BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pemilihan
Umum merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara kesatuan
republic Indonesia yang berdasarkan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pelaksanaan pemilu menjadi suatu sarana
dan momen yang penting bagi berlangsungnya kehidupan demokrasi di Indonesia.
Dimana dalam hal ini rakyat diberi kebebasan untuk memmilih secara langsung
calon wakil rakyat yang akan duduk di kursi pemerintahan. Pemilu dilaksanakan
setiap lima tahun sekali pada hari libur atau pada hari yang diliburkan
berdasarkan asa langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Pemilu
diharapkan dapat mengkondisikan terselenggaranya suatu mekanisme pemerintahan
secara tertib, teratur, berkesinambungan dan berjalan dengan damai yang pada
akhirnya akan memberikan suatu perkembangan terhadap terbinanya masyarakat yang
dapat menghormati pendapat dan pilihan orang lain.
Berbicara
tentang pemilu tentu berhubungan pula dengan sistem pemilu. Sistem pemilu
merupakan seperangkat metode yang mengatur warga Negara memilih para wakilnya.
Sistem pemilihan umum dapat berupa seperangkat metode untuk mentransfer suara
pemilih ke dalam suatu kursi di lembaga legislative atau parlemen. Sejalan
dengan perubahan sistem pemilu bahwa sistem pemilihan merupakan sesuatu yang
sangat penting dalam sebuah Negara demokrasi, karena sistem pemilihan membawa
konsekuensi yang sangat besar terhadap proporsionalitas hasil pemilihan. Hal
tersebut menyangkut kepada sistem kepartaian yang terlibat dalam sebuah sistem
pemilihan.
Setelah
jatuhnya kekuasaan rezim Orde Baru pada tanggal 21 Mei 1998, terdapat 3
perubahan mendasar dalam mekanisme pemilu. Pertama, kembalinya sistem
multipartai dari sistem tripartai dalam pemilu yang direalisasikan dalam pemilu
1999. Kedua adalah pada pemilu 2004, pemilu yang diadakan dua kali, pemilu
pertama untuk memilih wakil-wakil rakyat dan pemilu kedua untuk memilih
presiden dan wakil presiden secara langsung. Perubahan ketiga, yaitu dengan dikeluarkannya
PP No. 6 tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahan, pengangkatan dan
pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagai landasan dan
pedoman pelaksanaan Pilkada secara langsung.
Pemilihan
umum secara langsung harus diakui sebagai suatu langkah yang besar dan berani
dalam perkembangan politik di Indonesia. Namun disisi lain pemilu sebagai suatu
agenda nasional di bidang politik memerlukan suatu proses yang panjang. Dalam
pelaksanaannya dilakukan secara bertahap yang merupakan bagian dari rangkaian
kegiatan pemilu. Sebagai konsekuensi dari perubahan sistem pemilu yang
dilaksanakan pada era reformasi
menyangkut budaya politik dapat menimbulkan kebingungan khususnya di
kalangan masyarakat yang jauh dari pusat informasi politik dan masih melihat
hubungan antara pusat dan daerah hanya melaui birokrasi Negara.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, disusun rumusan masalah dalam bentuk pertanyaan,
sebagai berikut:
1.
Bagaimana perubahan budaya politik di
Indonesia pasca jatuhnya Orde Baru?
2.
Apa perbedaan sistem Pemilu pada masa Reformasi
dengan sistem Pemilu pada masa Orde Baru?
3.
Bagaimana dinamika partai politik pada
masa reformasi?
4.
Bagaimana sistem Pemilu tahun 2004
dibandingkan dengan sistem Pemilu tahun 1999 dan 2009?
1.3. Tujuan Penulisan
1.
Mendeskripsikan perubahan budaya
politik yang terjadi di Indonesia pasca jatuhnya Orde Baru.
2.
Mengidentifikasi perbedaan sistem
Pemilu pada masa Reformasi dengan sistem Pemilu pada masa Orde Baru.
3.
Mendeskripsikan dinamika partai politik
di Indonesia pada masa Reformasi, mulai dari Pemilu, 1999, 2004, hingga 2009.
4.
Mendeskripsikan sistem Pemilu tahun
2004 lalu membandingkannya dengan sistem Pemilu tahun 1999 dan 2009.
1.4. Sistematika Penulisan
BAB I
PENDAHULUAN
Bab I
dalam makalah ini berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II
PEMBAHASAN
Bab II
dalam makalah ini akan membahas mengenai Pemilihan Umum Pada Era Reformasi di
Indonesia. Adapun aspek yang akan dibahas dalam BAB II ini meliputi perubahan
budaya politik Indonesia pasca jatuhnya Orde Baru. Aspek selanjutnya adalah Perbedaan Sistem Pemilu Masa Reformasi dengan Masa Orde
Baru
dan sistem pemilu 2004 dibandingkan dengan sistem pemilu 1999 dan 2009.
BAB III
KESIMPULAN
Bab III dalam
penulisan makalah ini berisi mengenai kesimpulan dan saran dari hasil kajian.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Perubahan Budaya Politik Indonesia Pasca Jatuhnya Orde Baru
2.1.1. Budaya Politik
Budaya politik adalah pola tingkah laku
individu dan orientasinya terhadap kehidupan politik. Budaya politik dilihat
dari perilaku politik masyarakat antara mendukung juga perilaku yang
dipengaruhi oleh orientasi umum atau opini publik. Setidaknya ada empat tipe
budaya politik (Farrasnia, 2012), yakni:
·
Budaya parokial yaitu budaya politik
yang terbatas pada wilayah tertentu bahkan masyarakat belum memiliki kesadaran
berpolitik, sekalipun ada menyerahkannya kepada pemimpin lokal seperti suku.
·
Budaya kaula artinya masyarakat sudah
memiliki kesadaran terhadap sistem politik namun tidak berdaya dan tidak mampu
berpartisipasi sehingga hanya melihat outputnya saja tanpa bisa memberikan
input.
·
Budaya partisipan yaitu budaya dimana
masyarakat sangat aktif dalam kehidupan politik.
·
Budaya politik campuran, maksudnya
disetiap bangsa budaya politik itu tidak terpaku kepada satu budaya, sekalipun
sekarang banyak negara sudah maju, namun ternyata tidak semuanya berbudaya
partisipan, masih ada yang kaula dan parokial. Inilah yang kemudian disebut
sebagai budaya politik campuran.
2.1.2. Budaya Politik
Masa Orde Baru
Gaya politik masa Orde Baru yang lebih
menonjol adalah gaya intelektual yang pragmatik dalam penyaluran tuntutan.
Dimana pada masa ini secara material, penyaluran tuntutan lebih dikendalikan
oleh koalisi besar antara Golkar dan ABRI, yang pada hakekatnya berintikan
teknokrat dan perwira-perwira yang telah kenal teknologi modern. Sementara itu,
proses pengambilan keputusan kebijakan publik yang hanya diformulasikan dalam
lingkaran elit birokrasi dan militer yang terbatas sebagaimana terjadi dalam
tipologi masyarakat birokrasi. Akibatnya masyarakat hanya menjadi objek
mobilisasi kebijakan para elit politik karena segala sesuatu telah diputuskan
di tingkat pusat dalam lingkaran elit terbatas.
Sifat birokrasi yang bercirikan
patron-klien melahirkan tipe birokrasi patrimonial, yakni suatu birokrasi
dimana hubungan-hubungan yang ada, baik intern maupun ekstern adalah hubungan
antar patron dan klien yang sifatnya sangat pribadi dan khas. Budaya politik
yang berkembang pada era Orde Baru adalah budaya politik subjek. Dimana semua
keputusan dibuat oleh pemerintah, sedangkan rakyat hanya bisa tunduk di bawah
pemerintahan Presiden Soeharto. Kalaupun ada proses pengambilan keputusan hanya
sebagai formalitas karena yang keputusan kebijakan publik yang hanya
diformulasikan dalam lingkaran elit birokrasi dan militer. Di masa Orde Baru
kekuasaan patrimonialistik telah menyebabkan kekuasaan yang tidak terkontrol
sehingga negara menjadi sangat kuat sehingga peluang tumbuhnya sipil terhambat.
2.1.3. Budaya Politik Masa Reformasi
Budaya politik yang berkembang pada era
reformasi ini adalah budaya politik yang lebih berorientasi pada kekuasaan yang
berkembang di kalangan elit politik. Budaya seperti itu telah membuat struktur
politik demokrasi tidak dapat berjalan dengan baik. Walaupun struktur dan
fungsi-fungsi sistem politik Indonesia mengalami perubahan dari era yang satu
ke era selanjutnya, namun tidak pada budaya politiknya. Menurut Karl D. budaya
Jawa telah mempunyai peran yang cukup besar dalam mempengaruhi budaya politik
yang berkembang di Indonesia. Relasi antara pemimpin dan pengikutnya pun
menciptakan pola hubungan patron-klien (bercorak patrimonial). Kekuatan
orientasi individu yang berkembang untuk meraih kekuasaan dibandingkan sebagai
pelayan publik di kalangan elit merupakan salah satu pengaruh budaya politik
Jawa yang kuat.
Dengan menguatnya budaya paternalistik,
masyarakat lebih cenderung mengejar status dibandingkan dengan kemakmuran.
Reformasi pada tahun 1998 telah memberikan sumbangan bagi berkembangnya budaya
poltik partisipan, namun kuatnya budaya politik patrimonial dan otoriterianisme
politik yang masih berkembang di kalangan elit politik dan penyelenggara
pemerintahan masih senantiasa mengiringi. Walaupun rakyat mulai peduli dengan input-input politik, akan tetapi
tidak diimbangi dengan para elit politik karena mereka masih memiliki
mentalitas budaya politik sebelumnya. Sehingga budaya politik yang berkembang
cenderung merupakan budaya politik subjek-partisipan.
Menurut Ignas Kleden (Winarno, 2008),
terdapat lima preposisi tentang perubahan politik dan budaya politik yang
berlangsung sejak reformasi 1998, antara lain:
a)
Orientasi Terhadap kekuasaan
Orientasi
terhadap kekuasaan ini tampak menonjol dalam partai politik, orientasi pengejaran
kekuasaan yang sangat kuat dalam partai politik telah membuat partai-partai
politik era reformasi lebih bersifat pragmatis.
b)
Politik mikro vs politik makro
Politik
Indonesia sebagian besar lebih berkutat pada politik mikro yang terbatas pada
hubungan-hubungan antara aktor-aktor politik, yang terbatas pada tukar-menukar
kepentingan politik. Sedangkan pada politik makro tidak terlalu diperhatikan
dimana merupakan tempat terjadinya tukar-menukar kekuatan-kekuatan sosial
seperti negara, masyarakat, struktur politik, sistem hukum, civil society,
dan sebagainya.
c) Kepentingan
negara vs kepentingan masyarakat
Realitas
politik lebih berorientasi pada kepentingan negara dibandingkan kepentingan
masyarakat.
d) Bebas dari
kemiskinan dan kebebasan beragama.
Krisis moneter
yang menjadi penyebab jatuhnya rezim Orde Baru menuntut kehidupan politik yang dapat
memperjuangkan rakyat untuk melawan kemiskinan. Selain itu, kebebasan beragama
semakin mendapatkan tempatnya di masa reformasi.
e)
Desentralisasi politik
Isu desentralisasi
kekuasaan semakin santer disuarakan pada masa reformasi. Hal ini berujung
dengan keluarnya kebijakan otonomi daerah.
Pasca runtuhnya masa Orde Baru terdapat
beberapa perubahan politik yaitu antara lain:
ü Kebebasan Pendapat
Pada masa pemerintahan reformasi, dapat dikatakan bahwa
orang bebas mengemukakan pendapatnya di muka umum. Pemimpin baru bangsa
Indonesia pada masa ini memberikan ruang bagi siapa saja yang ingin
menyampaikan pendapat, baik dalam bentuk rapat-rapat umum maupun unjuk rasa
atau demontrasi.
ü Berkurangnya Dwifungsi ABRI
Setelah reformasi dilaksanakan, peran ABRI di Perwakilan Rakyat DPR mulai
dikurangi secara bertahap. Langkah lain yang ditempuh adalah ABRI semula
terdiri dari empat angkatan yaitu Angkatan Darat, Laut, dan Udara serta
Kepolisian RI, namun mulai tanggal 5 Mei 1999 Polri memisahkan diri dari ABRI
dan kemudian berganti nama menjadi Kepolisian Republik Indonesia (POLRI).
Istilah ABRI pun berubah menjadi TNI yang terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan
Laut, dan Angkatan Udara.
ü Hukum
Selama pemerintahan Orde Baru, karakter hukum cenderung bersifat
konservatif, ortodoks maupun elitis. Sedangkan hukum ortodoks lebih tertutup
terhadap kelompok-kelompok sosial maupun individu didalam masyarakat. Pada
hukum yang berkarakter tersebut, maka porsi rakyat sangatlah kecil, bahkan bisa
dikatakan tidak ada sama sekali. Oleh karena itu, produk hukum dari masa
pemerintahan Orde Baru sangat tidak mungkin untuk dapat menjamin atau memberikan
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, berkembangnya demokrasi serta
munculnya kreativitas masyarakat.
ü Pemilihan Umum
Setelah runtuhnya Orde Baru indonesia masuk ke era
roformasi, selama masa reformasi saat ini, indonesia sudah melaksanakan
pemeilihan umum sebanyak 3 kalai, masing tahun 1999, 2004 dan 2009. Berbeda
dengan Pemilu sebelumnya, Pemilu era reformasi diatur dalam Undang-Undang No. 3
Tahun 1999, tentang Pemilihan Umum. Dalam pelaksanaan Pemilu di era reformasi
menggunakan asas, langsung, umum, bebas, rahasia, serta jujur dan adil
(Mansyah, 2012).
2.2. Perbedaan Sistem Pemilu Masa Reformasi dengan
Masa Orde Baru
Membandingkan sistem Pemilu pada masa reformasi dengan masa Orde Baru berarti
membandingkan dua sistem politik dalam lingkup yang lebih khusus pada masa
kepemimpinan yang berbeda. Dalam membandingkan sistem Pemilu antara masa
reformasi dengan Orde Baru, penulis menggunakan teori perbandingan politik dari
Herbert Spiro. Menurut Spiro (Chilcote, 2007), dalam membandingkan suatu isu,
kita dapat melihatnya dari empat segi, yaitu stabilitas, fleksibilitas, efisiensi,
dan efektivitasnya. Sehingga dengan berpijak pada teori tersebut, perbedaan dan perbandingan antara sistem
Pemilu pada masa reformasi dan masa Orde Baru dapat dilihat dengan melakukan
perbandingan melalui keempat segi tersebut, namun sebelumnya akan dibahas
terlebih dahulu ciri-ciri Pemilu pada kedua periode tersebut.
2.2.1. Sistem Pemilu Masa Orde Baru
Pada masa Orde Baru, Pemilu dilakukan setiap lima tahun sekali (kecuali
periode 1971-1977 yang berselisih enam tahun) untuk memilih anggota legislatif
dan Presiden serta Wakil Presiden. Masyarakat bebas memilih partai yang
disukainya yang ikut dalam Pemilu. Pada masa itu masyarakat hanya memilih
partai, dan tidak memilih presiden secara langsung. Anggota legislatif
ditentukan oleh pemerintah yang berkuasa berdasarkan daftar yang diajukan oleh
panitia yang ditunjuk oleh presiden. Pada masa itu, panitia yang bertugas
mencari calon anggota legislatif ialah militer di setiap daerah. Daftar nama
calon itu kemudian diserahkan kepada presiden.
Biasanya setiap masa pemilihan, presiden selalu menyeleksi anggota
legislatif tersebut. Ketika itu Presiden Soeharto dalam menentukan anggota
legislatif melihat semua golongan dan suku (meskipun tidak semua suku
terwakili). Artinya anggota legislatif harus sudah mewakili semua golongan
masyarakat. Misalnya golongan petani, buruh, cendekiawan, budayawan, dan lain
sebagainya. Selain itu, Presiden Soeharto juga melihat suku. Anggota legislatif
selalu diupayakan mewakili semua suku yang ada di Indonesia, meskipun selalu didominasi
oleh suku Jawa dan golongan militer.
Untuk pemilihan presiden dilakukan oleh anggota DPR dan MPR. Anggota DPR
dan MPR yang telah terpilih kemudian akan memilih Presiden dan Wakil Presiden.
Anggota DPR dan MPR yang awalnya dipilih oleh panitia (namun atas kehendak
presiden) merasa berhutang budi kepada Presiden Soeharto. Hal tersebut
menyebabkan anggota DPR dan MPR membalas budi dengan menetapkan Soeharto
kembali menjadi Presiden sebagai calon tunggal. Sehingga selama Orde Baru
Presiden dijabat oleh Soeharto dan sistem pemilihan berlangsung seperti itu
selama 32 tahun masa Orde Baru.
2.2.2. Sistem Pemilu Masa Reformasi
Sama halnya dengan masa Orde Baru, Pemilu pada masa reformasi juga masih
diadakan setiap lima tahun sekali. Namun sistemnya sudah berbeda dengan sistem
Pemilu pada masa Orde Baru. Pada masa sekarang, pemilihan umum diadakan secara
langsung. Dimana semua anggota legislatif (DPR, DPRD Provinsi, DPRD
Kabupaten/Kota, dan DPD) dipilih langsung oleh masyarakat, bukan lagi oleh
panitia yang ditetapkan oleh pemerintah. Selain itu, presiden dan wakil
presiden juga sudah dipilih secara langsung oleh masyarakat, bukan lagi oleh
anggota DPR dan MPR.
Bukan hanya sistem Pemilunya yang berbeda, tapi masa jabatannya juga telah
berubah. Jika pada masa Orde Baru, masa jabatan presiden tidak dibatasi, maka pada
masa reformasi sekarang masa jabatan presiden dibatasi maksimal dua periode (10
tahun). Sehingga tidak akan ada lagi pemimpin seumur hidup di negeri ini.
2.2.3. Perbandingan Sistem Pemilu Pada Masa Reformasi dengan
Orde Baru
v Stabilitas
Apabila ditinjau dari segi stabilitas, dapat kita lihat bahwa Pemilu pada
masa Orde Baru lebih stabil dari masa sekarang. Pemilu sekarang kerap kali
menimbulkan konflik antara pihak yang kalah dengan pihak yang menang. Sebab
pihak yang kalah sering kali tidak mau menerima kekalahan dengan lapang dada.
Selain itu hasil dari pemilihan juga tidak seperti dulu, khususnya legislatif.
Jika dulu anggota legislatif mewakili semua golongan, maka sekarang belum
tentu. Kebanyakan anggota legislatif adalah orang kaya dan pengusaha, karena
orang miskin sulit untuk mencalonkan diri sebagai caleg (calon anggota
legislatif). Sebab untuk masuk sebagai caleg, harus membayar mahal kepada
partai, belum lagi biaya kampanye yang juga tidak sedikit.
v Fleksibilitas
Pemilu pada masa Orde Baru dapat dikatakan lebih fleksibel daripada Pemilu
masa reformasi kini. Hal tersebut terjadi karena sistem pada masa Orde Baru
cenderung stagnan. Selain itu partainya juga hanya itu-itu saja. Jadi
masyarakat tidak mengalami kesulitan dalam mengenali partai. Berbeda dengan
sekarang, Pemilu diikuti oleh puluhan partai yang tentunya didominasi oleh
partai-partai baru. Banyak masyarakat yang tidak mengenali partai baru
tersebut, khususnya masyarakat pedesaan dan masyarakat yang berpendidikan
rendah.
v Efisiensi
Pemilu pada masa Orde Baru tidak memakan waktu yang banyak karena hanya
diadakan satu kali saja untuk memilih partai yang duduk di DPR / MPR, sedangkan
pada masa sekarang Pemilu diadakan dalam dua tahap (memilih anggota legislatif
dan presiden / wakil presiden), bahkan sampai tiga tahap seperti yang terjadi
pada Pemilu tahun 2004 lalu, dimana pemilihan presiden / wakil presiden
dilaksanakan hingga dua tahap apabila tidak ada pemenang yang memperoleh suara
lebih dari 50%. Tahapan Pemilu tersebut membutuhkan tenggang waktu yang tidak
pendek, mencapai dua sampai tiga bulan. Pada Pemilu tahun 2004 lalu misalnya.
Pemilihan anggota legislatif dilaksanakan pada bulan April, sedangkan pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden baru dilaksanakan pada bulan Juli. Kemudian pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden tahap kedua dilaksanakan pada bulan September. Jadi
jika dikalkulasikan, maka negeri ini butuh waktu hampir satu tahun untuk
melaksanakan Pemilu. Berbeda dengan sistem Orde Baru, yang hanya butuh waktu
dalam jumlah bulan dan itupun tidak sampai lebih dari dua bulan. Jadi Pemilu
pada masa Orde Baru memang lebih efisien dibandingkan dengan Pemilu pada masa
sekarang.
v Efektivitas
Pemilu pada masa reformasi membutuhkan biaya yang cukup besar, mencapai
triliunan rupiah. Itu belum termasuk biaya untuk melakukan pilkada di tingkat
provinsi dan kabupaten kota. Pemilu harus diadakan setidaknya dalam dua tahap,
yakni pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden serta wakil presiden.
Sementara pada masa Orde Baru, Pemilu hanya berlangsung satu tahap saja. Jadi
tidak membutuhkan biaya yang sebanyak Pemilu sekarang. Belum lagi pemilihan
kepala daerah. Jika pada masa Orde Baru, kepala daerah ditentukan oleh
pemerintah pusat, jadi tidak membutuhkan biaya untuk melakukan proses pilkada
seperti yang terjadi sekarang. Jadi apabila kita telaah lagi, memang Pemilu di
masa Orde Baru lebih efektif dalam hal penggunaan anggaran. Namun masyarakat
tidak bebas memilih, karena yang terpilih pasti itu-itu saja. Sehingga hasil
pemilihan kerap kali tidak sesuai dengan harapan masyarakat
Berdasarkan perbandingan yang dilihat dari empat segi diatas, dapat
disimpulkan bahwa Pemilu pada masa Orde Baru memang dapat dikatakan lebih baik
dibandingkan dengan Pemilu pada masa reformasi sekarang ini, apabila dilihat
dari segi sistem pelaksanaan. Kendati demikian, tidak serta merta kita
mengatakan bahwa Pemilu pada masa reformasi itu buruk, karena ada juga dampak
positifnya, yaitu masyarakat lebih bebas menentukan pilihannya yang sesuai
dengan harapannya. Selain itu kehidupan politik di Indonesia dapat berlangsung
secara bebas dan demokratis pada masa reformasi ini.
2.3. Dinamika Partai Politik Indonesia Pada Masa
Reformasi
Setelah runtuhnya rezim Orde Baru, banyak terjadi reformasi di berbagai
tatanan kehidupan bangsa Indonesia, terutama pada kancah perpolitikan. Setelah
terpasung selama 32 tahun, pada masa reformasi kebebasan dalam kehidupan
berpartai kembali dibuka melalui Undang-Undang No. 3 Tahun 1999. Kala itu partai
politik yang pada masa Orde Baru hanya berjumlah tiga saja, tiba-tiba meningkat
tajam dan tumbuh subur bagaikan jamur di musim hujan sesuai dengan tingkat
keanekaragaman yang terdapat dalam masyarakat majemuk Indonesia.
Paradigma yang berkembang saat itu menempatkan partai politik sebagai
sarana yang paling cocok untuk menyampaikan aspirasi dan menegakkan demokrasi.
Partai politik juga merupakan alat yang paling mempunyai kesempatan untuk
melakukan perubahan kekuasaan politik negara yang terorganisasi (Kirbiantoro
dan Rudianto, 2003: 3). Pada masa ini pula partai politik mendapatkan ruang
yang luas untuk mewujudkan wujud diri sebagai organisasi yang
memiliki peran dan fungsi memobilisasi rakyat atas nama kepentingan-kepentingan
politik sekaligus memberi legitimasi pada proses-proses politik, di antaranya
adalah tentang suksesi kepemimpinan nasional. Namun pada kenyataannya sistem
multi partai ini sangat menyulitkan bagi penerapan sistem pemerintahan
presidentil untuk bekerja efektif. Partai politik yang menjadi kendaraan
politik mempunyai legitimasi yang kuat, akan tetapi kepentingan rakyat sudah
tidak lagi terlihat secara nyata oleh karena partai politik menjadi alat elit
politik (Oliver, 2003). Hal itu, terbukti dalam pemerintahan yang terbentuk di
masa reformasi, mulai dari pemerintahan B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati sampai ke pemerintahan SBY jilid 1
maupun jilid 2 dewasa ini. Keperluan mengakomodasikan kepentingan banyak partai
politik untuk menjamin dukungan mayoritas di parlemen sangat menyulitkan
efektivitas pemerintahan, termasuk pemerintahan SBY-Boediono yang ada sekarang.
2.3.1. Pemilu 1999
Partai Politik di Indonesia pada awalnya muncul dengan menjadikan ideologi
sebagai nyawa yang memberi semangat bagi kader partainya untuk berjuang. Pada
saat itu, partai partai yang yang tadinya berfusi mengalami perpecahan, Seperti
PDI pecah menjadi PPDI (Partai Penegak Demokrasi Indonesia) dan PDIP (Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan). PDIP sendiri pada pecah dan melahirkan partai
baru PNBK (Partai Nasional Banteng Kemerdekaan) dan PDP (Partai Demokrasi
Pembangunan). Begitu pula Golkar dan PPP pecah menjadi partai-partai kecil.
Selain itu banyak partai-partai baru yang muncul seperti PAN (Partai Amanat
Nasional) , PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), PBB (Partai Bulan Bintang), dan
partai-partai lainnya yang muncul pada Pemilu 1999.
Pemilihan Umum yang dilaksanakan tahun 1999 menjadi sangat penting, karena
pemilihan umum tersebut diharapkan dapat memulihkan keadaan Indonesia yang
sedang dilanda krisis. Pemilihan umum tahun 1999 juga merupakan Pemilu pertama
dalam masa reformasi yang sangat ditunggu oleh masyarakat Indonesia dalam menunjukkan kehidupan berdemokrasi.
Dimana asas yang dipakai adalah LUBER & JURDIL yaitu langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil. Pemilu ini dilaksanakan pada tanggal 7 Juni 1999.
Munculnya Undang-Undang politik yang baru memberikan semangat untuk
berkembangnya kehidupan politik di Indonesia. Dengan munculnya undang-undang
politik itu partai-partai politik bermunculan dan bahkan tidak kurang dari 112
partai politik telah berdiri di Indonesia pada masa itu. Namun dari sekian
banyak jumlahnya, hanya 48 partai politik yang berhasil mengikuti pemilihan
umum. Hal ini disebabkan karena aturan seleksi partai-partai politik
diberlakukan dengan cukup ketat. Pelaksanaan pemilihan umum ditangani oleh
sebuah lembaga yang bernama Komisi Pemilihan Umum (KPU). Anggota KPU terdiri
dari wakil-wakil dari pemerintah dan wakil-wakil dari partai-partai politik
peserta pemilihan umum.
Pemilu 1999 menghasilkan partai-partai yang menduduki lima besar dalam
perolehan suara. Mereka adalah Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Amanat Nasional.
Terdapat tiga calon Presiden yang diajukan oleh fraksi-fraksi yang ada di
MPR pada tahap pencalonan Presiden diantaranya Abdurrahman Wahid, Megawati
Soekarnoputri, dan Yuhsril Ihza Mahendra. Namun tanggal 20 Oktober 1999,
Yuhsril Ihza Mahendra mengundurkan diri. Oleh karena itu, tinggal dua calon
Presiden yang maju dalam pemilihan itu, Abdurrahaman Wahid dan Megawati
Soekarnoputri. Dari hasil pemilihan presiden yang dilaksanakan secara voting,
Abudurrahman Wahid terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia. Pada tanggal
21 Oktober 1999 dilaksanakan pemilihan Wakil Presiden dengan calonnya Megawati
Soekarnoputri dan Hamzah Haz. Pemilihan Wakil Presiden ini kemudian dimenangkan
oleh Megawati Soekarnoputri. Kemudian pada tanggal 25 Oktober 1999 Presiden
Abdurrahman Wahid dan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri berhasil membentuk
Kabinet Persatuan Nasional. Abdurrahman Wahid menduduki jabatan sebagai
Presiden Republik Indonesia tidak sampai pada akhir masa jabatannya. Akibat
munculnya ketidakpercayaan parlemen pada Presiden Abdurrahman Wahid, maka
kekuasaan Abdurrahman Wahid berakhir pada tahun 2001. DPR/MPR kemudian memilih
dan mengangkat Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden Republik Indonesia dan
Hamzah Haz sebagai Wakil Presiden Indonesia. Masa kekuasaan Megawati berakhir
pada tahun 2004.
2.3.2. Pemilu 2004
Pemilu kedua pada masa reformasi dilaksanakan pada tahun 2004. Pemilu ini
merupakan babak baru bagi Pemilu di Indonesia karena merupakan Pemilu pertama
dimana rakyat Indonesia bebas memilih secara langsung Presiden dan Wakil
Presiden.. Berdasarkan Amandemen keempat UUD 1945 mengenai Perubahan Struktur
Politik Indonesia, mekanisme pemilihan para elit politik berubah. Amandemen
tersebut menjadikan calon presiden dan wakil presiden dapat dipilih secara
langsung oleh rakyat. Selain itu juga dibentuk lembaga baru yakni Dewan Perwakilan
Daerah (DPD). Perubahan ini juga mempengaruhi pemilihan kepala daerah.
Sebelum Pemilu 2004, kekuatan kepartaian terus menguat terutama persaingan
politik antara aliran politik nasionalis dan aliran politik agamis. Golongan
Karya yang mempunyai hubungan historis yang tidak pernah berbarengan dengan PDI
Perjuangan. Kekuatan nasionalis terpecah menjadi dua bagian. Peluang ini
dimanfaatkan oleh kelompok nasionalis lainnya untuk menaikan citra politiknya
dengan melakukan pembusukan dari luar terhadap partai-partai lama yang
berkuasa.
Pemilu 2004 diikuti oleh 24 partai politik yang terdaftar. Partai-partai
tersebut berasal dari berbagai aliran ideologi. Ada sebuah tesis yang
menyatakan bahwa jika ingin berkuasa di Indonesia maka kuasailah masyarakat
muslim yang mayoritas dengan masyarakat militer (Kirbiantoro dan Rudianto,
2006: 6). Berdasarkan hal tersebut maka tidak heran apabila pada Pemilu 2004 Partai
Demokrat menggandeng Jusuf Kalla untuk dipasangkan dengan Susilo Bambang
Yudhoyono untuk maju dalam pilpres. Partai Demokrat mengusung Susilo Bambang
Yudhoyono karena latar belakangnya yang berasal dari kalangan militer, selain
itu sifat Partai Demokrat dan Golkar yang plural merupakan ruang yang cukup
untuk merangkul umat muslim abangan yang mayoritas di Indonesia. Pada pemilihan
umum ini Susilo Bambang Yudhoyono terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia
dan Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia untuk masa jabatan
2004-2009.
2.3.3. Pemilu 2009
Peran partai politik semakin kuat dan semakin tidak terkontrol
dalam Pemilu 2009. Partai politik tetap menjadi lembaga yang sakral untuk
menentukan karir politik para politisi yang hendak mencalonkan diri, baik itu
sebagai presiden dan kepala daerah, maupun sebagai anggota legislatif yang
mewakili rakyat di parlemen. Hal ini terbukti dengan minimnya sukses yang
diraih para politisi independen yang tidak mendapat dukungan dari partai
politik.
Pemilihan Umum tahun 2009 merupakan Pemilu kedua dimana rakyat memilih presiden
dan wakil presiden secara bebas. Pada pemilihan umum ini Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono kembali terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia dengan
wakil Presiden Boediono untuk masa jabatan 2009-2014.
2.4. Sistem Pemilu 2004 Dibandingkan Dengan Sistem
Pemilu 1999 dan 2009
Pemilu yang dilaksanakan pada tahun 2004 merupakan Pemilu kedua yang
dilaksanakan pasca jatuhnya pemerintahan Orde Baru. Pemilu 2004 merupakan Pemilu
yang pertama dilaksanakan setelah berlakunya Amandemen UUD 1945. Pemilu 2004
sendiri dilaksanakan berdasarkan UU No. 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum
anggota DPR, DPRD, dan yang menjadi perbedaannya adalah adanya pemilihan
anggota DPD yang pada Pemilu sebelumnya tidak ada pemilihan anggota DPD secara
langsung. Pemilu 2004 ini juga merupakan Pemilu pertama yang memberikan
kebebasan sebagai wujud dari demokrasi bagi rakyat Indonesia untuk memilih
secara langsung Presiden dan wakil Presiden sesuai dengan UU No 23
tahun 2003.
Sebelumnya pernah diadakan pula Pemilu pertama pasca runtuhnya Orde Baru
yaitu pada tahun 1999 pada masa pemerintahan B J Habibie. Namun pada Pemilu
1999 dilaksanakan dengan sistem proporsional tertutup
dan untuk pemilihan presiden dilaksanakan oleh MPR. Pada Pemilu 2004 ini terdapat beberapa perbedaan jika
dibandingkan dengan Pemilu yang dilaksanakan sebelumnya. Hal tersebut
dikarenakan pada Pemilu 2004 sistem Pemilu yang digunakan cenderung
berbeda-beda bergantung siapa yang akan dipilih. Dalam pemilihan terhadap
presiden, anggota parlemen seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), DPRD I
(tingkat provinsi), dan DPRD II (tingkat kabupaten/kota), serta Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) memiliki sistem yang berbeda dalam pemilihannya. Pemilu
diadakan secara serempak di seluruh Indonesia pada tanggal 5 April 2004 untuk
memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD. Sedangkan pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden dilaksanakan putaran I pada tanggal 5 juli 2004 dan putaran II pada
tanggal 20 September 2004.
Pemilihan umum anggota DPR dan anggota DPRD dilaksanakan dengan menggunakan
sebuah sistem proporsional dengan daftar calon terbuka. Apa yang dimaksud
dengan sistem ini adalah pemilih dapat memilih calon secara personal, bukan
hanya dengan memilih nama partai. Dikarenakan dalam pemilihan umum tahun 2004
bukan hanya mencantumkan nama partai tetapi juga mencantumkan nama calon wakil
rakyat. Hal tersebut sesuai dengan yang tercantum dalam UU No. 12 tahun 2003
bahwa pemilihan anggota DPR, DPRD I (Provinsi) dan DPRD II (Kabupaten/Kota)
dilaksanakan dengan menggunakan sistem proporsional dengan daftar calon
terbuka. Melalui sistem ini rakyat memperoleh kebebasan untuk memilih secara
langsung anggota parlemen atau wakil rakyat. Pemilu yang menggunakan sistem
proporsional dengan sistem daftar calon terbuka tersebut memiliki karakteristik
adanya Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) berdasarkan nomor urut calon yang
tersusun dalam UU No 12 tahun 2003 pasal 106 dengan ketentuan sebagai berikut:
1.
Apabila
jumlah suara sah suatu partai politik peserta Pemilu sama dengan atau lebih
besar dari BPP, maka dalam penghitungan tahap pertama diperoleh sejumlah kursi
dengan kemungkinan terdapat sisa suara yang akan dihitung dalam penghitungan
tahap kedua
2.
Apabila
jumlah suara sah partai politik peserta Pemilu lebih kecil dari BPP maka dalam
penghitungan tahap pertama tidak diperoleh kursi, dan jumlah suara sah tersebut
dikategorikan sebagai sisa suara yang akan dihitung dalam penghitungan tahap
kedua dalam hal masih teradapat sisa kursi di daerah pemilihan yang
bersangkutan
3.
Penghitungan
perolehan kursi tahap kedua dilakukan apabila masih terdapat sisa kursi yang
belum terbagi dalam penghitungan tahap pertama, dengan cara membagikan jumlah
sisa kursi yang belum terbagi kepada partai politik peserta Pemilu satu demi
satu berturut-turut sampai habis, dimulai dari partai politik peserta Pemilu
yang mempunyai sisa suara terbanyak.
Berikut ini adalah data perolehan
suara hasil Pemilu legislatif dan Pemilu Presiden tahun 2004 sebagaimana
dikutip dari situs www.partai.info:
No Urut
|
Partai
|
Perolehan Suara
|
Persentase
|
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
|
PNI Marhaenisme
Partai Buruh Sosial Demokrat
Partai Bulan Bintang
Partai Merdeka
Partai Persatuan Pembangunan
Partai Persatuan Demokrasi
Kebangsaan
Partai Perhimpunan Indonesia
Baru
Partai Nasional Banteng
Kemerdekaan
Partai Demokrat
Partai Keadilan dan Persatuan
Indonesia
Partai Penegak Demokrasi
Indonesia
Partai Persatuan Nahdlatul Ummah
Indonesia
Partai Amanat Nasional
Partai Karya Peduli Bangsa
Partai Kebangkitan Bangsa
Partai Keadilan Sejahtera
Partai Bintang Reformasi
Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan
Partai Damai Sejahtera
Partai Golongan Karya
Partai Patriot Pancasila
Partai Sarikat Indonesia
Partai Persatuan Daerah
Partai Pelopor
|
923.159
636.397
2.970.487
842.541
9.248.764
1.313.654
672.952
1.230.455
8.455.225
1.424.240
855.811
895.610
7.303.324
2.399.290
11.989.564
8.325.020
2.764.998
21.026.629
2.414.254
24.480.757
1.073.139
679.296
657.916
878.932
|
0,81%
0,56%
2,62%
0,74%
8,15%
1,16%
0,59%
1,08%
7,45%
1,26%
0,75%
0,79%
6,44%
2,11%
10,57%
7,34%
2,44%
18,53%
2,13%
21,58%
0,95%
0,60%
0,58%
0,77%
|
JUMLAH
|
113.468.414
|
100,00%
|
Pemilu Legislatif
Pemilu Presiden Putaran I
No Urut
|
Pasangan Capres /
Cawapres
|
Perolehan Suara
|
Persentase
|
1
|
Wiranto / Salahuddin Wahid
|
23.827.512
|
22,19 %
|
2
|
Megawati Soekarnoputri /
Hasyim Muzadi
|
28.186.780
|
26,24%
|
3
|
Amien Rais / Siswono Yudo
Husodo
|
16.042.105
|
14,94%
|
4
|
Susilo Bambang Yudhoyono /
Jusuf Kalla
|
36.070.622
|
33,58%
|
5
|
Hamzah Haz / Agum Gumelar
|
3.276.001
|
3,05%
|
JUMLAH
|
107.403.020
|
100,00%
|
Pemilu Presiden Putaran II
No Urut
|
Pasangan Capres /
Cawapres
|
Perolehan Suara
|
Persentase
|
2
|
Megawati Soekarnoputri /
Hasyim Muzadi
|
44.990.704
|
39,38%
|
4
|
Susilo Bambang Yudhoyono /
Jusuf Kalla
|
69.266.350
|
60,62%
|
JUMLAH
|
114.256.054
|
100,00%
|
Pada pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Pemilu 2004
menggunakan sistem yang berbeda pula, yaitu dengan menggunakan sistem Single Non Transverable Vote (SNTV). Sistem SNTV merupakan bagian dari sistem semi
proporsional dimana merupakan suatu bentuk yang khusus, pembatasan suara dimana
masing-masing pemilih hanya mempunyai satu suara dalam suatu distrik yang
umumnya hanya tersedia tiga sampai lima wakil. Keuntungan dari dilaksanakannya
sistem ini adalah lebih memungkinkan dan mempermudah partai-partai kecil untuk
memperoleh suara dan terpilih. Namun pelaksanaan pemilihan umum dengan
menggunakan cara ini bukan tidak lepas dari kelemahan. Salah satu kelemahannya
adalah tingkat proposionalitas yang tidak merata antara distrik di pedesaan dan
distrik di perkotaan. Pada distrik di pedesaan pada umumnya tingkat
proposionalitasnya lebih tinggi dari pada di perkotaan. Sehingga muncul istilah
Overreprensented dan Underrepresented.
Berbeda dengan pemilihan umum anggota DPR, DPRD dan DPD, pada pemilihan presiden dan wakil presiden,
berdasarkan UU No. 12 tahun 2003 dilaksanakan sistem plurality-majority dengan varian sistem two round system yaitu dilaksanakan selama 2 putaran (5 Juli dan 20
Sepetember 2004). Dalam pemilihan dengan menggunakan sistem plurality-majority, untuk dapat terpilih
dalam suatu daerah pemilihan (distrik), seorang kandidat harus memenangkan
jumlah tertinggi dari suara sah yang ada. Menurut Pahlevi (tanpa tahun: 5), terdapat
beberapa kelemahan dan kelebihan dari adanya pelaksanaan sistem plurality-majority tersebut, diantaranya:
Kelebihan
|
Kelemahan
|
· Dapat membatasi jumlah partai yang biasanya dua partai
sehingga pemilih punya pilihan yang jelas. Dapat membatasi munculnya
partai-partai ekstrim.
|
· Kurang cocok untuk masyarakat yang heterogen, karena
dalam sistem tersebut akan menghilangkan partai kecil yang menjadi saluran
masyarakat yang majemuk dalam suatu konstituen
|
· Hubungan antara pemilih dengan wakilnya dekat.
|
· Proses pemenangan dengan perolehan suara semua
mengakibatkan sebagian suara yang ada akan terbuang.
|
·
Memiliki kecenderungan pemerintah yang kuat dan stabil yang berasal dari
satu partai.
|
·
Calon terpilih terlalu mengikatkan diri dengan daerah pemilihannya,
sehingga cenderung mengabaikan persoalan lain yang lebih besar.
|
· Ada dorongan untuk munculnya partai oposisi untuk
membuat pemerintah bertanggung jawab.
|
· Pemilih sering tidak terwakili dan partai kecil yang
tidak ikutserta dalam perwakilan yang adil tidak memberikan intensif untuk
kandidat yang minoritas.
|
·
Sistem ini mendorong terwujudnya sistem kepartaian yang lebih stabil
karena partai-partai kecil biasanya akan bergabung dengan partai lainnya yang
menang.
|
·
Dapat menciptakan dominasi partai lokal dan mendorong adanya
partai-partai yang lebih berhaluan etnis.
|
Jika diambil perbandingan antara Pemilu tahun 2004 dengan Pemilu tahun 1999
dapat dilihat secara jelas perbedaannya. Pada Pemilu tahun 2004 sudah terjadi
suatu perubahan bahwa Negara Indonesia adalah Negara yang lebih demokratis yang
diwujudkan melalui pemilihan wakil rakyat secara langsung dan serempak
dilaksanakan di seluruh Indonesia. Selain itu rakyat juga dapat memilih
Presiden dan Wakil Presiden secara langsung berbeda dengan tahun 1999. Rakyat
memilih wakil rakyat bukan hanya dengan mencoblos nama partai tetapi juga dapat
mencoblos sesuai kandidat nama calon. Hal ini dirasa lebih transparan dan
memberikan suatu perubahan yang berarti dalam kehidupan politik di Indonesia.
Meskipun dikatakan Pemilu tahun 2004 merupakan Pemilu pertama yang menggunakan
sistem proporsional dengan sistem daftar calon terbuka, sebagian kalangan
beranggapan bahwa Pemilu ini belum sepenuhnya dilaksanakan secara utuh. Jadi Pemilu
yang dilaksanakan masih semi terbuka. Mengutip pendapat Ismanto (2004: 55)
bahwa pemilihan presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2004 maupun 1999
dilihat dari sistem pelaksanaan Pemilu memang berbeda, tetapi dalam tata cara
pemberian suara model ini dinilai cacat secara politik. Hal tersebut dapat
terlihat dari ketentuan calon terpilih yang didasarkan pada nomor urut daripada
dukungan suara pemilih. Sehingga mengakibatkan keputusan partai politik menjadi
penentu daripada suara rakyat itu sendiri.
Sebagaimana telah diuraikan bahwa sistem Pemilu 2004 berbeda dengan sistem Pemilu
yang dilaksanakan pada tahun 1999. Pada Pemilu tahun 1999 menggunakan sistem
yang proporsional dengan nama calon yang tertutup. Cahyono (1998:75)
mengungkapkan bahwa Pemilu yang menganut sistem proporsional tertutup, maka rakyat
hanya memilih atau mencoblos tanda gambar partai, bukan nama orang yang akan
menjadi wakil rakyat di pemerintahan dan ini cenderung membuat jarak antara
pemilih dengan wakil yang duduk dalam lembaga legislatif. Oleh karena itu pada Pemilu
yang dilaksanakan pada tahun 1999 ini rakyat tidak bisa secara langsung untuk
memilih kandidat anggota parlemen ataupun wakil rakyat yang mereka inginkan secara personal. Pada Pemilu
tahun 1999 rakyat hanya memilih nama partai tanpa mengetahui siapa yang akan
menjadi wakil mereka di kursi pemerintahan. Oleh karena itu pelaksanaan Pemilu
2004 dengan sistem yang terbuka menjadi momentum yang sangat penting bagi
berlangsungnya demokrasi di Indonesia. Karena Pemilu bukan hanya dirasakan
penting bagi rakyat untuk menyalurkan aspirasinya, tetapi juga penting bagi
pemerintah untuk dapat menjalankan dan meyakinkan program kerja yang akan
dilaksanakannya.
Pemilu selanjutnya yang diadakan
pada tahun 2009, merupakan implikasi dari sistem Pemilu yang dilaksanakan pada
tahun 2004. Pemilu 2009 dilaksanakan berdasarkan UU Pemilu 2009 yang terdiri
dari 24 bab yang mengurai 320 pasal. Ini lebih banyak dibandingkan UU Pemilu
2004 yang hanya terdiri dari 17 bab dan 150 pasal. Pada tahun 2009 Pemilu
dilaksanakan dengan sistem yang sama dengan 2004 yaitu sistem proporsional
terbuka tercantum dalam pasal 5 ayat 1 (Legowo, 2008: 19). Jika dibandingkan
berdasarkan penamaan dalam sistem Pemilu yang dilaksanakan, tahun 2004 sistemnya
disebut dengan sistem proporsional dengan daftar calon terbuka, sedangkan pada Pemilu
tahun 2009 disebut dengan sistem proporsional terbuka. Meskipun penamaan
tersebut berbeda namun UU dari keduanya tetap mendasarkan Pemilu untuk anggota
dewan perwakilan yang berimbang. Ada perbedaan antara Pemilu 2004 dan 2009 dari
segi mekanisme penyusunan daftar bakal calon. Pemilu 2009 telah mengadopsi
sistem zig zag yaitu seling-seling antara laki-laki dan perempuan dalam daftar
calon legislatif sebagaimana tercantum dalam pasal 55 ayat 2 bahwa “di dalam
daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dalam setiap 3 orang bakal
calon terdapat sekurang-kurangnya 1 orang perempuan bakal calon” (LIPI, 2007:
39). Mekanisme baru dalam Pemilu 2009 tersebut menyiratkan suatu harapan akan
adanya peningkatan keterwakilan perempuan dalam parlemen untuk mewujudkan
demokrasi perwakilan Indonesia yang bermartabat.
Terdapat persyaratan minimal yang
harus diperoleh partai politik untuk mendapatkan perwakilan yang dilihat dari
presentase perolehan suara di Pemilu yang dikenal dengan istilah Threshold. Terdapat 2 istilah threshold yang digunakan di beberapa
Negara yaitu Electoral Threshold (ET) dan
Parliamentary Threshold (PT). Di
Indonesia pada Pemilu 2004 diterapkan electoral
threshold dan pada Pemilu 2009 diterapkan parliamentary threshold. (A.R Hanta Yuda, 2010: 282). ET merupakan
ambang batas persyaratan minimal yang harus diperoleh partai politik untuk
mengikuti Pemilu periode berikutnya. Sedangkan PT merupakan ambang batas
persyaratan minimal yang harus diperoleh partai politik untuk mendapatkan kursi
di parlemen. Batas threshold pemilu 1999 hingga 2009 adalah
sebagai berikut :
1.
Berdasarkan UU no 3 tahun 1999 tentang pemilihan
umum (1999) pasal 39 ayat 3 menyatakan
bahwa : Untuk dapat mengikuti pemilihan umum berikutnya , partai politik harus
memiliki sebanyak 2% dari jumlah kursi DPR atau memiliki sekurang-kurangnya 3%
jumlah kursi DPRD I atau DPRD II yang tersebar sekurang-kurangnya di setengah
jumlah provinsi dan setengah jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia
berdasarkan hasil pemilihan umum. Oleh karena itu berdasarkan pasal tersebut
partai politik yang tidak memenuhi batas atau kurang dari batas minimal
tersebut tidak diperbolehkan untuk mengikuti pemilu selanjutnya kecuali partai
politik tersebut bergabung dengan partai politik yang lain.
2.
Berdasarkan UU no 12 tahun 2003 tentang
pemilihan umum (2004) yang terdapat dalam pasal 9 ayat 1 menyatakan bahwa :
untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya partai politik peserta pemilu harus
memperoleh sekurang-kurangnya 3% jumlah kursi DPR, sekurang-kurangnya 4% jumlah
kursi DPRD provinsi, dan memperoleh sekurang-kurangnya 4% jumlah kursi DPRD
kabupaten/kota. Jika partai politik tidak memenuhi syarat tersebut maka partai
tersebut harus bergabung dengan partai lain dengan memakai salah satu nama
partai yang bergabung atau mendirikan partai baru berdasarkan dua partai.
3.
Berdasarkan UU no 10 tahun 2008 tentang
pemilihan umum (2009) dalam pasal 8 ayat 1 menyatakan bahwa partai politik yang
dapat menjdi peserta pemilu setelah memenuhi persyaratan, yaitu memiliki
kepengurusan di 2/3 jumlah provinsi, kepengurusan di 2/3 jumlah kabupaten/kota,
menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan dalam kepengurusan,
dan memiliki anggota sekurang-kurangnya 1/1.000 dari jumlah penduduk dalam
setiap kepengurusan. Partai politik yang mengikuti pemilu sebelumnya boleh
untuk mengikuti pemilu selanjutnya.
Berdasarkan pernyatan
diatas terdapat beberapa perbedaan threshold dari pemilu 1999, 2004, hingga
2009 yang menunjukkan peningkatan terhadap batas minimal partai politik untuk
mengikuti pemilu, sehingga akan mempengaruhi pula terhadap partai politik
peserta pemilu yang mengalami penyederhanaan jumlah. Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya dinamika partai politik peserta pemilu juga mengalami perubahan
yang dipengaruhi threshold tersebut. Perubahan yang cukup siginifikan terjadi
antara pemilu 1999 dengan pemilu 2004. Peserta pemilu pada tahun 1999 cukup
banyak sekitar 48 partai sedangkan pada pemilu 2004 hanya 24 partai hal
tersebut dikeranakan ada sebagian partai
yang tidak memenuhi batas minimal untuk mengikuti pemilu bergabung dengan
partai yang lain dan membentuk partai baru. tetapi ada pula partai yang tidak
lulus seleksi tersebut tidak mengikuti pemilu kembali.
Menurut Hanta Yuda A.R (2004: 283) pelaksanaan
ET pada Pemilu 2004 tidak efektif untuk menyederhanakan partai politik karena
para pemimpin partai yang tidak lolos ET masih bisa mendirikan partai baru
untuk ikut dalam Pemilu selanjutnya. Dapat disimpulkan bahwa ET tidak memiliki
implikasi terhadap penyederhanaan kekuatan parpol di parlemen. Berbeda dengan
PT yang dilaksanakan pada Pemilu 2009 yang lebih efektif untuk mengurangi
jumlah partai politik peserta Pemilu. Partai yang tidak mampu untuk mencapai
ambang batas minimal untuk mendapatkan kursi di parlemen yang telah ditetapkan
tidak boleh mengirimkan wakilnya di parlemen.
Perbedaan lainnya antara Pemilu 2009 dengan Pemilu 2004 terdapat pada
sistem proporsional terbuka dalam penetapan calon terpilih (Legowo, 2008: 23). Pemilu
2009 menetapkan perolehan suara minimal 30% dari BPP DPR sebagaimana tercantum
dalam pasal 214 ayat 1 dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
Melihat
hasil penghitungan perolehan suara setiap calon.
b.
Calon
terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota ditetapkan
berdasarkan calon yang memperoleh sekurang-kurangnya 30% dari BPP.
c.
Jika
tidak ada calon yang memperoleh sekurang-kurangnya 30% maka calon terpilih
ditetapkan berdasarkan nomor urut.
d.
Jika
jumlah calon yang memenuhi ketentuan 30% lebih sedikit dari jumlah kursi yang
diperoleh partai politik peserta Pemilu, maka kelebihan kursi diberikan kepada
calon berdasarkan nomor urut
e.
Jika
jumlah calon yang memenuhi ketentuan 30% lebih banyak dari jumlah kursi yang
diperoleh partai politik peserta Pemilu, maka penentuan calon terpilih
diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil diantara calon yang
bersangkutan.
f.
Dalam
hal terdapat dua atau lebih calon yang memenuhi ketentuan 30% dengan perolehan
suara yang sama maka penentuan calon terpilih diberikan kepada calon yang
memiliki nomor urut lebih kecil diantara calon yang bersangkutan.
Hal inilah yang membedakan antara Pemilu 2004 dan 2009, namun dengan adanya
peraturan BPP 30% tersebut telah dianggap kurang demokratis. Hal tersebut
dikarenakan dengan sistem yang menggunakan BPP 30% memungkinkan untuk
memunculkan peran dominan partai politik dalam menentukan calon yang akan terpilih.
Meskipun pelaksanaan pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, tetapi dalam
penghitungan suara terdapat peraturan yang pada akhirnya akan mempengaruhi
bahkan perubahan terhadap hasil pemilihan. Penggunaan BPP 30% telah menimbulkan
kerancuan dari sistem Pemilu yang dilaksanakan, nomor urut menjadi suatu
ketentuan yang mutlak untuk caleg memperoleh kursi.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
3.2. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku
Abdullah, R. (2009). Mewujudkan
Pemilu yang Lebih Berkualitas: Pemilu Legislatif. Jakarta: Rajawali Pers.
A.R, Hanta Yuda. (2010). Presidensialisme Setengah Hati: Dari Dilema Ke Kompromi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Chilcote, R. (2007). Teori
Perbandingan Politik. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Ismanto, I. (2004). Pemilihan
Presiden Secara Langsung 2004: Dokumentasi, Analisis, dan Kritik. Jakarta:
Galangpress Group.
Kirbiantoro, S dan Rudianto, D. (2006). Pergulatan Ideologi Partai Politik Di
Indonesia: Nasionalisme-Islamisme,Komunisme-Militerisme. Jakarta: Inti Media
Publisher.
Legowo, T.A dan Salang, S. (2008). Panduan Menjadi Calon Anggota DPR/DPD/DPRD Menghadapi Pemilu.
Jakarta: Forum Sahabat.
LIPI. (2007). Pusat
Penelitian Politik year 2007: Democrazy Pilkada. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Oliver, D. (2003). Constitutional
Reform in the United Kingdom. London: Oxford University Press.
Pahlevi, I. (tanpa tahun). Pemilu 2009: Transisi Menuju Konsolidasi Demokrasi, Studi Terhadap
Sistem Pemilu Menurut UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan
DPR. Jakarta: Tanpa Penerbit.
Syamsuddin, H dkk. (1998). Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru: Sebuah Bunga Rampai. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Winarno, B. (2008). Sistem
Politik Indonesia Era Reformasi. Yogyakarta: Media Pressindo.
Sumber Internet
Farrasnia. (2012). Budaya
Politik Indonesia [Online]. Tersedia: http://farrasnia-budayapolitikindonesia.blogspot.com
[8 Oktober 2012].
Firmansyah. (2012). Melihat
Pemilu Masa Orde Baru [Online]. Tersedia:
http://mansyah24.blogspot.com/2012/05/melihat-Pemilu-pada-masa-orde-baru-dan.html
[8 Oktober 2012].
Septianingrum, G. (2012). Budaya Politik yang Berkembang di Indonesia [Online]. Tersedia: http://politik.kompasiana.com/2012/05/30/budaya-politik-yang-berkembang-di-indonesia-466971.html
[9 Oktober 2012].
Tanpa Nama. (2008). Sejarah
Pemilihan Umum Orde Baru [Online]. Tersedia: http://www.pemiluindonesia.com/sejarah/pemilihan-umum-orde-baru-1977-1997.html
[9 Oktober 2012].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar