasa. Maka dari semua pelarangan budaya atersebu, motif di balik semua pelarangan tersebut adalah ekonomi.
Sumber Internet
Paschall. (2011). Lepasnya Timor Timur Dari NKRI. [Online]. Tersedia :   http://paschall-ab.blogspot.com/2011/08/lepasnya-timor-timur-dari-nkri.html [23 Desember 2012]
Ridho, Y. (2011). Peran Militer Dalam Konflik Masa Orde Baru. [Online]. Tersedia : http://yanuaridho.wordpress.com/2011/12/24/peran-militer-dalam-konflik-masa-orde-baru/ [23 Desember 2012]
_________. (_____). Makalah ICMI. [Online]. Tersedia :  http://www.scribd.com/doc/46303737/makalah-ICMI [23 Desember 2012]
________. (______). Masalah Timor Timur Dan Politik Luar Negeri. [Online]. Tersedia: http://frenndw.wordpress.com/2010/01/13/masalah-timor-timur-dan-politik-luar-negeri-ri/ [23 Desember 2012]
________. (_____). Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia. [Online]. Tersedia :    http://id.wikipedia.org/wiki/Ikatan_Cendekiawan_Muslim_Indonesia [23 Desember 2012]
_________. (_______). Otonomi Daerah Di Indonesia. [Online]. Tersedia :     http://id.wikipedia.org/wiki/Otonomi_daerah_di_Indonesia [23 Desember 2012]
Sumber Skripsi
Ratican, R. (2005). Pengaruh Kemerdekaan Timor Leste terhadap Hubungan Australia dengan Indonesia. Malang: Di terbitkan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar