2.1
Pengantar: Mengapa Represif Terhadap Mahasiswa dan Islam?
Mengapa orde baru
menerapkan tindakan represif terhadap mahasiswa dan islam?
Berbicara mengenai masa
orde baru, nyatanya tidak bisa dilepaskan dari sosok Soeharto, dikenal presiden
Republik Indonesia kedua. Berbagai pro dan kontra masih menjadi hal yang masih
hangat diperbincangkan sampai saat ini mengenai sosok Soeharto dengan orde
barunya.
Sebagian kalangan mungkin akan sepakat jika
orde baru merupakan masa dimana kaum-kaum “intelektual” mengalami
pengekangan-pengekangan tertentu. pengekangan media (pers), pengekangan
terhadap kebebasan berpendapat, pengekangan atau diskriminasi terhadap etnis
minoritas, pengekangan kebebasan berkumpul dan berorganisasi untuk mahasiswa, pengekangan
terhadap asas partai, dan juga terkenal akan pemutarbalikan sejarah. Mengenai
pemutarbalikan sejarah dimana dikatakan Adam (2009) bahwasannya intervensi
politik atas bidang sejarah secara sistematis dan meluas dilakukan oleh orde
baru. Sejak tahun 1970-an, pengajaran sejarah di sekolah memberi legitimasi
kepada penguasa (Soeharto) dan mendiskreditkan presiden sebelumnya.
Membedah peristiwa atau
permasalahan pada masa orde baru, kiranya sangat menarik jika dikaitkan dengan
mahasiswa dan Islam. Dalam masa-masa apapun, mahasiswa tentu mempunyai
pergerakan yang fluktuatif. Begitu pula dengan islam, merupakan salah satu
kekuatan besar yang harus diperhitungkan. aktivis atau mantan aktivis mahasiswa
pada masa itu mungkin tidak akan lupa dengan masalah NKK (Normalisasi Kehidupan
Kampus)-BKK (Badan Koordinasi Kemahasiswaan). Ormas, partai, atau umat islam
mungkin tidak akan lupa dengan peristiwa Tanjung Priok atau pendirian ICMI
(Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia).
SK No.0156/U/1978 menerapkan kebijakan NKK pada perguruan tinggi. Konsep ini mencoba mengarahkan mahasiswa hanya menuju pada
jalur kegiatan akademik, dan menjauhkan dari aktivitas politik karena dinilai
secara nyata dapat membahayakan posisi rezim. Menyusul pemberlakuan konsep NKK,
pemerintah dalam hal ini PangkopkamtibSoedomo melakukan pembekuan atas lembaga Dewan Mahasiswa (DM), sebagai gantinya pemerintah membentuk struktur
keorganisasian baru yang disebut BKK. Berdasarkan SK menteri P&K No.037/U/1979
kebijakan ini membahas tentang Bentuk Susunan Lembaga
Organisasi Kemahasiswaan di Lingkungan Perguruan Tinggi, dan dimantapkan dengan
penjelasan teknis melalui Instruksi Dirjen Pendidikan Tinggi tahun 1978 tentang
pokok-pokok pelaksanaan penataan kembali lembaga kemahasiswaan di Perguruan
Tinggi (Wikipedia:
gerakan mahasiswa di Indonesia).
Dikeluarkannya
Tap MPR No. II/MPR/1983 mengharuskan semua organisasi masyarakat dan partai
berdasarkan pada asas tunggal pancasila. Semua organisasi islam dan agama lain
tidak terkecuali terkenai kewajiban mengubah anggaran dasar dan anggaran rumah
tangga (Suwarno, 2009: 138). Hal ini pula yang menjadi salah satu penyebab
terjadinya peristiwa Tanjung Priok pada tahun 1984 (Wikipedia: peristiwa Tanjung
Priok).
Dalam suatu
negara, setiap pemimpin kiranya bercita-cita menciptakan stabilitas dalam semua
bidang. Cara yang ditempuh masing-masing dapat berbeda sesuai dengan kapasitas,
situasi-kondisi, atau kebudayaan masyarakatnya. Pada masa orde baru, nyatanya
sebagian besar masyarakat Indonesia masih bersifat paternalistik. Ini terbukti
dari sebagian besar masyarakat yang mengalami masa orde baru, saat ini merindukan
masa-masa yang oleh para kaum intelektual disebut-sebut sebagai masa-masa yang
penuh pengekangan tersebut.
Sikap Soeharto
pada saat memimpin Indonesia, dapat dikaitkan dengan point-point dari teori
politik kekuasaannya Niccolo Machiavelli. Dalam buku The Prince-nya, Ia memberikan nasihat tentang bagaimana
mempertahankan sebuah kepangeranan, diantaranya adalah 1. Penguasa bijak
hendaknya memiliki hal-hal berikut: a) sebuah kemampuan untuk menjadi baik
sekaligus buruk, baik dicintai maupun ditakuti. b) watak-watak seperti
ketegasan, kekejaman, kemandirian, disiplin, dan kontrol diri. c) sebuah
reputasi menyangkut kemurahan hati, pengampunan, dapat dipercaya, dan tulus. 2.
Seorang pangeran harus berani untuk melakukan apa pun yang diperlukan,
betapapun tampak tercela karena rakyat pada akhirnya hanya peduli dengan
hasilnya, yaitu kebaikan negara (Skinner, 1985 dalam Supardan, 2009: 582-583).
Dalam point
pertama, kedua sikap tersebut dipunyai oleh Soeharto. Alam budaya jawa dan
dunia militer menjadikannya sebagai seorang yang “ideal” untuk masyarakat yang
paternalistik. Dalam point kedua, agaknya nasihat tersebut diserapnya menjadi
sebuah prinsip, dan memang hal itu menjadi salah satu prinsip Soeharto dalam
memimpin indonesia. Mahpudi, dkk (2012) pernah mengemukakan nasihat atau
prinsip Soeharto tersebut kepada Sukardi Rinakit, bahwa “dalam hidup ini, perbuatan baik dan buruk
akan mengikuti sampai ajal. Jika niatnya baik, seorang pemimpin harus berani
mengambil keputusan. Mungkin ada akibat kurang baik, tetapi kalau mayoritas
rakyat mendapatkan manfaatnya, tindakan itu tak perlu diragukan”.
Intinya
jawaban daripada persoalan tindakan represif tersebut adalah menjaga stabilitas
dari suatu negara. Apakah jawaban lain seperti gila kekuasaan, psikopat, atau
faktor lainnya, kami tidak bisa mengemukakan hal tersebut. Karena hal ini dapat
berupa ranah psikologis atau berkaitan dengan budaya jawa kuno yang sangat banyak
dan detail, sebagaimana Soeharto adalah seorang yang kental akan
petatah-petitih kebudayaan jawa.
2.2 Proses
Represif Orde Baru Terhadap Islam
Pergerakan dan partai
politik Islam adalah salah satu perkembangan partai politik yang berpengaruh
dan signifikan, tetapi pada akhirnya harus berangsur memburuk pada masa Orde
Lama yaitu dengan dibubarkannya Partai Masyumi. Pergerakan Islam bisa dikatakan
signifikan karena semakin tahun perkembangannya semkain terlihat, sebagian dari
kalangan Islam ada yang terjun dalam bidang politik dan pemerintahan, sampai
pada akhirnya menemukan kendala pada masa Orde Lama. Awalnya memang tidak
menutup kemungkinan untuk umat Islam terjun dalam pemerintahan dan perpolitikan
Indonesia, juga termasuk partai politik terbesar pada waktu itu. Tetapi pada
akhirnya Partai Masyumi yang termasuk partai yang mempunyai massa yang besar
dibubarkan oleh Presiden Soekarno.
Berakhirnya Orde Lama tentunya membawa angin
segar dan juga harapan yang besar bahwa pergerakan dan politik Islam akan
tumbuh di masa Orde Baru. Orde baru
dalah sebuah pemerintahan yang telah meruntuhkan masa Orde Lama yang memiliki sifat pemerintahan yang
paternalistik juga otoriter, termasuk dalam hal ruang politik. Harapan hanya
tingal harapan, karena pada kenyataannya Orde Baru justru semakin menekan
adanya perkembangan politik Islam dengan berbagai alasan, apalagi pada waktu
itu partai politik Islam dikatakan sebagai ‘ekstrem kanan’ yang sangat
membahayakan selain PKI. Disebut ekstrem kanan karena mereka dianggap radikal
dan membahayakan stabilitas kemanan negara, sedangkan untuk golongan Islam yang
dianggap moderat masih diberi kelonggaran dalam melakukan aktivitas politik.
Orde baru ini adalah sebuah pemerintahan yang menginginkan satu ideologi yang
kuat, yaitu Pancasila yang diharapkan dapat dilaksanakan secara baik dan
konsekuen. Atas alasan itu, maka pergerakan Islam ini dikategorikan sebagai hal
yang menyimpang dari ideologi. Sehingga pemerintahan Orde Baru ini mengarahkan
penataan dan perbaikan negara pada arah ideologi dan kepartaian. Dalam
mewujudkan hal itu, maka dikeluarkanlah kebijakan, yaitu :
1.
Aliansi militer teknokrat, yang
mempunyai fungsi security/political orde lebih pada pendekatan kemanan,
sedangkan teknokrat lebih pada pembangunan ekonomi yang merujuk pada
kesejahteraan.
2.
Pemerintah membentuk dan membesarkan
Golkar sebagai alat rivalitas yang diangap sesuai dengan ideologinya dan marjinalitas
politik (online : http://sangpenyihirkata.wordpress.com/2011/01/01/asas-tunggal-pancasila-representasi-paranoia-rezim-orde-baru-terhadap-pergerakan-islam-1970-1990/)
Pemerintahan Orde Baru
yang memang berkeinginan untuk meningkatkan pembangunan ekonomi, kesejahteraan,
dan stabilitas plotik pada akhirnya sangat menekan dan juga menindas bagi
hal-hal yang tidak sesuai dengan ideologinya yaitu Pancasila. Salah satu yang
dilakukannya adalah dengan menekan perkembangan gerakan dan partai politik
Islam, terlebih yang mereka anggap radikal. Orde baru beranggapan bahwa Islam harus dihormati sebagai
agama pribadi tetapi tidak akan memberinya peluang untuk menjadi sebuah
kekuatan politik. Islam dianggap sebagai penghambat modernisasi juga sangat
membahayakan kekuatan pemerintah melalui ideologinya, sehingga pemerintah
mengambil tindakan represif untuk menindas dan juga menekan pergerakan Islam
pada saat itu. Pemikiran Orde baru ini hampir sama dengan pemikiran
Snouck Hugronje pada masa penjajahan Belanda yang menganggap bahwa kekuatan
Islam yang sangat kuat harus dipukul sampai ke akarnya, karena pada dasarnya
Islam itu bukan hanya soal agama tetapi juga doktrin yang bisa menyebar. Snouck
Hugronje juga beranggapan bahwa Isllam itu penting, begitu juga dengan orde
baru yang mengormati Islam sebagai praktik agama pribadi tetapi tidak tidak
memebrinya luang untuk menjadi kekuatan politik (Ricklef, 2008:588) Selain itu, Orde Baru menganggap bahwa
kekacauan politik yang terjadi pada masa Orde Lama adalah akibat adanya
berbagai macam ideologi yang hadir dalam ruang politik Indonesia, dan
pemerintah Orde Baru tidak menginginkan hal itu terjadi.
Ideologi pada Masa Orde Baru adalah Pancasila,
sehingga siapapun orang yang memunculkan ideology baru akan ditekan dan
ditindas, seakan semua yang dilakukan oleh pemerintah itu demi melanggengkan
kedudukakannya. Pada masa itu pun dikeluarkan UU No. 3 tahun 1985, Orde Baru
kembali mengeluarkan kebijakan mengenai Pancasila sebagai asas tunggal untuk
organisasi-organisasi kemasyarakatan melalui UU No. 8 tahun 1985. Organisasi
masyarakat diberi waktu dua tahun untuk menjadikan Pancasila sebagai
satu-satunya asas. Banyak Ormas yang melakukan penolakan, sehingga banyak hal
yang dilakukan oleh pemerintah untuk menekan Islam termasuk tindakan represif
(Online : http://sangpenyihirkata.wordpress.com/2011/01/01/asas-tunggal-pancasila-representasi-paranoia-rezim-orde-baru-terhadap-pergerakan-islam-1970-1990/). Seakan-akan setiap ormas atau pun partai
politik harus berpindah haluan mengikuti ideologi Pancasila, tidak boleh
menganut ideologi yang lain. Begitu pun dengan ormas atau partai politik Islam
yang kemudian ditekan karena dianggap radikal dan membayakan, sementara yang
dianggap moderat dirangkul dan dijadikan alat intervensi pemerintah.
Berbagai cara yang
dilakukan pemerintah agar Ideologi Pancasila yang dijadikan ideologi negara itu
tidak dicampuradukkan dengan ideology yang dianut oleh masyarakat karena dapat
menghancurkan stabilitas bangsa pada waktu itu. Tidakan refresif adalah salah
satu dari tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru untuk menjinakkan
partai Islam, banyak sekali ormas yang diadili, dihakimi, bahkan ditindak, dan
hal itu dilakukan semi menegakkan ideology pancasila yang harus ditegakkan dan
dilaksanakan secara utuh.
Pemerintah Orde Baru
pada saat itu menggunakan politik bulldozer yang tidak lain menindas dan
menghancurkan, sehingga bisa dipastikan partai politik yang nantinya mengikuti
Pemilu adalah partai politik yang beraliran sama dan tidak menggoyahkan
kekuasaan. Sehingga bisa dipastikan hanya ada beberapa partai politik yang
dibiarkan menonjol dan yang lainnya dipukul rata hingga ke akarnya karena
dianggap tidak sesuai dan memang dimusnahkan demi stabilitas bangsa Indonesian
pada saat itu. Tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah Orde Baru ini terhadap
Islam, sebagai salah satu ideologi yang dianggap menyimpang sangatlah represif,
bukan sekedar larangan atau pun undang-undang tetapi tindakan represif pun
muncul mulai dari penindasan hingga penculikan yang dilakukan kepada para
pendukung Islam.
Banyak sekali peraturan
atau ketetapan yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk meyakinkan bahwa ideologi
yang satu-satunya harus ditaati adalah Pancasila, dan partai politik yang harus
dipilih oleh rakyat adalah Golkar, bahkan pada saat itu setiap pegawai negeri
sipil diharuskan untuk memilih Golkar. Dengan kenyataan seperti ini, dengan
tekanan dari pemerintah, maka banyak pegawai negeri yang tadinya memilih partai
politik Islam menjadi pindah haluan untuk lebih memilih Golkar dan taat pada
pemerintah, sehingga bisa dipastikan presentase kedudukan partai Islam pada
saat itu sangatlah kecil. Peraturan yang dibuat oleh Pemerintah Orde Baru yaitu
:
1.
Berdasarkan SU MPR 1978 mengenai Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4) dan UU No. 3 tahun 1985 tentang
partai politik dan Golongan Karya yang menjadikan Pancasila sebagai
satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
2.
UU No. 3 tahun 1985, Orde Baru kembali
mengeluarkan kebijakan mengenai Pancasila sebagai asas tunggal untuk
organisasi-organisasi kemasyarakatan melalui UU No. 8 tahun 1985. Organisasi
masyarakat diberi waktu dua tahun untuk menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya
asas (online : http://sangpenyihirkata.wordpress.com/2011/01/01/asas-tunggal-pancasila-representasi-paranoia-rezim-orde-baru-terhadap-pergerakan-islam-1970-1990/
)
Dari banyaknya aturan yang dibuat
diatas, maka bisa disimpulkan bahwa pemerintah Orde Baru pada saat itu memamg
sangat berpegang teguh pada ideologi Pancasila, dan menjadikan Golongan Karya
sebagai partai politiknya. Begitu pula dengan organisasi masyarakat yang
diharuskan untuk berganti asas dengan asas Pancasila yang merupakan asas
tunggal, dan jika tidak berganti azas sudah bisa dipastikan partai tersebut
akan ditindas dan akan menjadi mati. Dan kala itu partai Isam memang dianggap
sebagai penghalang dan penghambat karena pendukungnya yang sangat banyak. Rezim
Orde Baru ini sendiri sangat dekat dan merangkul partai Islam yang moderat, hal
ini dilakukan agar adanya hubungan yang baik, sehingga nantinya partai Islam
tersebut lebih memihak kepada pemerintah dan tidak bertindak macam-macam. Dalam
hal ini, bisa dikatakan bahwa meskipun Islam dibiarkan berkembang, tetapi tetap
dimotori dan dibuat untuk kepentingan penguasa, sehingga memuluskan jalan bukan
menghambat jalan seperti apa yang dilakukan oleh partai ataupun gerakan Islam
yang radikal.
Proses
represif yang dilakukan oleh pemerintah ini bukan hanya wacana atau isapan
jempol belaka, tetapi memang ada bukti yang menunjukkan bahwa pemerintah sangat
menekan dan menindas Islam pada saat itu sebagai hal yang sangat berbahaya.
Banyak tragedi dan peristiwa yang terjadi sebagai saksi represifnya rezim Orde
Baru pada saat itu, peristiwa yang sangat terkenal salah satunya adalah
peristiwa Tanjung Priok yang terjadi di Jakarta dan peristiwa Talangsari yang
terjadi di Lampung yang dikategorikan sebagai peristiwa pelanggaran HAM.
2.2.1. Peristiwa Tanjung Priok
Peristiwa Tanjung Priok
ini merupakan salah satu peristiwa yang menjadi bukti, tindakan pemerintah orde
baru sangatlah refresif terhadap Islam bahan sampai memakan korban, dan tak
jarang ada yang menyebutnya sebagai pelanggaran HAM. Dalam berbagai sumber dikatakan bahwa yang
menyulut masalah hingga terjadi peristiwa ini adaah para petugas dari militer
yang mencoba untuk membuat suasana menjadi tidak tenang, yaitu dengan menyiram
pengumuman yang ada di mushola dengan air comberan bahkan ada sumber yang
mengatakan bahwa mereka pun menginjak AL-Qur’an (http://27victory.wordpress.com/2010/04/15/kronologi-tragedi-tanjung-priok-berdarah-1984-oleh-saksi-mata-ust-abdul-qadir-djaelani/).
Tentunya siapa yang tidak akan marah melihat perlakuan seperti itu, terlebih
mesjid yang didatangi oleh petugas militer itu adalah mesjid yang
mengumandangkan slogan-slogan anti pemerintah dan anti cukong, dan menolak
Pancasila sebagai asas tunggal (Ricklef, 2008:652) . Jadi, bisa dikatakan
kejadian tadi merupakan, penyulut atau kasus beli dari persoalan yang telah ada
sebelumnya, sehingga memacu amarah massa. Terlebih ada oknum yang memanfaatkan
peristiwa ini sehingga menjadi sebuah bentrokan antara militer dengan massa,
yang pada akhirnya memakan massa yang begitu besar.
Peristiwa ini bukanlah
peristiwa biasa yang menghadirkan bentrokan antara militer dengan massa, tetapi
bentrokan yang terjadi juga bukan hanya sebatas bentroka kecil tetapi bentrokan
yang dihujani senjata dan juga korban. Tindakan militer disini memang bisa
dianggap berlebihan karena, banyak massa yang ditemabki dan juga dilindas
dengan truk maka tak heran juga jika banyak massa yang tewas. Hal ini lah yang
kemudian yang dinilai sebagai tindakan refresif orde baru terhadap Islam.
2.2.2. Peristiwa Talangsari, Lampung
Peristiwa yang terjadi
di Talangsari, Lampung ini tentunya tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di
Tanjung Priok hanya saja mungkin perbedaannya terletak pada persoalan yang
mengakibatkan peristiwa ini terjadi. Peristiwa Talangsari lampung ini bisa
dikatakan sebagai salah satu peristiwa yang menewaskan massa yang luamayan
banyak, bahkan tak jarang orange yang berkata bahwa peristiwa ini sebagai
gambaran dari pelanggaran HAM yang terjadi pada masa Orde Baru.
Peristiwa Talangsari
ini terjadi disebabkan oleh kecurigaan pemerintah akan adanya aliran keagamaan
seperti halnya Negara Islam, kecurigaan inilah yang kemudian menyulut persoalan
dan juga bentrokan. Peristiwa ini terjadi di lingkungan pesantren yang memang
menjadi target dari kecurigaan pemerintah, banyak yang menjadi korban dalam
bentrokan antara massa dengan militer ini mulai bapak-bapak, ibu-ibu bahkan
anak-anak yang mungkin tidak tau apa apa tentang persoalan apapun. Tindakan
yang dilakukan militer dalam peristiwa ini bisa dikatakan lebih kejam, karena
banyak penganiayaan yang dilakukan serta pembunuhan yang sangat kejam yaitu
dengan cara menggorok korban. Hal inilah yang kemudian menjadi luka yang amat
dalam yang terjadi di Talangsari Lampung, bahkan sampai saat ini Kasus dari
peristiwa ini masih belum disslesaikan, padahal banyak pihak yang beranaggapan
bahwa ini merupakan salah satu pelanggaran HAM.
Dalam
peristiwa-peristiwa diatas bisa diliat, seberapa curiga dan kejamnya rezim Orde
Baru pada waktu itu terhadap Islam, sehingga kegiatan atau hal apapun yang
dilakukan oleh umat Islam yang menimbulkan kecurigaan menjadi sasaran empuk
aparatur negara. Yang dilancarkan oleh pemerintah bukan hanya teguran atau
peringatan, bahwa sampai batas penindasan dan pembantaian, padahal hal ini
seharusnya tidak terjadi. Peristiwa yang terjadi diatas, bahkan ada yang
menggolongkan bahwa peristiwa itu telah melanggar HAM karena telah berlebihan,
dan merampas hak hidup orang banyak, yang belum tentu melakukan kesalahan. Pada
waktu itu pemerintah tidak memandang dan tidak mengusut kasus yang terjadi
dengan benar atau tidaknya, tetapi langsung melancarkan aksi represifnya untuk
menanggulangi kasus tersebut, tanpa memikirkan konsekuensi yang akan terjadi
selanjutnya.
2.3 Pemberlakuan NKK/BKK: Pembungkaman
Kritik Mahasiswa
Langkah
represif orba terhadap mahasiswa diawali dengan keputusan dari Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan, Daoed Joesoef yakni SK Mendikbud Nomor 1/U/1978 dan
Nomor 037/U/1979 tentang Pembubaran Dewan Mahasiswa dan pembatasan aktivitas
mahasiswa di bidang politik. Keputusan ini dijadikan landasan oleh
Pangkopkamtib, Soedomo yang melarang aktivitas politik mahasiswa serta
memerintahkan aparat untuk menangkap beberapa aktivis mahasiswa yang aktif baik
di Dewan Mahasiswa, fakultas, maupun jurusan, sehingga saat itu semua aktivitas
Dewan Mahasiswa terhenti. Mendikbud juga mengeluarkan SK Nomor 0159/V/1978 atau
yang lebih dikenal dengan nama Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Dengan
dilarangnya aktivitas politik mahasiswa, maka berakhir pula Dewan Mahasiswa di
seluruh Perguruan Tinggi di Indonesia.
Untuk
mencegah timbulnya kembali gejolak di kalangan mahasiswa, pemerintah berusaha
mengontrol kegiatan organisasi mahasiswa di kampus dengan kembali mengeluarkan
keputusan melalui SK Mendikbud Nomor 037/U1979 tertanggal 24 Februari 1979 yang
mengatur bentuk susunan lembaga dan organisasi mahasiswa di lingkungan kampus.
Dengan dikeluarkannya keputusan tersebut maka di setiap perguruan tinggi
terdapat sebuah badan non-struktural yang berfungsi membantu merencanakan
kegiatan mahasiswa. Badan tersebut dikenal sebagai Badan Koordinasi Kampus
(BKK). BKK ini dapat dikatakan sebagai birokrasi kampus yang menjadi kaki
tangan pemerintah untuk mengontrol kegiatan mahasiswa , sebab para rektor
universitas diharuskan untuk bertanggung jawab atas kegiatan-kegiatan mahasiswa
mereka, serta menarik universitas-universitas untuk semakin ketat berada di
bawah pengawasan negara. Berlakunya NKK/BKK ini secara otomatis membatasi gerak
mahasiswa. Dewan Mahasiswa, organisasi intra kampus yang berkembang di semua
kampus sebagai simbol institusi perlawanan mahasiswa saat itu, kini telah
dibubarkan. Pemberlakuan NKK/BKK ini sebenarnya mendapat reaksi keras dari
mahasiswa. Beberapa mahasiswa pernah mencoba untuk menggalang kekuatan yang
tersisa untuk kembali melawan pemerintah dengan mendirikan kembali Dewan
Mahasiswa, namun upaya itu selalu gagal karena mereka harus melawan kekuatan
militer yang menjadi alat pemerintah dalam menjaga ketertiban. Dengan begitu mahasiswa benar-benar sudah tak
berdaya lagi, tidak ada yang berani menunjukkan sikap antipati terhadap
pemerintah, karena resiko yang harus ditanggung adalah penangkapan oleh pihak
militer. Mau tak mau, suka tidak suka para mahasiswa pun harus rela dengan
keputusan pemerintah membubarkan Dewan Mahasiswa.
NKK/BKK
atau Normalisasi Kehidupan Kampus / Badan Koordinasi Kampus sendiri adalah suatu kebijakan pemerintah
Orde Baru untuk mengubah format organisasi kemahasiswaan dengan melarang
mahasiswa terjun ke dalam politik praktis. Tak hanya itu, kebijakan ini pada
kenyataannya juga mengancam keberhasilan pendidikan yang demokratis akibat
adanya pengekangan kebebasan berpendapat bagi mahasiswa. Kebijakan NKK/BKK ini
benar-benar menjadi momok yang menakutkan bagi aktivis gerakan mahasiswa, sebab
kebijakan keras presiden Soeharto melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Daoed Joesoef tersebut mendapat pengawasan yang ketat dari pihak militer,
sehingga mahasiswa tak lagi dapat melancarkan aksi-aksi untuk mengkritisi
jalannya pemerintahan saat itu.
NKK/BKK
sebenarnya bukan merupakan sebuah kebijakan yang lahir begitu saja, melainkan
akibat dari rentetan protes dan kritik para mahasiswa yang dinilai terlalu
keras. Rentetan protes mahasiswa itu antara lain adalah sebagai berikut:
a)
Munculnya
golongan putih (golput) di Pemilu 1971
Di
sekitar Pemilu 1971, mulai muncul berbagai pernyataan ketidakpercayaan terhadap
sembilan partai politik dan Golongan Karya sebagai pembawa aspirasi rakyat.
Sebagai bentuk protes akibat kekecewaan, mahasiswa kemudian mempelopori
munculnya Deklarasi Golongan Putih (Golput) pada tanggal 28 Mei 1971 yang
dimotori oleh Arif Budiman, Adnan Buyung Nasution, Asmara Nababan.
b)
Protes
menentang pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII)
Mahasiswa
memprotes pembangunan TMII tahun 1972, karena proyek pembangunan tersebut
menurut mahasiswa terlalu memboroskan anggaran negara karena dinilai tidak
mendesak dalam pembangunan, selain itu juga menggusur banyak rakyat kecil yang
tinggal di lokasi tersebut.
c)
Lahirnya
Gerakan Mahasiswa Menggugat
Diawali
dengan reaksi terhadap kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), aksi protes
lainnya yang paling mengemuka disuarakan mahasiswa adalah tuntutan
pemberantasan korupsi. Kemudian lahirlah gerakan "Mahasiswa
Menggugat" yang dimotori Arif Budiman yang program utamanya adalah aksi
protes terhadap korupsi dan kenaikan harga BBM.
d)
Pembentukan
Komite Anti Korupsi (KAK)
Tahun
1970 mahasiswa mengambil inisiatif dengan membentuk Komite Anti Korupsi (KAK)
yang diketuai oleh Wilopo. Terbentuknya KAK ini dapat dilihat merupakan reaksi
kekecewaan mahasiswa terhadap tim-tim khusus yang disponsori pemerintah, mulai
dari Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), Task Force UI, sampai Komisi Empat.
e)
Meletusnya
Peristiwa 15 Januari 1974 (Malari)
Pada tanggal 15 Januari 1974,
terjadi demonstrasi besar di Jakarta yang dilancarkan oleh para mahasiswa.
Peristiwa ini merupakan aksi memprotes kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakuei
Tanaka ke Indonesia. Selain itu menurut Sanit (Widjojo & Noorsalim, 2004),
aksi ini juga merupakan kritik terhadap sejumlah lembaga-lembaga negara yang
dikonotasikan sebagai kaki tangan modal kotor asing yang dikhawatirkan
melenyapkan kebanggaan nasional, menjual Indonesia, dan sebagainya.
Lembaga-lembaga negara yang dimaksud adalah ASPRI (Asisten Presiden Republik
Indonesia), Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional), BKPM (Badan
Koordinasi Penanaman Modal), dan Kedubes Jepang. Dalam aksinya, mahasiswa
kemudian mengajukan tuntutan “Tritura Baru” yang isinya: (1) Bubarkan Asisten
Pribadi Presiden, (2) Turunkan Harga, dan (3) Ganyang Korupsi. Bagi Soeharto,
peristiwa Malari ini tentu saja membuat dirinya sangat malu di hadapan PM
Jepang yang tengah berkunjung. Malu yang tak tertahankan menyebabkan ia untuk
selanjutnya amat waspada terhadap semua / golongan serta melakukan sanksi tak
berampun terhadap pihak yang bisa mengusik pemerintah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar