Jumat, 27 Desember 2013

Makalah Pers


BAB I
PENDAHULUAN
1.1.      Latar Belakang
Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut paham demokrasi. Dimana dengan paham tersebut kekuasaan berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dalam hal ini, semua masyarakat mendapatkan kebebasan untuk berpartisipasi dalam pemerintahan karena setiap warga negara mempunyai hak untuk mengemukakan pendapat. Di Indonesia sendiri, terdapat sarana yang dapat digunakan untuk mengungkapkan pendapat. Sarana tersebut salah satunya adalah melalui pers. Pers adalah salah satu sarana bagi warga negara untuk mengeluarkan pikiran, ide-ide maupun pendapat serta memiliki peranan penting dalam negara demokrasi. Pers yang bebas dan bertanggung jawab memegang peranan penting dalam masyarakat demokratis dan merupakan salah satu unsur bagi negara dan pemerintahan yang demokratis pula.
Babak baru dalam dunia pers datang ketika keruntuhan kekuasaan rezim presiden Soeharto pada tahun 1998. Hal tersebut dianggap sebagai suatu pencerahan bagi rakyat yang menginginkan suatu reformasi dari segala bidang mulai dari ekonomi, politik, sosial, dan budaya yang sempat terbelenggu oleh rezim orde baru. Tumbuhnya kebebasan pers pada masa reformasi merupakan angin segar bagi masyarakat. Karena kehadiran pers saat ini dianggap sudah mampu mengisi kekosongan ruang publik yang menjadi celah antara penguasa dan rakyat. Sehingga saat ini, pers di Indonesia sudah bebas bahkan dapat dikatakan pula menjadi sudah sangat bebas. Hal ini dapat kita lihat salah satunya adalah dari media yang mengekspos kehidupan pribadi seseorang yang sebenarnya tidak perlu dipublikasikan. Selain itu, kita juga dapat mengamati berbagai pendapat dari masyarakat yang jika kita telaah karena kebebasan pers, malah menjadi masalah baru dan juga dapat meresahkan masyarakat.
Berdasarkan hal tersebut, penyusun tertarik untuk membuat makalah dengan judul “Kebebasan Pers: Antara Anugrah dan Musibah dimana dengan adanya kebebasan pers, hal tersebut seolah menjadi seperti bumerang untuk masyarakat.
1.2.       Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan diatas, masalah utama yang ingin penyusun kaji dalam penyusunan makalah ini adalah mengenaikebebasan pers”. Agar permasalahan yang dikaji tidak meluas, maka penyusun membatasi dan merumuskannya ke dalam beberapa pertanyaan. Adapun rumusan masalah yang akan penyusun uraikan adalah sebagai berikut:
1.2.1.      Bagaimana perkembangan pers di Indonesia pada masa Orde Baru?
1.2.2.      Bagaimana perkembangan pers pasca runtuhnya pemerintahan Orde Baru?
1.2.3.      Bagaimana dampak kebebasan pers pada masa reformasi terhadap kehidupan  masyarakat di Indonesia?
1.3.       Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang telah dipaparkan di atas, maka  tujuan yang ingin dicapai dalam penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.3.1.      Untuk mengetahui bagaimana perkembangan pers di Indonesia pada masa Orde Baru;
1.3.2.      Untuk mengetahui bagaimana perkembangan pers pasca runtuhnya pemerintahan Orde Baru;
1.3.3.      Untuk mengetahui bagaimana dampak kebebasan pers pada masa reformasi terhadap kehidupan  masyarakat di Indonesia.
1.4.Metode Penelitian
Mengenai metode dan teknik penyusunan, disini penyusun menggunakan metode historis yang terdiri dari:
1.4.1. Heuristik
1.4.2. Kritik
1.4.3. Interpretasi, dan
1.4.4.  Historiografi
Dalam tahap heuristik, penyusun memulainya dengan mengumpulkan berbagai literatur ataupun sumber yang relevan dengan mengunjungi perpustakaan dan mencari sumber lain di Internet. Hal ini dilakukan agar penyusunan makalah ini sesuai dengan fakta-fakta yang ada.
Pada tahap kritik, penyusun melakukan kritik intern dan ekstern. Dalam kritik intern, penyusun mengkaji bagaimana latar belakang dan ideologi dari pengarang ataupun penyusun sumber itu, kemudian bagaimana pendidikannya serta profesinya. Hal ini dilakukan agar data yang diperoleh itu benar-benar sesuai dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Sedangkan kritik ekstern, penyusun melakukan kritik mengenai bagaimana tahun terbit, dan apa penerbitnya.
Pada tahap interpretasi, penyusun menafsirkannya berdasarkan sumber-sumber yang diperoleh. Jadi tidak ada penafsiran yang dilakukan secara asal-asalan karena sesuai dengan sumber yang diperoleh.
Yang terakhir adalah mengenai historiografi. Hasil dari penyusunan makalah yang selama ini dilakukan oleh penyusun setelah melalui berbagai tahap dari mulai heuristik sampai  kritik hingga pada akhirnya akan ditulis. Historiografi merupakan penyusunan sejarah atau apapun yang telah kita telaah atau teliti.
1.5.   Sistematika Penyusunan
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini menjelaskan tentang bagaimana latar belakang yang diungkapkan penyusun tentang permasalahan yang dibahas. Dimana disini penyusun mengungkapkan latar belakang munculnya kebebasan pers di Indonesia. Bab ini juga terdiri dari tujuan penelitian, metode penelitian yang dignakan serta sistematika penyusunan yang digunakan penyusun sesuai dengan pedoman penulisan makalah.

BAB II METODE PENELITIAN
Dalam bab ini, dijelaskan mengenai metode yang digunakan penyusun ketika menyusun makalah ini. Disini penyusun menggunakan metode Historis  yang diantaranya meliputi heuristik, kritik, interpretasi dan proses penyusunan (historiografi) mengenai fakkta-fakta yang didapat dari berbagai literatur.
BAB III PEMBAHASAN
Dalam bab ini penyusun menjelaskan mengenai perkembangan pers pada masa orde baru, reformasi, dan dmpak dari kebebasan pers di Indonesia bagi masyarakat.
BAB IV STUDI KASUS
Dalam bab ini, penyusun membahas kasus yang berkaitan dengan kebebasan pers dan kemudian penyusun analisis sebagai sebuah fenomena yang terjadi setelah munculnya kebebasan pers.
BAB V KESIMPULAN
Dalam bab ini penyusun mengemukakan bagaimana kesimpulan atas  permasalahan yang di ungkap oleh penyusun dalam penyusunan makalah ini.








BAB II
METODE PENELITIAN
Setelah pembahasan mengenai pendahuluan dan kajian pustaka, maka selanjutnya penyusun akan menguraikan mengenai metode penelitian yang digunakan oleh penyusun. Disini penyusun menggunakan metode historis melalui studi literatur sebagai teknik dari penelitian. Metode ini digunakan karena sumber yang didapatkan oleh penyusun merupakan sumber dari masa lalu dan untuk mengkajinya, maka lebih cocok menggunakan metode historis ini. Menurut Helius Sjamsuddin (2007: 17-19), metode historis yaitu suatu proses pengkajian, penjelasan, dan penganalisaan secara kritis terhadap rekaman serta peninggalan masa lampau. Gottschalk juga menjelaskan bahwa metode historis merupakan proses menguji secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau. Berdasarkan pendapat yang diungkapkan oleh Helius Sjamsuddin dan Gottschalk, penyusunan makalah ini berupaya untuk mencoba mencari kejelasan atas suatu gejala masa lampau untuk kemudian menemukan dan memehami kenyataan yang bermakna untuk kehidupan sekarang dan mendatang.
Metode ini digunakan untuk mengkaji data dan fakta yang sudah penyusun temukan dari berbagai literatur baik dari buku maupun dari artikel yang berasal dari internet yang relevan dengan permasalahan yang dibahas oleh penyusun. Berdasarkan uraian tersebut, penyusun melakukan langkah-langkah penting dalam penyusunan makalah ini. Lahkah-langkah tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Heuristik, yaitu kegiatan mengumpulkan sumber-sumber baik berupa tertulis maupun lisan untuk bahan penyusunan makalah ini.
2.      Kritik, yaitu menguji dan menilai keotentikan data yang didapatkan apakah sesuai dengan masanya atau tidak.
3.      Interpretasi, yaitu menetapkan makna atau penafsiran tentang suatu kejadian dimasa lampau berdasarkan fakta-fakta yang didapatkan.
4.      Historiografi, proses penyusunan laporan dari seluruh rangkaian penyusunan makalah ini.
Berdasarkan uraian tersebut, maka penyusun membagi tahap-tahap dalam metode penyusunan ini, yaitu persiapan, pelaksanaan, dan laporan penyusunan penyusunan makalah ini.
3.1.  Persiapan Penyusunan Makalah
Proses ini merupakan langkah awal dalam Penyusunan Makalah. Pada tahap ini, penyusun  mendapatkan tema dari dosen mata kuliah Sejarah Orde Baru dan Reformasi untuk menulis makalah mengenai kebebasan pers pada masa reformasi. Karena tugas ini merupakan tugas yang dilakukan secara kelompok, maka setelah diberikan tema kami sebgai penyusun pun berdiskusi mengenai bagaimana teknik pengerjaan dan pembagiaan tugasnya. Setelah itu, penyusun melanjutkan ke tahap berikutnya yaitu pelaksanaan dan penyusunan makalah.
3.2.  Pelaksanaan Penyusunan
Pelaksanaan penyusunan merupakan tahap penting dari proses penyusunan karya makalah ini. Dalam tahapan ini, terdapat serangkaian langkah-langkah yang harus dilakukan berdasarkan metode historis yang terdiri dari Heuristik, Kritik, Interpretasi, dan Historiografi.
1.2.1.                              Heuristik
Dalam tahap heuristik, penyusun memulainya dengan mengumpulkan berbagai literatur ataupun sumber yang relevan dengan mengunjungi perpustakaan dan mencari sumber lain di internet. Hal ini dilakukan agar penulisan makalah ini sesuai dengan fakta-fakta yang ada. Untuk lebih jelasnya, perpustakaan yang penyusun kunjungi adalah sebagai berikut:
1.2.1.1.     Perpustakaan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)
     Kunjungan ke perpustakaan ini dilakukan dimulai dari bulan November-Desember 2012. Adapun buku-buku yang penyusun temukan antara lain adalah buku  karya Jacob Oetama yang berjudul Perspektif Pers Indonesia dan buku Pers Orde Baru karya Rizal Mallarangeng.
Selain melakukan kunjungan ke perpustakaan, dalam mencari sumber penyusun juga menggunakan artikel dari berbagai situs di internet. Selain itu, penyusun juga menemukan berbagai buku yang didapatkan dari google book yang kemudian penyusun download. Sumber yang penyusun dapat kemudian penyusun kaji dan bandingkan sehingga diperoleh pokok permasalahan yang akan penyusun angkat.
1.2.2.      Kritik
Pada tahap kritik, dilakukan kritik intern dan ekstern. Dalam kritik intern, dikaji mengenai bagaimana latar belakang dan ideologi dari pengarang ataupun penulis sumber itu, kemudian bagaimana pendidikannya serta profesinya. Namun, dikarenakan buku yang penyusun dapatkan merupakan buku hasil download dari google book, maka penyusun tidak mendapatkan informasi mengenai riwayat hidup dari penulis buku tersebut. Sehingga penyusun tidak dapat melakukan kritik intern. Sedangkan kritik ekstern, penyusun melakukan kritik mengenai tahun terbit, dan apa penerbitnya.
1.2.3.      Interpretasi
Pada tahap interpretasi, penyusun menafsirkannya berdasarkan sumber-sumber yang diperoleh. Jadi tidak ada penafsiran yang dilakukan secara asal-asalan karena sesuai dengan sumber yang diperoleh.
1.2.4.                              Historiografi
Yang terakhir adalah mengenai historiografi. Hasil dari penyusunan makalah yang selama ini dilakukan oleh penyusun setelah melalui berbagai tahap dari mulai heuristik sampai  kritik hingga pada akhirnya akan ditulis. Historiografi merupakan penyusunan sejarah atau apapun yang telah kita teliti atau telah kita telaah.
3.3.  Laporan Penyusunan (Historiografi)
Langkah ini merupakan langkah akhir dari pembuatan makalah ini. Teknik penyusunan yang digunakan oleh penyusun mengacu pada sistem Harvard. Penggunakan sistem ini digunakan oleh penyusun karena disesuaikan dengan penyusunan dalam buku pedoman karya tulis ilmiah yang dikeluarkan oleh UPI.




BAB III
MEDIA MASSA
Media massa atau Pers adalah suatu istilah yang mulai digunakan pada tahun 1920-an untuk mengistilahkan jenis media yang secara khusus didesain untuk mencapai masyarakat yang sangat luas (Wikipedia, 2012). Menurut UU No. 40 tahun 1999, Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia (http://id.wikipedia.org/wiki/Media_massa, diunduh 03 November 2012).
Menurut Oemar Seno Adji pers dalam arti sempit, yaitu penyiaran-penyiaran pikiran, gagasan, atau berita-berita dengan kata tertulis. Sedangkan pers dalam arti luas, yaitu memasukkan di dalamnya semua media mass communications yang memancarkan pikiran dan perasaan seseorang baik dengan kata-kata tertulis maupun dengan lisan. Berbeda dengan Oemar, Kustadi mengatakan bahwa pers adalah seni atau keterampilan mencari, mengumpulkan, mengolah, menyusun, dan menyajikan berita tentang peristiwa yang terjadi sehari-hari secara indah, dalam rangka memenuhi segala kebutuhan hati nurani khalayaknya (Wikipedia, 2012).
Berdasarkan beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli, dapat disimpulkan bahwa pers merupakan sarana yang digunakan oleh masyarakat untuk mengemukakan pendapat, berekspresi maupun menyampaikan ide-ide ataupun gagasan untuk diinformasikan kepada masyarakat luas. Dengan kata lain, pers dapat dikatakan sebagai kurir ataupun jendela penghubung pemikiran antar masyarakat.

4.1.       Pers Pada Masa Orde Baru
Orde baru mulai berkuasa pada awal tahun 1970-an. Indonesia dibawah rezim Orde Baru pernah mengenal satu periode di mana pers bersikap sangat kritis terhadap berbagai kebijaksanaan pemerintah dan berbagai bentuk penyimpangan kekuasaan. Pers berani mengkritik penyalahgunaan kewenangan kekuasaan, membongkar korupsi yang merajalela di tubuh negara, serta mengecam ketidakadilan. Namun, daya kritis dan kebebasan pers tersebut justru menumbuhkan frustasi pada masyarakat. Karena, seperti yang dikatakan Soe Hok Gie dalam sebuah artikel yang ditulisnya di harian Indonesia Raya tahun 1969 (http://politik.kompasiana.com/2012/09/25/pers-dulu-diperas-sekarang-untuk-berperang/, diunduh 11 November 2012) daya kritis dan kebebasan pers waktu itu memungkinkan masyarakat mengetahui secara lengkap dan dalam berbagai penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan serta sekaligus memungkinkan masyarakat menyampaikan kritikan dan kecamannya. Namun, kritikan dan kecaman masyarakat tersebut tidak ditanggapi secara positif oleh pemerintah melalui perubahan yang nyata dan sungguh-sungguh sehingga mengakibatkan kekecewaan dan keputusasaan masyarakat. Dunia pers yang seharusnya menyambut kebebasan pada masa orde baru, namun pada kenyataannya pers mendapat berbagai tekanan dari pemerintah. Tidak ada kebebasan dalam menerbitkan berita-berita miring seputar pemerintah. Ketika ada yang menerbitkan hal tersebut, maka media massa itu akan mendapatkan peringatan keras dari pemerintah yang tentunya akan mengancam penerbitannya.
Pada tahun 1973, Pemerintah Orde Baru mengeluarkan peraturan yang memaksa penggabungan partai-partai politik menjadi tiga partai, yaitu Golkar, PDI, dan PPP. Peraturan tersebut menghentikan hubungan partai-partai politik dan organisasi massa terhadap pers sehingga pers tidak lagi mendapat dana dari partai politik (http://politik.kompasiana.com/2012/09/25/pers-dulu-diperas-sekarang-untuk-berperang/, diunduh 11 November 2012).
Pada tahun 1982, Departemen Penerangan mengeluarkan Peraturan Menteri Penerangan No. 1 Tahun 1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Dengan adanya SIUPP, sebuah penerbitan pers yang izin penerbitannya dicabut oleh Departemen Penerangan akan langsung ditutup oleh pemerintah. Oleh karena itu, pers sangat mudah ditutup dan dibekukan kegiatannya. Pers yang mengkritik pembangunan dianggap sebagai pers yang berani melawan pemerintah. Pers seperti ini dapat ditutup dengan cara dicabut SIUPP-nya.
Pada tahun 1990-an, pers di Indonesia mulai melakukan repolitisasi lagi. Maksudnya, pada tahun 1990-an sebelum gerakan reformasi dan jatuhnya Soeharto, pers di Indonesia mulai menentang pemerinTah dengan memuat artikel-artikel yang kritis terhadap tokoh dan kebijakan Orde Baru. Pada tahun 1994, ada tiga majalah mingguan yang ditutup, yaitu Tempo, Detik, dan Editor (ejournal.stainpurwokerto.ac.id/index.php/komunika/article/.../37, diunduh 14 November 2012).
Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa pers mengalami depolitisasi pers. Dengan kata lain, pada masa orde baru tersebut segala penerbitan yang dilakukan media massa berada dalam pengawasan pemerintah. Bila pers itu ingin tetap ada, maka pers harus memberitakan hal-hal yang baik tentang pemerintahan orde baru. Pers seakan-akan dijadikan alat pemerintah untuk mempertahankan kekuasaannya.
4.2.       Pers Pada Masa Reformasi
Pada masa reformasi, pers Indonesia menikmati kebebasan. Pada masa ini terbentuk UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Di dunia pers, kebebasan itu ditunjukkan dengan dipermudahnya pengurusan SIUPP dan semua bebas mengemukakan pendapatnya tanpa harus mengurus SIUPP dan peraturan yang lain (https://www.isomwebs.com, diunduh 14 November 2012).
Dengan transparansi dan demokartisasi serta terbitnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Undang-undang Nomor 32 tentang penyiaran, hal tersebut dapat memberikan peluang seluas-luasnya bagi kemerdekaan pers Indonesia, sehingga pers tidak lagi merasa khawatir untuk dicabut ijinnya, meskipun informasi datang dari berbagai penjuru tidak lagi satu arah sebagaimana pada masa orde baru (http://www.tni.mil.id/view-43381-kebebasan+pers+di+era+reformasi.html, diunduh 28 November 2012).
Tumbuhnya pers pada masa reformasi merupakan hal yang menguntungkan bagi masyarakat. Seperti yang telah dijelaskan sebelumna pada latar belakang masalah bahwa saat ini, kehadiran pers dianggap sudah mampu mengisi kekosongan ruang publik yang menjadi celah antara penguasa dan rakyat. Dalam kerangka ini, pers telah memainkan peran sentral dengan memasok dan menyebarluaskan informasi yang diperluaskan untuk penentuan sikap, dan memfasilitasi pembentukan opini publik dalam rangka mencapai konsensus bersama atau mengontrol kekuasaan penyelenggara negara.
Menurut Anwar Arifin (www.balitbang.depkominfo.go.id/.../.., diunduh 10 Desember 2012) didalam tonggak perjalanan sejarah pers di Indonesia, tercatat sejak Era Reformasi, media massa memiliki kebebasan yang luas terutama dalam melakukan kontrol dan koreksi terhadap jalannya pemerintahan. Sejalan dengan itu, penerbitan pers tidak perlu lagi memiliki izin (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers-SIUPP) dan tidak lagi dikenal adanya sensor dan pembredelan .Hal ini sesuai dengan ketentuan dan jiwa dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers bahwa pers memiliki kebebasan meskipun seringkali terasa bahwa suratkabar, tabloid dan majalah yang menyalahgunakan kebebasan itu.
Fenomena media pada era Reformasi adalah pers yang telah menjadi industri ditengah kebebasan politik yang baru diperolehnya. Keterbukaan yang sangat luar biasa dalam bidang politik saat itu hanyalah menguatkan kecenderungan kapitalisasi pers yang fondasinya telah dipasang sejak berlakunya UU Nomor 21 Tahun 1982 melalui ketentuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers atau SIUPP pasal 13 ayat 5.  Sehingga, tidak heran jika setelah rezim Orde Baru jatuh pada tahun 1998, industri media di Indonesia meningkat dengan tajam. Ratusan surat kabar dan tabloid terbit tanpa harus memakai SIUPP setelah keharusan ini dicabut oleh Menpen pada tahun itu juga mekanisme pasar bebas sukar dihindari lagi dalam industri pers nasional, sekaligus mengakhiri kontrol penguasa terhadap pers.
Dr.Ibnu Hamad (2004: 66) mengidentifikasi fenomena pertumbuhan media massa dalam era Reformasi di Indonesia terdapat dalam 3 pemikiran. Pertama, memberi basis yang kuat bagi lahirnya pers industri dengan menggeser gejala pers idealis. Kedua, mengundang para pemodal untuk masuk ke dunia pers yang belum tentu menjadi bisnis utama mereka, dan ketiga memunculkan kelompok-kelompok usaha penerbitan pers.
Dengan datangnya gelombang reformasi,di mana pers telah dibebaskan dari belenggu politik, ketiga kecenderungan itu semakin kuat. Media makin leluasa mengekspresikan keyakinan politiknya tanpa harus merasa terancam usahanya dicabut SIUPP. Banyak media dalam pemberitaannya terkesan terbuka luas bagi tokoh-tokoh dan partai politik, baik yang didukung maupun yang diserangnya. Kepentingan politik media lantas berbaur dengan kepentingan usaha dari media tersebut sehingga berita yang disajikan pers kadangkala merupakan berita yang disajikan untuk meraih keuntungan semata dan dikomersilkan.
4.3.       Kebebasan Pers dan Dampaknya terhadap Kehidupan Masyarakat Indonesia
Kebebasan pers dalam bahasa Inggrisnya disebut freedom of opinion and expression dan freedom of the speech. John C. Merril (http://septianapratiwi.wordpress.com/2011/02/10/sejarah-perkembangan-pers-di-indonesia/, diunduh 14 November 2012) merumuskan kebebasan pers sebagai suatu kondisi riil yang memungkinkan para pekerja pers bisa memilih, menentukan dan mengerjakan tugas sesuai keinginan mereka. Bebas dari negatif dan bebas dari positif. Bebas artinya kondisi seseorang yang tidak di paksa melakukan sesuatu.
Kebebasan pers mulai didapatkan setelah jatuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998. Pada saat itu rakyat menginginkan adanya reformasi pada segala bidang baik ekonomi, sosial, budaya yang pada masa orde baru terbelenggu. Tumbuhnya pers pada masa reformasi merupakan hal yang menguntungkan bagi masyarakat. Dalam kerangka ini, pers telah memainkan peran sentral dengan memasok dan menyebarluaskan informasi yang diperluaskan untuk penentuan sikap, dan memfasilitasi pembentukan opini publik dalam rangka mencapai konsensus bersama atau mengontrol kekuasaan penyelenggara negara.
Peran inilah yang selama ini telah dimainkan dengan baik oleh pers Indonesia. Setidaknya, antusias responden terhadap peran pers dalam mendorong pembentukan opini publik yang berkaitan dengan persoalan-persoalan bangsa selama ini mencerminkan keberhasilan tersebut. Setelah reformasi bergulir tahun 1998, pers Indonesia mengalami perubahan yang luar biasa dalam mengekspresikan kebebasan. Fenomena itu ditandai dengan munculnya media-media baru cetak dan elektronik dengan berbagai kemasan dan segmen. Keberanian pers dalam mengkritik penguasa juga menjadi ciri baru pers Indonesia.
Dalam sebuah negara yang demokratis, Pers yang bebas merupakan salah satu komponen yang paling esensial dari masyarakat, sebagai prasyarat bagi perkembangan sosial dan ekonomi yang baik. Keseimbangan antara kebebasan pers dengan tanggung jawab sosial menjadi sesuatu hal yang penting. Hal yang pertama dan utama, perlu dijaga jangan sampai muncul ada tirani media terhadap publik. Sampai pada konteks ini, publik harus tetap mendapatkan informasi yang benar, dan bukan benar sekadar menurut media. Pers diharapkan memberikan berita dengan se-objektif mungkin, hal ini berguna agar tidak terjadi ketimpangan antara rakyat dengan pemimpinnya mengenai informasi tentang jalannya pemerintahan.
Masalah baru muncul ketika kebebasan pers telah kebablasan. Hal ini terlihat darii pemberitaan yang dianggap kurang balance antara kepentingan masayarakat dan kepentingan pers untuk mengejar tingkat oplah. Untuk itu, pihak pers cenderung mengutakan konsep berita yang sensasional, sangat partisipan, dan yang kurang obyektif. Selain itu, pada level etis kemanusiaan kebebasan pers dinilai telah mengangkangi nilai dan norma kemasyarakatan dan lebih mengutamakan kaidah jurnalistik itu sendiri.
Emilianus (http://farelbae.wordpress.com/catatan-kuliah-ku/jejak-pers-di-masa-orba-dan-reformasi/, diunduh 26 November 2012), juga mencatat bahwa klaim kebebasan bisa dilihat dari kebebasan pers (liberal) yang dinilai menafikan nilai human being dan telah merongrong keutuhan ruang privat manusia. Dari fakta ini muncul kegamangan dan kemuakan masyarakat terhadap kebebasan pers yang dinilainya kebablasan. Kebebasan yang demikian berakibat pada rusaknya moral masyarakat dan mengganggu kedaulatan pemerintah, sehingga muncullah tuntutan masyarakat dan pemerintah terhadap pers, khususnya pada pers yang provokatif, sensasional dan komersil dalam menyajikan informasi. Hal itu jelas sekali terlihat pada media-media yang menyajikan berita politik dan hiburan baik berupa seks ataupun yang lainnya. Sungguh ironi, dalam sistem politik yang relatif terbuka saat ini, pers Indonesia cenderung memperlihatkan performa dan sikap yang dilematis. Di satu sisi, kebebasan yang diperoleh seiring tumbangnya rezim Orde Baru membuat media massa Indonesia leluasa mengembangkan isi pemberitaan. Namun, di sisi lain, kebebasan tersebut juga sering kali tereksploitasi oleh sebagian industri media untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dengan mengabaikan fungsinya sebagai instrumen pendidik masyarakat. Bukan hanya sekedar celah antara rakyat dengan pemimpin, tetapi pers diharapkan dapat memberikan pendidikan untuk masyarakat agar dapat membentuk karakter bangsa yang bermoral. Padahal seharusnya peran pers saat ini dapat menyelesaikan kesenjangan komunikasi politik antara masyarakat dan pemerintah. Karena, disinilah pers menjadi media yang memungkinkan untuk menjembatani masyarakat dan pemerintah agar komunikasi politik antara yang berkuasa dengan masyarakatnya dapat berjalan. Namun masa Reformasi ternyata menyisakan masalah bagi pers, tidak hanya masalah kebebasan pers yang dinilai kebablasan juga dampak yang diakibatkan dapat meresahkan masyarakat (http://farelbae.wordpress.com/catatan-kuliah-ku/jejak-pers-di-masa-orba-dan-reformasi/, diunduh 26 November 2012).




BAB IV
STUDI KASUS
Setelah reformasi bergulir tahun 1998, pers Indonesia mengalami perubahan yang luar biasa dalam mengekspresikan kebebasan. Fenomena itu ditandai dengan munculnya media-media baru cetak dan elektronik dengan berbagai kemasan dan segmen. Keberanian pers dalam mengkritik penguasa juga menjadi ciri baru pers Indonesia.
Hal tersebut senada dengan ungkapan Amir Purba (2006) yang mengatakan bahwa kehidupan pers setelah reformasi mengalami perubahan yang besar. Secara yuridis, perubahan ini ditandai oleh lahirnya Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Berbeda jauh dengan rezim sebbelumnya, di mana pers dikunci, dibredel serta terjadi monopoli oleh kekuasaan yang sedang berdiri. Masih menurut Purba, khususnya pada masa Orde Baru, ada beberapa ciri kuatnya intervensi Negara kepada pers, yakni:
1.        Pers menampilkan informasi yang berdimensi politik lebih banyak dibandingkan dengan ekonomi, dengan didominasi subyek negara.
2.        Kecenderungan pers lebih berat ke sisi negara dilakukan dengan cara lebih memilih realitas psikologis dibanding dengan realitas sosiologis.
Maka ketika keran reformasi dibuka, pers mendapat nafas baru untuk menarik udara serta menghelanya pada publik. Demokratisasi Negara, dengan amandemen UUD 1945 serta disahkannya banyak UU yang dianggap demokratis, secara seiring membentuk pola masyarakat baru, yang siap menerima informasi dari mana saja dan kapan saja. Terutama karena terlibatnya Indonesia pada era globalisasi; di mana akses yang cepat pada informasi (dengan fasilitas internet), maka kebebasan pers menjadi kata kunci dalam demokratisasi Indonesia. Namun, kebebasan seperti apa yang dimaksud? Setidaknya ada empat konsep pers yang dikemukakan oleh Purba (2006), yakni:
“Pers Otoriter (The Authoritarianism Press), Pers Komunis (The Communism Press), Pers Liberal (The Libertarianism Press), dan Pers Tanggung Jawab Sosial (The Social Responsibility Press). Pada Pers Otoriter negara melakukan pengawasan atau kontrol terhadap pers untuk menjaga agar aktivitas mereka tidak menyimpang dari kepentingan-kepentingan negara; sementara pada Pers Komunis, pers ditempatkan sebagai organ negara sehingga keberadaan mereka tergantung kepada negara. Pers Liberal, menempatkan pers sebagai lembaga yang independen, otonom, dan bebas dari negara; sedangkan Pers Tanggung-jawab Sosial yang lahir sebagai konsekuensi dari Pers Liberal menempatkan kepentingan masyarakat sebagai tujuan utama, di mana kebebasan pers, peranan negara, hukum, dan lain-lain berpedoman kepada kepentingan masyarakatnya.”
Dari keempat konsep pers di atas, kita tentunya telah melewatinya terutama pada fase otoriter. Namun, yang sama-sama publik harapkan adalah bagaimana pers yang memiliki tanggung jawab secara social, yakni pada konsep keempat. Pers Tanggung Jawab Sosial, adalah sebuah konsep pers di mana pers tidak hanya bekerja untuk dirinya sendiri, apalagi hanya sentralistik pada Negara. Ia tak hanya berperan aktif pada  penyebaran informasi, namun juga memikirkan apa yang akan diberikan pada public terkait informasi tersebut. Maka, kata kunci perbedaan antara Liberal dan Tanggung Jawab Sosial adalah, penyebaran nilai yang terkandung pada informasi tersebut. Sehingga masyarakat tak hanya tahu (know) soal informasi, namun juga paham bagaimana perlakuan terhadap dan setelah mendapat informasi tersebut.
Saptohadi (2011) mengemukakan prinsip- prinsip dari konsep pers ini, yakni:
1.        Media memiliki kewajiban tertentu kepada masyarakat
2.        Kewajiban tersebut dipenuhi dengan menetapkan standar yang tinggi atau profesional tentang keinformasian, kebenaran, objektivitas, keseimbangan dan sebagainya
3.        Dalam menerima dan menerapkan kewajiban tersebut, media dapat seyogyanya mengatur diri sendiri di dalam kerangka hukum dan lembaga yang ada.
4.        Media seyogyanya menghindarkan segala sesuatu yang mungkin menimbulkan kejahatan yang mengakibatkan ketidaktertiban umum atau juga penghinaan terhadap minoritas etnik dan agama.
Era reformasi, memungkinkan kemudahan dalam penerbitan SIUPP. Kemudahan ini mengakibatkan munculnya banyak media. Saptohadi (2011) mengambil data dari  Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS), pada tahun 1999, jumlah penerbitan adalah 1687, melonjak ketika dibandingkan pada tahun 1997 hanya berkisar 289 penerbitan.
Namun, kuantitas ini tidaklah bebas kritik. Selanjutnya Saptohadi menuliskan:
“Kritikan itu sangat variatif, ada yang menyoroti kelemahan- kelemahan dalam proses pemberitaan yang dianggap kurang balance antara kepentingan masyarakat dan kepentingan (tingkat oplah) pers. Pihak pers dinilai cenderung mengutamakan konsep berita yang kurang objektif, sensasional dan sangat partisipan; kemudian pada level etis kemanusiaan kebebasan pers itu dinilai telah mengangkangi nilai dan norma moral kemasyarakatan dan telah meruntuhkan kaidah jurnalistik itu sendiri.”
Pers kemudian berdiaspora bak jamur. Seperti mendapat momentumnya, pers bermunculan tak hanya membawa kepentingan politik tertentu, namun juga ideologis yang mendekati sektarian. Setidaknya studi yang dilakukan oleh Rahmat Saleh seperti dikutip Purba (2006), terhadap isi surat kabar Media Indonesia, yakni :
1.      Media Indonesia kental memperlihatkan ideologi pemilik –Surya Paloh– dalam konstruksi teks. Penerjemahan ideologi dilakukan dengan “patuh” dalam aktivitas rutin media (media routine) dan menjadi panduan dalam referendum Aceh;
2.      Kepentingan terhadap aspirasi ini dominan ditampilkan dalam berbagai jenis teks mulai editorial sebagai ruang pribadi (private space), berita, komentar pembaca, dan artikel opini sebagai ruang publik.
3.      Eksekusi teks tersebut mengindikasikan rendahnya peran media sebagai ruang publik, seperti akses publik non-elite yang minim, ketimpangan kedudukan publik dalam diskusi isu, strategi pemberitaan dengan pendekatan talking news, rendahnya keberlakuan obyektivitas pemberitaan, konstelasi sikap publik yang tidak berimbang, serta tendensi-tendensi sikap media yang misleading. Semua rangkaian eksekusi teks tersebut memiliki motif baik ekonomi maupun, khususnya yang terlihat jelas, “kepentingan ideologis”.
Selain kepentingan politik, juga yang bersifat ideologis. Ini dikemukakan oleh Febri Ichwan Butsi dalam studinya terhadap majalah Sabili dan Tempo dalam kasus Bom Bali, seperti dikutip oleh Purba (2006) :
“Frame kedua majalah sangat berbeda. Majalah Sabili memaknainya sebagai masalah kepentingan politik, sedangkan Tempo sebagai masalah moral dan hukum.”
Corak ideologi media sangat berpengaruh. Majalah Sabili sebagai majalah Islam bersikap positif terhadap Islam dan Indonesia, dan negatif terhadap Amerika Serikat. Majalah Tempo, sebagai majalah umum yang mengusung jurnalisme sastra dan reportase investigatif lebih bersikap hati-hati memaknai kasus bom Bali.











BAB V
KESIMPULAN
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dibuat, penyusun mendapatkan tiga kesimpulan sesuai dengan rumusan masalah tersebut. Adapun kesimpulan yang didapat oleh penyusun adalah sebagai berikut:
Pertama, pada masa orde baru kebebasan pers cenderung merupakan kebebasan yang semu dimana terdapat kebebasan pers namun kebebasan tersebut harus tunduk terhadap pemerintah. Pada masa ini, terdapat teori yang pas untuk mengungkapkan kondisi ini. Teori tersebut adalah teori pers otoriter, dimana teori berasal dari falsafah kenegaraan yang membela kekuasaan absolut. Dalam teori ini, penetapan tentang hal-hal yang benar dipercayakan hanya kepada segelintir orang yang mampu memimpin. Jadi dengan kata lain pada dasarnya, pendekatan dilakukan dari atas ke bawah dimana pers harus mendukung kebijakan pemerintah dan mengabdi kepada negara. Dalam teori pers otoriter ini disebutkan bahwa para penerbit diawasi melalui paten-paten, izin-izin terbit dan sensor. Konsep ini  menetapkan pola asli bagi sistem pers Indonesia pada masa orde baru.
            Kedua, pada masa reformasi kebebasan pers mulai menggeliat seolh bangun dari tidurnya. Pada masa ini, teori yang pas dalam menggambarkn kondisinya adalah teori pers libertarian atau teori pers bebas. Dalam teori ini, pers harus menjadi mitra dalam upaya pencarian kebenaran. Pandangan dalam teori ini, pers perlu mengawasi pemerintah. Oleh karenanya, pers harus bebas dari pengaruh dan kendali pemerintah. Dalam upaya mencari kebenaran, semua gagasan harus memiliki kesempatan yang sama untuk dikembangkan, sehingga yang benar dan dapat dipercaya akan bertahan, sedangkan yang sebaliknya akan lenyap. Teori ini paling banyak memberi landasan kebebasan yang tak terbatas kepada pers. Disini pers bebas paling banyak memberi informasi dan hiburan, namun pers bebas juga sedikit mengadakan kontrol terhadap pemerintah. Dalam perusahaan pers yang menganut teori pers bebas, sebagian besar aturan yang ada hanyalah untuk menciptakan keuntungan berupa materi bagi pemilik modal.
Ketiga, praktik kebebasan pers di Indonesia pada pada setiap periode zamannya selalu mengikuti politik penguasa. Pada masa Orde Baru, system pers yang berjalan adalah otoritarian, meskipun secara formal disebut sebagai pers bebas dan bertanggungjawab. Tetapi bertanggung jawab kepada penguasa, bukan kepada masyarakat. Didalam era Reformasi, melalui euphoria kebebasan politik berdampak pada praktik kebebasan pers yang luas. Banyak media surat kabar diterbitkan dan memakai pola pemberitaan yang bebas, sehingga masyarakat mengakui bahwa praktik kebebasan pers betul-betul dinikmati pers dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat melalui kebebasan menyampaikan informasi tersebut. Namun dalam praktiknya, kebebasan pers masih juga menemui hambatan. Hambatan yang kebanyakan merupakan dampak dari kebasan pers yang sebeba-bebasnya dan tanpa terkendali. Sehingga, dengan demikian praktik kebebasan pers pada akhirnya harus dapat dikelola sendiri oleh masyarakat pers sehingga tidak menjerumuskan dan tidak merugikan masyarakat luas.













DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku:
Bertens, K. (2008). Sketsa-Sketsa Moral: 50 Esai tentang Masalah Aktual. Jogjakarta: Kanisius
Hamad, I. (2004). Konstruksi Realitas Politil dalam Media Massa: Sebuah Studi Critical Discourse Analysis terhadap Berita-Berita Politik. Jakarta: Granit
Mallarangeng, R. (2010). Pers Orde Baru. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Masduki. (2003). Kebebasan Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Jogjakarta: UII Pres Yogyakarta
Oetama, J. (1989). Perspektif Pers Indonesia. Jakarta: LP3ES
Wibowo, W. (2009). Menuju Jurnalime Beretika: Peran Bahasa, Bisnis, dan Politik di Era Mondial. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara
Sumber Internet
Anonim. (______). Kebebasan Pers. [online] Tersedia: http://www.isomwebs.com [14 November 2012]
Anonim. (2012). Pers Dulu Diperas Sekarang untuk Berperang. [online] Tersedia: http://politik.kompasiana.com/2012/09/25/pers-dulu-diperas-sekarang-untuk-berperang/ [11 November 2012]
Anonim. (______). Praktik  Kebebasan Pers Pada Era Reformasi Di Indonesia. [online] Tersedia: ejournal.stainpurwokerto.ac.id/index.php/komunika/article/.../37 [14 November 2012]
Anonim. (______). Kebebasan Pers di Era Reformasi. [online] Tersedia: http://www.tni.mil.id/view-43381-kebebasan+pers+di+era+reformasi.html [28 November 2012]
Kompasiana. (2012). Kebebasan Pers. [online] Tersedia: http://media.kompasiana.com/buku/2012/09/25/kebebasan-pers/[28 Maret 2011]
Kompasiana. (2012). Kebebasan Pers. [online] Tersedia: http://www.tni.mil.id/view-43381-kebebasan+pers+di+era+reformasi.html [05 Desember 2012]

 Pratiwi, S. (2011). Sejarah Perkembangan Pers di Indonesia. [online] Tersedia: http://septianapratiwi.wordpress.com/2011/02/10/sejarah-perkembangan-pers-di-indonesia/ [14 November 2012]


Putra, A. F. (______). Jejak Pers di Masa Orba dan Reformasi. [online] Tersedia: http://farelbae.wordpress.com/catatan-kuliah-ku/jejak-pers-di-masa-orba-dan-reformasi/ [26 November 2012]








1 komentar: