Jumat, 27 Desember 2013

MEMPERTAHANKAN EKSISTENSI ORDE BARU MELALUI SIKAP-SIKAP REPRESIF




2.1 Pengantar: Mengapa Represif Terhadap Mahasiswa dan Islam?
Mengapa orde baru menerapkan tindakan represif terhadap mahasiswa dan islam?
Berbicara mengenai masa orde baru, nyatanya tidak bisa dilepaskan dari sosok Soeharto, dikenal presiden Republik Indonesia kedua. Berbagai pro dan kontra masih menjadi hal yang masih hangat diperbincangkan sampai saat ini mengenai sosok Soeharto dengan orde barunya.
 Sebagian kalangan mungkin akan sepakat jika orde baru merupakan masa dimana kaum-kaum “intelektual” mengalami pengekangan-pengekangan tertentu. pengekangan media (pers), pengekangan terhadap kebebasan berpendapat, pengekangan atau diskriminasi terhadap etnis minoritas, pengekangan kebebasan berkumpul dan berorganisasi untuk mahasiswa, pengekangan terhadap asas partai, dan juga terkenal akan pemutarbalikan sejarah. Mengenai pemutarbalikan sejarah dimana dikatakan Adam (2009) bahwasannya intervensi politik atas bidang sejarah secara sistematis dan meluas dilakukan oleh orde baru. Sejak tahun 1970-an, pengajaran sejarah di sekolah memberi legitimasi kepada penguasa (Soeharto) dan mendiskreditkan presiden sebelumnya.
Membedah peristiwa atau permasalahan pada masa orde baru, kiranya sangat menarik jika dikaitkan dengan mahasiswa dan Islam. Dalam masa-masa apapun, mahasiswa tentu mempunyai pergerakan yang fluktuatif. Begitu pula dengan islam, merupakan salah satu kekuatan besar yang harus diperhitungkan. aktivis atau mantan aktivis mahasiswa pada masa itu mungkin tidak akan lupa dengan masalah NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus)-BKK (Badan Koordinasi Kemahasiswaan). Ormas, partai, atau umat islam mungkin tidak akan lupa dengan peristiwa Tanjung Priok atau pendirian ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia).
SK No.0156/U/1978 menerapkan kebijakan NKK pada perguruan tinggi. Konsep ini mencoba mengarahkan mahasiswa hanya menuju pada jalur kegiatan akademik, dan menjauhkan dari aktivitas politik karena dinilai secara nyata dapat membahayakan posisi rezim. Menyusul pemberlakuan konsep NKK, pemerintah dalam hal ini PangkopkamtibSoedomo melakukan pembekuan atas lembaga Dewan Mahasiswa (DM), sebagai gantinya pemerintah membentuk struktur keorganisasian baru yang disebut BKK. Berdasarkan SK menteri P&K No.037/U/1979 kebijakan ini membahas tentang Bentuk Susunan Lembaga Organisasi Kemahasiswaan di Lingkungan Perguruan Tinggi, dan dimantapkan dengan penjelasan teknis melalui Instruksi Dirjen Pendidikan Tinggi tahun 1978 tentang pokok-pokok pelaksanaan penataan kembali lembaga kemahasiswaan di Perguruan Tinggi (Wikipedia: gerakan mahasiswa di Indonesia).
Dikeluarkannya Tap MPR No. II/MPR/1983 mengharuskan semua organisasi masyarakat dan partai berdasarkan pada asas tunggal pancasila. Semua organisasi islam dan agama lain tidak terkecuali terkenai kewajiban mengubah anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (Suwarno, 2009: 138). Hal ini pula yang menjadi salah satu penyebab terjadinya peristiwa Tanjung Priok pada tahun 1984 (Wikipedia: peristiwa Tanjung Priok).
Dalam suatu negara, setiap pemimpin kiranya bercita-cita menciptakan stabilitas dalam semua bidang. Cara yang ditempuh masing-masing dapat berbeda sesuai dengan kapasitas, situasi-kondisi, atau kebudayaan masyarakatnya. Pada masa orde baru, nyatanya sebagian besar masyarakat Indonesia masih bersifat paternalistik. Ini terbukti dari sebagian besar masyarakat yang mengalami masa orde baru, saat ini merindukan masa-masa yang oleh para kaum intelektual disebut-sebut sebagai masa-masa yang penuh pengekangan tersebut.
Sikap Soeharto pada saat memimpin Indonesia, dapat dikaitkan dengan point-point dari teori politik kekuasaannya Niccolo Machiavelli. Dalam buku The Prince-nya, Ia memberikan nasihat tentang bagaimana mempertahankan sebuah kepangeranan, diantaranya adalah 1. Penguasa bijak hendaknya memiliki hal-hal berikut: a) sebuah kemampuan untuk menjadi baik sekaligus buruk, baik dicintai maupun ditakuti. b) watak-watak seperti ketegasan, kekejaman, kemandirian, disiplin, dan kontrol diri. c) sebuah reputasi menyangkut kemurahan hati, pengampunan, dapat dipercaya, dan tulus. 2. Seorang pangeran harus berani untuk melakukan apa pun yang diperlukan, betapapun tampak tercela karena rakyat pada akhirnya hanya peduli dengan hasilnya, yaitu kebaikan negara (Skinner, 1985 dalam Supardan, 2009: 582-583).
Dalam point pertama, kedua sikap tersebut dipunyai oleh Soeharto. Alam budaya jawa dan dunia militer menjadikannya sebagai seorang yang “ideal” untuk masyarakat yang paternalistik. Dalam point kedua, agaknya nasihat tersebut diserapnya menjadi sebuah prinsip, dan memang hal itu menjadi salah satu prinsip Soeharto dalam memimpin indonesia. Mahpudi, dkk (2012) pernah mengemukakan nasihat atau prinsip Soeharto tersebut kepada Sukardi Rinakit, bahwa  “dalam hidup ini, perbuatan baik dan buruk akan mengikuti sampai ajal. Jika niatnya baik, seorang pemimpin harus berani mengambil keputusan. Mungkin ada akibat kurang baik, tetapi kalau mayoritas rakyat mendapatkan manfaatnya, tindakan itu tak perlu diragukan”.
Intinya jawaban daripada persoalan tindakan represif tersebut adalah menjaga stabilitas dari suatu negara. Apakah jawaban lain seperti gila kekuasaan, psikopat, atau faktor lainnya, kami tidak bisa mengemukakan hal tersebut. Karena hal ini dapat berupa ranah psikologis atau berkaitan dengan budaya jawa kuno yang sangat banyak dan detail, sebagaimana Soeharto adalah seorang yang kental akan petatah-petitih kebudayaan jawa.

2.2    Proses Represif Orde Baru Terhadap Islam
Pergerakan dan partai politik Islam adalah salah satu perkembangan partai politik yang berpengaruh dan signifikan, tetapi pada akhirnya harus berangsur memburuk pada masa Orde Lama yaitu dengan dibubarkannya Partai Masyumi. Pergerakan Islam bisa dikatakan signifikan karena semakin tahun perkembangannya semkain terlihat, sebagian dari kalangan Islam ada yang terjun dalam bidang politik dan pemerintahan, sampai pada akhirnya menemukan kendala pada masa Orde Lama. Awalnya memang tidak menutup kemungkinan untuk umat Islam terjun dalam pemerintahan dan perpolitikan Indonesia, juga termasuk partai politik terbesar pada waktu itu. Tetapi pada akhirnya Partai Masyumi yang termasuk partai yang mempunyai massa yang besar dibubarkan oleh Presiden Soekarno.
 Berakhirnya Orde Lama tentunya membawa angin segar dan juga harapan yang besar bahwa pergerakan dan politik Islam akan tumbuh di masa Orde Baru.  Orde baru dalah sebuah pemerintahan yang telah meruntuhkan masa Orde Lama  yang memiliki sifat pemerintahan yang paternalistik juga otoriter, termasuk dalam hal ruang politik. Harapan hanya tingal harapan, karena pada kenyataannya Orde Baru justru semakin menekan adanya perkembangan politik Islam dengan berbagai alasan, apalagi pada waktu itu partai politik Islam dikatakan sebagai ‘ekstrem kanan’ yang sangat membahayakan selain PKI. Disebut ekstrem kanan karena mereka dianggap radikal dan membahayakan stabilitas kemanan negara, sedangkan untuk golongan Islam yang dianggap moderat masih diberi kelonggaran dalam melakukan aktivitas politik. Orde baru ini adalah sebuah pemerintahan yang menginginkan satu ideologi yang kuat, yaitu Pancasila yang diharapkan dapat dilaksanakan secara baik dan konsekuen. Atas alasan itu, maka pergerakan Islam ini dikategorikan sebagai hal yang menyimpang dari ideologi. Sehingga pemerintahan Orde Baru ini mengarahkan penataan dan perbaikan negara pada arah ideologi dan kepartaian. Dalam mewujudkan hal itu, maka dikeluarkanlah kebijakan, yaitu :
1.      Aliansi militer teknokrat, yang mempunyai fungsi security/political orde lebih pada pendekatan kemanan, sedangkan teknokrat lebih pada pembangunan ekonomi yang merujuk pada kesejahteraan.
2.      Pemerintah membentuk dan membesarkan Golkar sebagai alat rivalitas yang diangap sesuai dengan ideologinya dan marjinalitas politik (online : http://sangpenyihirkata.wordpress.com/2011/01/01/asas-tunggal-pancasila-representasi-paranoia-rezim-orde-baru-terhadap-pergerakan-islam-1970-1990/)
Pemerintahan Orde Baru yang memang berkeinginan untuk meningkatkan pembangunan ekonomi, kesejahteraan, dan stabilitas plotik pada akhirnya sangat menekan dan juga menindas bagi hal-hal yang tidak sesuai dengan ideologinya yaitu Pancasila. Salah satu yang dilakukannya adalah dengan menekan perkembangan gerakan dan partai politik Islam, terlebih yang mereka anggap radikal. Orde baru beranggapan bahwa Islam harus dihormati sebagai agama pribadi tetapi tidak akan memberinya peluang untuk menjadi sebuah kekuatan politik. Islam dianggap sebagai penghambat modernisasi juga sangat membahayakan kekuatan pemerintah melalui ideologinya, sehingga pemerintah mengambil tindakan represif untuk menindas dan juga menekan pergerakan Islam pada saat itu. Pemikiran Orde baru ini hampir sama dengan pemikiran Snouck Hugronje pada masa penjajahan Belanda yang menganggap bahwa kekuatan Islam yang sangat kuat harus dipukul sampai ke akarnya, karena pada dasarnya Islam itu bukan hanya soal agama tetapi juga doktrin yang bisa menyebar. Snouck Hugronje juga beranggapan bahwa Isllam itu penting, begitu juga dengan orde baru yang mengormati Islam sebagai praktik agama pribadi tetapi tidak tidak memebrinya luang untuk menjadi kekuatan politik (Ricklef, 2008:588)  Selain itu, Orde Baru menganggap bahwa kekacauan politik yang terjadi pada masa Orde Lama adalah akibat adanya berbagai macam ideologi yang hadir dalam ruang politik Indonesia, dan pemerintah Orde Baru tidak menginginkan hal itu terjadi.
Ideologi pada Masa Orde Baru adalah Pancasila, sehingga siapapun orang yang memunculkan ideology baru akan ditekan dan ditindas, seakan semua yang dilakukan oleh pemerintah itu demi melanggengkan kedudukakannya. Pada masa itu pun dikeluarkan UU No. 3 tahun 1985, Orde Baru kembali mengeluarkan kebijakan mengenai Pancasila sebagai asas tunggal untuk organisasi-organisasi kemasyarakatan melalui UU No. 8 tahun 1985. Organisasi masyarakat diberi waktu dua tahun untuk menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Banyak Ormas yang melakukan penolakan, sehingga banyak hal yang dilakukan oleh pemerintah untuk menekan Islam termasuk tindakan represif (Online : http://sangpenyihirkata.wordpress.com/2011/01/01/asas-tunggal-pancasila-representasi-paranoia-rezim-orde-baru-terhadap-pergerakan-islam-1970-1990/).  Seakan-akan setiap ormas atau pun partai politik harus berpindah haluan mengikuti ideologi Pancasila, tidak boleh menganut ideologi yang lain. Begitu pun dengan ormas atau partai politik Islam yang kemudian ditekan karena dianggap radikal dan membayakan, sementara yang dianggap moderat dirangkul dan dijadikan alat intervensi pemerintah.
Berbagai cara yang dilakukan pemerintah agar Ideologi Pancasila yang dijadikan ideologi negara itu tidak dicampuradukkan dengan ideology yang dianut oleh masyarakat karena dapat menghancurkan stabilitas bangsa pada waktu itu. Tidakan refresif adalah salah satu dari tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru untuk menjinakkan partai Islam, banyak sekali ormas yang diadili, dihakimi, bahkan ditindak, dan hal itu dilakukan semi menegakkan ideology pancasila yang harus ditegakkan dan dilaksanakan secara utuh.
Pemerintah Orde Baru pada saat itu menggunakan politik bulldozer yang tidak lain menindas dan menghancurkan, sehingga bisa dipastikan partai politik yang nantinya mengikuti Pemilu adalah partai politik yang beraliran sama dan tidak menggoyahkan kekuasaan. Sehingga bisa dipastikan hanya ada beberapa partai politik yang dibiarkan menonjol dan yang lainnya dipukul rata hingga ke akarnya karena dianggap tidak sesuai dan memang dimusnahkan demi stabilitas bangsa Indonesian pada saat itu. Tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah Orde Baru ini terhadap Islam, sebagai salah satu ideologi yang dianggap menyimpang sangatlah represif, bukan sekedar larangan atau pun undang-undang tetapi tindakan represif pun muncul mulai dari penindasan hingga penculikan yang dilakukan kepada para pendukung Islam.
Banyak sekali peraturan atau ketetapan yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk meyakinkan bahwa ideologi yang satu-satunya harus ditaati adalah Pancasila, dan partai politik yang harus dipilih oleh rakyat adalah Golkar, bahkan pada saat itu setiap pegawai negeri sipil diharuskan untuk memilih Golkar. Dengan kenyataan seperti ini, dengan tekanan dari pemerintah, maka banyak pegawai negeri yang tadinya memilih partai politik Islam menjadi pindah haluan untuk lebih memilih Golkar dan taat pada pemerintah, sehingga bisa dipastikan presentase kedudukan partai Islam pada saat itu sangatlah kecil. Peraturan yang dibuat oleh Pemerintah Orde Baru yaitu :
1.      Berdasarkan SU MPR 1978 mengenai Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4) dan UU No. 3 tahun 1985 tentang partai politik dan Golongan Karya yang menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
2.      UU No. 3 tahun 1985, Orde Baru kembali mengeluarkan kebijakan mengenai Pancasila sebagai asas tunggal untuk organisasi-organisasi kemasyarakatan melalui UU No. 8 tahun 1985. Organisasi masyarakat diberi waktu dua tahun untuk menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas (online : http://sangpenyihirkata.wordpress.com/2011/01/01/asas-tunggal-pancasila-representasi-paranoia-rezim-orde-baru-terhadap-pergerakan-islam-1970-1990/ )
Dari banyaknya aturan yang dibuat diatas, maka bisa disimpulkan bahwa pemerintah Orde Baru pada saat itu memamg sangat berpegang teguh pada ideologi Pancasila, dan menjadikan Golongan Karya sebagai partai politiknya. Begitu pula dengan organisasi masyarakat yang diharuskan untuk berganti asas dengan asas Pancasila yang merupakan asas tunggal, dan jika tidak berganti azas sudah bisa dipastikan partai tersebut akan ditindas dan akan menjadi mati. Dan kala itu partai Isam memang dianggap sebagai penghalang dan penghambat karena pendukungnya yang sangat banyak. Rezim Orde Baru ini sendiri sangat dekat dan merangkul partai Islam yang moderat, hal ini dilakukan agar adanya hubungan yang baik, sehingga nantinya partai Islam tersebut lebih memihak kepada pemerintah dan tidak bertindak macam-macam. Dalam hal ini, bisa dikatakan bahwa meskipun Islam dibiarkan berkembang, tetapi tetap dimotori dan dibuat untuk kepentingan penguasa, sehingga memuluskan jalan bukan menghambat jalan seperti apa yang dilakukan oleh partai ataupun gerakan Islam yang radikal.
            Proses represif yang dilakukan oleh pemerintah ini bukan hanya wacana atau isapan jempol belaka, tetapi memang ada bukti yang menunjukkan bahwa pemerintah sangat menekan dan menindas Islam pada saat itu sebagai hal yang sangat berbahaya. Banyak tragedi dan peristiwa yang terjadi sebagai saksi represifnya rezim Orde Baru pada saat itu, peristiwa yang sangat terkenal salah satunya adalah peristiwa Tanjung Priok yang terjadi di Jakarta dan peristiwa Talangsari yang terjadi di Lampung yang dikategorikan sebagai peristiwa pelanggaran HAM.

2.2.1.      Peristiwa Tanjung Priok
Peristiwa Tanjung Priok ini merupakan salah satu peristiwa yang menjadi bukti, tindakan pemerintah orde baru sangatlah refresif terhadap Islam bahan sampai memakan korban, dan tak jarang ada yang menyebutnya sebagai pelanggaran HAM.  Dalam berbagai sumber dikatakan bahwa yang menyulut masalah hingga terjadi peristiwa ini adaah para petugas dari militer yang mencoba untuk membuat suasana menjadi tidak tenang, yaitu dengan menyiram pengumuman yang ada di mushola dengan air comberan bahkan ada sumber yang mengatakan bahwa mereka pun menginjak AL-Qur’an (http://27victory.wordpress.com/2010/04/15/kronologi-tragedi-tanjung-priok-berdarah-1984-oleh-saksi-mata-ust-abdul-qadir-djaelani/). Tentunya siapa yang tidak akan marah melihat perlakuan seperti itu, terlebih mesjid yang didatangi oleh petugas militer itu adalah mesjid yang mengumandangkan slogan-slogan anti pemerintah dan anti cukong, dan menolak Pancasila sebagai asas tunggal (Ricklef, 2008:652) . Jadi, bisa dikatakan kejadian tadi merupakan, penyulut atau kasus beli dari persoalan yang telah ada sebelumnya, sehingga memacu amarah massa. Terlebih ada oknum yang memanfaatkan peristiwa ini sehingga menjadi sebuah bentrokan antara militer dengan massa, yang pada akhirnya memakan massa yang begitu besar.
Peristiwa ini bukanlah peristiwa biasa yang menghadirkan bentrokan antara militer dengan massa, tetapi bentrokan yang terjadi juga bukan hanya sebatas bentroka kecil tetapi bentrokan yang dihujani senjata dan juga korban. Tindakan militer disini memang bisa dianggap berlebihan karena, banyak massa yang ditemabki dan juga dilindas dengan truk maka tak heran juga jika banyak massa yang tewas. Hal ini lah yang kemudian yang dinilai sebagai tindakan refresif orde baru terhadap Islam.

2.2.2.      Peristiwa Talangsari, Lampung
Peristiwa yang terjadi di Talangsari, Lampung ini tentunya tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di Tanjung Priok hanya saja mungkin perbedaannya terletak pada persoalan yang mengakibatkan peristiwa ini terjadi. Peristiwa Talangsari lampung ini bisa dikatakan sebagai salah satu peristiwa yang menewaskan massa yang luamayan banyak, bahkan tak jarang orange yang berkata bahwa peristiwa ini sebagai gambaran dari pelanggaran HAM yang terjadi pada masa Orde Baru.
Peristiwa Talangsari ini terjadi disebabkan oleh kecurigaan pemerintah akan adanya aliran keagamaan seperti halnya Negara Islam, kecurigaan inilah yang kemudian menyulut persoalan dan juga bentrokan. Peristiwa ini terjadi di lingkungan pesantren yang memang menjadi target dari kecurigaan pemerintah, banyak yang menjadi korban dalam bentrokan antara massa dengan militer ini mulai bapak-bapak, ibu-ibu bahkan anak-anak yang mungkin tidak tau apa apa tentang persoalan apapun. Tindakan yang dilakukan militer dalam peristiwa ini bisa dikatakan lebih kejam, karena banyak penganiayaan yang dilakukan serta pembunuhan yang sangat kejam yaitu dengan cara menggorok korban. Hal inilah yang kemudian menjadi luka yang amat dalam yang terjadi di Talangsari Lampung, bahkan sampai saat ini Kasus dari peristiwa ini masih belum disslesaikan, padahal banyak pihak yang beranaggapan bahwa ini merupakan salah satu pelanggaran HAM.
Dalam peristiwa-peristiwa diatas bisa diliat, seberapa curiga dan kejamnya rezim Orde Baru pada waktu itu terhadap Islam, sehingga kegiatan atau hal apapun yang dilakukan oleh umat Islam yang menimbulkan kecurigaan menjadi sasaran empuk aparatur negara. Yang dilancarkan oleh pemerintah bukan hanya teguran atau peringatan, bahwa sampai batas penindasan dan pembantaian, padahal hal ini seharusnya tidak terjadi. Peristiwa yang terjadi diatas, bahkan ada yang menggolongkan bahwa peristiwa itu telah melanggar HAM karena telah berlebihan, dan merampas hak hidup orang banyak, yang belum tentu melakukan kesalahan. Pada waktu itu pemerintah tidak memandang dan tidak mengusut kasus yang terjadi dengan benar atau tidaknya, tetapi langsung melancarkan aksi represifnya untuk menanggulangi kasus tersebut, tanpa memikirkan konsekuensi yang akan terjadi selanjutnya.

2.3  Pemberlakuan NKK/BKK: Pembungkaman Kritik Mahasiswa
Langkah represif orba terhadap mahasiswa diawali dengan keputusan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Daoed Joesoef yakni SK Mendikbud Nomor 1/U/1978 dan Nomor 037/U/1979 tentang Pembubaran Dewan Mahasiswa dan pembatasan aktivitas mahasiswa di bidang politik. Keputusan ini dijadikan landasan oleh Pangkopkamtib, Soedomo yang melarang aktivitas politik mahasiswa serta memerintahkan aparat untuk menangkap beberapa aktivis mahasiswa yang aktif baik di Dewan Mahasiswa, fakultas, maupun jurusan, sehingga saat itu semua aktivitas Dewan Mahasiswa terhenti. Mendikbud juga mengeluarkan SK Nomor 0159/V/1978 atau yang lebih dikenal dengan nama Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Dengan dilarangnya aktivitas politik mahasiswa, maka berakhir pula Dewan Mahasiswa di seluruh Perguruan Tinggi di Indonesia.
Untuk mencegah timbulnya kembali gejolak di kalangan mahasiswa, pemerintah berusaha mengontrol kegiatan organisasi mahasiswa di kampus dengan kembali mengeluarkan keputusan melalui SK Mendikbud Nomor 037/U1979 tertanggal 24 Februari 1979 yang mengatur bentuk susunan lembaga dan organisasi mahasiswa di lingkungan kampus. Dengan dikeluarkannya keputusan tersebut maka di setiap perguruan tinggi terdapat sebuah badan non-struktural yang berfungsi membantu merencanakan kegiatan mahasiswa. Badan tersebut dikenal sebagai Badan Koordinasi Kampus (BKK). BKK ini dapat dikatakan sebagai birokrasi kampus yang menjadi kaki tangan pemerintah untuk mengontrol kegiatan mahasiswa , sebab para rektor universitas diharuskan untuk bertanggung jawab atas kegiatan-kegiatan mahasiswa mereka, serta menarik universitas-universitas untuk semakin ketat berada di bawah pengawasan negara. Berlakunya NKK/BKK ini secara otomatis membatasi gerak mahasiswa. Dewan Mahasiswa, organisasi intra kampus yang berkembang di semua kampus sebagai simbol institusi perlawanan mahasiswa saat itu, kini telah dibubarkan. Pemberlakuan NKK/BKK ini sebenarnya mendapat reaksi keras dari mahasiswa. Beberapa mahasiswa pernah mencoba untuk menggalang kekuatan yang tersisa untuk kembali melawan pemerintah dengan mendirikan kembali Dewan Mahasiswa, namun upaya itu selalu gagal karena mereka harus melawan kekuatan militer yang menjadi alat pemerintah dalam menjaga ketertiban.  Dengan begitu mahasiswa benar-benar sudah tak berdaya lagi, tidak ada yang berani menunjukkan sikap antipati terhadap pemerintah, karena resiko yang harus ditanggung adalah penangkapan oleh pihak militer. Mau tak mau, suka tidak suka para mahasiswa pun harus rela dengan keputusan pemerintah membubarkan Dewan Mahasiswa.
NKK/BKK atau Normalisasi Kehidupan Kampus / Badan Koordinasi Kampus  sendiri adalah suatu kebijakan pemerintah Orde Baru untuk mengubah format organisasi kemahasiswaan dengan melarang mahasiswa terjun ke dalam politik praktis. Tak hanya itu, kebijakan ini pada kenyataannya juga mengancam keberhasilan pendidikan yang demokratis akibat adanya pengekangan kebebasan berpendapat bagi mahasiswa. Kebijakan NKK/BKK ini benar-benar menjadi momok yang menakutkan bagi aktivis gerakan mahasiswa, sebab kebijakan keras presiden Soeharto melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef tersebut mendapat pengawasan yang ketat dari pihak militer, sehingga mahasiswa tak lagi dapat melancarkan aksi-aksi untuk mengkritisi jalannya pemerintahan saat itu.
NKK/BKK sebenarnya bukan merupakan sebuah kebijakan yang lahir begitu saja, melainkan akibat dari rentetan protes dan kritik para mahasiswa yang dinilai terlalu keras. Rentetan protes mahasiswa itu antara lain adalah sebagai berikut:
a)        Munculnya golongan putih (golput) di Pemilu 1971
Di sekitar Pemilu 1971, mulai muncul berbagai pernyataan ketidakpercayaan terhadap sembilan partai politik dan Golongan Karya sebagai pembawa aspirasi rakyat. Sebagai bentuk protes akibat kekecewaan, mahasiswa kemudian mempelopori munculnya Deklarasi Golongan Putih (Golput) pada tanggal 28 Mei 1971 yang dimotori oleh Arif Budiman, Adnan Buyung Nasution, Asmara Nababan.
b)        Protes menentang pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII)
Mahasiswa memprotes pembangunan TMII tahun 1972, karena proyek pembangunan tersebut menurut mahasiswa terlalu memboroskan anggaran negara karena dinilai tidak mendesak dalam pembangunan, selain itu juga menggusur banyak rakyat kecil yang tinggal di lokasi tersebut.
c)        Lahirnya Gerakan Mahasiswa Menggugat
Diawali dengan reaksi terhadap kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), aksi protes lainnya yang paling mengemuka disuarakan mahasiswa adalah tuntutan pemberantasan korupsi. Kemudian lahirlah gerakan "Mahasiswa Menggugat" yang dimotori Arif Budiman yang program utamanya adalah aksi protes terhadap korupsi dan kenaikan harga BBM.
d)       Pembentukan Komite Anti Korupsi (KAK)
Tahun 1970 mahasiswa mengambil inisiatif dengan membentuk Komite Anti Korupsi (KAK) yang diketuai oleh Wilopo. Terbentuknya KAK ini dapat dilihat merupakan reaksi kekecewaan mahasiswa terhadap tim-tim khusus yang disponsori pemerintah, mulai dari Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), Task Force UI, sampai Komisi Empat.


e)        Meletusnya Peristiwa 15 Januari 1974 (Malari)
Pada tanggal 15 Januari 1974, terjadi demonstrasi besar di Jakarta yang dilancarkan oleh para mahasiswa. Peristiwa ini merupakan aksi memprotes kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka ke Indonesia. Selain itu menurut Sanit (Widjojo & Noorsalim, 2004), aksi ini juga merupakan kritik terhadap sejumlah lembaga-lembaga negara yang dikonotasikan sebagai kaki tangan modal kotor asing yang dikhawatirkan melenyapkan kebanggaan nasional, menjual Indonesia, dan sebagainya. Lembaga-lembaga negara yang dimaksud adalah ASPRI (Asisten Presiden Republik Indonesia), Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional), BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal), dan Kedubes Jepang. Dalam aksinya, mahasiswa kemudian mengajukan tuntutan “Tritura Baru” yang isinya: (1) Bubarkan Asisten Pribadi Presiden, (2) Turunkan Harga, dan (3) Ganyang Korupsi. Bagi Soeharto, peristiwa Malari ini tentu saja membuat dirinya sangat malu di hadapan PM Jepang yang tengah berkunjung. Malu yang tak tertahankan menyebabkan ia untuk selanjutnya amat waspada terhadap semua / golongan serta melakukan sanksi tak berampun terhadap pihak yang bisa mengusik pemerintah.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar