BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Negara
Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut paham demokrasi. Dimana
dengan paham tersebut kekuasaan berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat. Dalam hal ini, semua masyarakat mendapatkan kebebasan untuk
berpartisipasi dalam pemerintahan karena setiap warga negara mempunyai hak
untuk mengemukakan pendapat. Di Indonesia sendiri, terdapat sarana yang dapat
digunakan untuk mengungkapkan pendapat. Sarana tersebut salah satunya adalah melalui
pers. Pers adalah salah satu sarana bagi warga negara untuk mengeluarkan
pikiran, ide-ide maupun pendapat serta memiliki peranan penting dalam negara
demokrasi. Pers yang bebas dan bertanggung jawab memegang peranan penting dalam
masyarakat demokratis dan merupakan salah satu unsur bagi negara dan
pemerintahan yang demokratis pula.
Babak
baru dalam dunia pers datang ketika keruntuhan kekuasaan rezim presiden
Soeharto pada tahun 1998. Hal tersebut dianggap sebagai suatu pencerahan bagi
rakyat yang menginginkan suatu reformasi dari segala bidang mulai dari ekonomi,
politik, sosial, dan budaya yang sempat terbelenggu oleh rezim orde baru. Tumbuhnya kebebasan
pers pada masa reformasi merupakan angin segar bagi masyarakat. Karena kehadiran
pers saat ini dianggap sudah mampu mengisi kekosongan ruang publik yang menjadi
celah antara penguasa dan rakyat. Sehingga saat ini, pers di Indonesia sudah
bebas bahkan dapat dikatakan pula menjadi sudah sangat bebas. Hal ini dapat
kita lihat salah satunya adalah dari media yang mengekspos kehidupan pribadi
seseorang yang sebenarnya tidak perlu dipublikasikan. Selain itu, kita juga
dapat mengamati berbagai pendapat dari masyarakat yang jika kita telaah karena
kebebasan pers, malah menjadi masalah baru dan juga dapat meresahkan
masyarakat.
Berdasarkan
hal tersebut, penyusun tertarik untuk membuat
makalah dengan judul “Kebebasan Pers: Antara
Anugrah dan Musibah”
dimana dengan adanya
kebebasan pers, hal tersebut seolah menjadi seperti bumerang untuk masyarakat.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang penelitian yang telah diuraikan diatas, masalah utama yang ingin penyusun kaji dalam penyusunan
makalah ini adalah mengenai “kebebasan pers”. Agar permasalahan
yang dikaji tidak meluas,
maka penyusun membatasi dan merumuskannya
ke dalam beberapa pertanyaan. Adapun rumusan masalah yang akan penyusun uraikan
adalah sebagai berikut:
1.2.1.
Bagaimana perkembangan
pers di Indonesia pada masa Orde Baru?
1.2.2.
Bagaimana perkembangan
pers pasca runtuhnya pemerintahan Orde Baru?
1.2.3.
Bagaimana dampak kebebasan
pers pada masa reformasi terhadap kehidupan masyarakat di Indonesia?
1.3. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang telah
dipaparkan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.3.1.
Untuk
mengetahui bagaimana
perkembangan pers di Indonesia pada masa Orde Baru;
1.3.2.
Untuk
mengetahui bagaimana
perkembangan pers pasca runtuhnya pemerintahan Orde Baru;
1.3.3.
Untuk mengetahui bagaimana dampak kebebasan pers pada masa reformasi terhadap kehidupan
masyarakat di Indonesia.
1.4.Metode Penelitian
Mengenai metode dan teknik penyusunan,
disini penyusun menggunakan metode historis
yang terdiri dari:
1.4.1. Heuristik
1.4.2. Kritik
1.4.3. Interpretasi,
dan
1.4.4. Historiografi
Dalam tahap heuristik, penyusun
memulainya dengan mengumpulkan berbagai literatur ataupun sumber yang relevan
dengan mengunjungi perpustakaan dan mencari
sumber lain di Internet.
Hal ini dilakukan agar penyusunan makalah ini sesuai dengan fakta-fakta yang
ada.
Pada tahap kritik, penyusun melakukan
kritik intern dan ekstern. Dalam kritik intern, penyusun mengkaji bagaimana
latar belakang dan ideologi dari pengarang ataupun
penyusun sumber itu, kemudian bagaimana pendidikannya serta
profesinya. Hal ini dilakukan agar data yang diperoleh itu benar-benar sesuai
dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Sedangkan kritik ekstern, penyusun melakukan kritik
mengenai bagaimana tahun
terbit, dan apa penerbitnya.
Pada tahap interpretasi, penyusun
menafsirkannya berdasarkan sumber-sumber
yang diperoleh. Jadi tidak ada penafsiran yang dilakukan secara asal-asalan karena
sesuai dengan
sumber yang diperoleh.
Yang
terakhir adalah mengenai historiografi. Hasil dari penyusunan makalah yang
selama ini dilakukan oleh penyusun setelah melalui berbagai tahap dari mulai
heuristik sampai kritik hingga pada
akhirnya akan ditulis. Historiografi merupakan penyusunan sejarah atau apapun
yang telah kita telaah atau teliti.
1.5. Sistematika Penyusunan
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini menjelaskan tentang
bagaimana latar belakang yang diungkapkan penyusun tentang permasalahan yang
dibahas. Dimana disini penyusun mengungkapkan latar belakang munculnya kebebasan
pers di Indonesia. Bab ini juga terdiri dari tujuan penelitian, metode
penelitian yang dignakan serta sistematika penyusunan yang digunakan penyusun sesuai
dengan pedoman penulisan makalah.
BAB
II METODE PENELITIAN
Dalam
bab ini, dijelaskan mengenai metode yang digunakan penyusun ketika menyusun makalah
ini. Disini penyusun menggunakan metode Historis yang diantaranya meliputi heuristik, kritik,
interpretasi dan proses penyusunan (historiografi) mengenai fakkta-fakta yang
didapat dari berbagai literatur.
BAB
III PEMBAHASAN
Dalam bab ini penyusun menjelaskan
mengenai perkembangan pers pada masa orde baru, reformasi, dan dmpak dari
kebebasan pers di Indonesia bagi masyarakat.
BAB IV STUDI KASUS
Dalam bab ini, penyusun membahas
kasus yang berkaitan dengan kebebasan pers dan kemudian penyusun analisis
sebagai sebuah fenomena yang terjadi setelah munculnya kebebasan pers.
BAB V KESIMPULAN
Dalam bab ini penyusun
mengemukakan bagaimana kesimpulan atas
permasalahan yang di ungkap oleh penyusun dalam penyusunan makalah ini.
BAB
II
METODE PENELITIAN
Setelah
pembahasan mengenai pendahuluan dan kajian pustaka, maka selanjutnya penyusun
akan menguraikan mengenai metode penelitian yang digunakan oleh penyusun.
Disini penyusun menggunakan metode historis melalui studi literatur sebagai
teknik dari penelitian. Metode ini digunakan karena sumber yang didapatkan oleh
penyusun merupakan sumber dari masa lalu dan untuk mengkajinya, maka lebih
cocok menggunakan metode historis ini. Menurut Helius Sjamsuddin (2007: 17-19), metode historis yaitu suatu proses pengkajian,
penjelasan, dan penganalisaan secara kritis terhadap rekaman serta peninggalan
masa lampau. Gottschalk juga
menjelaskan bahwa metode historis merupakan proses menguji secara kritis
rekaman dan peninggalan masa lampau. Berdasarkan pendapat yang diungkapkan oleh
Helius Sjamsuddin dan Gottschalk, penyusunan makalah
ini berupaya untuk mencoba mencari kejelasan atas suatu gejala masa lampau untuk
kemudian menemukan dan memehami kenyataan yang bermakna untuk kehidupan
sekarang dan mendatang.
Metode
ini digunakan untuk mengkaji data dan fakta yang sudah penyusun temukan dari
berbagai literatur baik dari buku maupun dari artikel yang berasal dari internet
yang relevan dengan permasalahan yang dibahas oleh penyusun. Berdasarkan uraian tersebut, penyusun melakukan langkah-langkah penting dalam penyusunan makalah ini.
Lahkah-langkah tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:
1.
Heuristik,
yaitu kegiatan mengumpulkan sumber-sumber baik berupa tertulis maupun lisan
untuk bahan penyusunan makalah ini.
2.
Kritik,
yaitu menguji dan menilai keotentikan data yang didapatkan apakah sesuai dengan
masanya atau tidak.
3.
Interpretasi,
yaitu menetapkan makna atau penafsiran tentang suatu kejadian dimasa lampau
berdasarkan fakta-fakta yang didapatkan.
4.
Historiografi,
proses penyusunan laporan dari seluruh rangkaian penyusunan makalah ini.
Berdasarkan
uraian tersebut, maka penyusun membagi tahap-tahap dalam metode penyusunan ini,
yaitu persiapan, pelaksanaan, dan laporan penyusunan penyusunan makalah ini.
3.1. Persiapan
Penyusunan Makalah
Proses ini merupakan langkah awal dalam Penyusunan
Makalah. Pada tahap ini, penyusun
mendapatkan tema dari dosen mata kuliah Sejarah Orde Baru dan Reformasi
untuk menulis makalah mengenai kebebasan pers pada masa reformasi. Karena tugas
ini merupakan tugas yang dilakukan secara kelompok, maka setelah diberikan tema
kami sebgai penyusun pun berdiskusi mengenai bagaimana teknik pengerjaan dan
pembagiaan tugasnya. Setelah itu, penyusun melanjutkan ke tahap berikutnya
yaitu pelaksanaan dan penyusunan makalah.
3.2. Pelaksanaan Penyusunan
Pelaksanaan
penyusunan merupakan tahap penting dari proses penyusunan karya makalah ini.
Dalam tahapan ini, terdapat serangkaian langkah-langkah yang harus dilakukan
berdasarkan metode historis yang terdiri dari Heuristik, Kritik, Interpretasi,
dan Historiografi.
1.2.1.
Heuristik
Dalam
tahap heuristik, penyusun memulainya dengan mengumpulkan berbagai literatur
ataupun sumber yang relevan dengan mengunjungi perpustakaan dan mencari sumber lain di
internet.
Hal ini dilakukan agar penulisan makalah ini sesuai dengan fakta-fakta yang
ada. Untuk lebih jelasnya, perpustakaan yang penyusun kunjungi adalah sebagai
berikut:
1.2.1.1.
Perpustakaan
Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)
Kunjungan ke perpustakaan ini dilakukan
dimulai dari bulan November-Desember 2012. Adapun buku-buku yang penyusun
temukan antara lain adalah buku karya
Jacob Oetama yang berjudul Perspektif Pers Indonesia dan buku Pers Orde Baru karya
Rizal Mallarangeng.
Selain melakukan kunjungan ke perpustakaan, dalam
mencari sumber penyusun juga menggunakan artikel dari berbagai situs di
internet.
Selain itu, penyusun juga
menemukan berbagai buku yang didapatkan dari google book yang kemudian penyusun download. Sumber yang penyusun
dapat kemudian penyusun kaji dan bandingkan sehingga diperoleh pokok
permasalahan yang akan penyusun angkat.
1.2.2. Kritik
Pada
tahap kritik, dilakukan kritik intern dan ekstern. Dalam kritik intern, dikaji
mengenai bagaimana latar belakang dan ideologi dari pengarang ataupun penulis sumber itu, kemudian bagaimana pendidikannya
serta profesinya. Namun, dikarenakan buku yang penyusun dapatkan merupakan buku
hasil download dari google book, maka penyusun tidak mendapatkan informasi
mengenai riwayat hidup dari penulis buku tersebut. Sehingga penyusun tidak
dapat melakukan kritik intern. Sedangkan kritik ekstern, penyusun melakukan kritik mengenai tahun
terbit, dan apa penerbitnya.
1.2.3.
Interpretasi
Pada
tahap interpretasi, penyusun menafsirkannya berdasarkan sumber-sumber yang diperoleh. Jadi tidak ada penafsiran
yang dilakukan secara asal-asalan karena sesuai dengan sumber yang diperoleh.
1.2.4.
Historiografi
Yang terakhir adalah mengenai historiografi. Hasil
dari penyusunan makalah yang selama ini dilakukan oleh penyusun setelah melalui
berbagai tahap dari mulai heuristik sampai
kritik hingga pada akhirnya akan ditulis. Historiografi merupakan
penyusunan sejarah atau apapun yang telah kita teliti atau telah kita telaah.
3.3. Laporan
Penyusunan (Historiografi)
Langkah
ini merupakan langkah akhir dari pembuatan makalah ini. Teknik penyusunan yang
digunakan oleh penyusun mengacu pada sistem Harvard. Penggunakan sistem ini
digunakan oleh penyusun karena disesuaikan dengan penyusunan dalam buku pedoman
karya tulis ilmiah yang dikeluarkan oleh UPI.
BAB III
MEDIA MASSA
Media massa atau Pers adalah suatu istilah yang mulai
digunakan pada tahun 1920-an untuk mengistilahkan jenis media yang secara khusus
didesain untuk mencapai masyarakat yang sangat luas (Wikipedia, 2012). Menurut UU
No. 40 tahun 1999, Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang
melaksanakan kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan,
suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk
lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran
yang tersedia (http://id.wikipedia.org/wiki/Media_massa,
diunduh 03 November 2012).
Menurut Oemar Seno
Adji pers dalam arti sempit, yaitu penyiaran-penyiaran pikiran,
gagasan, atau berita-berita dengan kata tertulis. Sedangkan pers dalam arti
luas, yaitu memasukkan di dalamnya semua media mass communications yang
memancarkan pikiran dan perasaan seseorang baik dengan kata-kata tertulis
maupun dengan lisan. Berbeda dengan Oemar, Kustadi mengatakan bahwa pers adalah
seni atau keterampilan mencari, mengumpulkan, mengolah, menyusun, dan
menyajikan berita tentang peristiwa yang terjadi sehari-hari secara indah,
dalam rangka memenuhi segala kebutuhan hati nurani khalayaknya (Wikipedia,
2012).
Berdasarkan
beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli, dapat disimpulkan bahwa
pers merupakan sarana yang digunakan oleh masyarakat untuk mengemukakan
pendapat, berekspresi maupun menyampaikan ide-ide ataupun gagasan untuk
diinformasikan kepada masyarakat luas. Dengan kata lain, pers dapat dikatakan
sebagai kurir ataupun jendela penghubung pemikiran antar masyarakat.
4.1. Pers Pada Masa Orde Baru
Orde baru
mulai berkuasa pada awal tahun 1970-an. Indonesia dibawah rezim Orde Baru
pernah mengenal satu periode di mana pers bersikap sangat kritis terhadap
berbagai kebijaksanaan pemerintah dan berbagai bentuk penyimpangan kekuasaan.
Pers berani mengkritik penyalahgunaan kewenangan kekuasaan, membongkar korupsi
yang merajalela di tubuh negara, serta mengecam ketidakadilan. Namun, daya
kritis dan kebebasan pers tersebut justru menumbuhkan frustasi pada masyarakat.
Karena, seperti yang dikatakan Soe Hok Gie dalam sebuah artikel yang ditulisnya
di harian Indonesia Raya tahun 1969 (http://politik.kompasiana.com/2012/09/25/pers-dulu-diperas-sekarang-untuk-berperang/,
diunduh 11 November 2012) daya kritis dan kebebasan pers
waktu itu memungkinkan masyarakat mengetahui secara lengkap dan dalam berbagai
penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan serta sekaligus memungkinkan
masyarakat menyampaikan kritikan dan kecamannya. Namun, kritikan dan kecaman
masyarakat tersebut tidak ditanggapi secara positif oleh pemerintah melalui
perubahan yang nyata dan sungguh-sungguh sehingga mengakibatkan kekecewaan dan
keputusasaan masyarakat. Dunia pers yang seharusnya menyambut kebebasan pada
masa orde baru, namun pada kenyataannya pers mendapat berbagai tekanan dari
pemerintah. Tidak ada kebebasan dalam menerbitkan berita-berita miring seputar
pemerintah. Ketika ada yang menerbitkan hal tersebut, maka media massa itu akan
mendapatkan peringatan keras dari pemerintah yang tentunya akan mengancam
penerbitannya.
Pada tahun
1973, Pemerintah Orde Baru mengeluarkan peraturan yang memaksa penggabungan
partai-partai politik menjadi tiga partai, yaitu Golkar, PDI, dan PPP.
Peraturan tersebut menghentikan hubungan partai-partai politik dan organisasi
massa terhadap pers sehingga pers tidak lagi mendapat dana dari partai politik
(http://politik.kompasiana.com/2012/09/25/pers-dulu-diperas-sekarang-untuk-berperang/,
diunduh 11 November 2012).
Pada tahun
1982, Departemen Penerangan mengeluarkan Peraturan Menteri Penerangan No. 1
Tahun 1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Dengan adanya
SIUPP, sebuah penerbitan pers yang izin penerbitannya dicabut oleh Departemen
Penerangan akan langsung ditutup oleh pemerintah. Oleh karena itu, pers sangat
mudah ditutup dan dibekukan kegiatannya. Pers yang mengkritik pembangunan
dianggap sebagai pers yang berani melawan pemerintah. Pers seperti ini dapat
ditutup dengan cara dicabut SIUPP-nya.
Pada tahun
1990-an, pers di Indonesia mulai melakukan repolitisasi lagi. Maksudnya, pada
tahun 1990-an sebelum gerakan reformasi dan jatuhnya Soeharto, pers di
Indonesia mulai menentang pemerinTah dengan memuat artikel-artikel yang kritis
terhadap tokoh dan kebijakan Orde Baru. Pada tahun 1994, ada tiga majalah
mingguan yang ditutup, yaitu Tempo, Detik, dan Editor (ejournal.stainpurwokerto.ac.id/index.php/komunika/article/.../37,
diunduh 14 November 2012).
Berdasarkan
hal tersebut, dapat dikatakan bahwa pers mengalami depolitisasi pers. Dengan
kata lain, pada masa orde baru tersebut segala penerbitan yang dilakukan media
massa berada dalam pengawasan pemerintah. Bila pers itu ingin tetap ada, maka pers
harus memberitakan hal-hal yang baik tentang pemerintahan orde baru. Pers
seakan-akan dijadikan alat pemerintah untuk mempertahankan kekuasaannya.
4.2. Pers Pada Masa Reformasi
Pada masa
reformasi, pers Indonesia menikmati kebebasan. Pada masa ini terbentuk UU Nomor
40 Tahun 1999 tentang Pers. Di dunia pers, kebebasan itu ditunjukkan dengan
dipermudahnya pengurusan SIUPP dan semua bebas mengemukakan pendapatnya tanpa
harus mengurus SIUPP dan peraturan yang lain (https://www.isomwebs.com,
diunduh 14 November 2012).
Dengan
transparansi dan demokartisasi serta terbitnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun
1999 tentang Pers dan Undang-undang Nomor 32 tentang penyiaran, hal tersebut
dapat memberikan peluang seluas-luasnya bagi kemerdekaan pers Indonesia,
sehingga pers tidak lagi merasa khawatir untuk dicabut ijinnya, meskipun
informasi datang dari berbagai penjuru tidak lagi satu arah sebagaimana pada
masa orde baru (http://www.tni.mil.id/view-43381-kebebasan+pers+di+era+reformasi.html,
diunduh 28 November 2012).
Tumbuhnya
pers pada masa reformasi merupakan hal yang menguntungkan bagi masyarakat. Seperti
yang telah dijelaskan sebelumna pada latar belakang masalah bahwa saat ini, kehadiran
pers dianggap sudah mampu mengisi kekosongan ruang publik yang menjadi celah
antara penguasa dan rakyat. Dalam kerangka ini, pers telah memainkan peran
sentral dengan memasok dan menyebarluaskan informasi yang diperluaskan untuk
penentuan sikap, dan memfasilitasi pembentukan opini publik dalam rangka
mencapai konsensus bersama atau mengontrol kekuasaan penyelenggara negara.
Menurut
Anwar Arifin (www.balitbang.depkominfo.go.id/.../..,
diunduh
10 Desember 2012) didalam
tonggak perjalanan sejarah pers di Indonesia, tercatat sejak Era Reformasi,
media massa memiliki kebebasan yang luas
terutama dalam melakukan kontrol dan koreksi terhadap
jalannya pemerintahan. Sejalan dengan itu, penerbitan pers tidak perlu lagi memiliki izin (Surat Izin
Usaha Penerbitan Pers-SIUPP) dan tidak lagi dikenal adanya sensor dan pembredelan .Hal
ini sesuai dengan ketentuan dan jiwa dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999
tentang Pers bahwa pers memiliki kebebasan meskipun seringkali terasa bahwa
suratkabar, tabloid dan majalah yang menyalahgunakan kebebasan itu.
Fenomena media pada era Reformasi adalah pers yang telah
menjadi industri ditengah kebebasan politik yang baru diperolehnya.
Keterbukaan yang sangat luar biasa dalam bidang politik
saat itu hanyalah menguatkan kecenderungan kapitalisasi pers yang fondasinya
telah dipasang sejak berlakunya UU Nomor 21 Tahun 1982 melalui ketentuan Surat
Izin Usaha Penerbitan Pers atau SIUPP pasal 13 ayat 5. Sehingga, tidak heran jika setelah rezim Orde Baru jatuh pada tahun 1998,
industri media di Indonesia meningkat dengan tajam.
Ratusan surat kabar dan tabloid terbit tanpa harus memakai SIUPP
setelah keharusan ini dicabut oleh Menpen pada tahun itu juga
mekanisme pasar bebas sukar dihindari lagi dalam industri
pers nasional, sekaligus mengakhiri kontrol penguasa terhadap pers.
Dr.Ibnu Hamad (2004: 66) mengidentifikasi fenomena pertumbuhan media
massa dalam era Reformasi di
Indonesia terdapat dalam 3 pemikiran. Pertama, memberi basis
yang kuat bagi lahirnya pers industri dengan menggeser gejala pers idealis. Kedua, mengundang para
pemodal untuk masuk ke dunia pers yang belum tentu menjadi bisnis utama mereka,
dan ketiga
memunculkan kelompok-kelompok usaha penerbitan pers.
Dengan datangnya gelombang reformasi,di mana pers telah
dibebaskan dari belenggu politik, ketiga kecenderungan itu semakin kuat.
Media makin leluasa mengekspresikan keyakinan politiknya
tanpa harus merasa terancam usahanya dicabut SIUPP. Banyak media dalam
pemberitaannya terkesan terbuka luas bagi tokoh-tokoh dan partai politik,
baik yang didukung maupun yang diserangnya.
Kepentingan politik media lantas berbaur dengan
kepentingan usaha dari media tersebut sehingga berita yang
disajikan pers kadangkala merupakan berita yang disajikan untuk meraih
keuntungan semata dan dikomersilkan.
4.3. Kebebasan Pers dan Dampaknya
terhadap Kehidupan Masyarakat Indonesia
Kebebasan
pers dalam bahasa Inggrisnya disebut freedom of opinion and expression dan
freedom of the speech. John C. Merril (http://septianapratiwi.wordpress.com/2011/02/10/sejarah-perkembangan-pers-di-indonesia/,
diunduh 14 November 2012) merumuskan kebebasan pers sebagai
suatu kondisi riil yang memungkinkan para pekerja pers bisa memilih, menentukan
dan mengerjakan tugas sesuai keinginan mereka. Bebas dari negatif dan bebas
dari positif. Bebas artinya kondisi seseorang yang tidak di paksa melakukan
sesuatu.
Kebebasan
pers mulai didapatkan setelah jatuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998. Pada
saat itu rakyat menginginkan adanya reformasi pada segala bidang baik ekonomi,
sosial, budaya yang pada masa orde baru terbelenggu. Tumbuhnya pers pada masa
reformasi merupakan hal yang menguntungkan bagi masyarakat. Dalam kerangka ini,
pers telah memainkan peran sentral dengan memasok dan menyebarluaskan informasi
yang diperluaskan untuk penentuan sikap, dan memfasilitasi pembentukan opini
publik dalam rangka mencapai konsensus bersama atau mengontrol kekuasaan
penyelenggara negara.
Peran inilah
yang selama ini telah dimainkan dengan baik oleh pers Indonesia. Setidaknya,
antusias responden terhadap peran pers dalam mendorong pembentukan opini publik
yang berkaitan dengan persoalan-persoalan bangsa selama ini mencerminkan
keberhasilan tersebut. Setelah reformasi bergulir tahun 1998, pers Indonesia
mengalami perubahan yang luar biasa dalam mengekspresikan kebebasan. Fenomena
itu ditandai dengan munculnya media-media baru cetak dan elektronik dengan
berbagai kemasan dan segmen. Keberanian pers dalam mengkritik penguasa juga
menjadi ciri baru pers Indonesia.
Dalam sebuah
negara yang demokratis, Pers yang bebas merupakan salah satu komponen yang
paling esensial dari masyarakat, sebagai prasyarat bagi perkembangan sosial dan
ekonomi yang baik. Keseimbangan antara kebebasan pers dengan tanggung jawab
sosial menjadi sesuatu hal yang penting. Hal yang pertama dan utama, perlu
dijaga jangan sampai muncul ada tirani media terhadap publik. Sampai pada
konteks ini, publik harus tetap mendapatkan informasi yang benar, dan bukan
benar sekadar menurut media. Pers diharapkan memberikan berita dengan
se-objektif mungkin, hal ini berguna agar tidak terjadi ketimpangan antara rakyat
dengan pemimpinnya mengenai informasi tentang jalannya pemerintahan.
Masalah
baru muncul ketika kebebasan pers telah kebablasan. Hal ini terlihat darii
pemberitaan yang dianggap kurang balance antara kepentingan masayarakat dan
kepentingan pers untuk mengejar tingkat oplah. Untuk itu, pihak pers cenderung
mengutakan konsep berita yang sensasional, sangat partisipan, dan yang kurang
obyektif. Selain itu, pada level etis kemanusiaan kebebasan pers dinilai telah
mengangkangi nilai dan norma kemasyarakatan dan lebih mengutamakan kaidah
jurnalistik itu sendiri.
Emilianus
(http://farelbae.wordpress.com/catatan-kuliah-ku/jejak-pers-di-masa-orba-dan-reformasi/,
diunduh 26 November 2012), juga mencatat bahwa
klaim kebebasan bisa dilihat dari kebebasan pers (liberal) yang dinilai menafikan
nilai human being dan telah merongrong keutuhan ruang privat manusia. Dari
fakta ini muncul kegamangan dan kemuakan masyarakat terhadap kebebasan pers
yang dinilainya kebablasan. Kebebasan yang demikian berakibat pada rusaknya moral
masyarakat dan mengganggu kedaulatan pemerintah, sehingga muncullah tuntutan
masyarakat dan pemerintah terhadap pers, khususnya pada pers yang provokatif, sensasional
dan komersil dalam menyajikan informasi. Hal itu jelas sekali terlihat pada
media-media yang menyajikan berita politik dan hiburan baik berupa seks ataupun
yang lainnya. Sungguh ironi, dalam sistem politik yang relatif terbuka saat ini,
pers Indonesia cenderung memperlihatkan performa dan sikap yang dilematis. Di
satu sisi, kebebasan yang diperoleh seiring tumbangnya rezim Orde Baru membuat
media massa Indonesia leluasa mengembangkan isi pemberitaan. Namun, di sisi
lain, kebebasan tersebut juga sering kali tereksploitasi oleh sebagian industri
media untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dengan mengabaikan
fungsinya sebagai instrumen pendidik masyarakat. Bukan hanya sekedar celah
antara rakyat dengan pemimpin, tetapi pers diharapkan dapat memberikan
pendidikan untuk masyarakat agar dapat membentuk karakter bangsa yang bermoral.
Padahal seharusnya peran pers saat ini dapat menyelesaikan kesenjangan
komunikasi politik antara masyarakat dan pemerintah. Karena, disinilah pers
menjadi media yang memungkinkan untuk menjembatani masyarakat dan pemerintah
agar komunikasi politik antara yang berkuasa dengan masyarakatnya dapat
berjalan. Namun masa Reformasi ternyata menyisakan masalah bagi pers, tidak
hanya masalah kebebasan pers yang dinilai kebablasan juga dampak yang
diakibatkan dapat meresahkan masyarakat (http://farelbae.wordpress.com/catatan-kuliah-ku/jejak-pers-di-masa-orba-dan-reformasi/,
diunduh 26 November 2012).
BAB IV
STUDI KASUS
Setelah
reformasi bergulir tahun 1998, pers Indonesia mengalami perubahan yang luar
biasa dalam mengekspresikan kebebasan. Fenomena itu ditandai dengan munculnya
media-media baru cetak dan elektronik dengan berbagai kemasan dan segmen.
Keberanian pers dalam mengkritik penguasa juga menjadi ciri baru pers
Indonesia.
Hal
tersebut senada dengan ungkapan Amir Purba (2006) yang mengatakan bahwa kehidupan
pers setelah reformasi mengalami perubahan yang besar. Secara yuridis,
perubahan ini ditandai oleh lahirnya Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang
Pers. Berbeda jauh dengan rezim sebbelumnya, di mana pers dikunci, dibredel
serta terjadi monopoli oleh kekuasaan yang sedang berdiri. Masih menurut Purba,
khususnya pada masa Orde Baru, ada beberapa ciri kuatnya intervensi Negara
kepada pers, yakni:
1.
Pers
menampilkan informasi yang berdimensi politik lebih banyak dibandingkan dengan
ekonomi, dengan didominasi subyek negara.
2.
Kecenderungan
pers lebih berat ke sisi negara dilakukan dengan cara lebih memilih realitas
psikologis dibanding dengan realitas sosiologis.
Maka ketika keran reformasi dibuka, pers mendapat
nafas baru untuk menarik udara serta menghelanya pada publik. Demokratisasi
Negara, dengan amandemen UUD 1945 serta disahkannya banyak UU yang dianggap
demokratis, secara seiring membentuk pola masyarakat baru, yang siap menerima
informasi dari mana saja dan kapan saja. Terutama karena terlibatnya Indonesia
pada era globalisasi; di mana akses yang cepat pada informasi (dengan fasilitas
internet), maka kebebasan pers menjadi kata kunci dalam demokratisasi
Indonesia. Namun, kebebasan seperti apa yang dimaksud? Setidaknya ada empat
konsep pers yang dikemukakan oleh Purba (2006), yakni:
“Pers Otoriter (The Authoritarianism Press), Pers Komunis (The Communism Press), Pers Liberal (The Libertarianism Press), dan Pers
Tanggung Jawab Sosial (The Social
Responsibility Press). Pada Pers Otoriter negara melakukan pengawasan
atau kontrol terhadap pers untuk menjaga agar aktivitas mereka tidak menyimpang
dari kepentingan-kepentingan negara; sementara pada Pers Komunis, pers
ditempatkan sebagai organ negara sehingga keberadaan mereka tergantung kepada
negara. Pers Liberal, menempatkan pers sebagai lembaga yang independen, otonom,
dan bebas dari negara; sedangkan Pers Tanggung-jawab Sosial yang lahir sebagai
konsekuensi dari Pers Liberal menempatkan kepentingan masyarakat sebagai tujuan
utama, di mana kebebasan pers, peranan negara, hukum, dan lain-lain berpedoman
kepada kepentingan masyarakatnya.”
Dari keempat konsep pers di atas,
kita tentunya telah melewatinya terutama pada fase otoriter. Namun, yang
sama-sama publik harapkan adalah bagaimana pers yang memiliki tanggung jawab
secara social, yakni pada konsep keempat. Pers Tanggung Jawab Sosial, adalah
sebuah konsep pers di mana pers tidak hanya bekerja untuk dirinya sendiri,
apalagi hanya sentralistik pada Negara. Ia tak hanya berperan aktif pada penyebaran informasi, namun juga memikirkan
apa yang akan diberikan pada public terkait informasi tersebut. Maka, kata
kunci perbedaan antara Liberal dan Tanggung Jawab Sosial adalah, penyebaran
nilai yang terkandung pada informasi tersebut. Sehingga masyarakat tak hanya
tahu (know) soal informasi, namun juga paham bagaimana perlakuan terhadap dan
setelah mendapat informasi tersebut.
Saptohadi (2011) mengemukakan
prinsip- prinsip dari konsep pers ini, yakni:
1.
Media
memiliki kewajiban tertentu kepada masyarakat
2.
Kewajiban
tersebut dipenuhi dengan menetapkan standar yang tinggi atau profesional
tentang keinformasian, kebenaran, objektivitas, keseimbangan dan sebagainya
3.
Dalam
menerima dan menerapkan kewajiban tersebut, media dapat seyogyanya mengatur
diri sendiri di dalam kerangka hukum dan lembaga yang ada.
4.
Media
seyogyanya menghindarkan segala sesuatu yang mungkin menimbulkan kejahatan yang
mengakibatkan ketidaktertiban umum atau juga penghinaan terhadap minoritas
etnik dan agama.
Era reformasi, memungkinkan
kemudahan dalam penerbitan SIUPP. Kemudahan ini mengakibatkan munculnya banyak
media. Saptohadi (2011) mengambil data dari
Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS), pada tahun 1999, jumlah penerbitan
adalah 1687, melonjak ketika dibandingkan pada tahun 1997 hanya berkisar 289
penerbitan.
Namun, kuantitas ini tidaklah bebas kritik. Selanjutnya
Saptohadi menuliskan:
“Kritikan itu sangat variatif, ada yang
menyoroti kelemahan- kelemahan dalam proses pemberitaan yang dianggap kurang
balance antara kepentingan masyarakat dan kepentingan (tingkat oplah) pers.
Pihak pers dinilai cenderung mengutamakan konsep berita yang kurang objektif,
sensasional dan sangat partisipan; kemudian pada level etis kemanusiaan
kebebasan pers itu dinilai telah mengangkangi nilai dan norma moral
kemasyarakatan dan telah meruntuhkan kaidah jurnalistik itu sendiri.”
Pers kemudian berdiaspora bak
jamur. Seperti mendapat momentumnya, pers bermunculan tak hanya membawa
kepentingan politik tertentu, namun juga ideologis yang mendekati sektarian.
Setidaknya studi yang dilakukan oleh Rahmat Saleh seperti dikutip Purba (2006),
terhadap isi surat kabar Media Indonesia, yakni :
1.
Media
Indonesia kental memperlihatkan ideologi pemilik –Surya Paloh– dalam konstruksi
teks. Penerjemahan ideologi dilakukan dengan “patuh” dalam aktivitas rutin
media (media routine) dan menjadi panduan dalam referendum Aceh;
2.
Kepentingan
terhadap aspirasi ini dominan ditampilkan dalam berbagai jenis teks mulai
editorial sebagai ruang pribadi (private space), berita, komentar
pembaca, dan artikel opini sebagai ruang publik.
3.
Eksekusi
teks tersebut mengindikasikan rendahnya peran media sebagai ruang publik,
seperti akses publik non-elite yang minim, ketimpangan kedudukan publik dalam
diskusi isu, strategi pemberitaan dengan pendekatan talking news,
rendahnya keberlakuan obyektivitas pemberitaan, konstelasi sikap publik yang
tidak berimbang, serta tendensi-tendensi sikap media yang misleading.
Semua rangkaian eksekusi teks tersebut memiliki motif baik ekonomi maupun,
khususnya yang terlihat jelas, “kepentingan ideologis”.
Selain kepentingan politik, juga yang bersifat
ideologis. Ini dikemukakan oleh Febri Ichwan Butsi dalam studinya terhadap
majalah Sabili dan Tempo dalam kasus Bom Bali, seperti dikutip oleh Purba
(2006) :
“Frame kedua majalah sangat berbeda. Majalah Sabili
memaknainya sebagai masalah kepentingan politik, sedangkan Tempo sebagai
masalah moral dan hukum.”
Corak ideologi media sangat berpengaruh. Majalah Sabili
sebagai majalah Islam bersikap positif terhadap Islam dan Indonesia, dan
negatif terhadap Amerika Serikat. Majalah Tempo, sebagai majalah umum
yang mengusung jurnalisme sastra dan reportase investigatif lebih bersikap
hati-hati memaknai kasus bom Bali.
BAB V
KESIMPULAN
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dibuat,
penyusun mendapatkan tiga kesimpulan sesuai dengan rumusan masalah tersebut.
Adapun kesimpulan yang didapat oleh penyusun adalah sebagai berikut:
Pertama, pada masa orde baru kebebasan pers cenderung
merupakan kebebasan yang semu dimana terdapat kebebasan pers namun kebebasan
tersebut harus tunduk terhadap pemerintah. Pada masa ini, terdapat teori yang
pas untuk mengungkapkan kondisi ini. Teori
tersebut adalah teori pers otoriter, dimana teori berasal dari falsafah kenegaraan
yang membela kekuasaan absolut.
Dalam teori ini, penetapan tentang hal-hal yang benar dipercayakan hanya kepada segelintir
orang yang mampu memimpin. Jadi dengan
kata lain pada
dasarnya, pendekatan dilakukan dari atas ke bawah dimana pers harus mendukung kebijakan pemerintah dan mengabdi
kepada negara. Dalam teori pers
otoriter ini disebutkan bahwa para penerbit diawasi melalui paten-paten, izin-izin terbit dan sensor. Konsep ini
menetapkan pola asli bagi sistem pers Indonesia pada masa orde baru.
Kedua,
pada masa reformasi kebebasan pers mulai menggeliat seolh bangun dari tidurnya.
Pada masa ini, teori yang pas dalam menggambarkn kondisinya adalah teori pers libertarian atau teori pers bebas.
Dalam teori ini, pers harus
menjadi mitra dalam upaya pencarian kebenaran.
Pandangan dalam teori ini,
pers perlu mengawasi pemerintah.
Oleh karenanya, pers harus bebas dari pengaruh dan kendali pemerintah.
Dalam upaya mencari kebenaran,
semua gagasan harus memiliki kesempatan yang sama untuk
dikembangkan, sehingga yang benar dan dapat dipercaya akan bertahan,
sedangkan yang sebaliknya akan lenyap.
Teori ini paling banyak memberi landasan kebebasan yang
tak terbatas kepada pers. Disini pers bebas paling banyak memberi informasi
dan hiburan,
namun pers bebas juga sedikit mengadakan kontrol terhadap
pemerintah. Dalam perusahaan pers yang menganut teori pers bebas,
sebagian besar aturan yang ada hanyalah untuk menciptakan
keuntungan berupa materi bagi pemilik modal.
Ketiga,
praktik kebebasan pers di Indonesia pada pada setiap
periode zamannya selalu mengikuti politik penguasa.
Pada masa Orde Baru,
system pers yang berjalan adalah otoritarian,
meskipun secara formal disebut sebagai pers bebas dan
bertanggungjawab. Tetapi bertanggung jawab kepada penguasa, bukan kepada masyarakat.
Didalam era Reformasi, melalui euphoria
kebebasan politik berdampak pada praktik kebebasan pers yang luas.
Banyak media surat kabar diterbitkan dan memakai pola pemberitaan yang
bebas, sehingga
masyarakat mengakui bahwa praktik kebebasan pers betul-betul dinikmati pers dan
dirasakan manfaatnya oleh masyarakat melalui kebebasan menyampaikan informasi
tersebut. Namun dalam praktiknya, kebebasan pers masih juga menemui hambatan.
Hambatan yang kebanyakan merupakan dampak dari kebasan pers yang
sebeba-bebasnya dan tanpa terkendali. Sehingga, dengan demikian praktik kebebasan pers pada akhirnya harus dapat dikelola
sendiri oleh masyarakat pers sehingga tidak menjerumuskan dan tidak merugikan
masyarakat luas.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku:
Bertens, K.
(2008). Sketsa-Sketsa Moral: 50 Esai
tentang Masalah Aktual. Jogjakarta: Kanisius
Hamad, I.
(2004). Konstruksi Realitas Politil dalam
Media Massa: Sebuah Studi Critical Discourse Analysis terhadap Berita-Berita
Politik. Jakarta: Granit
Mallarangeng, R. (2010). Pers Orde Baru. Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Masduki. (2003). Kebebasan Pers dan Kode Etik
Jurnalistik. Jogjakarta: UII Pres Yogyakarta
Oetama, J. (1989). Perspektif
Pers Indonesia. Jakarta: LP3ES
Wibowo, W.
(2009). Menuju Jurnalime Beretika: Peran
Bahasa, Bisnis, dan Politik di Era Mondial. Jakarta: PT. Kompas Media
Nusantara
Sumber Internet
Anonim.
(2012). Pers Dulu Diperas
Sekarang untuk Berperang. [online] Tersedia: http://politik.kompasiana.com/2012/09/25/pers-dulu-diperas-sekarang-untuk-berperang/
[11 November 2012]
Anonim. (______). Praktik Kebebasan Pers Pada Era Reformasi Di Indonesia. [online] Tersedia: ejournal.stainpurwokerto.ac.id/index.php/komunika/article/.../37
[14 November 2012]
Anonim.
(______). Kebebasan Pers di Era
Reformasi. [online] Tersedia: http://www.tni.mil.id/view-43381-kebebasan+pers+di+era+reformasi.html
[28 November 2012]
Kompasiana.
(2012). Kebebasan Pers.
[online] Tersedia: http://media.kompasiana.com/buku/2012/09/25/kebebasan-pers/[28
Maret 2011]
Kompasiana.
(2012). Kebebasan Pers.
[online] Tersedia: http://www.tni.mil.id/view-43381-kebebasan+pers+di+era+reformasi.html
[05
Desember 2012]
Pratiwi, S. (2011). Sejarah
Perkembangan Pers di Indonesia. [online]
Tersedia: http://septianapratiwi.wordpress.com/2011/02/10/sejarah-perkembangan-pers-di-indonesia/ [14 November 2012]
Putra,
A. F. (______). Jejak Pers di Masa Orba
dan Reformasi. [online] Tersedia: http://farelbae.wordpress.com/catatan-kuliah-ku/jejak-pers-di-masa-orba-dan-reformasi/
[26 November 2012]
gan ijin minta referensinya ya. :D
BalasHapus