BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pergantian rezim
pemerintahan pada tahun 1998 memberikan dampak yang sangat besar pada pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia. Antara lain
mulai dilakukan pengkajian terhadap beberapa kebijakan pemerintah orde baru
yang berlawanan dengan pemajuan dan perlindungan HAM. Selanjutnya dilakukan
penyusunan peraturan perundang – undangan yang berkaitan dengan pemberlakuan
HAM dalam kehidupan ketatanegaraan dan kemasyarakatan di Indonesia. Hasil dari
pengkajian tersebut menunjukkan banyaknya norma dan ketentuan hukum nasional
khususnya yang terkait dengan penegakan HAM diadopsi dari hukum dan instrument
Internasional dalam bidang HAM. Salah satu instrumen penting yang lahir dalam
masa reformasi ini adalah munculnya mekanisme penyelesaian kasus pelanggaran
hak asasi manusia melalui pengadilan Hak Asasi Manusia (Pengadilan HAM).
Masa-masa
kelam pada masa Orde Baru menyebabkan hilangnya Hak Asasi Masyarakat (HAM),
kasus-kasus besar menghiasi perjalanan bangsa mulai dari kasus pembantaian
massal, penembakan misterius, pembunuhan aktivis, penghilangan paksa, tahanan
politik serta kasus Reformasi seperti peristiwa Trisakti, Semanggi dan
sebagainya. Peristiwa-peristiwa diatas mencerminkan bahwa kekuatan besar pada
masa Orde Baru telah kehilangan kendali atas pengakuan hak sipil dan politik
warga negara.
Periode
Reformasi diawali dengan pelengseran Soeharto dari kursi Presiden Indonesia
oleh gerakan reformasi. Pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan
diri dari jabatannya sebagai presiden RI dan menyerahkan jabatannya kepada
wakil presiden B.J. Habibie. Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan Orde
Baru dan dimulainya Orde Reformasi. Dari pemerintahan Presiden Habibie inilah
kemudian reformasi digulirkan dengan agenda-agenda perbaikan di berbagai
bidang kehidupan beebangsa baik sosial, politik, ekonomi, pendidikan maupun
pertahanan dan keamanan.
HAM
sendiri sebenarnya sudah tertuang dalam UUD 1945, namun pada kenyataannya
antara penerapan dan teori sangat jauh perbedaannya. Walaupun, HAM itu
sudah diatur secara mendetail dalam UUd, tapi pelanggaran pelanggaran HAM masih
seringkali terjadi di Negara kita. Maka dari itu sebaiknya Pemerintah
memperhatikan hal ini, jangan membiarkan UUD hanya sebagai sebuah pajangan saja.
Pemerintah harus mencari jalan agar UUD benar-benar berfungsi sebagai dasar
negara kita dan sebagai acuan dalam menjalankan kehidupam sehari-hari,
khususnya dalam penerapan penegakan HAM itu sendiri.
Kasus
pelanggran hak asasi manusia akan berlanjut ketika tidak ada penyelesaian dari
kasus-kasus yang sudah terjadi. Semakin tidak jelas peran pemerintah dalam
penyelesaian kasus pelanggaran HAM maka Indonesia akan semakin disorot dunia
Internasional. Untuk
itu butuh keseriusan pemerintah untuk mempelopori penegakkan HAM di Indonesia.
Tentu saja itu tidak cukup, hanya pemerintah namun,partisipasi dan kerja sama
warga nemasih sangat dibutuhkan kerjasama warna Negara Indonesia yang semoga
baik-baik saja. Kemudian secara sinergi merongrong Negara Indonesia yang adil.
B.
Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang diangkat dalam makalah ini adalah “
Bagaimana pelaksanaan hukum dan HAM pada masa Reformsi”. Agar
pembahasan tidak terlalu luas dan lebih terfokus pada tujuan pembuatan makalah ini, maka kami membatasi pembahasan untuk menjawab beberapa pertanyaan, sebagai
berikut:
1.
Bagaimana landasan teoriitis dan landasan
yuridis hukum
dan HAM?
2.
Bagaimana latar belakang
munculnya masalah HAM di Indonesia?
3.
Bagaimana pelaksanaan dan penegakan hukum dan HAM di masa Reformasi?
C. Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini
bertujuan untuk:
1. Mendeskrpsikan
landasan Teoritis dan Landasan Yuridis Hukum dan HAM di Indonesia
2. Mendeskripsikan latar
belakang munculnya masalah HAM di Indonesia
3. Mendeskripsikan
pelaksanaan dan penegakan hokum dan HAM di era reformasi.
D. Metode Penulisan
Metode
yang digunakan dalam penyusunan makalah ini yaitu dengan menggunakan studi
literatur dan browsing internet. Dimana studi litelatur merupakan pencarian
informasi dari berbagai sumber buku dan internet yang relevan dengan pembahasan
makalah ini.
E. Sistematika Penulisan
BAB
I PENDAHULUAN
A.Latar
Belakang Masalah
B. Rumusan
Masalah
C. Tujuan
Penelitian
D. Metode
Penelitian
E. Sistematika
Penulisan
BAB
II PELAKSANAAN HUKUM DAN HAM PADA MASA REFORMASI
A. Landasan
Teoritis dan Yuridis HAM
B. Pengertian
dan Landasan yuridis Hukum
C. Pelaksanaan HAM di Indonesia
D. Pelanggaran
HAM dan Pengadilan HAM
E. Studi
kasus : Pelanggaran HAM terhadap Jamaah Ahmadiyah Cikeusik, Pandegelang-Banten
BAB III KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Landasan Teoritis dan Landasan Yuridis Hak Asasi Manusia
1.
Landasan Teoritis dan
Pengertian HAM
Secara
teoritis Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri manusia yang
bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugerah Allah yang harus
dihormati, dijaga, dan dilindungi. Sedangkan hakikat Hak Asasi Manusia sendiri
adalah merupakan upaya menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh
melalui aksi keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan
umum. Begitu juga upaya menghormati, melindungi, dan menjunjung tinggi Hak
Asasi Manusia menjadi kewajiban dan tangung jawab bersama antara individu,
pemeritah (Aparatur Pemerintahan baik Sipil maupun Militer), dan negara.
Hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri
setiap manusia yang dalam penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan yang terkait dengan interaksinya antara
individu atau dengan instansi. Hak juga merupakan sesuatu yang harus diperoleh.
Masalah HAM adalah sesuatu hal yang sering kali dibicarakan dan dibahas
terutama dalam era reformasi ini. HAM lebih dijunjung tinggi dan lebih
diperhatikan dalam era pasca reformasi dari pada
sebelum reformasi.
Beberapa pengertian Hak Asasi Manusia:
a. HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh
maunusia, sesuai dengan kodratnya (kaelan: 2002).
b. John Locke menyatakan bahwa HAM adalah
hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang
kodrati. (Mansyur Effendi, 1994).
c. Dalam
pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa “Hak
Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerag-Nya yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh nagara, hukum,
pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia”.
d.
Menurut Jan Materson dari komisi HAM PBB, Hak Asasi
Manusia adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpa hak-hak
tersebut manusia mustahil dapat hidup sebagai Teaching human Rights, yang merumuskan HAM dengan pengertian, “Human Right could be generally defined as
those rights which are inherent in our nature and without which can not live as
human being”.
e.
Hak asasi manusia adalah hak dasar yang dimiliki
manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan yang Maha Esa, bukan pemberian dari
manusia atau pengusaha. Hak asasi manusia sifatnya sangat mendasar bagi hidup
dan kehidupan manusia yang bersifat kodrati yakni tidak bisa terlepas dari dan
dalam kehidupan manusia.
Ruang
lingkup HAM meliputi:
- Hak pribadi: hak-hak persamaan
hidup, kebebasan, keamanan, dan lain-lain;
- Hak milik pribadi dan kelompok
sosial tempat seseorang berada;
- Kebebasan sipil dan politik
untuk dapat ikut serta dalam pemerintahan; serta
- Hak-hak berkenaan dengan
masalah ekonomi dan sosial.
Hakikat
Hak Asasi Manusia sendiri adalah merupakan upaya menjaga keselamatan eksistensi
manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan antara kepentingan perseorangan
dengan kepentingan umum. Begitu juga upaya menghormati, melindungi, dan
menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia menjadi kewajiban dan tangung jawab bersama
antara individu, pemeritah (Aparatur Pemerintahan baik Sipil maupun
Militer),dan negara.
2. Landasan Yuridis dan Kelembagaan Hak Asasi Manusia
Dalam perundang-undangan RI paling tidak terdapat
bentuk hukum tertulis yang memuat aturan tentang HAM. Pertama, dalam konstitusi
(UUD Negara). Kedua, dalam ketetapan MPR (TAP MPR). Ketiga, dalam
Undang-Undang. Keempat, dalam peraturan pelaksanaan perundang-undangan seperti
peraturan pemerintah, keputusan presiden, dan peraturan pelaksanaan lainnya.
Kelebihan pengaturan HAM dalam konstitusi memberikan
jaminan yang sangat kuat karena perubahan dan atau penghapusan satu pasal dalam
konstitusi seperti dalam ketatanegaraan di Indonesia mengalami proses yang
sangat berat dan panjang, antara lain melalui amandemen dan referendum,
sedangkan kelemahannya karena yang diatur dalam konstitusi hanya memuat aturan
yang masih global seperti ketentuan tentang HAM dalam konstitusi RI yang masih
bersifat global. Sementara itu bila pengaturan HAM dalam bentuk Undang-Undang
dan peraturan pelaksanaannya kelemahannya, pada kemungkinan seringnya mengalami
perubahan.
Beberapa
instrumen HAM yang dimiliki NKRI yaitu :
a. Undang-undang Dasar 1945. Terdapat dalam pembukaan UUD
1945 dan pasal-pasal UUD 1945 yaitu pasal 28A sampai dengan 28J.
b. Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM terdapat 8
bab yang mengatur tentang HAM.
c. Undang-undang No.39 tahun 1999. Undang-undang ini
mengatur tentang HAM seperti hak hidup, hak berkeluarga dan lain-lain.
Undang-undang sini juga mengatur tentang kewajiban asasi manusia seperti
kewajiban setiap warga untuk mematuhi peraturan perundang-undangan.
d. Undang-undang No.26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM.
Pengadilan HAM digunakan untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM berat dan
mengembalikan keamanan dan perdamaian Indonesia.
Perkembangan
selanjutnya adalah dengan dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS
HAM) berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 50 Tahun 1993 tanggal 7 Juni 1993.
Pembentukan KOMNAS HAM tersebut pada saat bangsa Indonesia sedang giat
melaksanakan pembangunan, menunjukkan keterkaitan yang erat antara penegakkan
HAM di satu pihak dan penegakkan hukum di pihak lainnya. Hal ini senada dengan
deklarasi PBB tahun 1986, yang menyatakan HAM merupakan tujuan sekaligus sarana
pembangunan. Keikutsertaan rakyat dalam pembangunan bukan sekedar aspirasi,
melainkan kunci keseluruhan hak asasi atas pembangunan itu sendiri. Dan menjadi
tugas badan-badan pembangunan internasional dan nasional untuk menempatkan HAM
sebagai fokus pembangunan.
Guna
lebih memantapkan perhatian atas perkembangan HAM di Indonesia, oleh berbagai
kalangan masyarakat (organisasi maupun lembaga), telah diusulkan agar dapat
diterbitkannya suatu Ketetapan MPR yang memuat piagam hak-hak asasi Manusia
atau Ketetapan MPR tentang GBHN yang didalamnya memuat operasionalisasi
daripada hak-hak dan kewajiban-kewajiban asasi manusia Indonesia yang ada dalam
UUD 1945.
Akhirnya
ketetapan MPR RI yang diharapkan memuat secara adanya HAM itu dapat diwujudkan
dalam masa Orde Reformasi, yaitu selama Sidang Istimewa MPR yangberlangsung
dari tanggal 10 sampai dengan 13 November 1988. Dalam rapat paripurna ke-4
tanggal 13 November 1988, telah diputuskan lahirnya Ketetapan MPR RI No.
XVII/MPR/1988 tentang Hak Asasi Manusia. Kemudian Ketetapan MPR tersebut
menjadi salah satu acuan dasar bagi lahirnya UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia yang disahkan pada tanggal 23 september 1999.
Undang-Undang
ini kemudian diikuti lahirnya Perpu No. 1 Tahun 1999 yang kemudian
disempurnakan dan ditetapkan menjadi UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
Hak Asasi Manusia. Sebagai bagian dari HAM, sebelumnya telah pula lahir UU No.
9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum yang
disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 26 oktober 1998, serta dimuat
dalam LNRI Tahun 1999 No. 165.
Di
samping itu, Indonesia telah merativikasi pula beberapa konvensi internasional
yang mengatur HAM, antara lain:
a. Deklarasi tentang Perlindungan dan Penyiksaan, melalui
UU No. 5 Tahun 1998.
- Konvensi mengenai Hak
Politik Wanita 1979, melalui UU No. 68 Tahun 1958.
- Konvensi Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap wanita, melalui UU No. 7 Tahun 1984.
- Konvensi Perlindungan Hak-Hak
Anak, melalui Keppres No. 36 Tahun 1990.
- Konvensi tentang
Ketenagakerjaan, melalui UU No. 25 Tahun 1997, yang pelaksanaannya
ditangguhkan sementara.
- Konvensi tentang
Penghapusan Bentuk Diskriminasi Ras Tahun 1999, melalui UU No. 29 Tahun
1999.
HAM diatur dalam UU no 39 tahun 1999 tentang
HAM. Untuk merealisasikan dari UU tersebut maka negara membuat lembaga-lembaga yang mengatur
tentang HAM antara lain:
a.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
Dibentuk dengan Keppres No. 5 Tahun 1993, yang
kemudian dikukuhkan lagi melalui UU No. 39/1999 tentang HAM. Komnas HAM adalah
lembaga yang mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya
yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan
mediasi HAM
Tujuan Komnas HAM :
1) Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi
pelaksanaan HAM sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, Piagam PBB, serta Deklarasi
Universal HAM
2) Meningkatkan perlindungan dan penegakan HAM
guna perkembangan pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya
berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.
b. Pengadilan
Hak Asasi Manusia
Pengadilan HAM yang dibentuk berdasarkan UU No. 26 tahun 2000
tentang pengadilan HAM. Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada
di lingkungan Pengadilan Umum dan berkedudukan di daerah Kabupaten atau Kota. Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa
dan memutus pelanggaran HAM berat baik yang dilakukan di daerah teritorial
Indonesia maupun di luar batas teritorial Indonesia selama pelanggaran HAM
tersebut dilakukan oleh WNI.
c. Pengadilan
Hak Asasi Manusia Ad Hoc
UU
No 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia tidak menganut asas
retroaktif, maka pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan memutus
perkara-perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum
undang-undang ini di undangkan. Pada masa orde baru banyak terjadi pelanggaran
HAM yang berat, seperti tragedi tanjung priok, tragedi talang sari, tragedi
timika, tragedi aceh, serta yang terjadi di era reformasi seperti tragedi
Ambon, tragedi Sampit, tragedi Poso dan kasus Timor Timur. Untuk mengatasi hal
tersebut UU No. 26 Tahun 2000 melalui pasal 43 menghendaki dibentuknya
Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc yang diberi wewenang untuk memeriksa dan
memutus perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang terjadi sebelum
di undangkannya UU No. 26 Tahun 2000. Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc ini
berada di lingkungan Peradilan Umum yang dibentuk atas usul DPR berdasarkan
peristiwa pelanggaran HAM yang berat tertentu dan diangkat dengan Keputusan
Presiden. Hukum Acara yang berlaku di Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc sama
dengan Hukum Acara yang berlaku di Pengadilan Hak Asasi Manusia.
d. Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi
Untuk
mempercepat proses menentukan kebenaran dan mewujudkan Rekonsiliasi Nasional UU
No. 26 Tahun 2000 memberikan alternative penyelesaian perkara pelanggaran Hak
Asasi Manusia yang berat dilakukan diluar Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Berdasarkan Pasal 47 penyelesaian perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang
berat dapat dilakukan oleh suatu komisi yaitu Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi. Komisi ini dibentuk dengan suatu undang – undang. Penyelesaian
perkara pelanggaran HAM yang berat melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
mendatangkan banyak manfaat antara lain proses penyelidikan, penuntutan dan
penyidangan tidak berlarut – larut dan dapat memelihara persatuan dan kesatuan
bangsa. Oleh karena itu anggota Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tersebut harus
terdiri dari orang – orang yang betul mempunyai integritas moral yang tinggi,
mempunyai pengetahuan dan kepedulian terhadap hak asasi manusia dan bebas dari
keterkaitan masa lalu.
B. Pengertian Hukum dan Landasan
Yuridis Hukum di Indonesia
1.
Pengertian
Hukum
Hukum
adalah seperangkat aturan yang dibuat secara teratur dan tersusun baik untuk
mengatur tata tertib yang berlaku dimasyarakat, selain itu dapat juga dijadikan
pedoman atau patokan sikap perilaku yang pantas atau diharapkan. Adapun beberapa pengertian
hukum menurut beberapa ahli, pengertian hukum menurut Plato yang ada dalam
bukunya yang berjudul Republik, hukum adalah sistem peraturan-peraturan yang
teratur dan tersusun baik yang mengikat masyarakat. Sedangkan menurut Bellfoid,
hukum adalah yang berlaku di suatu masyarakat mengatur tata tertib masyarakat
itu didasarkan atas kekuasaan yang ada pada masyarakat. Pengertian hukum dari
Dr. Soerjono Soekanto, S.H., M.A., dan
Purnadi Purbacaraka, S.H. merumuskan arti yang diberikan masyarakat pada hukum sebagai
berikut:
a. Hukum sebagai ilmu
pengetahuan, yakni pengetahuan yang tersusun secara sistematis atas dasar
kekuatan pemikiran.
b. Hukum sebagai disiplin,
yakni suatu sistem ajaran tentang kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi.
c. Hukum sebagai kaidah,
yakni pedoman atau patokan sikap tindak atau perikelakuan yang pantas atau
diharapkan.
d. Hukum sebagai tata hukum,
yakni struktur dan proses perangkat kaidah-kaidah hukum yang berlaku pada suatu
waktu.
e. Hukum sebagai petugas,
yakni pribadi-pribadi yang merupakan kalangan yang berhubungan erat dengan
penegakan hukum.
f. Hukum sebagai keputusan
penguasa, yakni hasil proses diskresi yang menyangkut keputusan penguasa.
g. Hukum sebagai proses
pemerintahan, yaitu proses hubungan timbal-balik antara unsur-unsur pokok
sistem kenegaraan.
h. Hukum sebagai sikap tindak
ajeg atau perikelakuan yang teratur, yaitu perikelakuan yang diulang-ulang
dengan cara yang sama, yang bertujuan untuk mencapai kedamaian.
i. Hukum sebagai jalinan
nilai-nilai, yaitu jalinan-jalinan dari konsepsi-konsepsi abstrak tentang apa
yang siagap baik dan buruk.
2.
Landasan
Yuridis Negara Hukum Indonesia
Negara
Indonesia adalah negara hukum, hal tersebut tertuang dalam pasal 1 ayat 3 UUD
1945 Perubahan Ketiga, yang berbunyi “ Indoensia adalah negara hukum”, sebelum
tertuang dalam pasal 1 ayat 3 UUD 1945 landasan Negara hukum Indonesia terdapat
dalam bagian penjelasan umum UUD 1945 tentang sistem pemerintahan Negara, yaitu
sebagai berikut :
a. Indonesia
adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat)
b. Sistem
Konstitusional,pemerintah berdasarkan atas sistem konstitusi (hukum
dasar),tidak bersifat Absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).
Berdasarkan
perumusan di atas Negara Indonesia memakai istilah rechtsstaat yang kemungkinan
dipengaruhi oleh konsep hukum Belanda yang termasuk dalam wilayah Eropa
Kontimental. Perumusan Negara hukum Indonesia adalah :
a.
Negara berdasarkan atas hukum, bukan berdasarkan kekuasaan belaka.
b.
Pemerintah Negara berdasarkan atas suatu konstitusi dengan kekuasaan pemerintah
terbatas,tidak absolute.
Di dalam UUD 1945 terdapat berbagai aturan
hukum atau peraturan perundang-undangan. Jenis dan hierarkhi peraturan
perundang-undangan di Indonesia dinyatakan dalam UU. No 10 Tahun 2004 tentang
pembentukan peraturan perundang-undang, sebagai berikut :
a. Undang – undang Dasar 1945
b. Undang-undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perpu)
c. Peraturan Pemerintah (PP)
d. Peraturan Presiden (Perpres)
e. Peraturan Daerah
Dalam
pelaksanaan hukum Negara Indonesia, semua didasarkan menurut UUD 1945
mengandung prinsip – prinsip sebagai tersebut :
a. Norma hukumnya bersumber pada Pancasila
sebagai dasar dan adanya hierarki jenjang norma hukum.
b. Sistem konstitusional, yaitu UUD 1945 dan
peraturan perundang-undangan di bawahnya membentuk kesatuan sistem hukum
c. Kedaulatan rakyat atau prinsip demokrasi.
Hal ini tampak pada Pembukaan UUD 1945 : “Kerakyatan yang dipimpn oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” dan Ps.1 A (2) : “Kedaulatan
berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”
d. Prinsip persamaan kedudukan dalam hokum dan
pemerintahan (Ps.27 A (1) UUD 1945
e. Adanya organ pembentuk UU (DPR bersama
Presiden)
f. Sistem Pemerintahaannya adalah presidensil
g. Kekuasaan kehakiman yang bebas daru
kekuasaan lain (Eksekutif)
h. Hukum bertujuan untuk melindungi segenap
bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaa, perdamaian abadi dan keadilan social.
i. Adanya jaminan akan hak asasi dan kewajiban
dasar manusia (Ps.28A-28J UUD 1945)
C. Pelaksanaan HAM di Indonesia
Sejalan dengan amanat Konstitusi, Indonesia berpandangan
bahwa pemajuan dan perlindungan HAM harus didasarkan pada prinsip bahwa hak-hak
sipil, politik, ekonomi, sosial budaya, dan hak pembangunan merupakan satu
kesatuanyang tidak dapat di pisahkan, baik dalam penerapan, pemantauan, maupun
dalam pelaksanaannya. Program penegakan hukum dan HAM meliputi pemberantasan
korupsi, antitrorisme, serta pembasmian penyalahgunaan narkotika dan obat
berbahaya. Oleh sebab itu, penegakan hukum dan HAM harus dilakukan secara
tegas, tidak diskriminatif dan konsisten.
Tegaknya
HAM selalu mempunyai hubungan korelasional positif dengan tegaknya negara
hukum. Sehingga dengan dibentuknya KOMNAS HAM dan Pengadilan HAM,
regulasi hukum HAM dengan ditetapkannya UU No. 39 Tahun 1999 dan UU No. 26
Tahun 2000 serta dipilihnya para hakim ad hoc, akan lebih menyegarkan iklim
penegakkan hukum yang sehat. Artinya kebenaran hukum dan keadilan harus dapat
dinikmati oleh setiap warganegara secara egaliter. Disadari atau tidak, dengan
adanya political will dari pemerintah terhadap penegakkan HAM, hal itu
akan berimplikasi terhadap budaya politik yang lebih sehat dan proses
demokratisasi yang lebih cerah. Dan harus disadari pula bahwa kebutuhan
terhadap tegaknya HAM dan keadilan itu memang memerlukan proses dan tuntutan
konsistensi politik. Begitu pula keberadaan budaya hukum dari aparat pemerintah
dan tokoh masyarakat merupakan faktor penentu (determinant) yang
mendukung tegaknya HAM.
Kenyataan
menunjukkan bahwa masalah HAM di indonesia selalu menjadi sorotan tajam dan
bahan perbincangan terus-menerus, baik karena konsep dasarnya yang bersumber
dari UUD 1945 maupun dalam realita praktisnya di lapangan ditengarai penuh
dengan pelanggaran-pelanggaran. Sebab-sebab pelanggaran HAM antara lain adanya
arogansi kewenangan dan kekuasaan yang dimiliki seorang pejabat yang berkuasa,
yang mengakibatkan sulit mengendalikan dirinya sendiri sehingga terjadi
pelanggaran terhadap hak-hak orang lain.
Terutama
dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini, issue mengenai HAM di Indonesia
bergerak dengan cepat dan dalam jumlah yang sangat mencolok. Gerak yang cepat
tersebut terutama karena memang telah terjadi begitu banyak pelanggaran HAM,
mulai dari yang sederhana sampai pada pelanggaran HAM berat (gross human
right violation). Di samping itu juga karena gigihnya organisasi-organisasi
masyarakat dalam memperjuangkan pemajuan dan perlindungan HAM
Pelanggaran
HAM yang berat menurut Pasal 7 UU No. 26 Tahun 2000 meliputi kejahatan genocide
(the crime of genocide) dan kejahatan terhadap kemanusiaan(crime
against humanity). Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang
dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau
sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara :
1.
Membunuh
anggota kelompok.
- Mengakibatkan penderitaan fisik
atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok.
- Menciptakan kondisi kehidupan
kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau
sebagiannya.
- Memaksakan tindakan-tindakan
yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok.
- Memindahkan secara paksaan
anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Sedangkan
kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan
sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang
diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap
penduduk sipil berupa pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran,
perampasan kemerdekaan, penyiksaan, perkosaan, penganiayaan, penghilangan orang
secara paksa dan kejahatan apartheid
Munculnya
berbagai kasus pelanggaran HAM berat telah melahirkan kesadaran kolektif
tentang perlunya perlindungan HAM melalui instrumen hukum dan kinerja institusi
penegak hukumnya. Banyak kasus-kasus pelanggaran HAM berat atau yang
mengandung unsur adanya pelanggaran HAM yang selama ini tidak tersentuh
oleh hukum, sebagai akibat dari bergulirnya reformasi secara perlahan tapi
pasti mulai diajukan ke lembaga peradilan. Lembaga peradilan, dalam hal ini
Pengadilan HAM, merupakan forum paling tepat untuk membuktikan kebenaran
tuduhan-tuduhan adanya pelanggaran HAM di Indonesia. Pasal 104 ayat (1) UU No.
39 Tahun 1999 secara tegas menyatakan bahwa untuk mengadili pelanggaran HAM
yang berat dibentuk Pengadilan HAM di lingkungan Peradilan Umum. Hukum
acara yang berlaku atas perkara pelanggaran HAM yang berat menurut Pasal 10 UU
No. 26 Tahun 2000, dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana, kecuali
ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
Dibentuknya
Pengadilan HAM di Indonesia patut disambut gembira, karena diharapkan dapat
meningkatkan citra baik Indonesia di mata internasional, bahwa Indonesia
mempunyai komitmen dan political will untuk menyelesaikan berbagai kasus
pelanggaran HAM berat. Seiring dengan itu upaya penegakkan HAM di Indonesia
diharapkan mengalami peningkatan yang cukup signifikan.
Ada sejumlah kemajuan positif yang telah dilakukan
oleh pemerintah Indonesia dalam kerangka penegakan HAM, khususnya terkait
dengan upaya perbaikan pada kerangka hukum dan institusi untuk mempromosikan
HAM. Telah nampak dalam kerangka hukum, pemerintah Indonesia telah melahirkan
beberapa kebijakan menyangkut HAM yang cukup positif. Pembuatan Undang-Undang
(UU) HAM serta UU Perlindungan Saksi Mata, adalah beberapa kebijakan yang
dilihatnya dapat memberi sentimen positif pada persoalan perlindungan HAM di
Indonesia. Dibentuknya beberapa institusi penegakan HAM di Indonesia, seperti
pengadilan HAM ad-hoc, Komisi Nasional HAM, Komnas Perempuan serta sejumlah
organisasi HAM lainnya, juga merupakan usaha yang telah dilakukan pemerintah
dalam upaya penegakan HAM.
Adapun program penegakkan hukum dan HAM (PP No.7 tahun
2005) meliputi pemberantasan korupsi, antiterorisme, serta pembasmian
penyalagunaan narkotika dan obat berbahaya. Oleh sebab itu, penegakkan
hukum dan HAM harus di lakukuan secara tegas, tidak diskriminatif dan
konsisten.
Dalam
upaya penegakan penegakan hak asasi manusia di Indonesia, dibutuhkan sarana dan
prasarana. Sarana dan prasarana penegakan HAM di Indonesia dapat dikategorikan
menjadi dua bagian yaitu:
1.
Sarana
yang terbentuk institusi atau kelembagaan seperti lembaga advokasi tentang HAM
yang dibentuk oleh LSM, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM), Komisi
Nasional HAM Perempuan dan institusi lainnya
2. Sarana
yang berbentuk peraturan atau Undang-Undang, seperti adanya beberapa pasal dalam
konstitusi UUD 1945 yang memuat tentang HAM, UU RI No. 39 Tahun 1999, keputusan
Presiden RI No. 50 Tahun 1993, Keputusan Presiden RI No. 129 Tahun 1998,
Keputusan Presiden RI No. 181 tahun 1998 dan Instruksi Presiden No. 26 Tahun
1998. Kesemua prangkat hukum tersebut merupakan sarana pendukung perlindungan
HAM di Indonesia.
D. Pelanggaran HAM dan Pengadilan HAM
Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk
aparat Negara baik disengaja ataupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara
hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut HAM seseorang atau
kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan tidak didapatkan atau
dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang berlaku (UU No.
26/2000 tentang pengadilan HAM). Sedangkan bentuk pelanggaran HAM ringan selain
dari kedua bentuk pelanggaran HAM berat itu.
Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk
menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras,
kelompok etnis dan kelompok agama. Kejahatan genosida dilakukan dengan cara
membunuh anggota kelompok, mengakibatkan penderitaan fisikatau mental yang
berat terhadap anggota-anggota kelompok, menciptakan kondisi kehidupan kelompok
yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya,
memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam
kelompok, dan memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke
kelompok lain (UU No. 26/2000 tentang pengadilan HAM).
Sementara itu kejahatan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai
bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa
serangan tersebut tujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa
pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara
paksa, perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara
sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional,
penyiksaan, perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, atau
bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara, penganiyaan terhadap suatu
kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya,agama, jenis kelamin atau alasan
lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum
internasional, penghilangan orang secara paksa, dan kejahatan apartheid.
Pelanggaran terhadap HAM dapat dilakukan oleh baik aparatur maupun bukan
aparatur Negara (UU No. 26/2000 tentang pengadilan HAM). Karena itu penindakan
terhadap pelanggaran HAM tidak boleh hanya ditujukan terhadap aparatur Negara,
tetapi juga pelanggaran yang dilakukan bukan oleh aparatur Negara. Penindakan
terhadap pelanggaran HAM mulai dari penyelidikan, penuntutan, dan persidangan
terhadap pelanggaran yang terjadi harus bersifat non-deskriminatif dan
berkeadilan. Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada
dilingkungan pengadilan umum.
Sebagai salah satu
upaya untuk memenuhi rasa keadilan, maka pengadilan atas pelanggaran HAM
kategori berat, seperti genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan
diberlakukan asas retroaktif. Dengan demikian, pelanggaran HAM kategori berat
dapat diadili dengan membentuk Pengadilan HAM ad hoc. Pengadilan HAM ad hoc
dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan keputusan Presiden dan
berada di lingkungan Pengadilan Umum.
Berdasarkan UU No.
26/2000, Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada dibawah
peradilan umum dan merupakan lex specialis dari Kitab Undang Hukum
Pidana. Pengadilan ini dikatakan khusus karena dari segi penamaan bentuk
pengadilannya sudah secara spesifik menggunakan istilah Pengadilan HAM dan
kewenangan pengadilan ini juga mengadili kejahatan-kejahatan tertentu.
Kejahatan-kejahatan yang merupakan yurisdiksi pengadilan HAM ini adalah
kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang keduanya merupakan
pelanggaran HAM yang berat. Penamaan Pengadilan HAM yang mengadili kejahatan
terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida ini dianggap tidak tepat, karena
Pelanggaran HAM yang berat dengan dua jenis kejahatan tersebut adalah kejahatan
yang merupakan bagian dari hukum pidana internasional (international crimes)
sehingga yang digunakan adalah seharusnya terminologi “pengadilan pidana.”
Selain pengadilan HAM
ad hoc, dibentuk juga Komisi
Kebenaran dan Rekonsilasi (KKR). Komisi ini dibentuk sebagai lembaga
ekstrayudisial yang bertugas untuk menegakan kebenaran untuk mengungkap
penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM pada masa lampau, melaksanakan
rekonsiliasi dalam perspektif kepentingan bersama sebagai bangsa.
Pengadilan HAM tidak
berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat yang
dilakukan seseorang berumur dibawah 18 tahun pada saat kejahatan
dilakukan. Dalam pelaksanaan peradilan HAM, pengadilan HAM menempuh proses
pengadilan melalui hukum acara pengadilan HAM sebagaimana terdapat dalam
Undang-Undang Pengadilan HAM.
Upaya mengungkap
pelanggaran HAM dapat juga melibatkan peran serta masyarakat umum. Kepedulian
warga negara terhadap pelanggaran HAM dapat dilakukan melalui upaya-upaya
pengembangan komunitas HAM atau penyelenggaraan tribunal (forum kesaksian untuk
mengungkap dan menginvestigasi sebuah kasus secara mendalam) tentang
pelanggaran HAM
Pelanggaran
HAM sering terjadi pada semua aspek kehidupan, sebut saja salah satu contoh
kekerasan terhadap perempuan. Hal ini bukanlah satu hal yang asing dikalangan
rakyat Indonesia. Kekerasan terhadap perempuan masih terus berlangsung dalam
bentuk yang bervariasi bahkan menimbulkan dampak yang cukup kompleks. “Yang
merasakan kekerasan itu bukan hanya isteri atau perempuan yang terluka, tetapi
juga anak-anak yang hidup dan menyaksikan kekerasan dilingkungannya”. Ia juga
menambahkan, anak dimungkinkan meniru terhadap apa yang mereka lihat, sehingga
menganggapnya bahkan menyesuaikan perbedaan. Karena itu, kekerasan terhadap
perempuan baik yang bersifat publik maupun domestik harus secepatnya dicegah.
Dari
fakta dan paparan contoh-contoh pelanggaran HAM di atas dapat diketahui hahwa
HAM di Indonesia masih sangat memperiatinkan. HAM yang diseru-serukan sebagai
Hak Asasi Manusia yang paling mendasarpun hanya menjadi sebuah wacana dalam
suatu teks dan implementasinya pun (pengamalannya) tidak ada. banyak HAM yang
secara terang-terangan dilanggar seakan-akan hal tersebut adalah sesuatu yang
legal.
Sangat
minimnya penegakan HAM di Indonesia bisa disebabkan oleh beberapa faktor,
antara lain :
1. Telah terjadi krisis
moral di Indonesia
2. Aparat hukum yang
berlaku sewenang-wenang
3. Kurang adanya
penegakan hukum yang benar.
Banyaknya
pelanggaran HAM yang terjadi, hal itu bisa disebabkan oleh beberapa faktor
seperti yang telah diuraikan di atas. Maka untuk dapat menegakkan HAM di
Indonesia perlu :
1. Kesadaran rasa
kemanusiaan yang tinggi
2. Aparat hukum yang
bersih, dan tidak sewenang-wenang
3. Sanksi yangtegas bagi
para pelanggara HAM
4. Penanaman nilai-ilai
keagamaan pada masyarakat
Keprihatinan yang mendalam tentunya melihat reformasi
hukum yang masih berjalan lambat
dan belum memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa pada dasarnya apa yang terjadi akhir-akhir ini merupakan ketiadaan keadilan yang dipersepsi masyarakat (the absence of justice). Ketiadaan keadilan ini merupakan akibat dari pengabaian hukum (diregardling the law), ketidakhormatan pada hukum (disrespecting the
law), ketidakpercayaan pada hukum (distrusting the law) serta adanya penyalahgunaan hukum (misuse of the law). Sejumlah masalah yang
layak dicatat berkenaan dengan bidang hukum antara
lain:
1. Sistem peradilan yang dipandang kurang
independen dan imparsial
2. Belum memadainya perangkat hukum yang
mencerminkan keadilan
sosial
3. Inkonsistensi dalam penegakan hukum
4. Masih adanya intervensi terhadap hukum
5. Lemahnya perlindungan hukum terhadap masyarakat
6. Rendahnya kontrol secara komprehensif terhadap
penegakan hukum
7. Belum meratanya tingkat keprofesionalan para
penegak hukum
8. Proses pembentukan hukum yang lebih merupakan power
game yang
mengacu pada
kepentingan the powerfull daripada the needy.
Dikaitkan dengan keadaan
yang kita hadapi saat ini, yaitu lemahnya penegakan
hukum, baik menyangkut masalah KKN,
pelanggaran HAM, tingginya tingkat kriminalitas, praktek penggunaan kekerasan dan pengerahan massa dalam berdemokrasi, praktek penjarahan, penyerobotan hak-hak orang lain, dan lain-lain, dalam jangka pendek adalah tepat untuk memberi prioritas pada proses penegakan hukum (law enforement) yang dilakukan melalui pembenahan sistem peradilan kita yang mencakup: badan peradilan, kepolisian, kejaksaan, pengacara dan konsultan hukum, pengelola lembaga pemasyarakatan, peningkatan etika moral dan kemampuan profesi hukum, penggunaan Bahasa Indonesia yang jelas dan tepat.
E.
Studi Kasus: Pelanggaran HAM
terhadap jamaah Ahmadiyah di Cikeusik, Pandegelang-Banten
Pelanggaran HAM ini terjadi
kepada para jamaah Ahmadiyah di Kecamatan Cikeusik, Pandegelang-Banten. Hal ini
dilatarbelakangi dengan adanya permintaan dari warga setempat yang merasa
kurang nyamana dengan keberadaan jamaah Ahmadiyah yang meresahkan masyarakat
lain karena aliran yang dianutnya. Beberapa kali sejak bulan November 2010
perwakilan dari Mubaligh Ahmadiyah Cikeusik dan Ketua Kepemudaan Ahmadiyah
Cikeusik ttelah mengikuti beberapa kali putaran pertemuan warga. Tujuan
pertemuan itu adalah untuk meminta kepada Jamaah Ahmadiyah Cikeusik bersedia bergabung
beribadah bersama dengan warga lainnya. pertemuan tersebut melibatkan Para
pejabat lokal, seperti Camat Cikeusik, Lurah Desa Umbulan, Depag, Kejari,
Polres Pandeglang, Kapolsek Cikeusik, Kodim, Danramil, Dansek dan perwakilan
MUI setempat. Namun pihak Ahmadiyah tetap menolak permintaan di atas, dengan
menjelskan ajaran dan status hokum organisasi Ahmadiyah. Desakan demi desakan
tetap dilakukan. Bahkan para ulama Pandeglang bersama aparat TNI dan Polisi
tetap menuntut mubaligh jamaah Ahmadiyah untuk membuat surat pernyataan terkait
pembubaran Ahmadiyah Cikeusik. Para ulama dan Muspika setempat menuntut tiga
hal. Pertama, meminta Ahmadiyah Cikeusik untuk tidak mengadakan kegiatan
lagi. Kedua, meminta Jamaah Ahmadiyah Cikeusik untuk segera membaur
dengan masyarakat. Ketiga, meminta Jamaah Ahmadiyah Cikeusik untuk
membubarkan diri.Bahkan dalam pertemuan lanjutan, IS dipaksa untuk membuat
pernyataan dan menandatangani pernyataan bermaterai tersebut.
Pernyataan itu berisi bahwa Jamaah Ahmadiyah
Cikeusik akan menaati SKB 3 Menteri, Jamaah Ahmadiyah Cikeusik juga siap
menaati penjelasan Amri Nasional dan siap bergabung dengan masyarakat dalam
bidang sosial kemasyarakatan. Akhirnya, Mubaligh jamaah Ahmadiyah bersedia
untuk menandatangani surat pernyataan tersebut. Beberapa hari setelah
penandatangan surat pernyataan tersebut , ketua kepemudaan Ahmadiyah mendapat
teror yang ditujukan kepada jamah Ahmadiyah.
Nyata saja Ahmadiyah
mendapat serangan dari warga, warga mendatangi rumah yang disinyalir merupakan
tempat kegiatan Jamaah Ahmadiyah berlangsung. Beberapa Ahmadi yang telah berada
di halaman mencoba menghalau massa. Bahkan salah seorang Ahmadi sempat menghadapi
seorang penyerang yang berdiri paling depan. Massa kemudian mengeroyok dan melakukan penyerangan dengan
memukul Ahmadi menggunakan batu. Selain itu juga massa lepas kendali sehingga
melempari rumah-rumah jamaah Ahmadiyah.
Dari ilustrasi uraian di atas,
terlihat sebenarnya potensi kekerasan sudah bisa diprediksi oleh berbagai
institusi negara, khususnya aparat kepolisian setempat. dalam konteks ini,
negara tidak memenuhi kewajiban HAM untuk “melindungi (duty to protect)”
dalam mencegah terjadinya aksi kekerasan yang mengakibatkan jatuhnya korban
jiwa.
BAB III
KESIMPULAN
HAM
adalah persoalan yang bersifat universal, tetapi sekaligus juga kontekstual.
Setiap negara mempunyai sejarah perjuangan dan perkembangan HAM yang berbeda,
oleh karena itu konsepsi dan implementasi HAM dari suatu negara tidak dapat
disamaratakan. Adanya HAM menimbulkan konsekwensi adanya kewajiban asasi, di
mana keduanya berjalan secara paralel dan merupakan satu kesatuan yang tak
dapat dipisahkan. Pengabaian salah satunya akan menimbulkan pelanggaran HAM,
dan Islam telah memberikan pedoman yang sangat jelas mengenai masalah ini.
Perkembangan
dan perjuangan dalam mewujudkan tegaknya HAM di Indonesia terutama terjadi
setelah adanya perlawanan terhadap penjajahan bangsa asing, sehingga tidak bisa
dilihat sebagai pertentangan yang hanya mewakili kepentingan suatu golongan
tertentu saja, melainkan menyangkut kepentingan bangsa Indonesia secara utuh. Dewasa ini, meskipun
ditengarai banyak kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia, tetapi secara umum
Implementasi HAM di Indonesia, baik menyangkut perkembangan dan penegakkannya
mulai menampakkan tanda-tanda kemajuan. Hal ini terlihat dengan adanya regulasi
hukum HAM melalui peraturan perundang-undangan. Di samping itu telah
dibentuknya Pengadilan HAM dalam upaya menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran
HAM berat yang terjadi.
Melihat
seluruh kenyataan yang ada penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa HAM di
Indonesia sangat memprihatinkan dan masih sangat minim penegakannya. Sekalipun terjadi
perubahan ketika bangsa Indonesia memasuki masa reformasi, tetapi toh tidak
banyak perubahan yang terjadi secara signifikan. Banyaknya pelanggaran HAM yang
terjadi bisa disebabkan oleh beberapa faktor seperti : Telah terjadi krisis
moral di Indonesia, Aparat hukum yang berlaku sewenang-wenang, Kurang adanya
penegakan hukum yang benar, dan masih banyak sebab-sebab yang lain.
Melihat
masih banyaknya kekerasan dan pelanggaran HAM pasca reformasi, secara subjektif
kita boleh berpendapat bahwa agenda reformasi tersebut masih jauh dari
cita-cita. Bahkan, dalam beberapa aspek, tidak tampak adanya perubahan yang
berarti dalam kaitannya dengan penegakkan HAM. Oleh karena itu, dalam makalah
ini akan dijabarkan pelaksanaan penegakan HAM yang terjadi sejak masa reformasi
Maka
untuk dapat menegakkan HAM di Indonesia perlu :
1. Kesadaran
rasa kemanusiaan yang tinggi,
2. Aparat
hukum yang bersih, dan tidak sewenang-wenang,
3. Sanksi
yang tegas bagi para pelanggara HAM, dan
4.
Penanaman nilai-ilai keagamaan pada masyarakat.
Penegakan
HAM di Indonesia tidak hanya menjadi tanggungjawab pemerintah tetapi juga
tanggungjawab semua umat manusia. Hak Asasi Manusia merupakan hak kodrati
manusia. Melanggar dan menciderai HAM berarti juga menciderai kasih dan
kebaikan Tuhan bagi umat manusia. Pelanggaran HAM
sebenarnya tidak saja dilakukan oleh Negara kepada rakyatnya, melainkan juga
oleh rakyat kepada rakyat yang disebut dengan pelanggaran HAM secara
horizontal.
DAFTAR
PUSTAKA
Affandi , Idrus, dkk. 2007. Hak Asasi Manusia. Jakarta : Universitas Terbuka.
Bindar Gultom, 2010, Pelanggaran HAM dalam Hukum
Keadaan Darurat di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Majda, El-Muhtaj. 2007. Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia.
Jakarta: Kencana
Muljono, Pudji (ed.),
2003, Hak Asasi Manusia (Suatu Tunjauan Teoritis dan aplikasi), Jakarta: Restu
Agung.
MuzaffPrasetyohadi,
Wisnuwardhani, Savitri. 2008. Penegakan
HAM Dalam 10 Tahun Reformasi. Jakarta : Komnas HAM
Saraswati, L. G. dan Rocky Gerung, Hak Asasi Manusia:
Teori, Hukum, Kasus, 2006, Jakarta: Filsafat-UI Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar