Jumat, 27 Desember 2013

Makalah Pasca Jatuhnya Soeharto


BAB I
PENDAHULUAN

1.1.    Latar Belakang

Pemilihan Umum merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara kesatuan republic Indonesia yang berdasarkan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pelaksanaan pemilu menjadi suatu sarana dan momen yang penting bagi berlangsungnya kehidupan demokrasi di Indonesia. Dimana dalam hal ini rakyat diberi kebebasan untuk memmilih secara langsung calon wakil rakyat yang akan duduk di kursi pemerintahan. Pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali pada hari libur atau pada hari yang diliburkan berdasarkan asa langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Pemilu diharapkan dapat mengkondisikan terselenggaranya suatu mekanisme pemerintahan secara tertib, teratur, berkesinambungan dan berjalan dengan damai yang pada akhirnya akan memberikan suatu perkembangan terhadap terbinanya masyarakat yang dapat menghormati pendapat dan pilihan orang lain.
Berbicara tentang pemilu tentu berhubungan pula dengan sistem pemilu. Sistem pemilu merupakan seperangkat metode yang mengatur warga Negara memilih para wakilnya. Sistem pemilihan umum dapat berupa seperangkat metode untuk mentransfer suara pemilih ke dalam suatu kursi di lembaga legislative atau parlemen. Sejalan dengan perubahan sistem pemilu bahwa sistem pemilihan merupakan sesuatu yang sangat penting dalam sebuah Negara demokrasi, karena sistem pemilihan membawa konsekuensi yang sangat besar terhadap proporsionalitas hasil pemilihan. Hal tersebut menyangkut kepada sistem kepartaian yang terlibat dalam sebuah sistem pemilihan.

Setelah jatuhnya kekuasaan rezim Orde Baru pada tanggal 21 Mei 1998, terdapat 3 perubahan mendasar dalam mekanisme pemilu. Pertama, kembalinya sistem multipartai dari sistem tripartai dalam pemilu yang direalisasikan dalam pemilu 1999. Kedua adalah pada pemilu 2004, pemilu yang diadakan dua kali, pemilu pertama untuk memilih wakil-wakil rakyat dan pemilu kedua untuk memilih presiden dan wakil presiden secara langsung. Perubahan ketiga, yaitu dengan dikeluarkannya PP No. 6 tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahan, pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagai landasan dan pedoman pelaksanaan Pilkada secara langsung.
Pemilihan umum secara langsung harus diakui sebagai suatu langkah yang besar dan berani dalam perkembangan politik di Indonesia. Namun disisi lain pemilu sebagai suatu agenda nasional di bidang politik memerlukan suatu proses yang panjang. Dalam pelaksanaannya dilakukan secara bertahap yang merupakan bagian dari rangkaian kegiatan pemilu. Sebagai konsekuensi dari perubahan sistem pemilu yang dilaksanakan pada era reformasi  menyangkut budaya politik dapat menimbulkan kebingungan khususnya di kalangan masyarakat yang jauh dari pusat informasi politik dan masih melihat hubungan antara pusat dan daerah hanya melaui birokrasi Negara.

1.2.    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, disusun rumusan masalah dalam bentuk pertanyaan, sebagai berikut:
1.    Bagaimana perubahan budaya politik di Indonesia pasca jatuhnya Orde Baru?
2.    Apa perbedaan sistem Pemilu pada masa Reformasi dengan sistem Pemilu pada masa Orde Baru?
3.    Bagaimana dinamika partai politik pada masa reformasi?
4.    Bagaimana sistem Pemilu tahun 2004 dibandingkan dengan sistem Pemilu tahun 1999 dan 2009?

1.3.    Tujuan Penulisan
1.      Mendeskripsikan perubahan budaya politik yang terjadi di Indonesia pasca jatuhnya Orde Baru.
2.      Mengidentifikasi perbedaan sistem Pemilu pada masa Reformasi dengan sistem Pemilu pada masa Orde Baru.
3.      Mendeskripsikan dinamika partai politik di Indonesia pada masa Reformasi, mulai dari Pemilu, 1999, 2004, hingga 2009.
4.      Mendeskripsikan sistem Pemilu tahun 2004 lalu membandingkannya dengan sistem Pemilu tahun 1999 dan 2009.

1.4.    Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Bab I dalam makalah ini berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II PEMBAHASAN
Bab II dalam makalah ini akan membahas mengenai Pemilihan Umum Pada Era Reformasi di Indonesia. Adapun aspek yang akan dibahas dalam BAB II ini meliputi perubahan budaya politik Indonesia pasca jatuhnya Orde Baru. Aspek selanjutnya adalah Perbedaan Sistem Pemilu Masa Reformasi dengan Masa Orde Baru dan sistem pemilu 2004 dibandingkan dengan sistem pemilu 1999 dan 2009.
BAB III KESIMPULAN
Bab III dalam penulisan makalah ini berisi mengenai kesimpulan dan saran dari hasil kajian.




BAB II
PEMBAHASAN

2.1.  Perubahan Budaya Politik Indonesia Pasca Jatuhnya Orde Baru

2.1.1. Budaya Politik
Budaya politik adalah pola tingkah laku individu dan orientasinya terhadap kehidupan politik. Budaya politik dilihat dari perilaku politik masyarakat antara mendukung juga perilaku yang dipengaruhi oleh orientasi umum atau opini publik. Setidaknya ada empat tipe budaya politik (Farrasnia, 2012), yakni:
·         Budaya parokial yaitu budaya politik yang terbatas pada wilayah tertentu bahkan masyarakat belum memiliki kesadaran berpolitik, sekalipun ada menyerahkannya kepada pemimpin lokal seperti suku.
·         Budaya kaula artinya masyarakat sudah memiliki kesadaran terhadap sistem politik namun tidak berdaya dan tidak mampu berpartisipasi sehingga hanya melihat outputnya saja tanpa bisa memberikan input.
·         Budaya partisipan yaitu budaya dimana masyarakat sangat aktif dalam kehidupan politik.
·         Budaya politik campuran, maksudnya disetiap bangsa budaya politik itu tidak terpaku kepada satu budaya, sekalipun sekarang banyak negara sudah maju, namun ternyata tidak semuanya berbudaya partisipan, masih ada yang kaula dan parokial. Inilah yang kemudian disebut sebagai budaya politik campuran.

2.1.2.  Budaya Politik Masa Orde Baru
Gaya politik masa Orde Baru yang lebih menonjol adalah gaya intelektual yang pragmatik dalam penyaluran tuntutan. Dimana pada masa ini secara material, penyaluran tuntutan lebih dikendalikan oleh koalisi besar antara Golkar dan ABRI, yang pada hakekatnya berintikan teknokrat dan perwira-perwira yang telah kenal teknologi modern. Sementara itu, proses pengambilan keputusan kebijakan publik yang hanya diformulasikan dalam lingkaran elit birokrasi dan militer yang terbatas sebagaimana terjadi dalam tipologi masyarakat birokrasi. Akibatnya masyarakat hanya menjadi objek mobilisasi kebijakan para elit politik karena segala sesuatu telah diputuskan di tingkat pusat dalam lingkaran elit terbatas.
Sifat birokrasi yang bercirikan patron-klien melahirkan tipe birokrasi patrimonial, yakni suatu birokrasi dimana hubungan-hubungan yang ada, baik intern maupun ekstern adalah hubungan antar patron dan klien yang sifatnya sangat pribadi dan khas. Budaya politik yang berkembang pada era Orde Baru adalah budaya politik subjek. Dimana semua keputusan dibuat oleh pemerintah, sedangkan rakyat hanya bisa tunduk di bawah pemerintahan Presiden Soeharto. Kalaupun ada proses pengambilan keputusan hanya sebagai formalitas karena yang keputusan kebijakan publik yang hanya diformulasikan dalam lingkaran elit birokrasi dan militer. Di masa Orde Baru kekuasaan patrimonialistik telah menyebabkan kekuasaan yang tidak terkontrol sehingga negara menjadi sangat kuat sehingga peluang tumbuhnya sipil terhambat. 

2.1.3.  Budaya Politik Masa Reformasi 
Budaya politik yang berkembang pada era reformasi ini adalah budaya politik yang lebih berorientasi pada kekuasaan yang berkembang di kalangan elit politik. Budaya seperti itu telah membuat struktur politik demokrasi tidak dapat berjalan dengan baik. Walaupun struktur dan fungsi-fungsi sistem politik Indonesia mengalami perubahan dari era yang satu ke era selanjutnya, namun tidak pada budaya politiknya. Menurut Karl D. budaya Jawa telah mempunyai peran yang cukup besar dalam mempengaruhi budaya politik yang berkembang di Indonesia. Relasi antara pemimpin dan pengikutnya pun menciptakan pola hubungan patron-klien (bercorak patrimonial). Kekuatan orientasi individu yang berkembang untuk meraih kekuasaan dibandingkan sebagai pelayan publik di kalangan elit merupakan salah satu pengaruh budaya politik Jawa yang kuat.
Dengan menguatnya budaya paternalistik, masyarakat lebih cenderung mengejar status dibandingkan dengan kemakmuran. Reformasi pada tahun 1998 telah memberikan sumbangan bagi berkembangnya budaya poltik partisipan, namun kuatnya budaya politik patrimonial dan otoriterianisme politik yang masih berkembang di kalangan elit politik dan penyelenggara pemerintahan masih senantiasa mengiringi. Walaupun rakyat mulai peduli dengan input-input politik, akan tetapi tidak diimbangi dengan para elit politik karena mereka masih memiliki mentalitas budaya politik sebelumnya. Sehingga budaya politik yang berkembang cenderung merupakan budaya politik subjek-partisipan.
Menurut Ignas Kleden (Winarno, 2008), terdapat lima preposisi tentang perubahan politik dan budaya politik yang berlangsung sejak reformasi 1998, antara lain:
a)      Orientasi Terhadap kekuasaan
Orientasi terhadap kekuasaan ini tampak menonjol dalam partai politik, orientasi pengejaran kekuasaan yang sangat kuat dalam partai politik telah membuat partai-partai politik era reformasi lebih bersifat pragmatis.
b)      Politik mikro vs politik makro
Politik Indonesia sebagian besar lebih berkutat pada politik mikro yang terbatas pada hubungan-hubungan antara aktor-aktor politik, yang terbatas pada tukar-menukar kepentingan politik. Sedangkan pada politik makro tidak terlalu diperhatikan dimana merupakan tempat terjadinya tukar-menukar kekuatan-kekuatan sosial seperti negara, masyarakat, struktur politik, sistem hukum, civil society, dan sebagainya.
c)      Kepentingan negara vs kepentingan masyarakat
Realitas politik lebih berorientasi pada kepentingan negara dibandingkan kepentingan masyarakat.
d)     Bebas dari kemiskinan dan kebebasan beragama.
Krisis moneter yang menjadi penyebab jatuhnya rezim Orde Baru menuntut kehidupan politik yang dapat memperjuangkan rakyat untuk melawan kemiskinan. Selain itu, kebebasan beragama semakin mendapatkan tempatnya di masa reformasi.
e)      Desentralisasi politik
Isu desentralisasi kekuasaan semakin santer disuarakan pada masa reformasi. Hal ini berujung dengan keluarnya kebijakan otonomi daerah.
Pasca runtuhnya masa Orde Baru terdapat beberapa perubahan politik yaitu antara lain:
ü  Kebebasan Pendapat
Pada masa pemerintahan reformasi, dapat dikatakan bahwa orang bebas mengemukakan pendapatnya di muka umum. Pemimpin baru bangsa Indonesia pada masa ini memberikan ruang bagi siapa saja yang ingin menyampaikan pendapat, baik dalam bentuk rapat-rapat umum maupun unjuk rasa atau demontrasi.
ü  Berkurangnya Dwifungsi ABRI
Setelah reformasi dilaksanakan, peran ABRI di Perwakilan Rakyat DPR mulai dikurangi secara bertahap. Langkah lain yang ditempuh adalah ABRI semula terdiri dari empat angkatan yaitu Angkatan Darat, Laut, dan Udara serta Kepolisian RI, namun mulai tanggal 5 Mei 1999 Polri memisahkan diri dari ABRI dan kemudian berganti nama menjadi Kepolisian Republik Indonesia (POLRI). Istilah ABRI pun berubah menjadi TNI yang terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.
ü  Hukum
Selama pemerintahan Orde Baru, karakter hukum cenderung bersifat konservatif, ortodoks maupun elitis. Sedangkan hukum ortodoks lebih tertutup terhadap kelompok-kelompok sosial maupun individu didalam masyarakat. Pada hukum yang berkarakter tersebut, maka porsi rakyat sangatlah kecil, bahkan bisa dikatakan tidak ada sama sekali. Oleh karena itu, produk hukum dari masa pemerintahan Orde Baru sangat tidak mungkin untuk dapat menjamin atau memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, berkembangnya demokrasi serta munculnya kreativitas masyarakat.
ü  Pemilihan Umum
Setelah runtuhnya Orde Baru indonesia masuk ke era roformasi, selama masa reformasi saat ini, indonesia sudah melaksanakan pemeilihan umum sebanyak 3 kalai, masing tahun 1999, 2004 dan 2009. Berbeda dengan Pemilu sebelumnya, Pemilu era reformasi diatur dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1999, tentang Pemilihan Umum. Dalam pelaksanaan Pemilu di era reformasi menggunakan asas, langsung, umum, bebas, rahasia, serta jujur dan adil (Mansyah, 2012).

2.2.  Perbedaan Sistem Pemilu Masa Reformasi dengan Masa Orde Baru

Membandingkan sistem Pemilu pada masa reformasi dengan masa Orde Baru berarti membandingkan dua sistem politik dalam lingkup yang lebih khusus pada masa kepemimpinan yang berbeda. Dalam membandingkan sistem Pemilu antara masa reformasi dengan Orde Baru, penulis menggunakan teori perbandingan politik dari Herbert Spiro. Menurut Spiro (Chilcote, 2007), dalam membandingkan suatu isu, kita dapat melihatnya dari empat segi, yaitu stabilitas, fleksibilitas, efisiensi, dan efektivitasnya. Sehingga dengan berpijak pada teori tersebut,  perbedaan dan perbandingan antara sistem Pemilu pada masa reformasi dan masa Orde Baru dapat dilihat dengan melakukan perbandingan melalui keempat segi tersebut, namun sebelumnya akan dibahas terlebih dahulu ciri-ciri Pemilu pada kedua periode tersebut.

2.2.1.  Sistem Pemilu Masa Orde Baru
Pada masa Orde Baru, Pemilu dilakukan setiap lima tahun sekali (kecuali periode 1971-1977 yang berselisih enam tahun) untuk memilih anggota legislatif dan Presiden serta Wakil Presiden. Masyarakat bebas memilih partai yang disukainya yang ikut dalam Pemilu. Pada masa itu masyarakat hanya memilih partai, dan tidak memilih presiden secara langsung. Anggota legislatif ditentukan oleh pemerintah yang berkuasa berdasarkan daftar yang diajukan oleh panitia yang ditunjuk oleh presiden. Pada masa itu, panitia yang bertugas mencari calon anggota legislatif ialah militer di setiap daerah. Daftar nama calon itu kemudian diserahkan kepada presiden.
Biasanya setiap masa pemilihan, presiden selalu menyeleksi anggota legislatif tersebut. Ketika itu Presiden Soeharto dalam menentukan anggota legislatif melihat semua golongan dan suku (meskipun tidak semua suku terwakili). Artinya anggota legislatif harus sudah mewakili semua golongan masyarakat. Misalnya golongan petani, buruh, cendekiawan, budayawan, dan lain sebagainya. Selain itu, Presiden Soeharto juga melihat suku. Anggota legislatif selalu diupayakan mewakili semua suku yang ada di Indonesia, meskipun selalu didominasi oleh suku Jawa dan golongan militer.
Untuk pemilihan presiden dilakukan oleh anggota DPR dan MPR. Anggota DPR dan MPR yang telah terpilih kemudian akan memilih Presiden dan Wakil Presiden. Anggota DPR dan MPR yang awalnya dipilih oleh panitia (namun atas kehendak presiden) merasa berhutang budi kepada Presiden Soeharto. Hal tersebut menyebabkan anggota DPR dan MPR membalas budi dengan menetapkan Soeharto kembali menjadi Presiden sebagai calon tunggal. Sehingga selama Orde Baru Presiden dijabat oleh Soeharto dan sistem pemilihan berlangsung seperti itu selama 32 tahun masa Orde Baru.

2.2.2.  Sistem Pemilu Masa Reformasi
Sama halnya dengan masa Orde Baru, Pemilu pada masa reformasi juga masih diadakan setiap lima tahun sekali. Namun sistemnya sudah berbeda dengan sistem Pemilu pada masa Orde Baru. Pada masa sekarang, pemilihan umum diadakan secara langsung. Dimana semua anggota legislatif (DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan DPD) dipilih langsung oleh masyarakat, bukan lagi oleh panitia yang ditetapkan oleh pemerintah. Selain itu, presiden dan wakil presiden juga sudah dipilih secara langsung oleh masyarakat, bukan lagi oleh anggota DPR dan MPR.
Bukan hanya sistem Pemilunya yang berbeda, tapi masa jabatannya juga telah berubah. Jika pada masa Orde Baru, masa jabatan presiden tidak dibatasi, maka pada masa reformasi sekarang masa jabatan presiden dibatasi maksimal dua periode (10 tahun). Sehingga tidak akan ada lagi pemimpin seumur hidup di negeri ini.

2.2.3.  Perbandingan Sistem Pemilu Pada Masa Reformasi dengan Orde Baru

v  Stabilitas
Apabila ditinjau dari segi stabilitas, dapat kita lihat bahwa Pemilu pada masa Orde Baru lebih stabil dari masa sekarang. Pemilu sekarang kerap kali menimbulkan konflik antara pihak yang kalah dengan pihak yang menang. Sebab pihak yang kalah sering kali tidak mau menerima kekalahan dengan lapang dada. Selain itu hasil dari pemilihan juga tidak seperti dulu, khususnya legislatif. Jika dulu anggota legislatif mewakili semua golongan, maka sekarang belum tentu. Kebanyakan anggota legislatif adalah orang kaya dan pengusaha, karena orang miskin sulit untuk mencalonkan diri sebagai caleg (calon anggota legislatif). Sebab untuk masuk sebagai caleg, harus membayar mahal kepada partai, belum lagi biaya kampanye yang juga tidak sedikit.

v  Fleksibilitas
Pemilu pada masa Orde Baru dapat dikatakan lebih fleksibel daripada Pemilu masa reformasi kini. Hal tersebut terjadi karena sistem pada masa Orde Baru cenderung stagnan. Selain itu partainya juga hanya itu-itu saja. Jadi masyarakat tidak mengalami kesulitan dalam mengenali partai. Berbeda dengan sekarang, Pemilu diikuti oleh puluhan partai yang tentunya didominasi oleh partai-partai baru. Banyak masyarakat yang tidak mengenali partai baru tersebut, khususnya masyarakat pedesaan dan masyarakat yang berpendidikan rendah.

v  Efisiensi
Pemilu pada masa Orde Baru tidak memakan waktu yang banyak karena hanya diadakan satu kali saja untuk memilih partai yang duduk di DPR / MPR, sedangkan pada masa sekarang Pemilu diadakan dalam dua tahap (memilih anggota legislatif dan presiden / wakil presiden), bahkan sampai tiga tahap seperti yang terjadi pada Pemilu tahun 2004 lalu, dimana pemilihan presiden / wakil presiden dilaksanakan hingga dua tahap apabila tidak ada pemenang yang memperoleh suara lebih dari 50%. Tahapan Pemilu tersebut membutuhkan tenggang waktu yang tidak pendek, mencapai dua sampai tiga bulan. Pada Pemilu tahun 2004 lalu misalnya. Pemilihan anggota legislatif dilaksanakan pada bulan April, sedangkan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden baru dilaksanakan pada bulan Juli. Kemudian pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahap kedua dilaksanakan pada bulan September. Jadi jika dikalkulasikan, maka negeri ini butuh waktu hampir satu tahun untuk melaksanakan Pemilu. Berbeda dengan sistem Orde Baru, yang hanya butuh waktu dalam jumlah bulan dan itupun tidak sampai lebih dari dua bulan. Jadi Pemilu pada masa Orde Baru memang lebih efisien dibandingkan dengan Pemilu pada masa sekarang.

v  Efektivitas
Pemilu pada masa reformasi membutuhkan biaya yang cukup besar, mencapai triliunan rupiah. Itu belum termasuk biaya untuk melakukan pilkada di tingkat provinsi dan kabupaten kota. Pemilu harus diadakan setidaknya dalam dua tahap, yakni pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden serta wakil presiden. Sementara pada masa Orde Baru, Pemilu hanya berlangsung satu tahap saja. Jadi tidak membutuhkan biaya yang sebanyak Pemilu sekarang. Belum lagi pemilihan kepala daerah. Jika pada masa Orde Baru, kepala daerah ditentukan oleh pemerintah pusat, jadi tidak membutuhkan biaya untuk melakukan proses pilkada seperti yang terjadi sekarang. Jadi apabila kita telaah lagi, memang Pemilu di masa Orde Baru lebih efektif dalam hal penggunaan anggaran. Namun masyarakat tidak bebas memilih, karena yang terpilih pasti itu-itu saja. Sehingga hasil pemilihan kerap kali tidak sesuai dengan harapan masyarakat
Berdasarkan perbandingan yang dilihat dari empat segi diatas, dapat disimpulkan bahwa Pemilu pada masa Orde Baru memang dapat dikatakan lebih baik dibandingkan dengan Pemilu pada masa reformasi sekarang ini, apabila dilihat dari segi sistem pelaksanaan. Kendati demikian, tidak serta merta kita mengatakan bahwa Pemilu pada masa reformasi itu buruk, karena ada juga dampak positifnya, yaitu masyarakat lebih bebas menentukan pilihannya yang sesuai dengan harapannya. Selain itu kehidupan politik di Indonesia dapat berlangsung secara bebas dan demokratis pada masa reformasi ini.




2.3.  Dinamika Partai Politik Indonesia Pada Masa Reformasi

Setelah runtuhnya rezim Orde Baru, banyak terjadi reformasi di berbagai tatanan kehidupan bangsa Indonesia, terutama pada kancah perpolitikan. Setelah terpasung selama 32 tahun, pada masa reformasi kebebasan dalam kehidupan berpartai kembali dibuka melalui Undang-Undang No. 3 Tahun 1999. Kala itu partai politik yang pada masa Orde Baru hanya berjumlah tiga saja, tiba-tiba meningkat tajam dan tumbuh subur bagaikan jamur di musim hujan sesuai dengan tingkat keanekaragaman yang terdapat dalam masyarakat majemuk Indonesia.
Paradigma yang berkembang saat itu menempatkan partai politik sebagai sarana yang paling cocok untuk menyampaikan aspirasi dan menegakkan demokrasi. Partai politik juga merupakan alat yang paling mempunyai kesempatan untuk melakukan perubahan kekuasaan politik negara yang terorganisasi (Kirbiantoro dan Rudianto, 2003: 3). Pada masa ini pula partai politik mendapatkan ruang yang luas  untuk mewujudkan wujud diri sebagai organisasi yang memiliki peran dan fungsi memobilisasi rakyat atas nama kepentingan-kepentingan politik sekaligus memberi legitimasi pada proses-proses politik, di antaranya adalah tentang suksesi kepemimpinan nasional. Namun pada kenyataannya sistem multi partai ini sangat menyulitkan bagi penerapan sistem pemerintahan presidentil untuk bekerja efektif. Partai politik yang menjadi kendaraan politik mempunyai legitimasi yang kuat, akan tetapi kepentingan rakyat sudah tidak lagi terlihat secara nyata oleh karena partai politik menjadi alat elit politik (Oliver, 2003). Hal itu, terbukti dalam pemerintahan yang terbentuk di masa reformasi, mulai dari pemerintahan B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid,  Megawati sampai ke pemerintahan SBY jilid 1 maupun jilid 2 dewasa ini. Keperluan mengakomodasikan kepentingan banyak partai politik untuk menjamin dukungan mayoritas di parlemen sangat menyulitkan efektivitas pemerintahan, termasuk pemerintahan SBY-Boediono yang ada sekarang.

2.3.1.  Pemilu 1999
Partai Politik di Indonesia pada awalnya muncul dengan menjadikan ideologi sebagai nyawa yang memberi semangat bagi kader partainya untuk berjuang. Pada saat itu, partai partai yang yang tadinya berfusi mengalami perpecahan, Seperti PDI pecah menjadi PPDI (Partai Penegak Demokrasi Indonesia) dan PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan). PDIP sendiri pada pecah dan melahirkan partai baru PNBK (Partai Nasional Banteng Kemerdekaan) dan PDP (Partai Demokrasi Pembangunan). Begitu pula Golkar dan PPP pecah menjadi partai-partai kecil. Selain itu banyak partai-partai baru yang muncul seperti PAN (Partai Amanat Nasional) , PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), PBB (Partai Bulan Bintang), dan partai-partai lainnya yang muncul pada Pemilu 1999.
Pemilihan Umum yang dilaksanakan tahun 1999 menjadi sangat penting, karena pemilihan umum tersebut diharapkan dapat memulihkan keadaan Indonesia yang sedang dilanda krisis. Pemilihan umum tahun 1999 juga merupakan Pemilu pertama dalam masa reformasi yang sangat ditunggu oleh masyarakat Indonesia  dalam menunjukkan kehidupan berdemokrasi. Dimana asas yang dipakai adalah LUBER & JURDIL yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pemilu ini dilaksanakan pada tanggal 7 Juni 1999.
Munculnya Undang-Undang politik yang baru memberikan semangat untuk berkembangnya kehidupan politik di Indonesia. Dengan munculnya undang-undang politik itu partai-partai politik bermunculan dan bahkan tidak kurang dari 112 partai politik telah berdiri di Indonesia pada masa itu. Namun dari sekian banyak jumlahnya, hanya 48 partai politik yang berhasil mengikuti pemilihan umum. Hal ini disebabkan karena aturan seleksi partai-partai politik diberlakukan dengan cukup ketat. Pelaksanaan pemilihan umum ditangani oleh sebuah lembaga yang bernama Komisi Pemilihan Umum (KPU). Anggota KPU terdiri dari wakil-wakil dari pemerintah dan wakil-wakil dari partai-partai politik peserta pemilihan umum.
Pemilu 1999 menghasilkan partai-partai yang menduduki lima besar dalam perolehan suara. Mereka adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Amanat Nasional.
Terdapat tiga calon Presiden yang diajukan oleh fraksi-fraksi yang ada di MPR pada tahap pencalonan Presiden diantaranya Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Yuhsril Ihza Mahendra. Namun tanggal 20 Oktober 1999, Yuhsril Ihza Mahendra mengundurkan diri. Oleh karena itu, tinggal dua calon Presiden yang maju dalam pemilihan itu, Abdurrahaman Wahid dan Megawati Soekarnoputri. Dari hasil pemilihan presiden yang dilaksanakan secara voting, Abudurrahman Wahid terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia. Pada tanggal 21 Oktober 1999 dilaksanakan pemilihan Wakil Presiden dengan calonnya Megawati Soekarnoputri dan Hamzah Haz. Pemilihan Wakil Presiden ini kemudian dimenangkan oleh Megawati Soekarnoputri. Kemudian pada tanggal 25 Oktober 1999 Presiden Abdurrahman Wahid dan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri berhasil membentuk Kabinet Persatuan Nasional. Abdurrahman Wahid menduduki jabatan sebagai Presiden Republik Indonesia tidak sampai pada akhir masa jabatannya. Akibat munculnya ketidakpercayaan parlemen pada Presiden Abdurrahman Wahid, maka kekuasaan Abdurrahman Wahid berakhir pada tahun 2001. DPR/MPR kemudian memilih dan mengangkat Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden Republik Indonesia dan Hamzah Haz sebagai Wakil Presiden Indonesia. Masa kekuasaan Megawati berakhir pada tahun 2004.

2.3.2.  Pemilu 2004
Pemilu kedua pada masa reformasi dilaksanakan pada tahun 2004. Pemilu ini merupakan babak baru bagi Pemilu di Indonesia karena merupakan Pemilu pertama dimana rakyat Indonesia bebas memilih secara langsung Presiden dan Wakil Presiden.. Berdasarkan Amandemen keempat UUD 1945 mengenai Perubahan Struktur Politik Indonesia, mekanisme pemilihan para elit politik berubah. Amandemen tersebut menjadikan calon presiden dan wakil presiden dapat dipilih secara langsung oleh rakyat. Selain itu juga dibentuk lembaga baru yakni Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Perubahan ini juga mempengaruhi pemilihan kepala daerah.
Sebelum Pemilu 2004, kekuatan kepartaian terus menguat terutama persaingan politik antara aliran politik nasionalis dan aliran politik agamis. Golongan Karya yang mempunyai hubungan historis yang tidak pernah berbarengan dengan PDI Perjuangan. Kekuatan nasionalis terpecah menjadi dua bagian. Peluang ini dimanfaatkan oleh kelompok nasionalis lainnya untuk menaikan citra politiknya dengan melakukan pembusukan dari luar terhadap partai-partai lama yang berkuasa.
Pemilu 2004 diikuti oleh 24 partai politik yang terdaftar. Partai-partai tersebut berasal dari berbagai aliran ideologi. Ada sebuah tesis yang menyatakan bahwa jika ingin berkuasa di Indonesia maka kuasailah masyarakat muslim yang mayoritas dengan masyarakat militer (Kirbiantoro dan Rudianto, 2006: 6). Berdasarkan hal tersebut maka tidak heran apabila pada Pemilu 2004 Partai Demokrat menggandeng Jusuf Kalla untuk dipasangkan dengan Susilo Bambang Yudhoyono untuk maju dalam pilpres. Partai Demokrat mengusung Susilo Bambang Yudhoyono karena latar belakangnya yang berasal dari kalangan militer, selain itu sifat Partai Demokrat dan Golkar yang plural merupakan ruang yang cukup untuk merangkul umat muslim abangan yang mayoritas di Indonesia. Pada pemilihan umum ini Susilo Bambang Yudhoyono terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia dan Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia untuk masa jabatan 2004-2009.

2.3.3.  Pemilu 2009
Peran partai politik semakin kuat  dan semakin tidak terkontrol dalam Pemilu 2009. Partai politik tetap menjadi lembaga yang sakral untuk menentukan karir politik para politisi yang hendak mencalonkan diri, baik itu sebagai presiden dan kepala daerah, maupun sebagai anggota legislatif yang mewakili rakyat di parlemen. Hal ini terbukti dengan minimnya sukses yang diraih para politisi independen yang tidak mendapat dukungan dari partai politik.
Pemilihan Umum tahun 2009 merupakan Pemilu kedua dimana rakyat memilih presiden dan wakil presiden secara bebas. Pada pemilihan umum ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kembali terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia dengan wakil Presiden Boediono untuk masa jabatan 2009-2014.




2.4.  Sistem Pemilu 2004 Dibandingkan Dengan Sistem Pemilu 1999 dan 2009
Pemilu yang dilaksanakan pada tahun 2004 merupakan Pemilu kedua yang dilaksanakan pasca jatuhnya pemerintahan Orde Baru. Pemilu 2004 merupakan Pemilu yang pertama dilaksanakan setelah berlakunya Amandemen UUD 1945. Pemilu 2004 sendiri dilaksanakan berdasarkan UU No. 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum anggota DPR, DPRD, dan yang menjadi perbedaannya adalah adanya pemilihan anggota DPD yang pada Pemilu sebelumnya tidak ada pemilihan anggota DPD secara langsung. Pemilu 2004 ini juga merupakan Pemilu pertama yang memberikan kebebasan sebagai wujud dari demokrasi bagi rakyat Indonesia untuk memilih secara langsung Presiden dan wakil Presiden sesuai dengan UU No 23 tahun 2003.
Sebelumnya pernah diadakan pula Pemilu pertama pasca runtuhnya Orde Baru yaitu pada tahun 1999 pada masa pemerintahan B J Habibie. Namun pada Pemilu 1999 dilaksanakan dengan sistem proporsional tertutup dan untuk pemilihan presiden dilaksanakan oleh MPR. Pada Pemilu 2004 ini terdapat beberapa perbedaan jika dibandingkan dengan Pemilu yang dilaksanakan sebelumnya. Hal tersebut dikarenakan pada Pemilu 2004 sistem Pemilu yang digunakan cenderung berbeda-beda bergantung siapa yang akan dipilih. Dalam pemilihan terhadap presiden, anggota parlemen seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), DPRD I (tingkat provinsi), dan DPRD II (tingkat kabupaten/kota), serta Dewan Perwakilan Daerah (DPD) memiliki sistem yang berbeda dalam pemilihannya. Pemilu diadakan secara serempak di seluruh Indonesia pada tanggal 5 April 2004 untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD. Sedangkan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan putaran I pada tanggal 5 juli 2004 dan putaran II pada tanggal 20 September 2004.
Pemilihan umum anggota DPR dan anggota DPRD dilaksanakan dengan menggunakan sebuah sistem proporsional dengan daftar calon terbuka. Apa yang dimaksud dengan sistem ini adalah pemilih dapat memilih calon secara personal, bukan hanya dengan memilih nama partai. Dikarenakan dalam pemilihan umum tahun 2004 bukan hanya mencantumkan nama partai tetapi juga mencantumkan nama calon wakil rakyat. Hal tersebut sesuai dengan yang tercantum dalam UU No. 12 tahun 2003 bahwa pemilihan anggota DPR, DPRD I (Provinsi) dan DPRD II (Kabupaten/Kota) dilaksanakan dengan menggunakan sistem proporsional dengan daftar calon terbuka. Melalui sistem ini rakyat memperoleh kebebasan untuk memilih secara langsung anggota parlemen atau wakil rakyat. Pemilu yang menggunakan sistem proporsional dengan sistem daftar calon terbuka tersebut memiliki karakteristik adanya Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) berdasarkan nomor urut calon yang tersusun dalam UU No 12 tahun 2003 pasal 106 dengan ketentuan sebagai berikut:

1.      Apabila jumlah suara sah suatu partai politik peserta Pemilu sama dengan atau lebih besar dari BPP, maka dalam penghitungan tahap pertama diperoleh sejumlah kursi dengan kemungkinan terdapat sisa suara yang akan dihitung dalam penghitungan tahap kedua
2.      Apabila jumlah suara sah partai politik peserta Pemilu lebih kecil dari BPP maka dalam penghitungan tahap pertama tidak diperoleh kursi, dan jumlah suara sah tersebut dikategorikan sebagai sisa suara yang akan dihitung dalam penghitungan tahap kedua dalam hal masih teradapat sisa kursi di daerah pemilihan yang bersangkutan
3.      Penghitungan perolehan kursi tahap kedua dilakukan apabila masih terdapat sisa kursi yang belum terbagi dalam penghitungan tahap pertama, dengan cara membagikan jumlah sisa kursi yang belum terbagi kepada partai politik peserta Pemilu satu demi satu berturut-turut sampai habis, dimulai dari partai politik peserta Pemilu yang mempunyai sisa suara terbanyak.

Berikut ini adalah data perolehan suara hasil Pemilu legislatif dan Pemilu Presiden tahun 2004 sebagaimana dikutip dari situs www.partai.info:





No Urut
Partai
Perolehan Suara
Persentase

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24

PNI Marhaenisme
Partai Buruh Sosial Demokrat
Partai Bulan Bintang
Partai Merdeka
Partai Persatuan Pembangunan
Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan
Partai Perhimpunan Indonesia Baru
Partai Nasional Banteng Kemerdekaan
Partai Demokrat
Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia
Partai Penegak Demokrasi Indonesia
Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia
Partai Amanat Nasional
Partai Karya Peduli Bangsa
Partai Kebangkitan Bangsa
Partai Keadilan Sejahtera
Partai Bintang Reformasi
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
Partai Damai Sejahtera
Partai Golongan Karya
Partai Patriot Pancasila
Partai Sarikat Indonesia
Partai Persatuan Daerah
Partai Pelopor

923.159
636.397
2.970.487
842.541
9.248.764
1.313.654
672.952
1.230.455
8.455.225
1.424.240
855.811
895.610

7.303.324
2.399.290
11.989.564
8.325.020
2.764.998
21.026.629
2.414.254
24.480.757
1.073.139
679.296
657.916
878.932

0,81%
0,56%
2,62%
0,74%
8,15%
1,16%
0,59%
1,08%
7,45%
1,26%
0,75%
0,79%

6,44%
2,11%
10,57%
7,34%
2,44%
18,53%
2,13%
21,58%
0,95%
0,60%
0,58%
0,77%
JUMLAH
113.468.414
100,00%

Pemilu Legislatif


Pemilu Presiden Putaran I
No Urut
Pasangan Capres / Cawapres
Perolehan Suara
Persentase
1
Wiranto / Salahuddin Wahid
23.827.512
22,19 %
2
Megawati Soekarnoputri / Hasyim Muzadi
28.186.780
26,24%
3
Amien Rais / Siswono Yudo Husodo
16.042.105
14,94%
4
Susilo Bambang Yudhoyono / Jusuf Kalla
36.070.622
33,58%
5
Hamzah Haz / Agum Gumelar
3.276.001
3,05%
JUMLAH
107.403.020
100,00%

Pemilu Presiden Putaran II
No Urut
Pasangan Capres / Cawapres
Perolehan Suara
Persentase
2
Megawati Soekarnoputri / Hasyim Muzadi
44.990.704
39,38%
4
Susilo Bambang Yudhoyono / Jusuf Kalla
69.266.350
60,62%
JUMLAH
114.256.054
100,00%


Pada pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Pemilu 2004 menggunakan sistem yang berbeda pula, yaitu dengan menggunakan sistem Single Non Transverable Vote (SNTV). Sistem SNTV merupakan bagian dari sistem semi proporsional dimana merupakan suatu bentuk yang khusus, pembatasan suara dimana masing-masing pemilih hanya mempunyai satu suara dalam suatu distrik yang umumnya hanya tersedia tiga sampai lima wakil. Keuntungan dari dilaksanakannya sistem ini adalah lebih memungkinkan dan mempermudah partai-partai kecil untuk memperoleh suara dan terpilih. Namun pelaksanaan pemilihan umum dengan menggunakan cara ini bukan tidak lepas dari kelemahan. Salah satu kelemahannya adalah tingkat proposionalitas yang tidak merata antara distrik di pedesaan dan distrik di perkotaan. Pada distrik di pedesaan pada umumnya tingkat proposionalitasnya lebih tinggi dari pada di perkotaan. Sehingga muncul istilah Overreprensented dan Underrepresented.
Berbeda dengan pemilihan umum anggota DPR, DPRD dan DPD,  pada pemilihan presiden dan wakil presiden, berdasarkan UU No. 12 tahun 2003 dilaksanakan sistem plurality-majority dengan varian sistem two round system yaitu dilaksanakan selama 2 putaran (5 Juli dan 20 Sepetember 2004). Dalam pemilihan dengan menggunakan sistem plurality-majority, untuk dapat terpilih dalam suatu daerah pemilihan (distrik), seorang kandidat harus memenangkan jumlah tertinggi dari suara sah yang ada. Menurut Pahlevi (tanpa tahun: 5), terdapat beberapa kelemahan dan kelebihan dari adanya pelaksanaan sistem plurality-majority tersebut, diantaranya:
Kelebihan
Kelemahan
·      Dapat membatasi jumlah partai yang biasanya dua partai sehingga pemilih punya pilihan yang jelas. Dapat membatasi munculnya partai-partai ekstrim.

·      Kurang cocok untuk masyarakat yang heterogen, karena dalam sistem tersebut akan menghilangkan partai kecil yang menjadi saluran masyarakat yang majemuk dalam suatu konstituen
·      Hubungan antara pemilih dengan wakilnya dekat.

·      Proses pemenangan dengan perolehan suara semua mengakibatkan sebagian suara yang ada akan terbuang.
·      Memiliki kecenderungan pemerintah yang kuat dan stabil yang berasal dari satu partai.
·      Calon terpilih terlalu mengikatkan diri dengan daerah pemilihannya, sehingga cenderung mengabaikan persoalan lain yang lebih besar.
·      Ada dorongan untuk munculnya partai oposisi untuk membuat pemerintah bertanggung jawab.

·      Pemilih sering tidak terwakili dan partai kecil yang tidak ikutserta dalam perwakilan yang adil tidak memberikan intensif untuk kandidat yang minoritas.
·      Sistem ini mendorong terwujudnya sistem kepartaian yang lebih stabil karena partai-partai kecil biasanya akan bergabung dengan partai lainnya yang menang.
·      Dapat menciptakan dominasi partai lokal dan mendorong adanya partai-partai yang lebih berhaluan etnis.


Jika diambil perbandingan antara Pemilu tahun 2004 dengan Pemilu tahun 1999 dapat dilihat secara jelas perbedaannya. Pada Pemilu tahun 2004 sudah terjadi suatu perubahan bahwa Negara Indonesia adalah Negara yang lebih demokratis yang diwujudkan melalui pemilihan wakil rakyat secara langsung dan serempak dilaksanakan di seluruh Indonesia. Selain itu rakyat juga dapat memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung berbeda dengan tahun 1999. Rakyat memilih wakil rakyat bukan hanya dengan mencoblos nama partai tetapi juga dapat mencoblos sesuai kandidat nama calon. Hal ini dirasa lebih transparan dan memberikan suatu perubahan yang berarti dalam kehidupan politik di Indonesia. Meskipun dikatakan Pemilu tahun 2004 merupakan Pemilu pertama yang menggunakan sistem proporsional dengan sistem daftar calon terbuka, sebagian kalangan beranggapan bahwa Pemilu ini belum sepenuhnya dilaksanakan secara utuh. Jadi Pemilu yang dilaksanakan masih semi terbuka. Mengutip pendapat Ismanto (2004: 55) bahwa pemilihan presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2004 maupun 1999 dilihat dari sistem pelaksanaan Pemilu memang berbeda, tetapi dalam tata cara pemberian suara model ini dinilai cacat secara politik. Hal tersebut dapat terlihat dari ketentuan calon terpilih yang didasarkan pada nomor urut daripada dukungan suara pemilih. Sehingga mengakibatkan keputusan partai politik menjadi penentu daripada suara rakyat itu sendiri.
Sebagaimana telah diuraikan bahwa sistem Pemilu 2004 berbeda dengan sistem Pemilu yang dilaksanakan pada tahun 1999. Pada Pemilu tahun 1999 menggunakan sistem yang proporsional dengan nama calon yang tertutup. Cahyono (1998:75) mengungkapkan bahwa Pemilu yang menganut sistem proporsional tertutup, maka rakyat hanya memilih atau mencoblos tanda gambar partai, bukan nama orang yang akan menjadi wakil rakyat di pemerintahan dan ini cenderung membuat jarak antara pemilih dengan wakil yang duduk dalam lembaga legislatif. Oleh karena itu pada Pemilu yang dilaksanakan pada tahun 1999 ini rakyat tidak bisa secara langsung untuk memilih kandidat anggota parlemen ataupun wakil rakyat  yang mereka inginkan secara personal. Pada Pemilu tahun 1999 rakyat hanya memilih nama partai tanpa mengetahui siapa yang akan menjadi wakil mereka di kursi pemerintahan. Oleh karena itu pelaksanaan Pemilu 2004 dengan sistem yang terbuka menjadi momentum yang sangat penting bagi berlangsungnya demokrasi di Indonesia. Karena Pemilu bukan hanya dirasakan penting bagi rakyat untuk menyalurkan aspirasinya, tetapi juga penting bagi pemerintah untuk dapat menjalankan dan meyakinkan program kerja yang akan dilaksanakannya.
            Pemilu selanjutnya yang diadakan pada tahun 2009, merupakan implikasi dari sistem Pemilu yang dilaksanakan pada tahun 2004. Pemilu 2009 dilaksanakan berdasarkan UU Pemilu 2009 yang terdiri dari 24 bab yang mengurai 320 pasal. Ini lebih banyak dibandingkan UU Pemilu 2004 yang hanya terdiri dari 17 bab dan 150 pasal. Pada tahun 2009 Pemilu dilaksanakan dengan sistem yang sama dengan 2004 yaitu sistem proporsional terbuka tercantum dalam pasal 5 ayat 1 (Legowo, 2008: 19). Jika dibandingkan berdasarkan penamaan dalam sistem Pemilu yang dilaksanakan, tahun 2004 sistemnya disebut dengan sistem proporsional dengan daftar calon terbuka, sedangkan pada Pemilu tahun 2009 disebut dengan sistem proporsional terbuka. Meskipun penamaan tersebut berbeda namun UU dari keduanya tetap mendasarkan Pemilu untuk anggota dewan perwakilan yang berimbang. Ada perbedaan antara Pemilu 2004 dan 2009 dari segi mekanisme penyusunan daftar bakal calon. Pemilu 2009 telah mengadopsi sistem zig zag yaitu seling-seling antara laki-laki dan perempuan dalam daftar calon legislatif sebagaimana tercantum dalam pasal 55 ayat 2 bahwa “di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dalam setiap 3 orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 orang perempuan bakal calon” (LIPI, 2007: 39). Mekanisme baru dalam Pemilu 2009 tersebut menyiratkan suatu harapan akan adanya peningkatan keterwakilan perempuan dalam parlemen untuk mewujudkan demokrasi perwakilan Indonesia yang bermartabat.
            Terdapat persyaratan minimal yang harus diperoleh partai politik untuk mendapatkan perwakilan yang dilihat dari presentase perolehan suara di Pemilu yang dikenal dengan istilah Threshold. Terdapat 2 istilah threshold yang digunakan di beberapa Negara yaitu Electoral Threshold (ET) dan Parliamentary Threshold (PT). Di Indonesia pada Pemilu 2004 diterapkan electoral threshold dan pada Pemilu 2009 diterapkan parliamentary threshold. (A.R Hanta Yuda, 2010: 282). ET merupakan ambang batas persyaratan minimal yang harus diperoleh partai politik untuk mengikuti Pemilu periode berikutnya. Sedangkan PT merupakan ambang batas persyaratan minimal yang harus diperoleh partai politik untuk mendapatkan kursi di parlemen. Batas threshold pemilu 1999 hingga 2009 adalah sebagai berikut :
1.      Berdasarkan UU no 3 tahun 1999 tentang pemilihan umum (1999) pasal 39 ayat 3  menyatakan bahwa : Untuk dapat mengikuti pemilihan umum berikutnya , partai politik harus memiliki sebanyak 2% dari jumlah kursi DPR atau memiliki sekurang-kurangnya 3% jumlah kursi DPRD I atau DPRD II yang tersebar sekurang-kurangnya di setengah jumlah provinsi dan setengah jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia berdasarkan hasil pemilihan umum. Oleh karena itu berdasarkan pasal tersebut partai politik yang tidak memenuhi batas atau kurang dari batas minimal tersebut tidak diperbolehkan untuk mengikuti pemilu selanjutnya kecuali partai politik tersebut bergabung dengan partai politik yang lain.
2.      Berdasarkan UU no 12 tahun 2003 tentang pemilihan umum (2004) yang terdapat dalam pasal 9 ayat 1 menyatakan bahwa : untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya partai politik peserta pemilu harus memperoleh sekurang-kurangnya 3% jumlah kursi DPR, sekurang-kurangnya 4% jumlah kursi DPRD provinsi, dan memperoleh sekurang-kurangnya 4% jumlah kursi DPRD kabupaten/kota. Jika partai politik tidak memenuhi syarat tersebut maka partai tersebut harus bergabung dengan partai lain dengan memakai salah satu nama partai yang bergabung atau mendirikan partai baru berdasarkan dua partai.
3.      Berdasarkan UU no 10 tahun 2008 tentang pemilihan umum (2009) dalam pasal 8 ayat 1 menyatakan bahwa partai politik yang dapat menjdi peserta pemilu setelah memenuhi persyaratan, yaitu memiliki kepengurusan di 2/3 jumlah provinsi, kepengurusan di 2/3 jumlah kabupaten/kota, menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan dalam kepengurusan, dan memiliki anggota sekurang-kurangnya 1/1.000 dari jumlah penduduk dalam setiap kepengurusan. Partai politik yang mengikuti pemilu sebelumnya boleh untuk mengikuti pemilu selanjutnya.
Berdasarkan pernyatan diatas terdapat beberapa perbedaan threshold dari pemilu 1999, 2004, hingga 2009 yang menunjukkan peningkatan terhadap batas minimal partai politik untuk mengikuti pemilu, sehingga akan mempengaruhi pula terhadap partai politik peserta pemilu yang mengalami penyederhanaan jumlah. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya dinamika partai politik peserta pemilu juga mengalami perubahan yang dipengaruhi threshold tersebut. Perubahan yang cukup siginifikan terjadi antara pemilu 1999 dengan pemilu 2004. Peserta pemilu pada tahun 1999 cukup banyak sekitar 48 partai sedangkan pada pemilu 2004 hanya 24 partai hal tersebut dikeranakan ada  sebagian partai yang tidak memenuhi batas minimal untuk mengikuti pemilu bergabung dengan partai yang lain dan membentuk partai baru. tetapi ada pula partai yang tidak lulus seleksi tersebut tidak mengikuti pemilu kembali.
Menurut Hanta Yuda A.R (2004: 283)  pelaksanaan ET pada Pemilu 2004 tidak efektif untuk menyederhanakan partai politik karena para pemimpin partai yang tidak lolos ET masih bisa mendirikan partai baru untuk ikut dalam Pemilu selanjutnya. Dapat disimpulkan bahwa ET tidak memiliki implikasi terhadap penyederhanaan kekuatan parpol di parlemen. Berbeda dengan PT yang dilaksanakan pada Pemilu 2009 yang lebih efektif untuk mengurangi jumlah partai politik peserta Pemilu. Partai yang tidak mampu untuk mencapai ambang batas minimal untuk mendapatkan kursi di parlemen yang telah ditetapkan tidak boleh mengirimkan wakilnya di parlemen.
Perbedaan lainnya antara Pemilu 2009 dengan Pemilu 2004 terdapat pada sistem proporsional terbuka dalam penetapan calon terpilih (Legowo, 2008: 23). Pemilu 2009 menetapkan perolehan suara minimal 30% dari BPP DPR sebagaimana tercantum dalam pasal 214 ayat 1 dengan ketentuan sebagai berikut:
a.       Melihat hasil penghitungan perolehan suara setiap calon.
b.      Calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh sekurang-kurangnya 30% dari BPP.
c.       Jika tidak ada calon yang memperoleh sekurang-kurangnya 30% maka calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut.
d.      Jika jumlah calon yang memenuhi ketentuan 30% lebih sedikit dari jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta Pemilu, maka kelebihan kursi diberikan kepada calon berdasarkan nomor urut
e.       Jika jumlah calon yang memenuhi ketentuan 30% lebih banyak dari jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta Pemilu, maka penentuan calon terpilih diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil diantara calon yang bersangkutan.
f.       Dalam hal terdapat dua atau lebih calon yang memenuhi ketentuan 30% dengan perolehan suara yang sama maka penentuan calon terpilih diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil diantara calon yang bersangkutan.
Hal inilah yang membedakan antara Pemilu 2004 dan 2009, namun dengan adanya peraturan BPP 30% tersebut telah dianggap kurang demokratis. Hal tersebut dikarenakan dengan sistem yang menggunakan BPP 30% memungkinkan untuk memunculkan peran dominan partai politik dalam menentukan calon yang akan terpilih. Meskipun pelaksanaan pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, tetapi dalam penghitungan suara terdapat peraturan yang pada akhirnya akan mempengaruhi bahkan perubahan terhadap hasil pemilihan. Penggunaan BPP 30% telah menimbulkan kerancuan dari sistem Pemilu yang dilaksanakan, nomor urut menjadi suatu ketentuan yang mutlak untuk caleg memperoleh kursi.


BAB III
PENUTUP

3.1.    Kesimpulan


3.2.    Saran





DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku
Abdullah, R. (2009). Mewujudkan Pemilu yang Lebih Berkualitas: Pemilu Legislatif. Jakarta: Rajawali Pers.
A.R, Hanta Yuda. (2010). Presidensialisme Setengah Hati: Dari Dilema Ke Kompromi. Jakarta:  Gramedia Pustaka Utama.
Chilcote, R. (2007). Teori Perbandingan Politik. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Ismanto, I. (2004). Pemilihan Presiden Secara Langsung 2004: Dokumentasi, Analisis, dan Kritik. Jakarta: Galangpress Group.
Kirbiantoro, S dan Rudianto, D. (2006). Pergulatan Ideologi Partai Politik Di Indonesia: Nasionalisme-Islamisme,Komunisme-Militerisme. Jakarta: Inti Media Publisher.
Legowo, T.A dan Salang, S. (2008). Panduan Menjadi Calon Anggota DPR/DPD/DPRD Menghadapi Pemilu. Jakarta: Forum Sahabat.
LIPI. (2007). Pusat Penelitian Politik year 2007: Democrazy Pilkada. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Oliver, D. (2003). Constitutional Reform in the United Kingdom. London: Oxford University Press.
Pahlevi, I. (tanpa tahun). Pemilu 2009: Transisi Menuju Konsolidasi Demokrasi, Studi Terhadap Sistem Pemilu Menurut UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPR. Jakarta: Tanpa Penerbit.
Syamsuddin, H dkk. (1998). Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru: Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Winarno, B. (2008). Sistem Politik Indonesia Era Reformasi. Yogyakarta: Media Pressindo.

Sumber Internet
Farrasnia. (2012). Budaya Politik Indonesia [Online]. Tersedia: http://farrasnia-budayapolitikindonesia.blogspot.com [8 Oktober 2012].
Firmansyah. (2012). Melihat Pemilu Masa Orde Baru [Online]. Tersedia:  http://mansyah24.blogspot.com/2012/05/melihat-Pemilu-pada-masa-orde-baru-dan.html [8 Oktober 2012].
Septianingrum, G. (2012). Budaya Politik yang Berkembang di Indonesia [Online]. Tersedia: http://politik.kompasiana.com/2012/05/30/budaya-politik-yang-berkembang-di-indonesia-466971.html [9 Oktober 2012].
Tanpa Nama. (2008). Sejarah Pemilihan Umum Orde Baru [Online]. Tersedia:  http://www.pemiluindonesia.com/sejarah/pemilihan-umum-orde-baru-1977-1997.html [9 Oktober 2012].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar