Kita sering atau pernah mendengarkan
daerah Banten yang tidak asing lagi ditelinga kita. Banten merupakan negeri
yang sangat kaya sumber sejarah dan memiliki kekhasan karena berada di antara
dua tradisi utama Nusantara, yaitu tradisi kerajaan Jawa dan tradisi tempat
perdagangan Melayu (Claude Guillot 2008). Lokasi Banten terlalu jauh dari
daerah Jakarta, mungkin perjalanan yang ditempuh kira-kira selama empat jam kalau
tidak terjadi kemancetan, cuaca Banten sama seperti di Cirebon, panas karena
merupakan daerah pesisiran dan pelabuhan. Kota Banten lama banyak terdapat
jejak sejarah, mulai dari masjid Banten, Benteng Spellwijk, Keraton Kaibon,
Pecinan Banten Lama, Tasikardi, Pasar, Pelabuhan Karangantu hingga Keraton
Surosoan. Bahkan struktur kota Banten lama sudah mengenal daerah pecinan
tinggi, masih terdapat penemuan bangunan model rumah kuno didaerah pecinan. Ini
merupakan gambaran Banten lama pada masa itu. Pada tahun 1552 ketika keraton
itu mulai dibangun, nenek moyang kita ternyata sudah mengembangkan teknologi
penyaringan air bersih. Pada bagian belakang istana, jika bagian depan istana
diasumsikan bangunan yang ada tangganya yang terdapat saluran air. Di depannya
ada enam keran (dulu terbuat dari besi berwarna kuning sehingga tempat itu
disebut Pancuran Emas) untuk mengambil air bersih yang sudah disaring. Air
bersih bersumber dari mata air Tasik Ardi, berjarak sekitar 2,5 kilometer dari
Keraton Surasowan. Sebelum digunakan untuk minum, air itu harus melalui tiga
penyaringan (peninggilan). Sumber air Tasik Ardi hingga kini masih tetap asri
dan menjadi salah satu tempat wisata dalam kawasan Banten Lama, walau debit air
yang dikeluarkan jauh lebih kecil. Sementara, pipa saluran air menuju keraton
tetap terpelihara baik walau sebagian tertutup tanah dan jalan. Di dalam
Karesidenan Banten (sejak tahun 2000 menjadi provinsi sendiri, pisah dari
Provinsi Jabar) itu ada beberapa kawasan situs dan peninggalan sejarah. Ada
Banten Girang yang menyimpan situs zaman megalitik, ada Banten Lama di mana
terdapat bekas Keraton Surasowan, Keraton Kaibon, Vihara Avalokitesvara, bekas
benteng Speelwijk yang dibangun VOC Belanda, terletak 10 km arah utara Kota
Serang. Di Kota Serang sendiri ada beberapa gedung yang masuk kategori cagar
budaya yang perubahannya tak bisa dilakukan sembarangan. Setidaknya di sana ada
empat gedung bersejarah. Gedung negara (kini kantor Gubenur Banten), dulu
kantor Residen Banten yang dibangun pada tahun 1800-an, gedung Joang (kini
tempat organisasi massa berkantor), bekas sekolah Mulo (kini Polres Serang),
dan bekas markas marsose Belanda dibangun pada tahun 1900-an (kini menjadi
markas Korem 064 Maulana Yusuf Banten). Kondisi gedung-gedung itu relatif masih
bagus. Akan tetapi, penjara serta bangunan lain yang menjadi asrama polisi
harus dirawat dan dibersihkan. Penjara empat pintu yang umurnya diperkirakan
satu abad tersebut kini menjadi rumah tahanan Polres Serang. Sosok sejarah
Banten hingga saat ini belum terwujud utuh. Penggalan yang dikaji para ahli arkeologi
baru mata rantai yang terputus-putus. Walau demikian, hasil penelitian tersebut
menjadi bukti Banten memiliki nilai sejarah. Bukti keberadaan Kerajaan Banten
antara lain terdapat pada naskah kuno Pangeran Wangsakerta Cirebon abad ke-17
Masehi. Di sana terdapat lukisan dua duta besar Keraton Banten yang dikirim ke
Inggris pada tahun 1682. Dua utusan diplomatik itu adalah Kiai Ngabehi Wira
Pradja dan Kiai Abi Yahya Sendana. Archaeological Remains of Banten Lama yang
dibuat Pusat Penelitian Arkeologi Nasional karanghantu tahun 1984 menyatakan,
sejarah Banten terutama terjadi pada abad ke-16 ke atas. Antara abad ke-12
sampai ke-15 Banten sudah dikenal sebagai pelabuhan untuk Pemerintah Inggris di
Sunda. Pertumbuhan wilayah itu maju pesat. Bandar yang berjarak hanya sekitar
dua kilometer dari pusat Pemerintahan Banten Lama disinggahi pedagang dari
Gujarat (India), Tionghoa, Melayu, Portugal, dan Belanda. Waktu itu, arus
barang keluar-masuk pelabuhan sangat lancar sehingga perekonomian Banten maju
pesat. Pada zaman pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Banten dikenal sebagai
eksportir lada. Produk rempah-rempah mengundang banyak pedagang dari berbagai
negara datang lalu tinggal di sana. Tak aneh bila di kawasan itu berdiri
bangunan berusia di atas 100 tahun seperti vihara, mesjid Lama Banten, serta
bekas kampung Arab, India, dan Cina. (http://www.bpkp.go.id/dki2/konten/1084/SEJARAH-BANTEN)
Koleksi yang terdapat di museum
kepurbakalaan Banten lama baik itu replika atau reproduksi maupun yang asli
diantaranya sebagai berikut :
· Koleksi
Arkeologi
Koleksi
arkeologika yang terdapat di Museum meliputi sejumlah benda-benda peninggalan
sejarah dan purbakala yang ditemukan di Situs Banten Lama yang berasal dari
masa prasejarah, klenik (Hindu-Budha), masa Kesultanan Banten, dan masa
kolonial. Koleksi arkeologika ini mencerminkan Banten Lama sudah ada sejak masa
pra-sejarah di Indonesia. Koleksi-koleksi tersebut antara lain: kapal batu,
arca Nandi, atap bangunan, pagar besi, pegangan kunci, rumah kunci, paku, dan
pipa saluran air
Jalur
perdagangan rempah-rempah melalui laut menjadikan laut dan pantai Banten ramai
lalu lalang kapal dagang berbagai bentuk dan ukuran dari berbagai negara.
Tinggalan dari keramaian perdagangan laut itu diantaranya adalah fragmen bagian
dari tiang pagar tangga kapal yang terbuat dari logam dipenuhi hiasan, dan juga
fragmen badan kapal yang terbuat dari kayu. Diantara fragmen kapal, didapati
juga tapal (sepatu kuda). Bata Beberapa bangunan masa Kesultanan Banten
dibuat menggunakan bata, sehingga beberapa diantaranya masih dapat bertahan
hingga sekarang sebagai bangunan monumen bersejarah. Bata yang digunakan
berbentuk persegi panjang dengan ukuran 29x15 cm. Dalam penggunaannya,
bata-bata persegi panjang tersebut untuk keperluan tertentu dapat dibentuk
sesuai peruntukkan.
· Pipa Saluran Air
Pipa
untuk menyalurkan air banyak digunakan pada masa pemerintahan Sultan Ageng
Tirtayasa (1651-1682 Masehi). Beliau berinisiatif membangun satu jaringan
distribusi air bagi penduduk, dimulai dengan pembuatan danau atau waduk
Tasikardi sebagai sumber airnya, kemudian dialirkan melalui pipa hingga ke
Keraton untuk kemudian didistribusikan ke lingkungan sekitarnya untuk
masyarakat. Sepanjang jalur air dari Tasikardi hingga Keraton air dialirkan
melalui pipa. Pipa yang terbuat dari tanah liat digunakan untuk menyalurkan air
ke kota, sedangka pipa yang terbuat dari batu dan timah digunakan untuk
menyalurkan air limbah. Perjernihan air dilakukan dengan pembuatan tiga
bangunan pengindelan atau pengendapan (pengindelan abang, putih, dan emas),
sehingga saat air mengalir masuk kota telah layak untuk digunakan. Serumbung
sumur-sumur kuno di Banten berdasarkan bentuknya ada dua macam, yakni sumur
yang bentuknya persegi empat dan sumur yang bentuknya lingkaran (http://www.raddien.com/2011/01/museum-situs-kepurbakalaan-banten-lama.html).
\
Sesudah sesampai disana
kita semua menuju masjid Banten, menara Banten lalu ke museum Banten, setelah
itu baru ke pecinan tapi di pecinan kita semua tidak turun dilapangannya hanya
di jelaskan oleh Tourgadenya saja. Di daerah pecinan terdapat sebuah masjid
kecil yang tinggi, pada zaman itu masjid ini digunakan untuk tempat ibadah,
supaya orang-orang mau masuk agama islam yang disebarkan oleh para wali-wali.
Disana juga terdapat sebuah makam orang China, mungkin pada zaman dahulu di
daerah tersebut terdapat orang-orang China yang tinggal didaerah tersebut
sampai sekarang, tidak hanya orang China yang tinggal di daerah tersebut tapi
ada masyarakat pendatang juga dari berbagai daerah yaitu daerah Indramayu
merupakan masyarakat pendatang sampai sekarang. Banten masa sekarang yang di penuhi
dengan sebuah jejak sejarah, kini dijadikan wisata serta kalangan masyarakatnya
banyak keuntungan dengan adanya wisata seperti pedagang yang berjejer di
lapangan. Peninggalan sejarah di masjid pecinan atau jejak sejarah yang lainnya
tidak dirawat maupun dipelihara.
Istilah Pacinan
dipinjam dari sumber Barat dan menitikberatkan pada asal-usul etnik dari
mayoritas penduduk yang tinggal di kawasan itu. Namun pemberian nama ini
sebenarnya menutupi aspek fungsi yang sebenarnya dari kampung tersebut di kota
Banten. Kampung ini terletak disebelah Barat kota berbenteng, dan terpisah dari
bagian tersebut, baik oleh benteng bagian Barat dan juga oleh sungai. Kampung
ini hanya terhubung dengan kota oleh sebuah jembatan gantung yang kemungkinan
besar terbuat dari batu-batu yang dipahat. Ini berarti bahwa pelabuhan yang
terletak di muara sungai sepertinya sengaja dipisahkan dari kota raja. Sebagian
besar penduduk di kampung tersebut adalah orang tionghoa pada zaman dulunya
tapi sekarang sudah ada masyarakat pendatang dari berbagai daerah yang
menempati di Bnaten. Penduduk dalam kota berbenteng tidak diizibkan tinggal di
luar dan harus kembali masuk ke kampung tempat mereka tinggal sebelum malam
hari. Oleh karena itu, kampung Pacinan yang terletak diluar benteng ini memiliki
penduduk asing, tetapi kampung ini juga memiliki kekhasan lainnya, yaitu
sebagai pusat perdagangan internasional seperti halnya pelabuhan yang
dikelilinginya(Hendra Setiawan, dkk: 2008-89). Disana ada beberapa banyak kapal
yang berasal dari seberang lautan untuk berdagang di Banten, juga kapal-kapal
tersebut yang ada disana untuk membawa barang-barang dagangan untuk di ekspor.
Sehingga di sana pulalah orang-orang yang ikut terlibat dalam perdagangan ini
terpaksa tinggal. Dari teluk orang memasuki kota lewat muara sungai yang
merupakan pelabuhan sesungguhnya. Sungai ini dangkal, hanya lima kaki pada saat
air pasang, oleh karena itu hanya kapal-kapal kecil saja yang bisa melewatinya.
Untuk mempermudah aksesnya, Sultan Ageng memerintah untuk mengeruk sungai pada
musim kemarau tahun 1661 dan membangun dua bendungan di laut untuk menghindari
terjadinya pengendapan lumpur. Dari tepi pantai menuju kearah selatan, orang
melewati sebuah jalan panjang yang disebut jalan tionghoa, dengan di pinggirnya
ditemukan tiga kompleks yang berbeda yaitu kantor dinas pelabuhan, kampung
eropa dan pacinan.
Kantor
Dinas Pelabuhan
Di kantor ini, kompleks pertama bermula
dari palang. Kalau yang terdapat dari sumber Belanda, palang ini disebut dengan
boom terbuat dari batang-batang
pohon. Pintu palang ini ditujukan untuk mengizinkan atau tidaknya kapal-kapal
masuk ke kota dan dijaga oleh regu pasukan dibawah pimpinan seorang perwira
yang disebut tumenggung. Kantor dinas ini penting dan mengawasi semua kegiatan
ekspor impor barang dagangan. Barang-barang muatan larangan untuk di impor
seperti tembakau atau candu ditempatkan di sebuah gudang dibawah pengawasan bea
cukai sebelum dikirim ke daerah lainnya. Kantor dinas ini mempunyai pembagian
tugasnya sendiri yaitu kantor bea cukai, kantor timbang, dan kantor syahbandar,
setiap pegawai ditugaskan sebagai akuntan. Pada tahun 1678, jabatan sebagai
kepala kantor dari ketiga kantor dinas tersebut dipegang oleh orang asing,
yaitu orang tionghoa. Meskipun hal ini bukan suatu hal yang khas banten, namun
kehadiran orang asing sebagai pemimpin badan dinas pemerintahan yang begitu
penting dapat mengherankan kalangan masyarakat. Tampaknya para raja banten
cenderung menyerahkan urusan yang bersangkutan dengan perdagangan yang dianggap
tidak sesuai untuk seorang raja Jawa, namun kegiatan ini penting bagi kekayaan
dan kejayaan kerajaan mereka (Hendra Setiawan, dkk: 2008-91).
Kampung
Eropa
kita sekarang beralih untuk menengok
kampung tetangga yaitu tempatnya para orang barat, disini ada lima bangsa Eropa
di banten yaitu orang Inggris, orang Belanda, orang Perancis, orang Denmark dan
orang portugis. Mereka adalah para pengungsi untuk mencari wilayah baru mereka
dan meninggalkan kota Jepara untuk menghindari perang. Tahun 1671, mereka
membangun dua buah gudang lada baru dan tahun 1674 dalam jangka waktu lima
tahun, diperkirakan kapasitas gudang mereka menjadi dua kali lipat. Setelah
terjadi kebakaran tahun 1675 mereka membeli tanah lagi yang berdekatan dengan
daerah yang ditempati oleh inggris. Mereka kembali ke banten setelah
menandatangani perjanjian perdamaian dengan kerajaan banten tahun 1659. Sebagaimana yang kita ketahui, dimanapun pasti
ada system poltik khusus di daerah banten, semua bangsa asing harus mempunyai
seorang wakil dalam pemerintahan. Peraturan ini juga dikenakan pada
bangsa-bangsa eropa. Peran sebagai penjamin dan wakil bangsa asing sendiri di
jabat oleh kepala loji. Tetapi beberapa kali sultan berusaha untuk ikut campur
dalam memilih wakil bangsa eropa seperti yang dilakukan terhadap bangsa-bangsa
asia moren dan tionghoa (Hendra Setiawan, dkk: 2008-93).
Pacinan
Akhirnya dengan menelusuri jalan
Tionghoa yang saat ini masih ada, kita semua sampai di pacinan. Orang Tionghoa
yang sudah banyak pada permulaan abad menjadi lebih banyak lagi tahun 1670 an.
Pada tahun 1670-1671 raja memerintahkan kedua ketua Tionghoa Kaytsu dan
Cakradana, untuk membangun “tiga jalan yang bagus dengan masing-masing dua
puluh rumah bata di kedua sisi jalan dan juga took-toko”. Jumlah keselurahan
yang dibangun ini ditujukan untuk menyambut para pendatang baru yang tidak saja
datang dari China tetapi juga dari Batavia. Tahun 1676, pada saat perang
melanda Fujian dan China selatan yang disebabkan dari pulau Formosa oleh Zheng
Jing yaitu putra dari Coxinga yang termasyhur ditambah dengan kekacauan yang
meletus di pesisir utara Jawa akibat pemberontakan yang dilakukan oleh
Trunojoyo, maka Bnaten dijadikan sebagai daerah tujuan banyak pendatang baik
dari China , dari Amoy, dari Jawa Timur dan juga dari Jawa Tengah. Dari yang
kita lihat pada saat praktikum, pacinan terlihat seperti kampung Tionghoa
lainnya di sebuah kota Jawa pada saat ini. Jalan-jalan yang lurus, rumah-rumah
bata dibangun rata dengan tanah dan bukan diatas tiang, gaya baru ini lama
kelamaan mengalahkan gaya lama pada abad-abad selanjutnya, sehingga rumah-rumah
panggung menjadi sangat jarang di Jawa bahkan di pedesaan sekalipun. Di kampung
ini memang ditemukan orang dari berbagai bangsa asing, yang datang dengan
sengaja atau yang dibawa dengan kapal sebagai pembantu atau budak. Anehnya pada
saat kita melihat seluruh lingkungan yang ada disana, kita tidak memiliki
sumber yang tak jelas mengenai tempat-tempat ibadah orang Tionghoa. Padahal
Banten pada saat ini juga sangat terkenal karena adanya kelenteng yang
dijadikan Wihara Avalokiteswara. Kelenteng ini terletak dikampung Pabean
sekarang, jika sudah ada pada bad ke 17 pasti kelenteng ini disebut-sebut dalam
sumber (Hendra Setiawan, dkk: 2008-97). Menurut pendapat Lombard Salmon
menyebutkan dalam penelitian mereka mengenai masyarakat dan inskripsi Tionghoa
di Banten bahwa batu bertulis yang tertua dikelenteng ini dibuat tahun 1754.
Sumber :
Setiawan, Hendra, dkk. (2008). Banten (Sejarah dan
Peradaban abad X-XVII). Jakarta : KPG (Kepustakaan Popular Gramedia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar