Jumat, 27 Desember 2013

Makalah HAM


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Pergantian rezim pemerintahan pada tahun 1998 memberikan dampak yang sangat besar pada pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia. Antara lain mulai dilakukan pengkajian terhadap beberapa kebijakan pemerintah orde baru yang berlawanan dengan pemajuan dan perlindungan HAM. Selanjutnya dilakukan penyusunan peraturan perundang – undangan yang berkaitan dengan pemberlakuan HAM dalam kehidupan ketatanegaraan dan kemasyarakatan di Indonesia. Hasil dari pengkajian tersebut menunjukkan banyaknya norma dan ketentuan hukum nasional khususnya yang terkait dengan penegakan HAM diadopsi dari hukum dan instrument Internasional dalam bidang HAM. Salah satu instrumen penting yang lahir dalam masa reformasi ini adalah munculnya mekanisme penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia melalui pengadilan Hak Asasi Manusia (Pengadilan HAM).
Masa-masa kelam pada masa Orde Baru menyebabkan hilangnya Hak Asasi Masyarakat (HAM), kasus-kasus besar menghiasi perjalanan bangsa mulai dari kasus pembantaian massal, penembakan misterius, pembunuhan aktivis, penghilangan paksa, tahanan politik serta kasus Reformasi seperti peristiwa Trisakti, Semanggi dan sebagainya. Peristiwa-peristiwa diatas mencerminkan bahwa kekuatan besar pada masa Orde Baru telah kehilangan kendali atas pengakuan hak sipil dan politik warga negara.
Periode Reformasi diawali dengan pelengseran Soeharto dari kursi Presiden Indonesia oleh gerakan reformasi. Pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden RI dan menyerahkan jabatannya kepada wakil presiden B.J. Habibie. Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan Orde Baru dan dimulainya Orde Reformasi. Dari pemerintahan Presiden Habibie inilah kemudian reformasi digulirkan dengan agenda-agenda perbaikan  di berbagai bidang kehidupan beebangsa baik sosial, politik, ekonomi, pendidikan maupun pertahanan dan keamanan.
HAM sendiri sebenarnya sudah tertuang dalam UUD 1945, namun pada kenyataannya antara penerapan dan teori sangat jauh  perbedaannya. Walaupun, HAM itu sudah diatur secara mendetail dalam UUd, tapi pelanggaran pelanggaran HAM masih seringkali terjadi di Negara kita. Maka dari itu sebaiknya Pemerintah memperhatikan hal ini, jangan membiarkan UUD hanya sebagai sebuah pajangan saja. Pemerintah harus mencari jalan agar UUD benar-benar berfungsi sebagai dasar negara kita dan sebagai acuan dalam menjalankan kehidupam sehari-hari, khususnya dalam penerapan penegakan HAM itu sendiri.
Kasus pelanggran hak asasi manusia akan berlanjut ketika tidak ada penyelesaian dari kasus-kasus yang sudah terjadi. Semakin tidak jelas peran pemerintah dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM maka Indonesia akan semakin disorot dunia Internasional. Untuk itu butuh keseriusan pemerintah untuk mempelopori penegakkan HAM di Indonesia. Tentu saja itu tidak cukup, hanya pemerintah namun,partisipasi dan kerja sama warga nemasih sangat dibutuhkan kerjasama warna Negara Indonesia yang semoga baik-baik saja. Kemudian secara sinergi merongrong Negara Indonesia yang adil.

B.     Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang diangkat dalam makalah ini adalah “ Bagaimana pelaksanaan hukum dan HAM pada masa Reformsi”.  Agar  pembahasan tidak terlalu luas dan lebih terfokus pada tujuan pembuatan makalah ini, maka kami membatasi pembahasan untuk menjawab beberapa pertanyaan, sebagai berikut:
1.      Bagaimana  landasan teoriitis dan landasan yuridis hukum dan HAM?
2.      Bagaimana latar belakang  munculnya masalah HAM di Indonesia?
3.      Bagaimana pelaksanaan dan penegakan hukum dan HAM di masa Reformasi?

C.    Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk:
1.      Mendeskrpsikan landasan Teoritis dan Landasan Yuridis Hukum dan HAM di Indonesia
2.      Mendeskripsikan latar belakang munculnya masalah HAM di Indonesia
3.      Mendeskripsikan pelaksanaan dan penegakan hokum dan HAM di era reformasi.

D.    Metode Penulisan
            Metode yang digunakan dalam penyusunan makalah ini yaitu dengan menggunakan studi literatur dan browsing internet. Dimana studi litelatur merupakan pencarian informasi dari berbagai sumber buku dan internet yang relevan dengan pembahasan makalah ini.

E.     Sistematika Penulisan
BAB I  PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
B.  Rumusan Masalah
C.  Tujuan Penelitian
D. Metode Penelitian
E.  Sistematika Penulisan
BAB II   PELAKSANAAN HUKUM DAN HAM PADA MASA REFORMASI
A.      Landasan Teoritis dan Yuridis HAM
B.      Pengertian dan Landasan yuridis Hukum
C.       Pelaksanaan HAM di Indonesia       
D.      Pelanggaran HAM dan Pengadilan HAM
E.       Studi kasus : Pelanggaran HAM terhadap Jamaah Ahmadiyah Cikeusik, Pandegelang-Banten
        BAB III KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Landasan Teoritis dan Landasan Yuridis Hak Asasi Manusia
1.      Landasan Teoritis dan Pengertian HAM
Secara teoritis Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugerah Allah yang harus dihormati, dijaga, dan dilindungi. Sedangkan hakikat Hak Asasi Manusia sendiri adalah merupakan upaya menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum. Begitu juga upaya menghormati, melindungi, dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia menjadi kewajiban dan tangung jawab bersama antara individu, pemeritah (Aparatur Pemerintahan baik Sipil maupun Militer), dan negara.
Hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia yang dalam penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan yang terkait dengan interaksinya antara individu atau dengan instansi. Hak juga merupakan sesuatu yang harus diperoleh. Masalah HAM adalah sesuatu hal yang sering kali dibicarakan dan dibahas terutama dalam era reformasi ini. HAM lebih dijunjung tinggi dan lebih diperhatikan dalam era pasca  reformasi dari pada sebelum reformasi.
Beberapa pengertian Hak Asasi Manusia:
a.   HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh maunusia, sesuai dengan kodratnya (kaelan: 2002).
b.   John Locke menyatakan bahwa HAM adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. (Mansyur Effendi, 1994).
c.   Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerag-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh nagara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.
d.     Menurut Jan Materson dari komisi HAM PBB, Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpa hak-hak tersebut manusia mustahil dapat hidup sebagai Teaching human Rights, yang merumuskan HAM dengan pengertian, “Human Right could be generally defined as those rights which are inherent in our nature and without which can not live as human being”.
e.      Hak asasi manusia adalah hak dasar yang dimiliki manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan yang Maha Esa, bukan pemberian dari manusia atau pengusaha. Hak asasi manusia sifatnya sangat mendasar bagi hidup dan kehidupan manusia yang bersifat kodrati yakni tidak bisa terlepas dari dan dalam kehidupan manusia.
Ruang lingkup HAM meliputi:
  1. Hak pribadi: hak-hak persamaan hidup, kebebasan, keamanan, dan lain-lain;
  2. Hak milik pribadi dan kelompok sosial tempat seseorang berada;
  3. Kebebasan sipil dan politik untuk dapat ikut serta dalam pemerintahan; serta
  4. Hak-hak berkenaan dengan masalah ekonomi dan sosial.
Hakikat Hak Asasi Manusia sendiri adalah merupakan upaya menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum. Begitu juga upaya menghormati, melindungi, dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia menjadi kewajiban dan tangung jawab bersama antara individu, pemeritah (Aparatur Pemerintahan baik Sipil maupun Militer),dan negara.

2.      Landasan Yuridis dan Kelembagaan Hak Asasi Manusia
Dalam perundang-undangan RI paling tidak terdapat bentuk hukum tertulis yang memuat aturan tentang HAM. Pertama, dalam konstitusi (UUD Negara). Kedua, dalam ketetapan MPR (TAP MPR). Ketiga, dalam Undang-Undang. Keempat, dalam peraturan pelaksanaan perundang-undangan seperti peraturan pemerintah, keputusan presiden, dan peraturan pelaksanaan lainnya.
Kelebihan pengaturan HAM dalam konstitusi memberikan jaminan yang sangat kuat karena perubahan dan atau penghapusan satu pasal dalam konstitusi seperti dalam ketatanegaraan di Indonesia mengalami proses yang sangat berat dan panjang, antara lain melalui amandemen dan referendum, sedangkan kelemahannya karena yang diatur dalam konstitusi hanya memuat aturan yang masih global seperti ketentuan tentang HAM dalam konstitusi RI yang masih bersifat global. Sementara itu bila pengaturan HAM dalam bentuk Undang-Undang dan peraturan pelaksanaannya kelemahannya, pada kemungkinan seringnya mengalami perubahan.
Beberapa instrumen HAM yang dimiliki NKRI yaitu :
a.       Undang-undang Dasar 1945. Terdapat dalam pembukaan UUD 1945 dan pasal-pasal UUD 1945 yaitu pasal 28A sampai dengan 28J.
b.       Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM terdapat 8 bab yang mengatur tentang HAM.
c.       Undang-undang No.39 tahun 1999. Undang-undang ini mengatur tentang HAM seperti hak hidup, hak berkeluarga dan lain-lain. Undang-undang sini juga mengatur tentang kewajiban asasi manusia seperti kewajiban setiap warga untuk mematuhi peraturan perundang-undangan.
d.       Undang-undang No.26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM. Pengadilan HAM digunakan untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM berat dan mengembalikan keamanan dan perdamaian Indonesia.
Perkembangan selanjutnya adalah dengan dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 50 Tahun 1993 tanggal 7 Juni 1993. Pembentukan KOMNAS HAM tersebut pada saat bangsa Indonesia sedang giat melaksanakan pembangunan, menunjukkan keterkaitan yang erat antara penegakkan HAM di satu pihak dan penegakkan hukum di pihak lainnya. Hal ini senada dengan deklarasi PBB tahun 1986, yang menyatakan HAM merupakan tujuan sekaligus sarana pembangunan. Keikutsertaan rakyat dalam pembangunan bukan sekedar aspirasi, melainkan kunci keseluruhan hak asasi atas pembangunan itu sendiri. Dan menjadi tugas badan-badan pembangunan internasional dan nasional untuk menempatkan HAM sebagai fokus pembangunan.
Guna lebih memantapkan perhatian atas perkembangan HAM di Indonesia, oleh berbagai kalangan masyarakat (organisasi maupun lembaga), telah diusulkan agar dapat diterbitkannya suatu Ketetapan MPR yang memuat piagam hak-hak asasi Manusia atau Ketetapan MPR tentang GBHN yang didalamnya memuat operasionalisasi daripada hak-hak dan kewajiban-kewajiban asasi manusia Indonesia yang ada dalam UUD 1945.
Akhirnya ketetapan MPR RI yang diharapkan memuat secara adanya HAM itu dapat diwujudkan dalam masa Orde Reformasi, yaitu selama Sidang Istimewa MPR yangberlangsung dari tanggal 10 sampai dengan 13 November 1988. Dalam rapat paripurna ke-4 tanggal 13 November 1988, telah diputuskan lahirnya Ketetapan MPR RI No. XVII/MPR/1988 tentang Hak Asasi Manusia. Kemudian Ketetapan MPR tersebut menjadi salah satu acuan dasar bagi lahirnya UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang disahkan pada tanggal 23 september 1999.
Undang-Undang ini kemudian diikuti  lahirnya Perpu No. 1 Tahun 1999 yang kemudian  disempurnakan dan ditetapkan menjadi UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Sebagai bagian dari HAM, sebelumnya telah pula lahir UU No. 9 Tahun 1998  tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum yang disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 26 oktober 1998, serta dimuat dalam LNRI Tahun 1999 No. 165.
Di samping itu, Indonesia telah merativikasi pula beberapa konvensi internasional yang mengatur HAM, antara lain:
a.       Deklarasi tentang Perlindungan dan Penyiksaan, melalui UU No. 5 Tahun 1998.
  1. Konvensi mengenai  Hak Politik Wanita 1979, melalui UU No. 68 Tahun 1958.
  2.  Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap wanita, melalui UU No. 7 Tahun 1984.
  3. Konvensi Perlindungan Hak-Hak Anak, melalui Keppres No. 36 Tahun 1990.
  4. Konvensi tentang Ketenagakerjaan, melalui UU No. 25 Tahun 1997, yang pelaksanaannya ditangguhkan sementara.
  5.  Konvensi tentang Penghapusan Bentuk Diskriminasi Ras Tahun 1999, melalui UU No. 29 Tahun 1999.

HAM diatur dalam UU no 39 tahun 1999 tentang HAM. Untuk merealisasikan dari UU tersebut maka negara membuat lembaga-lembaga yang mengatur tentang HAM antara lain:
a.    Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
Dibentuk dengan Keppres No. 5 Tahun 1993, yang kemudian dikukuhkan lagi melalui UU No. 39/1999 tentang HAM. Komnas HAM adalah lembaga yang mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi HAM
Tujuan Komnas HAM :
1)       Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, Piagam PBB, serta Deklarasi Universal HAM
2)      Meningkatkan perlindungan dan penegakan HAM guna perkembangan pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.
b.    Pengadilan Hak Asasi Manusia
Pengadilan HAM yang dibentuk berdasarkan UU No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM. Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Pengadilan Umum dan berkedudukan di daerah Kabupaten atau Kota. Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus pelanggaran HAM berat baik yang dilakukan di daerah teritorial Indonesia maupun di luar batas teritorial Indonesia selama pelanggaran HAM tersebut dilakukan oleh WNI.
c.    Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc
UU No 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia tidak menganut asas retroaktif, maka pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara-perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum undang-undang ini di undangkan. Pada masa orde baru banyak terjadi pelanggaran HAM yang berat, seperti tragedi tanjung priok, tragedi talang sari, tragedi timika, tragedi aceh, serta yang terjadi di era reformasi seperti tragedi Ambon, tragedi Sampit, tragedi Poso dan kasus Timor Timur. Untuk mengatasi hal tersebut UU No. 26 Tahun 2000 melalui pasal 43 menghendaki dibentuknya Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc yang diberi wewenang untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang terjadi sebelum di undangkannya UU No. 26 Tahun 2000. Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc ini berada di lingkungan Peradilan Umum yang dibentuk atas usul DPR berdasarkan peristiwa pelanggaran HAM yang berat tertentu dan diangkat dengan Keputusan Presiden. Hukum Acara yang berlaku di Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc sama dengan Hukum Acara yang berlaku di Pengadilan Hak Asasi Manusia.
d.      Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
Untuk mempercepat proses menentukan kebenaran dan mewujudkan Rekonsiliasi Nasional UU No. 26 Tahun 2000 memberikan alternative penyelesaian perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat dilakukan diluar Pengadilan Hak Asasi Manusia. Berdasarkan Pasal 47 penyelesaian perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat dapat dilakukan oleh suatu komisi yaitu Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Komisi ini dibentuk dengan suatu undang – undang. Penyelesaian perkara pelanggaran HAM yang berat melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi mendatangkan banyak manfaat antara lain proses penyelidikan, penuntutan dan penyidangan tidak berlarut – larut dan dapat memelihara persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh karena itu anggota Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tersebut harus terdiri dari orang – orang yang betul mempunyai integritas moral yang tinggi, mempunyai pengetahuan dan kepedulian terhadap hak asasi manusia dan bebas dari keterkaitan masa lalu.

B.     Pengertian Hukum dan Landasan Yuridis Hukum di Indonesia
1.         Pengertian Hukum
Hukum adalah seperangkat aturan yang dibuat secara teratur dan tersusun baik untuk mengatur tata tertib yang berlaku dimasyarakat, selain itu dapat juga dijadikan pedoman atau patokan sikap perilaku yang pantas atau diharapkan. Adapun beberapa pengertian hukum menurut beberapa ahli, pengertian hukum menurut Plato yang ada dalam bukunya yang berjudul Republik, hukum adalah sistem peraturan-peraturan yang teratur dan tersusun baik yang mengikat masyarakat. Sedangkan menurut Bellfoid, hukum adalah yang berlaku di suatu masyarakat mengatur tata tertib masyarakat itu didasarkan atas kekuasaan yang ada pada masyarakat. Pengertian hukum dari Dr. Soerjono Soekanto, S.H., M.A.,  dan Purnadi Purbacaraka, S.H. merumuskan arti yang diberikan masyarakat pada hukum sebagai berikut:
a. Hukum sebagai ilmu pengetahuan, yakni pengetahuan yang tersusun secara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran.
b. Hukum sebagai disiplin, yakni suatu sistem ajaran tentang kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi.
c. Hukum sebagai kaidah, yakni pedoman atau patokan sikap tindak atau perikelakuan yang pantas atau diharapkan.
d. Hukum sebagai tata hukum, yakni struktur dan proses perangkat kaidah-kaidah hukum yang berlaku pada suatu waktu.
e. Hukum sebagai petugas, yakni pribadi-pribadi yang merupakan kalangan yang berhubungan erat dengan penegakan hukum.
f. Hukum sebagai keputusan penguasa, yakni hasil proses diskresi yang menyangkut keputusan penguasa.
g. Hukum sebagai proses pemerintahan, yaitu proses hubungan timbal-balik antara unsur-unsur pokok sistem kenegaraan.
h. Hukum sebagai sikap tindak ajeg atau perikelakuan yang teratur, yaitu perikelakuan yang diulang-ulang dengan cara yang sama, yang bertujuan untuk mencapai kedamaian.
i. Hukum sebagai jalinan nilai-nilai, yaitu jalinan-jalinan dari konsepsi-konsepsi abstrak tentang apa yang siagap baik dan buruk.

2.    Landasan Yuridis Negara Hukum Indonesia
Negara Indonesia adalah negara hukum, hal tersebut tertuang dalam pasal 1 ayat 3 UUD 1945 Perubahan Ketiga, yang berbunyi “ Indoensia adalah negara hukum”, sebelum tertuang dalam pasal 1 ayat 3 UUD 1945 landasan Negara hukum Indonesia terdapat dalam bagian penjelasan umum UUD 1945 tentang sistem pemerintahan Negara, yaitu sebagai berikut :
a.    Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat)
b.   Sistem Konstitusional,pemerintah berdasarkan atas sistem konstitusi (hukum dasar),tidak bersifat Absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).
Berdasarkan perumusan di atas Negara Indonesia memakai istilah rechtsstaat yang kemungkinan dipengaruhi oleh konsep hukum Belanda yang termasuk dalam wilayah Eropa Kontimental. Perumusan Negara hukum Indonesia adalah :
a. Negara berdasarkan atas hukum, bukan berdasarkan kekuasaan belaka.
b. Pemerintah Negara berdasarkan atas suatu konstitusi dengan kekuasaan pemerintah terbatas,tidak absolute.
Di dalam UUD 1945 terdapat berbagai aturan hukum atau peraturan perundang-undangan. Jenis dan hierarkhi peraturan perundang-undangan di Indonesia dinyatakan dalam UU. No 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undang, sebagai berikut :
a. Undang – undang Dasar 1945
b. Undang-undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
c. Peraturan Pemerintah (PP)
d. Peraturan Presiden (Perpres)
e. Peraturan Daerah
Dalam pelaksanaan hukum Negara Indonesia, semua didasarkan menurut UUD 1945 mengandung prinsip – prinsip sebagai tersebut :
a. Norma hukumnya bersumber pada Pancasila sebagai dasar dan adanya hierarki jenjang norma hukum.
b. Sistem konstitusional, yaitu UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan di bawahnya membentuk kesatuan sistem hukum
c. Kedaulatan rakyat atau prinsip demokrasi. Hal ini tampak pada Pembukaan UUD 1945 : “Kerakyatan yang dipimpn oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” dan Ps.1 A (2) : “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”
d. Prinsip persamaan kedudukan dalam hokum dan pemerintahan (Ps.27 A (1) UUD 1945
e. Adanya organ pembentuk UU (DPR bersama Presiden)
f. Sistem Pemerintahaannya adalah presidensil
g. Kekuasaan kehakiman yang bebas daru kekuasaan lain (Eksekutif)
h. Hukum bertujuan untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaa, perdamaian abadi dan keadilan social.
i. Adanya jaminan akan hak asasi dan kewajiban dasar manusia (Ps.28A-28J UUD 1945)

C.    Pelaksanaan HAM di Indonesia
Sejalan dengan amanat Konstitusi, Indonesia berpandangan bahwa pemajuan dan perlindungan HAM harus didasarkan pada prinsip bahwa hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial budaya, dan hak pembangunan merupakan satu kesatuanyang tidak dapat di pisahkan, baik dalam penerapan, pemantauan, maupun dalam pelaksanaannya. Program penegakan hukum dan HAM meliputi pemberantasan korupsi, antitrorisme, serta pembasmian penyalahgunaan narkotika dan obat berbahaya. Oleh sebab itu, penegakan hukum dan HAM harus dilakukan secara tegas, tidak diskriminatif dan konsisten.
Tegaknya HAM selalu mempunyai hubungan korelasional positif dengan tegaknya negara hukum. Sehingga dengan dibentuknya KOMNAS HAM dan Pengadilan HAM,  regulasi hukum HAM dengan ditetapkannya UU No. 39 Tahun 1999 dan UU No. 26 Tahun 2000 serta dipilihnya para hakim ad hoc, akan lebih menyegarkan iklim penegakkan hukum yang sehat. Artinya kebenaran hukum dan keadilan harus dapat dinikmati oleh setiap warganegara secara egaliter. Disadari atau tidak, dengan adanya political will dari pemerintah terhadap penegakkan HAM, hal itu akan berimplikasi terhadap budaya politik yang lebih sehat dan proses demokratisasi yang lebih cerah. Dan harus disadari pula bahwa kebutuhan terhadap tegaknya HAM dan keadilan itu memang memerlukan proses dan tuntutan konsistensi politik. Begitu pula keberadaan budaya hukum dari aparat pemerintah dan tokoh masyarakat merupakan faktor penentu (determinant) yang mendukung tegaknya HAM.
Kenyataan menunjukkan bahwa masalah HAM di indonesia selalu menjadi sorotan tajam dan bahan perbincangan terus-menerus, baik karena konsep dasarnya yang bersumber dari UUD 1945 maupun dalam realita praktisnya di lapangan ditengarai penuh dengan pelanggaran-pelanggaran. Sebab-sebab pelanggaran HAM antara lain adanya arogansi kewenangan dan kekuasaan yang dimiliki seorang pejabat yang berkuasa, yang mengakibatkan sulit mengendalikan dirinya sendiri sehingga terjadi pelanggaran terhadap hak-hak orang lain.
Terutama dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini, issue mengenai HAM di Indonesia bergerak dengan cepat dan dalam jumlah yang sangat mencolok. Gerak yang cepat tersebut terutama karena memang telah terjadi begitu banyak pelanggaran HAM, mulai dari yang sederhana sampai pada pelanggaran HAM berat (gross human right violation). Di samping itu juga karena gigihnya organisasi-organisasi masyarakat dalam memperjuangkan pemajuan dan perlindungan HAM
Pelanggaran HAM yang berat menurut Pasal 7 UU No. 26 Tahun 2000 meliputi kejahatan genocide (the crime of genocide) dan  kejahatan terhadap kemanusiaan(crime against humanity). Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara :
1.       Membunuh anggota kelompok.
  1. Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok.
  2. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya.
  3. Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok.
  4. Memindahkan secara paksaan anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Sedangkan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik  yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran, perampasan kemerdekaan, penyiksaan, perkosaan, penganiayaan, penghilangan orang secara paksa dan kejahatan apartheid
Munculnya berbagai kasus pelanggaran HAM berat telah melahirkan kesadaran kolektif tentang perlunya perlindungan HAM melalui instrumen hukum dan kinerja institusi penegak hukumnya. Banyak kasus-kasus pelanggaran HAM berat atau yang mengandung  unsur adanya pelanggaran HAM yang selama ini tidak tersentuh oleh hukum, sebagai akibat dari bergulirnya reformasi secara perlahan tapi pasti mulai diajukan ke lembaga peradilan. Lembaga peradilan, dalam hal ini Pengadilan HAM, merupakan forum paling tepat  untuk membuktikan kebenaran tuduhan-tuduhan adanya pelanggaran HAM di Indonesia. Pasal 104 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 secara tegas menyatakan bahwa untuk mengadili pelanggaran HAM yang berat dibentuk Pengadilan HAM di lingkungan Peradilan Umum.  Hukum acara yang berlaku atas perkara pelanggaran HAM yang berat menurut Pasal 10 UU No. 26 Tahun 2000, dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
Dibentuknya Pengadilan HAM di Indonesia patut disambut gembira, karena diharapkan dapat meningkatkan citra baik Indonesia di mata internasional, bahwa Indonesia mempunyai komitmen dan political will untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat. Seiring dengan itu upaya penegakkan HAM di Indonesia diharapkan mengalami peningkatan yang cukup signifikan.
Ada sejumlah kemajuan positif yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam kerangka penegakan HAM, khususnya terkait dengan upaya perbaikan pada kerangka hukum dan institusi untuk mempromosikan HAM. Telah nampak dalam kerangka hukum, pemerintah Indonesia telah melahirkan beberapa kebijakan menyangkut HAM yang cukup positif. Pembuatan Undang-Undang (UU) HAM serta UU Perlindungan Saksi Mata, adalah beberapa kebijakan yang dilihatnya dapat memberi sentimen positif pada persoalan perlindungan HAM di Indonesia. Dibentuknya beberapa institusi penegakan HAM di Indonesia, seperti pengadilan HAM ad-hoc, Komisi Nasional HAM, Komnas Perempuan serta sejumlah organisasi HAM lainnya, juga merupakan usaha yang telah dilakukan pemerintah dalam upaya penegakan HAM.
Adapun program penegakkan hukum dan HAM (PP No.7 tahun 2005) meliputi pemberantasan korupsi, antiterorisme, serta pembasmian penyalagunaan  narkotika dan obat berbahaya. Oleh sebab itu, penegakkan hukum dan HAM harus di lakukuan secara tegas, tidak diskriminatif dan konsisten.
Dalam upaya penegakan penegakan hak asasi manusia di Indonesia, dibutuhkan sarana dan prasarana. Sarana dan prasarana penegakan HAM di Indonesia dapat dikategorikan menjadi dua bagian yaitu:
1.        Sarana yang terbentuk institusi atau kelembagaan seperti lembaga advokasi tentang HAM yang dibentuk oleh LSM, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM), Komisi Nasional HAM Perempuan dan institusi lainnya
2.     Sarana yang berbentuk peraturan atau Undang-Undang, seperti adanya      beberapa pasal dalam konstitusi UUD 1945 yang memuat tentang HAM, UU RI No. 39 Tahun 1999, keputusan Presiden RI No. 50 Tahun 1993, Keputusan Presiden RI No. 129 Tahun 1998, Keputusan Presiden RI No. 181 tahun 1998 dan Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1998. Kesemua prangkat hukum tersebut merupakan sarana pendukung perlindungan HAM di Indonesia.
      
D.    Pelanggaran HAM dan Pengadilan HAM
            Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat Negara baik disengaja ataupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan tidak didapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang berlaku (UU No. 26/2000 tentang pengadilan HAM). Sedangkan bentuk pelanggaran HAM ringan selain dari kedua bentuk pelanggaran HAM berat itu.
            Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis dan kelompok agama. Kejahatan genosida dilakukan dengan cara membunuh anggota kelompok, mengakibatkan penderitaan fisikatau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok, menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya, memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok, dan memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain (UU No. 26/2000 tentang pengadilan HAM).
            Sementara itu kejahatan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut tujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional, penyiksaan, perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara, penganiyaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya,agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional, penghilangan orang secara paksa, dan kejahatan apartheid.
            Pelanggaran terhadap HAM dapat dilakukan oleh baik aparatur maupun bukan aparatur Negara (UU No. 26/2000 tentang pengadilan HAM). Karena itu penindakan terhadap pelanggaran HAM tidak boleh hanya ditujukan terhadap aparatur Negara, tetapi juga pelanggaran yang dilakukan bukan oleh aparatur Negara. Penindakan terhadap pelanggaran HAM mulai dari penyelidikan, penuntutan, dan persidangan terhadap pelanggaran yang terjadi harus bersifat non-deskriminatif dan berkeadilan. Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada dilingkungan pengadilan umum.
Sebagai salah satu upaya untuk memenuhi rasa keadilan, maka pengadilan atas pelanggaran HAM kategori berat, seperti genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan diberlakukan asas retroaktif. Dengan demikian, pelanggaran HAM kategori berat dapat diadili dengan membentuk Pengadilan HAM ad hoc. Pengadilan HAM ad hoc dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan keputusan Presiden dan berada di lingkungan Pengadilan Umum.
Berdasarkan UU No. 26/2000, Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada dibawah peradilan umum dan merupakan lex specialis dari Kitab Undang Hukum Pidana. Pengadilan ini dikatakan khusus karena dari segi penamaan bentuk pengadilannya sudah secara spesifik menggunakan istilah Pengadilan HAM dan kewenangan pengadilan ini juga mengadili kejahatan-kejahatan tertentu. Kejahatan-kejahatan yang merupakan yurisdiksi pengadilan HAM ini adalah kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang keduanya merupakan pelanggaran HAM yang berat. Penamaan Pengadilan HAM yang mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida ini dianggap tidak tepat, karena Pelanggaran HAM yang berat dengan dua jenis kejahatan tersebut adalah kejahatan yang merupakan bagian dari hukum pidana internasional (international crimes) sehingga yang digunakan adalah seharusnya terminologi “pengadilan pidana.”
Selain pengadilan HAM ad hoc, dibentuk juga Komisi Kebenaran dan Rekonsilasi (KKR). Komisi ini dibentuk sebagai lembaga ekstrayudisial yang bertugas untuk menegakan kebenaran untuk mengungkap penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM pada masa lampau, melaksanakan rekonsiliasi dalam perspektif kepentingan bersama sebagai bangsa.
Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan  seseorang berumur dibawah 18 tahun pada saat kejahatan dilakukan. Dalam pelaksanaan peradilan HAM, pengadilan HAM menempuh proses pengadilan melalui hukum acara pengadilan HAM sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang Pengadilan HAM.
Upaya mengungkap pelanggaran HAM dapat juga melibatkan peran serta masyarakat umum. Kepedulian warga negara terhadap pelanggaran HAM dapat dilakukan melalui upaya-upaya pengembangan komunitas HAM atau penyelenggaraan tribunal (forum kesaksian untuk mengungkap dan menginvestigasi sebuah kasus secara mendalam) tentang pelanggaran HAM
Pelanggaran HAM sering terjadi pada semua aspek kehidupan, sebut saja salah satu contoh kekerasan terhadap perempuan. Hal ini bukanlah satu hal yang asing dikalangan rakyat Indonesia. Kekerasan terhadap perempuan masih terus berlangsung dalam bentuk yang bervariasi bahkan menimbulkan dampak yang cukup kompleks. “Yang merasakan kekerasan itu bukan hanya isteri atau perempuan yang terluka, tetapi juga anak-anak yang hidup dan menyaksikan kekerasan dilingkungannya”. Ia juga menambahkan, anak dimungkinkan meniru terhadap apa yang mereka lihat, sehingga menganggapnya bahkan menyesuaikan perbedaan. Karena itu, kekerasan terhadap perempuan baik yang bersifat publik maupun domestik harus secepatnya dicegah.
Dari fakta dan paparan contoh-contoh pelanggaran HAM di atas dapat diketahui hahwa HAM di Indonesia masih sangat memperiatinkan. HAM yang diseru-serukan sebagai Hak Asasi Manusia yang paling mendasarpun hanya menjadi sebuah wacana dalam suatu teks dan implementasinya pun (pengamalannya) tidak ada. banyak HAM yang secara terang-terangan dilanggar seakan-akan hal tersebut adalah sesuatu yang legal.
Sangat minimnya penegakan HAM di Indonesia bisa disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain :
1.   Telah terjadi krisis moral di Indonesia
2.   Aparat hukum yang berlaku sewenang-wenang
3.   Kurang adanya penegakan hukum yang benar.
Banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi, hal itu bisa disebabkan oleh beberapa faktor seperti yang telah diuraikan di atas. Maka untuk dapat menegakkan HAM di Indonesia perlu :
1.   Kesadaran rasa kemanusiaan yang tinggi
2.   Aparat hukum yang bersih, dan tidak sewenang-wenang
3.   Sanksi yangtegas bagi para pelanggara HAM
4.   Penanaman nilai-ilai keagamaan pada masyarakat
Keprihatinan yang mendalam tentunya melihat reformasi hukum yang masih berjalan lambat dan belum memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa pada dasarnya apa yang terjadi akhir-akhir ini merupakan ketiadaan keadilan yang dipersepsi masyarakat (the absence of justice). Ketiadaan keadilan ini merupakan akibat dari pengabaian hukum (diregardling the law), ketidakhormatan pada hukum (disrespecting the law), ketidakpercayaan pada hukum (distrusting the law) serta adanya penyalahgunaan hukum (misuse of the law). Sejumlah masalah yang layak dicatat berkenaan dengan bidang hukum antara lain:
1.  Sistem peradilan yang dipandang kurang independen dan imparsial
2.  Belum memadainya perangkat hukum yang mencerminkan keadilan
  sosial
3.  Inkonsistensi dalam penegakan hukum
4.  Masih adanya intervensi terhadap hukum
5. Lemahnya perlindungan hukum terhadap masyarakat
6. Rendahnya kontrol secara komprehensif terhadap penegakan hukum
7. Belum meratanya tingkat keprofesionalan para penegak hukum
8. Proses pembentukan hukum yang lebih merupakan power game yang
  mengacu pada kepentingan the powerfull daripada the needy.
Dikaitkan dengan keadaan yang kita hadapi saat ini, yaitu lemahnya penegakan hukum, baik menyangkut masalah KKN, pelanggaran HAM, tingginya tingkat kriminalitas, praktek penggunaan kekerasan dan pengerahan massa dalam berdemokrasi, praktek penjarahan, penyerobotan hak-hak orang lain, dan lain-lain, dalam jangka pendek adalah tepat untuk memberi prioritas pada proses penegakan hukum (law enforement) yang dilakukan melalui pembenahan sistem peradilan kita yang mencakup: badan peradilan, kepolisian, kejaksaan, pengacara dan konsultan hukum, pengelola lembaga pemasyarakatan, peningkatan etika moral dan kemampuan profesi hukum, penggunaan Bahasa Indonesia yang jelas dan tepat.

E.            Studi Kasus: Pelanggaran HAM terhadap jamaah Ahmadiyah di Cikeusik, Pandegelang-Banten
Pelanggaran HAM ini terjadi kepada para jamaah Ahmadiyah di Kecamatan Cikeusik, Pandegelang-Banten. Hal ini dilatarbelakangi dengan adanya permintaan dari warga setempat yang merasa kurang nyamana dengan keberadaan jamaah Ahmadiyah yang meresahkan masyarakat lain karena aliran yang dianutnya. Beberapa kali sejak bulan November 2010 perwakilan dari Mubaligh Ahmadiyah Cikeusik dan Ketua Kepemudaan Ahmadiyah Cikeusik ttelah mengikuti beberapa kali putaran pertemuan warga. Tujuan pertemuan itu adalah untuk meminta kepada Jamaah Ahmadiyah Cikeusik bersedia bergabung beribadah bersama dengan warga lainnya. pertemuan tersebut melibatkan Para pejabat lokal, seperti Camat Cikeusik, Lurah Desa Umbulan, Depag, Kejari, Polres Pandeglang, Kapolsek Cikeusik, Kodim, Danramil, Dansek dan perwakilan MUI setempat. Namun pihak Ahmadiyah tetap menolak permintaan di atas, dengan menjelskan ajaran dan status hokum organisasi Ahmadiyah. Desakan demi desakan tetap dilakukan. Bahkan para ulama Pandeglang bersama aparat TNI dan Polisi tetap menuntut mubaligh jamaah Ahmadiyah untuk membuat surat pernyataan terkait pembubaran Ahmadiyah Cikeusik. Para ulama dan Muspika setempat menuntut tiga hal. Pertama, meminta Ahmadiyah Cikeusik untuk tidak mengadakan kegiatan lagi. Kedua, meminta Jamaah Ahmadiyah Cikeusik untuk segera membaur dengan masyarakat. Ketiga, meminta Jamaah Ahmadiyah Cikeusik untuk membubarkan diri.Bahkan dalam pertemuan lanjutan, IS dipaksa untuk membuat pernyataan dan menandatangani pernyataan bermaterai tersebut.
 Pernyataan itu berisi bahwa Jamaah Ahmadiyah Cikeusik akan menaati SKB 3 Menteri, Jamaah Ahmadiyah Cikeusik juga siap menaati penjelasan Amri Nasional dan siap bergabung dengan masyarakat dalam bidang sosial kemasyarakatan. Akhirnya, Mubaligh jamaah Ahmadiyah bersedia untuk menandatangani surat pernyataan tersebut. Beberapa hari setelah penandatangan surat pernyataan tersebut , ketua kepemudaan Ahmadiyah mendapat teror yang ditujukan kepada jamah Ahmadiyah.
Nyata saja Ahmadiyah mendapat serangan dari warga, warga mendatangi rumah yang disinyalir merupakan tempat kegiatan Jamaah Ahmadiyah berlangsung. Beberapa Ahmadi yang telah berada di halaman mencoba menghalau massa. Bahkan salah seorang Ahmadi sempat menghadapi seorang penyerang yang berdiri paling depan. Massa kemudian  mengeroyok dan melakukan penyerangan dengan memukul Ahmadi menggunakan batu. Selain itu juga massa lepas kendali sehingga melempari rumah-rumah jamaah Ahmadiyah.
Dari ilustrasi uraian di atas, terlihat sebenarnya potensi kekerasan sudah bisa diprediksi oleh berbagai institusi negara, khususnya aparat kepolisian setempat. dalam konteks ini, negara tidak memenuhi kewajiban HAM untuk “melindungi (duty to protect)” dalam mencegah terjadinya aksi kekerasan yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa.


BAB III
KESIMPULAN

HAM adalah persoalan yang bersifat universal, tetapi sekaligus juga kontekstual. Setiap negara mempunyai sejarah perjuangan dan perkembangan HAM yang berbeda, oleh karena itu konsepsi dan implementasi HAM dari suatu negara tidak dapat disamaratakan. Adanya HAM menimbulkan konsekwensi adanya kewajiban asasi, di mana keduanya berjalan secara paralel dan merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Pengabaian salah satunya akan menimbulkan pelanggaran HAM, dan Islam telah memberikan pedoman yang sangat jelas mengenai masalah ini.
Perkembangan dan perjuangan dalam mewujudkan tegaknya HAM di Indonesia terutama terjadi setelah adanya perlawanan terhadap penjajahan bangsa asing, sehingga tidak bisa dilihat sebagai pertentangan yang hanya mewakili kepentingan suatu golongan tertentu saja, melainkan menyangkut kepentingan bangsa Indonesia secara utuh. Dewasa ini, meskipun ditengarai banyak kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia, tetapi secara umum Implementasi HAM di Indonesia, baik menyangkut perkembangan dan penegakkannya mulai menampakkan tanda-tanda kemajuan. Hal ini terlihat dengan adanya regulasi hukum HAM melalui peraturan perundang-undangan. Di samping itu telah dibentuknya Pengadilan HAM dalam upaya menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi.
Melihat seluruh kenyataan yang ada penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa HAM di Indonesia sangat memprihatinkan dan masih sangat minim penegakannya. Sekalipun terjadi perubahan ketika bangsa Indonesia memasuki masa reformasi, tetapi toh tidak banyak perubahan yang terjadi secara signifikan. Banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi bisa disebabkan oleh beberapa faktor seperti : Telah terjadi krisis moral di Indonesia, Aparat hukum yang berlaku sewenang-wenang, Kurang adanya penegakan hukum yang benar, dan masih banyak sebab-sebab yang lain.
Melihat masih banyaknya kekerasan dan pelanggaran HAM pasca reformasi, secara subjektif kita boleh berpendapat bahwa agenda reformasi tersebut masih jauh dari cita-cita. Bahkan, dalam beberapa aspek, tidak tampak adanya perubahan yang berarti dalam kaitannya dengan penegakkan HAM. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dijabarkan pelaksanaan penegakan HAM yang terjadi sejak masa reformasi
Maka untuk dapat menegakkan HAM di Indonesia perlu :
1. Kesadaran rasa kemanusiaan yang tinggi,
2. Aparat hukum yang bersih, dan tidak sewenang-wenang,
3.  Sanksi yang tegas bagi para pelanggara HAM, dan
4.  Penanaman nilai-ilai keagamaan pada masyarakat.
Penegakan HAM di Indonesia tidak hanya menjadi tanggungjawab pemerintah tetapi juga tanggungjawab semua umat manusia. Hak Asasi Manusia merupakan hak kodrati manusia. Melanggar dan menciderai HAM berarti juga menciderai kasih dan kebaikan Tuhan bagi umat manusia. Pelanggaran HAM sebenarnya tidak saja dilakukan oleh Negara kepada rakyatnya, melainkan juga oleh rakyat kepada rakyat yang disebut dengan pelanggaran HAM secara horizontal.











DAFTAR PUSTAKA


Affandi , Idrus, dkk. 2007. Hak Asasi Manusia. Jakarta : Universitas Terbuka.
Bindar Gultom, 2010, Pelanggaran HAM dalam Hukum Keadaan Darurat di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Majda, El-Muhtaj. 2007. Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia. Jakarta: Kencana
Muljono, Pudji (ed.), 2003, Hak Asasi Manusia (Suatu Tunjauan Teoritis dan aplikasi), Jakarta: Restu Agung.
MuzaffPrasetyohadi, Wisnuwardhani, Savitri. 2008. Penegakan HAM Dalam 10 Tahun Reformasi. Jakarta : Komnas HAM
Saraswati, L. G. dan Rocky Gerung, Hak Asasi Manusia: Teori, Hukum, Kasus, 2006, Jakarta: Filsafat-UI Press.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar