Jumat, 27 Desember 2013

SEJARAH BANTEN LAMA HINGGA SEKARANG


Kita sering atau pernah mendengarkan daerah Banten yang tidak asing lagi ditelinga kita. Banten merupakan negeri yang sangat kaya sumber sejarah dan memiliki kekhasan karena berada di antara dua tradisi utama Nusantara, yaitu tradisi kerajaan Jawa dan tradisi tempat perdagangan Melayu (Claude Guillot 2008). Lokasi Banten terlalu jauh dari daerah Jakarta, mungkin perjalanan yang ditempuh kira-kira selama empat jam kalau tidak terjadi kemancetan, cuaca Banten sama seperti di Cirebon, panas karena merupakan daerah pesisiran dan pelabuhan. Kota Banten lama banyak terdapat jejak sejarah, mulai dari masjid Banten, Benteng Spellwijk, Keraton Kaibon, Pecinan Banten Lama, Tasikardi, Pasar, Pelabuhan Karangantu hingga Keraton Surosoan. Bahkan struktur kota Banten lama sudah mengenal daerah pecinan tinggi, masih terdapat penemuan bangunan model rumah kuno didaerah pecinan. Ini merupakan gambaran Banten lama pada masa itu. Pada tahun 1552 ketika keraton itu mulai dibangun, nenek moyang kita ternyata sudah mengembangkan teknologi penyaringan air bersih. Pada bagian belakang istana, jika bagian depan istana diasumsikan bangunan yang ada tangganya yang terdapat saluran air. Di depannya ada enam keran (dulu terbuat dari besi berwarna kuning sehingga tempat itu disebut Pancuran Emas) untuk mengambil air bersih yang sudah disaring. Air bersih bersumber dari mata air Tasik Ardi, berjarak sekitar 2,5 kilometer dari Keraton Surasowan. Sebelum digunakan untuk minum, air itu harus melalui tiga penyaringan (peninggilan). Sumber air Tasik Ardi hingga kini masih tetap asri dan menjadi salah satu tempat wisata dalam kawasan Banten Lama, walau debit air yang dikeluarkan jauh lebih kecil. Sementara, pipa saluran air menuju keraton tetap terpelihara baik walau sebagian tertutup tanah dan jalan. Di dalam Karesidenan Banten (sejak tahun 2000 menjadi provinsi sendiri, pisah dari Provinsi Jabar) itu ada beberapa kawasan situs dan peninggalan sejarah. Ada Banten Girang yang menyimpan situs zaman megalitik, ada Banten Lama di mana terdapat bekas Keraton Surasowan, Keraton Kaibon, Vihara Avalokitesvara, bekas benteng Speelwijk yang dibangun VOC Belanda, terletak 10 km arah utara Kota Serang. Di Kota Serang sendiri ada beberapa gedung yang masuk kategori cagar budaya yang perubahannya tak bisa dilakukan sembarangan. Setidaknya di sana ada empat gedung bersejarah. Gedung negara (kini kantor Gubenur Banten), dulu kantor Residen Banten yang dibangun pada tahun 1800-an, gedung Joang (kini tempat organisasi massa berkantor), bekas sekolah Mulo (kini Polres Serang), dan bekas markas marsose Belanda dibangun pada tahun 1900-an (kini menjadi markas Korem 064 Maulana Yusuf Banten). Kondisi gedung-gedung itu relatif masih bagus. Akan tetapi, penjara serta bangunan lain yang menjadi asrama polisi harus dirawat dan dibersihkan. Penjara empat pintu yang umurnya diperkirakan satu abad tersebut kini menjadi rumah tahanan Polres Serang. Sosok sejarah Banten hingga saat ini belum terwujud utuh. Penggalan yang dikaji para ahli arkeologi baru mata rantai yang terputus-putus. Walau demikian, hasil penelitian tersebut menjadi bukti Banten memiliki nilai sejarah. Bukti keberadaan Kerajaan Banten antara lain terdapat pada naskah kuno Pangeran Wangsakerta Cirebon abad ke-17 Masehi. Di sana terdapat lukisan dua duta besar Keraton Banten yang dikirim ke Inggris pada tahun 1682. Dua utusan diplomatik itu adalah Kiai Ngabehi Wira Pradja dan Kiai Abi Yahya Sendana. Archaeological Remains of Banten Lama yang dibuat Pusat Penelitian Arkeologi Nasional karanghantu tahun 1984 menyatakan, sejarah Banten terutama terjadi pada abad ke-16 ke atas. Antara abad ke-12 sampai ke-15 Banten sudah dikenal sebagai pelabuhan untuk Pemerintah Inggris di Sunda. Pertumbuhan wilayah itu maju pesat. Bandar yang berjarak hanya sekitar dua kilometer dari pusat Pemerintahan Banten Lama disinggahi pedagang dari Gujarat (India), Tionghoa, Melayu, Portugal, dan Belanda. Waktu itu, arus barang keluar-masuk pelabuhan sangat lancar sehingga perekonomian Banten maju pesat. Pada zaman pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Banten dikenal sebagai eksportir lada. Produk rempah-rempah mengundang banyak pedagang dari berbagai negara datang lalu tinggal di sana. Tak aneh bila di kawasan itu berdiri bangunan berusia di atas 100 tahun seperti vihara, mesjid Lama Banten, serta bekas kampung Arab, India, dan Cina. (http://www.bpkp.go.id/dki2/konten/1084/SEJARAH-BANTEN)
Koleksi yang terdapat di museum kepurbakalaan Banten lama baik itu replika atau reproduksi maupun yang asli diantaranya sebagai berikut :  
·   Koleksi Arkeologi
Koleksi arkeologika yang terdapat di Museum meliputi sejumlah benda-benda peninggalan sejarah dan purbakala yang ditemukan di Situs Banten Lama yang berasal dari masa prasejarah, klenik (Hindu-Budha), masa Kesultanan Banten, dan masa kolonial. Koleksi arkeologika ini mencerminkan Banten Lama sudah ada sejak masa pra-sejarah di Indonesia. Koleksi-koleksi tersebut antara lain: kapal batu, arca Nandi, atap bangunan, pagar besi, pegangan kunci, rumah kunci, paku, dan pipa saluran air
Jalur perdagangan rempah-rempah melalui laut menjadikan laut dan pantai Banten ramai lalu lalang kapal dagang berbagai bentuk dan ukuran dari berbagai negara. Tinggalan dari keramaian perdagangan laut itu diantaranya adalah fragmen bagian dari tiang pagar tangga kapal yang terbuat dari logam dipenuhi hiasan, dan juga fragmen badan kapal yang terbuat dari kayu. Diantara fragmen kapal, didapati juga tapal (sepatu kuda). Bata Beberapa bangunan masa Kesultanan Banten dibuat menggunakan bata, sehingga beberapa diantaranya masih dapat bertahan hingga sekarang sebagai bangunan monumen bersejarah. Bata yang digunakan berbentuk persegi panjang dengan ukuran 29x15 cm. Dalam penggunaannya, bata-bata persegi panjang tersebut untuk keperluan tertentu dapat dibentuk sesuai peruntukkan.
·      Pipa Saluran Air
Pipa untuk menyalurkan air banyak digunakan pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682 Masehi). Beliau berinisiatif membangun satu jaringan distribusi air bagi penduduk, dimulai dengan pembuatan danau atau waduk Tasikardi sebagai sumber airnya, kemudian dialirkan melalui pipa hingga ke Keraton untuk kemudian didistribusikan ke lingkungan sekitarnya untuk masyarakat. Sepanjang jalur air dari Tasikardi hingga Keraton air dialirkan melalui pipa. Pipa yang terbuat dari tanah liat digunakan untuk menyalurkan air ke kota, sedangka pipa yang terbuat dari batu dan timah digunakan untuk menyalurkan air limbah. Perjernihan air dilakukan dengan pembuatan tiga bangunan pengindelan atau pengendapan (pengindelan abang, putih, dan emas), sehingga saat air mengalir masuk kota telah layak untuk digunakan. Serumbung sumur-sumur kuno di Banten berdasarkan bentuknya ada dua macam, yakni sumur yang bentuknya persegi empat dan sumur yang bentuknya lingkaran (http://www.raddien.com/2011/01/museum-situs-kepurbakalaan-banten-lama.html).
\


Sesudah sesampai disana kita semua menuju masjid Banten, menara Banten lalu ke museum Banten, setelah itu baru ke pecinan tapi di pecinan kita semua tidak turun dilapangannya hanya di jelaskan oleh Tourgadenya saja. Di daerah pecinan terdapat sebuah masjid kecil yang tinggi, pada zaman itu masjid ini digunakan untuk tempat ibadah, supaya orang-orang mau masuk agama islam yang disebarkan oleh para wali-wali. Disana juga terdapat sebuah makam orang China, mungkin pada zaman dahulu di daerah tersebut terdapat orang-orang China yang tinggal didaerah tersebut sampai sekarang, tidak hanya orang China yang tinggal di daerah tersebut tapi ada masyarakat pendatang juga dari berbagai daerah yaitu daerah Indramayu merupakan masyarakat pendatang sampai sekarang. Banten masa sekarang yang di penuhi dengan sebuah jejak sejarah, kini dijadikan wisata serta kalangan masyarakatnya banyak keuntungan dengan adanya wisata seperti pedagang yang berjejer di lapangan. Peninggalan sejarah di masjid pecinan atau jejak sejarah yang lainnya tidak dirawat maupun dipelihara.
Istilah Pacinan dipinjam dari sumber Barat dan menitikberatkan pada asal-usul etnik dari mayoritas penduduk yang tinggal di kawasan itu. Namun pemberian nama ini sebenarnya menutupi aspek fungsi yang sebenarnya dari kampung tersebut di kota Banten. Kampung ini terletak disebelah Barat kota berbenteng, dan terpisah dari bagian tersebut, baik oleh benteng bagian Barat dan juga oleh sungai. Kampung ini hanya terhubung dengan kota oleh sebuah jembatan gantung yang kemungkinan besar terbuat dari batu-batu yang dipahat. Ini berarti bahwa pelabuhan yang terletak di muara sungai sepertinya sengaja dipisahkan dari kota raja. Sebagian besar penduduk di kampung tersebut adalah orang tionghoa pada zaman dulunya tapi sekarang sudah ada masyarakat pendatang dari berbagai daerah yang menempati di Bnaten. Penduduk dalam kota berbenteng tidak diizibkan tinggal di luar dan harus kembali masuk ke kampung tempat mereka tinggal sebelum malam hari. Oleh karena itu, kampung Pacinan yang terletak diluar benteng ini memiliki penduduk asing, tetapi kampung ini juga memiliki kekhasan lainnya, yaitu sebagai pusat perdagangan internasional seperti halnya pelabuhan yang dikelilinginya(Hendra Setiawan, dkk: 2008-89). Disana ada beberapa banyak kapal yang berasal dari seberang lautan untuk berdagang di Banten, juga kapal-kapal tersebut yang ada disana untuk membawa barang-barang dagangan untuk di ekspor. Sehingga di sana pulalah orang-orang yang ikut terlibat dalam perdagangan ini terpaksa tinggal. Dari teluk orang memasuki kota lewat muara sungai yang merupakan pelabuhan sesungguhnya. Sungai ini dangkal, hanya lima kaki pada saat air pasang, oleh karena itu hanya kapal-kapal kecil saja yang bisa melewatinya. Untuk mempermudah aksesnya, Sultan Ageng memerintah untuk mengeruk sungai pada musim kemarau tahun 1661 dan membangun dua bendungan di laut untuk menghindari terjadinya pengendapan lumpur. Dari tepi pantai menuju kearah selatan, orang melewati sebuah jalan panjang yang disebut jalan tionghoa, dengan di pinggirnya ditemukan tiga kompleks yang berbeda yaitu kantor dinas pelabuhan, kampung eropa dan pacinan.
Kantor Dinas Pelabuhan
Di kantor ini, kompleks pertama bermula dari palang. Kalau yang terdapat dari sumber Belanda, palang ini disebut dengan boom terbuat dari batang-batang pohon. Pintu palang ini ditujukan untuk mengizinkan atau tidaknya kapal-kapal masuk ke kota dan dijaga oleh regu pasukan dibawah pimpinan seorang perwira yang disebut tumenggung. Kantor dinas ini penting dan mengawasi semua kegiatan ekspor impor barang dagangan. Barang-barang muatan larangan untuk di impor seperti tembakau atau candu ditempatkan di sebuah gudang dibawah pengawasan bea cukai sebelum dikirim ke daerah lainnya. Kantor dinas ini mempunyai pembagian tugasnya sendiri yaitu kantor bea cukai, kantor timbang, dan kantor syahbandar, setiap pegawai ditugaskan sebagai akuntan. Pada tahun 1678, jabatan sebagai kepala kantor dari ketiga kantor dinas tersebut dipegang oleh orang asing, yaitu orang tionghoa. Meskipun hal ini bukan suatu hal yang khas banten, namun kehadiran orang asing sebagai pemimpin badan dinas pemerintahan yang begitu penting dapat mengherankan kalangan masyarakat. Tampaknya para raja banten cenderung menyerahkan urusan yang bersangkutan dengan perdagangan yang dianggap tidak sesuai untuk seorang raja Jawa, namun kegiatan ini penting bagi kekayaan dan kejayaan kerajaan mereka (Hendra Setiawan, dkk: 2008-91).   
Kampung Eropa
kita sekarang beralih untuk menengok kampung tetangga yaitu tempatnya para orang barat, disini ada lima bangsa Eropa di banten yaitu orang Inggris, orang Belanda, orang Perancis, orang Denmark dan orang portugis. Mereka adalah para pengungsi untuk mencari wilayah baru mereka dan meninggalkan kota Jepara untuk menghindari perang. Tahun 1671, mereka membangun dua buah gudang lada baru dan tahun 1674 dalam jangka waktu lima tahun, diperkirakan kapasitas gudang mereka menjadi dua kali lipat. Setelah terjadi kebakaran tahun 1675 mereka membeli tanah lagi yang berdekatan dengan daerah yang ditempati oleh inggris. Mereka kembali ke banten setelah menandatangani perjanjian perdamaian dengan kerajaan banten tahun 1659.  Sebagaimana yang kita ketahui, dimanapun pasti ada system poltik khusus di daerah banten, semua bangsa asing harus mempunyai seorang wakil dalam pemerintahan. Peraturan ini juga dikenakan pada bangsa-bangsa eropa. Peran sebagai penjamin dan wakil bangsa asing sendiri di jabat oleh kepala loji. Tetapi beberapa kali sultan berusaha untuk ikut campur dalam memilih wakil bangsa eropa seperti yang dilakukan terhadap bangsa-bangsa asia moren dan tionghoa (Hendra Setiawan, dkk: 2008-93).
Pacinan
Akhirnya dengan menelusuri jalan Tionghoa yang saat ini masih ada, kita semua sampai di pacinan. Orang Tionghoa yang sudah banyak pada permulaan abad menjadi lebih banyak lagi tahun 1670 an. Pada tahun 1670-1671 raja memerintahkan kedua ketua Tionghoa Kaytsu dan Cakradana, untuk membangun “tiga jalan yang bagus dengan masing-masing dua puluh rumah bata di kedua sisi jalan dan juga took-toko”. Jumlah keselurahan yang dibangun ini ditujukan untuk menyambut para pendatang baru yang tidak saja datang dari China tetapi juga dari Batavia. Tahun 1676, pada saat perang melanda Fujian dan China selatan yang disebabkan dari pulau Formosa oleh Zheng Jing yaitu putra dari Coxinga yang termasyhur ditambah dengan kekacauan yang meletus di pesisir utara Jawa akibat pemberontakan yang dilakukan oleh Trunojoyo, maka Bnaten dijadikan sebagai daerah tujuan banyak pendatang baik dari China , dari Amoy, dari Jawa Timur dan juga dari Jawa Tengah. Dari yang kita lihat pada saat praktikum, pacinan terlihat seperti kampung Tionghoa lainnya di sebuah kota Jawa pada saat ini. Jalan-jalan yang lurus, rumah-rumah bata dibangun rata dengan tanah dan bukan diatas tiang, gaya baru ini lama kelamaan mengalahkan gaya lama pada abad-abad selanjutnya, sehingga rumah-rumah panggung menjadi sangat jarang di Jawa bahkan di pedesaan sekalipun. Di kampung ini memang ditemukan orang dari berbagai bangsa asing, yang datang dengan sengaja atau yang dibawa dengan kapal sebagai pembantu atau budak. Anehnya pada saat kita melihat seluruh lingkungan yang ada disana, kita tidak memiliki sumber yang tak jelas mengenai tempat-tempat ibadah orang Tionghoa. Padahal Banten pada saat ini juga sangat terkenal karena adanya kelenteng yang dijadikan Wihara Avalokiteswara. Kelenteng ini terletak dikampung Pabean sekarang, jika sudah ada pada bad ke 17 pasti kelenteng ini disebut-sebut dalam sumber (Hendra Setiawan, dkk: 2008-97). Menurut pendapat Lombard Salmon menyebutkan dalam penelitian mereka mengenai masyarakat dan inskripsi Tionghoa di Banten bahwa batu bertulis yang tertua dikelenteng ini dibuat tahun 1754.
Sumber :
Setiawan, Hendra, dkk. (2008). Banten (Sejarah dan Peradaban abad X-XVII). Jakarta : KPG (Kepustakaan Popular Gramedia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar