Jumat, 27 Desember 2013

Makalah Kasus Bulog II


BAB I
PENDAHULUAN

1.1.       Latar Belakang Masalah
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) di Indonesia bukan barang baru lagi, bahkan sudah menjadi budaya yang sukar untuk dilenyapkan. KKN berawal pada masyarakat Jawa yang mengenal budaya Patron-Client melalui upeti. Upeti merupakan pajak yang sifatnya wajib seperti yang dijelaskan oleh Anzar Abdullah (2009: 2), bahwa:
Upeti dalam perspektif sejarah, sebenarnya adalah pajak, namun tidak mengikat dan tidak merupakan keharusan; namun keberadaannya merupakan kewajiban. Upeti tidak lain adalah sumbangan, hadiah atau sejenisnya, yang diwujudkan dalam berbagai terminology yang berbeda-beda.
Abdullah (2009) juga menjelaskan bahwa pada masa kerajaan Mataram Islam abad ke-17 diberlakukan sistem upeti seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Rakyat memberikan upeti baik berupa barang atau “uang pelicin” untuk menyenangkan hati penguasa. Hal tersebut dilakukan untuk tujuan-tujuan tertentu, misalnya rakyat memberikan upeti kepada Raja karena rakyat ingin hubungan sosial, ekonomi, dan politik dengan raja tetap langgeng meskipun pada kenyataannya rakyat hidup melarat. Perlakuan-perlakuan seperti ini menggambarkan- yang oleh Abdullah (Suhartono, 2001) dikategorikan sebagai penyuapan. Abdullah (Suhartono, 2001) menyatakan bahwa:
Pemberian sesuatu untuk tujuan tertentu telah dapat dikategorikan sebagai penyuapan (bribery), penyogokan dengan berbagai bentuk seperti uang (baca: uang pelicin, uang rokok, uang bensin, uang kopi, dan lain-lain) barang-barang kesukaan penguasa.

Upeti yang merupakan kegiatan penyuapan pada zaman feodal diperkuat dengan kedatangan kolonialisme ke Nusantara. Tentu saja Kolonialisme menjadi faktor pendorong menjamurnya praktek-praktek KKN di Nusantara. Hal tersebut merupakan warisan budaya yang sampai sekarang eksistensinya mendarah daging di Indonesia.
Pada awal era reformasi praktek-praktek KKN ditunjukkan dengan adanya Kasus Buloggate II yang melibatkan mantan Mensesneg Akbar Tandjung, Ketua Yayasan Raudatul Jannah Dadang Sukandar, dan kontraktor penyalur sembako Winfried Simatupang yang diduga menyelewengkan dana non-bujeter Bulog sebesar 40 Milyar. Kasus ini dikategorikan KKN karena dalam pengelolaan dananya, Akbar Tandjung, Dadang Sukandar, dan Winfried Simatupang tidak mengikuti tata cara yang sudah berlaku dalam Keputusan Presiden Nomor: 8 Tahun 1994 Tentang Pelaksanaan APBN, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor: 8 Tahun 1997 dan Keputusan Presiden Nomor: 24 tahun 1995 Tentang Pengadaan Barang dan Jasa (Dewanto, 2004: 116). Selain itu, dana non-bujeter sebesar 40 Milyar diduga diselewengkan Akbar Tandjung untuk kepentingan kampanye-nya dan Partai Golkar.
Alasan penulis mengkaji Kasus Buloggate II karena yang pertama, posisi Akbar Tandjung pada saat kasus terjadi menjabat sebagai Mensesneg ke-6 dan Ketua DPR ke-16; kedua, Dana non-bujuter Bulog yang dicanangkan lebih besar daripada dana pada kasus Buloggate I; ketiga, Dana yang dikorupsi adalah dana bulog yang merupakan milik rakyat; dan yang keempat, kasus ini memiliki dampak yang sangat luas karena pada saat itu Golkar merupakan partai yang besar dan pengikutnya pun cukup banyak.

1.2.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dengan demikian yang menjadi rumusan masalah pada penulisan makalah ini adalah: “Bagaimana Upaya Pemberantasan Korupsi Pada Awal Reformasi (Studi kasus: Buloggate II)”. Adapun yang benjadi batasan masalah dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana upaya Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) di Indonesia pada awal reformasi?
2.      Bagaimana latar belakang terjadinya kasus Buloggate II?
3.      Bagaimana proses terjadinya kasus Buloggate II?
4.      Bagaimana upaya pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) pada kasus Buloggate II?

1.3.       Tujuan Penulisan Makalah
Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Menjelaskan upaya Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) di Indonesia pada awal reformasi (tahun).
2.      Menjelaskan latar belakang terjadinya kasus Buloggate II.
3.      Menjelaskan proses terjadinya kasus Buloggate II.
4.      Menjelaskan upaya pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) pada kasus Buloggate II.

1.4.       Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan makalah ini adalah:
BAB I, merupakan pendahuluan dari penulisan. Dalam bab ini dijelaskan mengenai latar belakang masalah yang akan dikaji, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II, merupakan pembahasan. Dalam bab ini akan diuraikan mengenai upaya pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) pada masa awal reformasi (tahun), latar belakang terjadinya kasus Buloggate II, proses terjadinya kasus Buloggate II, dan upaya pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) pada kasus Buloggate II.
BAB III, merupakan kesimpulan. Pada bab ini penulis akan menjelaskan kesimpulan dari pembahasan sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
KASUS BULOGGATE II

1.1.       Upaya Pemberantasan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) Pada Masa Awal Reformasi
Korupsi di Indonesia merupakan masalah yang paling sulit untuk diatasi, karena sudah tersebar ke seluruh bagian pemerintahan. Sehingga upaya-upaya pemberantasannya sangat sulit dilakukan, bahkan tersendat-sendat. Sejak Indonesia pertama kali merdeka hingga sekarang, pemerintah selalu berupaya untuk menindak dan mengurangi kasus korupsi. Namun pembahasan pada bab ini hanya difokuskan pada upaya pemerintah memberantas korupsi pada masa awal reformasi. Menurut Atmasasmita (2004 : 17) :
“Esensi era reformasi adalah perubahan sikap mental yang mendasar dari seluruh lapisan masyarakat terutama sikap mental elite politik untuk segera meninggalkan budaya paternalistik dan keunggulan feodalisme yang sering terbukti melecehkan dan menegasikan supermasi hukum dengan mengedepankan kekuasaan semata-mata, menutup transparansi dan berlindung di balik rahasia jabatan semata-mata, merendahkan kode etik profesi dan tanggung jawab profesi dan tidak menghargai perindungan hak asasi manusia”

Kebijakan Hukum dalam pemberantasan korupsi di masa awal reformasi
-          UU 28/1999
Keberhasilan pemberantasan korupsi tidak hanya semata-mata bertumpu kepada langkah penegakan hukum yang bersifat refresif melainkan juga tergantung dari pelaksanaan langkah preventif yang efektif. Langkah preventif yang dimaksud adalah dengan mempersiapkan tatanan pemerintahan yang bersih dan berwibawa (good governance). Langkah tersebut sudah dimulai dilaksanakan dengan diberlakukannya UU No 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Berwibawa. UU Nomor 28 tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN di hasilkan oleh pemerintah dan DPR sebagai langkah strategis untuk menciptakan good governance. Langkah strategis ini dapat dilihat dari hal-hal sebagai berikut :
-          Sasaran UU No 28/1999 adalah para penyelenggara negara yang meliputi: Pejabat Lembaga Tertinggi Negara, Lembaga Tinggi Negara, Gubernur, Walikota/Bupati, Hakim, Polisi, Jaksa, Pejabat BUMN/D dan Pimpro/Bendaharawan Proyek.
-          UU No 28 /1999 merupakan rambu-rambu moral dan merupakan kebijakan hukum yang bersifat preventif dengan mengedepankan regulasi yang bersifat administratif
-          UU No 28/1999 telah memerintahkan pembentukan Komisi Harta Kekayaan Penyelengara Negara yang merupakan lembaga independen dan terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat dengan memiliki wewenang “subpoena” dan penyelidikan
-          UU No 28/1999 telah menetapkan perbuatan kolusi dan nepotisme sebagai tindak pidana (baru) dan berdiri sendiri.

-          UU 31/1999
Dilakukan penyempurnaan dari UU 3/1971 dengan dikeluarkannya UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Menurut Atmasasmita (2004: 2 ) penyusunan UU No 31 tahun1999 telah mempertimbangkan setiap faktor yang dapat melemahkan ketahanan sistem peradilan pidana dalam memberantas korupsi yang sudah melembaga baik di sektor publik maupun di sektor swasta. Terdapat empat pembaruan mendasar dalam UU tersebut, yaitu : Pertama, tindak pidana korupsi telah dirumuskan secara formil, yaitu meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada negara, pelaku tindak tindak pidana korupsi tetap dituntut dan diajukan ke sidang pengadilan dan dapat dipidana hukum. Kedua, dianutnya sistem pembuktian terbalik murni yang mewajibkan kepada terdakwa di muka sidang pengadilan untuk membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan dari hasil dari korupsi. Ketiga, pemberian uang diatas jumlah tertentu (10.000.000) harus dianggap suap kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Yang keempat, penyitaan atas harta kekayaan terdakwa dapat dilaksankan baik sebelum maupun sesudah dijatuhkannya putusan pengadilan dan tidak dibatasi  oleh masa kadaluarsa.
Secara operasional agar UU  tersebut mencapai tujuannya maka keberadaan suatu lembaga baru untuk melaksanakannya sangat diperlukan disamping Instansi Kepolisisan dan Kejaksaan. Dan diharapkan keberadaan lembaga baru ini dapat secara proaktif meningkatkan kinerja instansi-instansi tersebut atau juga dengan inisiatifnya melaksanakan tugas penyidikan dan penuntutan apalagi masyarakat luas mendukung keberadaan lembaga baru tersebut disamping “political will” yang kuat dari pemimpin pemerintahan.
Adanya lembaga baru yang menangani pemberantasan korupsi akan berada dalam lingkup sistem pidana yang berlaku. Agar operasional lembaga ini kuat, maka dilakukan revisi pada KUHAP, dan hal ini merupakan sesuatu yang harus serta sebagai prasyarat untuk keberhasilan pemberantasan tindak pidana korupsi. Efektifitas keberadaan Komisi Pemeriksa Harta Kekayaan Negara (KPKPN) merupakan faktor pendukung yang utama dalam membantu efisiensi kinerja lembaga baru tersebut.
-          UU No 30/2002 (tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi)
KPTPK sebagai sebuah komisi yang diserahi tugassebagai pemberantas korupsi,oleh UU ini diberi kewenangan untuk menjalankan tugasnya dengan sebagaimana mestinya. Namun pada kenyataannya, komisi belum bisa dimanfaatkan secara maksimal. Penyebabnya adalah kurangnya SDM yang dimiliki oleh komisi ini, kewenangan KPTPK yang besar itu tidak ditopang oleh SDM yang memadai. Akibatnya KPTPK belum bisa menghasilkan hasil kerja yang kongkrit (http://wikinfonews.blogspot.com).

1.2.       Latar Belakang Terjadinya Kasus Buloggate II

Buloggate adalah kasus yang sangat terkenal di Indonesia karena sering menjerat petinggi-petinggi Negara. Kasus ini merupakan kasus penyelewengan dana Non Budgeter Bulog (Badan Urusan Logistik). Dana Non Budgeter Bulog sendiri adalah dana di luar APBN yang dimiliki Bulog yang digunakan sebagai dana cadangan di saat kondisi logistik negara terdesak. Sedangkan Istilah Bulloggate sendiri menurut artikel yg dimuat dalam blog (ginoo.wordpress.com) merupakan istilah yang dipengaruhi oleh peristiwa dari Amerika Serikat. Peristiwa itu diawali dari laporan investigatif jurnalisitik AS yang bernama Carl Bernstein dan Bob Woodward di koran The washington Post pada tahun 1972-1973. Laporan itu menguak skandal penyadapan yang dilakukan oleh tim kampanye presiden Richard Nixon dari Partai republik, terhadap markas kampanye Partai Demokrat yang menjadi lawannya dalam pemilihan presiden. Peristiwa pembobolan markas kampanye Partai Demokrat ini terjadi pada 17 Juni 1972. Akibat dari laporan investigatif yang dilakukan duet wartawan ini, Presiden Nixon terjungkal dari kekuasaannya dan mengundurkan diri 8 Agustus 1974. Skandal yang dikenal sebagai skandal “Water gate”, yang berasal dari nama kompleks bangunan berlantai 11 di Washington DC, dimana markas kampanye Partai Demokrat terletak di lantai 6. Begitu terkenalnya kata “gate” kemudian dipakai secara salah kaprah, untuk menamakan berbagai skandal lainnya, seperti Irangate, Bruneigate dan Buloggate
Di Indonesia ada dua kasus Buloggate. Pada kasus Buloggate pertama yang melibatkan Gus Dur yakni Presiden Indonesia pada waktu itu atas persetujuannya memberikan dana non budgeter bulog kepada Yanatera (Yayasan Bina Sejahtera) Bulog yang dikelola oleh mantan Wakabulog Sapuan. Sapuan sendiri akhirnya divonis 2 tahun penjara dan terbuksi bersalah menggelapkan dana non bujeter Bulog sebesar 35 milyar rupiah. Kasus ini pula yang mengantarkan Gus Dur lengser di tahun 2001. Setelah sebelumnya ia menerima dua kali memorandum DPR RI.
Dalam kasus Buloggate II yang akan kami bahas ini telah terjadi pengaliran dana untuk pengadaan sembako di Indonesia yang dialirkan dari pemerintah melalui rapat kabinet dan diputuskan memakai dana non budgeter Bulog yang dikepalai oleh Rahardi Ramelan dan disalurkan ke Menteri Sekretaris Negara yang merangkap sebagai Ketua DPR RI dan Ketua Umum DPP Partai Golkar Akbar Tanjung. Kemudian dari Menteri Sekretaris Negara tersebut disalurkan kembali kepada Yayasan Raudlatul Jannah yang hal ini melibatkan Dadang Sukandar dan Winfried Simatupang, dan Winfried adalah salah satu kader Golkar.
Yang menjadi permasalahan adalah pengaliran dana dari Rapat Kabinet dan penyaluran dana dari Yayasan Raudlatul Jannah yang dianggap sebagai yayasan fiktif.
Kasus ini pada akhirnya berlarut-larut hingga saat in. mungkin hal tersebut disebabkan oleh jabatan para pihak yang bermasalah sehingga menimbulkan “conflict of interest” dari pemerintah karena walau bagaimanapun Kejaksaan Agung dan pihak kepolisian adalah berada dibawah pemerintah sehingga sangat sulit untuk membedakan mana kepentingan politik dan mana kepentingan hukum.
Menurut Miriam Budiarjo dalam buku Dasar-dasar Ilmu politik menyatakan negara manapun semuanya mengakui adanya suatu asas persamaan didepan hukum atau Equality Before The Law, seperti asas hukum Rule Of Law yang dipakai dalam negara Anglo Saxon bahwa Rule Of law melingkupi:

1. Supremacy Of Law
2. Equality before the law
3. Constitrution based on human rights.
Hal seperti inilah yang seharusnya menjadi pedoman bagi penegakan supremasi hukum di Indonesia. Hal ini sebenarnya telah tercantum dalam Undang Undang Dasar tahun 1945 tepatnya pasal 27. yang berbunyi :
            Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak adakecualinya.

Sehingga jelas dalam negara republik Indonesia tidak ada perbedaan dalam perlakuan hukum bagi seluruh warga negara.

1.3.       Proses Terjadinya Kasus Buloggate II

Kasus buloggate bermula dari kucuran dana sebesar 40 miliar yang mengalir dari BULOG ke Mensesneg. Dana tersebut dikeluarkan dalam rangka pengadaan dan pembagian sembako untuk rakyat miskin sebagai tindaklanjut dari perintah lisan Presiden B.J. Habibie pada pertemuan tertutup tertanggal  10 Februari 1999. Saat kasus ini mencuat sorotan tajam tertuju kepada Akbar Tanjung, mengingat posisi dia sebagai Ketua DPR dan juga Ketua Umum Partai Golkar.
Dalam pertemuan tersebut (10 Februari 1999) Presiden memberikan tugas kepada Mensesneg untuk mengkoordinasi pengadaan dan pembagian sembako untuk rakyat miskin.Yang kemudian menjadi masalah adalah dalam menjalankan tugasnya tersebut Akbar Tanjung selaku Mensesneg saat itu menggunakan dana non-budgeter BULOG, padahal dana tersebut seharusnya hanya diperuntukkan bagi keperluan, fungsi dan tugas BULOG.
Akbar Tanjung selaku Mensesneg, menerima dua kali cheque dengan nilai seluruhnya sebesar 40 miliar rupiah dari BULOG dengan tanpa membuat tandaterima atau Berita Acara Serah Terima, yang melanggar Dasar Akuntansi BULOG (Syamsudin: ,4). Akbar Tanjung kemudian menunjuk Yayasan Raudatul Jannah yang diketuai oleh Dadang Sukandar, kemudian juga menunjuk Winfried Simatupang selaku rekanan pelaksana dalam pengadaan dan pembagian sembako.
Akbar Tanjung disebut menyerahkan cheque senilai total 40 miliar rupiah kepada Dadang Sukandar tanpa tanda terima atau kontrak kerja. Kemudian Dadang Sukandar menyerahkan cheque sebesar 40 miliar rupiah tersebut kepada Winfried Simatupang selaku mitra kerjanya untuk melaksanakan pembelian dan pembagian sembako. Namun pembelian tersebut ternyata tidak terlaksana, hal tersebut mengakibatkan maksud dan tujuan perintah Presiden pada pertemuan terbatas tanggal 10 Februari 1999 tidak terlaksana.
Sebelum adanya perintah Presiden tanggal 10 Februari tersebut, BPKP menemukan kejanggalan dalam keuangan di BULOG. Mereka menemukan bahwa ada sejumlah dana yang tidak dicatatkan dalam neraca keuangan BULOG, padahal hal tersebut tidak sesuai dengan dasar akuntansi.BPKP memberikan saran agar pengelolaan keuangan secara non-neraca tersebut dihentikan dan tidak dilaksanakan lagi. Namun ketua BULOG saat itu, Rahadi Ramelan memandang perlu untuk tetap melaksanakan pengelolaan keuangan secara non-neraca tersebut. Untuk itu maka Rahardi Ramelan mengirim surat kepada Presiden yang intinya memohon agar pengelolaan keuangan secara non-neraca tersebut tetap dipertahankan. Presiden kemudian menyetujui permohonan tersebut dan meminta kepada sejumlah jajaran menterinya, salahsatunya Mensesneg untuk membantu hal tersebut.
Dalam hal ini Mensesneg menyetujui pendapat dari  Rahardi Ramelan untuk tetap melaksanakan pengelolaan keuangan secara non-neraca, yang mana hal tersebut seharusnya bukan kewenangannya. Meskipun penyaluran dana non-budgeter BULOG merupakan tindak lanjut langsung dari perintah lisan Presiden B.J. Habibie tertanggal 10 Februari 1999, namun kasus Buloggate baru digulirkan pada 2001 di masa pemerintahan Presiden Megawati.
Akbar Tanjung sendiri resmi menjaditersangkapada 7 Januari 2002.Secara tidak langsung dalam sebuah konferensi pers, Jaksa Agung MA Rachman SH menyatakan mantan Mensesneg Akbar Tandjung sebagai tersangka kasus penyalahgunaan dana non-budgeter Bulog Rp 40 miliar. Walaupun terus didesak wartawan, Rachman hanya mengemukakan bahwa pada 5 Januari 2002 dirinya sudah menerima surat izin dari Presiden Megawati untuk memeriksa Akbar sebagai tersangka (Suara Merdeka, 5/9/2002).
Selain Akbar Tanjungjugaadaduanama lain yang dijadikan sebagai tersangka yakni Dadang Sukandar dan Winfried Simatupang. Kejakgung membentuk tim untuk menyidik kasus dugaan penyalahgunaan dana non-budgeter Bulog dengan tersangka Akbar Tandjung, Ketua Yayasan Raudatul Jannah Dadang Sukandar, dan Kontraktor Pengadaan dan Penyaluran Bahan Kebutuhan Pokok Winfried Simatupang(Suara Merdeka, 5/9/2002).
Dalam status tersangkatersebut Akbar Tanjung masih diperbolehkan untuk menunaikan ibadah haji padaFebruari 2002.Alasan Kejakgung memperbolehkan Akbar untuk berangkat ke tanah suci adalah karena Akbar dianggap bersikap kooperatif. Setelah menunaikan ibadah haji, Kejakgung secara resmi menahan Akbar di Rumah Tahanan Kejakgung. Sebelumnyasempatberedarisubahwa Akbar akanmelarikandiri, namun justru terhadang masa pendukungnya yang seharian mendemo Kejakgung.Proses penahanannya alot karena Akbar bersikeras tidak mau menandatangani surat penahanan dirinya. Baru pada dini harinya, dia bersedia menandatangani surat tersebut(Suara Merdeka, 30/1/2004).
Sidang perdana kasus Akbar dkk digelar di PengadilanNegeri Jakarta Pusatpada 25 Maret 2002 (Suara Merdeka, 30/1/2004). Mengingatposisi Akbar Tanjung yang merupakan Ketua DPR dan juga KetuaUmum PartaiGolkar saat itu, sidangkasusbuloggateiniselalupenuholehpengunjung yang mendukungdanjuga yang kontra terhadap Akbar Tanjung. Sidang perdananya sendiri memacetkan lalu lintas di kawasan tersebut. Hal tersebut sempat mengakibatkan jalannya sidang menjadi sulit. Pada sidang-sidang berikutnya majelis hakim beberapa kali memindahkan tempat persidangan untuk mengatasi membludaknya pengunjung sidang tersebut. Dalam menghadapi persidangan, Akbars empat mengganti tim pengacaranya yang semula beranggotakan Hotma Sitompul, Ruhut Sitompul, dan Tommy Sihotang menjadi Amir Syamsudin, Denny Kailimang, Martin Pongrekun dkk. Proses persidangan kasus buloggate ini terbilang cukup berjalan alot. Majelis Hakim baru membuat putusan pada September 2002, dengan para tersangka yakni Akbar Tanjung, DadangSukandar dan Winfried Simatupang dinyatakanbersalah.
1.4.       Upaya Pemberantasan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) Pada Kasus Buloggate II

Kasus Buloggate II merupakan kasus politik dan hukum, meskipun pada kenyataannya didominasi oleh politik. Dalam upaya pemberantasannya era reformasi menyuguhkan penyelesaian melalui supremasi hukum dan supremasi politik. Jalur penegakkan hukum didukung oleh sebagian besar pihak melalui Pengadilan. Dan hal tersebut menurut Dekan Fakultas Hukum UI Abdul Bari Bazed, SH, MH (Dewanto, 2004: xii) merupakan langkah yang tepat untuk menyelesaikan Kasus Buloggate II. Sedangkan supremasi politik dilakukan dengan membentuk Pansus (Panitia Khusus) Buloggate II di kalangan DPR. Namun pada kenyataannya pembentukkan Pansus ini tidak teralisasikan karena banyak kalangan dari anggota fraksi Golkar yang menolak. Selain itu, menurut Anggota DPR fraksi PKB (partai kebangkitan bangsa) Effendi Choirie (2001) menjelaskan ada beberapa faktor yang menyebabkan pembentukkan Pansus Buloggate gagal, diantaranya adalah:
a.       Administratif. Ketika PKB memasukkan surat pembentukkan Pansus Buloggate II ke Sekretariat Jendral seharusnya disampaikan ke setiap anggota, karena langkah tersebut merupakan persyaratan administrasi. Namun pada kenyataannya surat yang dimasukkan PKB tidak pernah keluar. Dalam hal ini diduga bahwa ada permainan dari orang yang terlibat dengan Sekretariat Jendral sehingga prosesnya sengaja diulur-ulur.
b.      Pengawasan yang harus dilakukan oleh DPR sekarang adalah terhadap pemerintahan sekarang, bukan pemerintahan yang dulu.
Alasan-alasan seperti itu dianggap Choirie sebagai alasan yang tidak mendasar. Dan gagalnya pembentukkan Pansus Buloggate oleh DPR menimbulkan krisis ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Untuk mengurangi kesubjektivismean pembahasan ini maka ada baiknya memandang penyelesaian kasus ini dari berbagai sudut pandang, seperti dari pihak PDI-Perjuangan, PKB, Golkar, dan Saksi Ahli Prof. Dr. Ismail Sunny.
Bagi Sekretaris Korwil PDI Perjuangan di Negeri Belanda M.D. Kartaprawira (2002), Kasus Buloggate II yang melibatkan Akbar Tandjung sebagai Ketua DPR dan Ketua Partai Golkar sebagai sebuah skenario yang dibuat-buat untuk menyelamatkan Akbar Tandjung saja. menurut Kusadi (Unpad), meskipun Akbar Tandjung selalu saja mengelak melakukan penyelewengan tetapi ada sinyal-sinyal yang menyatakan bahwa ia melakukan Tindak Pidana Korupsi. Hal ini terbukti dengan dimunculkannya nama Yayasan Raudhatul Jannah sebagai penyalur sembako yang fiktif, pengembalian dana sebesar Rp. 32 Milyarkepada Negara oleh Winfried Simatupang. Hal tersebutlah yang memperkuat adanya Tindakan Pidana Korupsi yang dilakukan oleh Akbar Tandjung, Dadang Sukandar, Winfried Simatupang, dan pejabat-pejabat Golkar lainnya untuk menikmati kucuran Dana non-Bujeter Bulog. Maka dari itu,supremasi hukum perlu ditegakkan untuk menyelesaikan Kasus Buloggate II. Di samping itu, menurut Kartaprawira (2002) proses politik dengan pembentukan Pansus pun perlu ditegakkan.
Penegakan supremasi hukum terbukti dengan tindakan Megawati yang mempercepat pemberian surat ijin pemeriksaan Akbar Tandjung kepada Jaksa Agung (Kartaprawira, 2002: http://www.korwilpdip.org/bulog0204/02.htm). Namun tindakan yang dilakukan Megawati mendapat reaksi berupa tuduhan-tuduhan bahwa tujuan tindakan tersebut hanya untuk menjatuhkan Partai Golkar saja. Dalam hal ini rezim Megawati tetap menegakkan supremasi hukum dengan berdasarkan bahwa penegakkan hukum berlaku pada siapapun baik itu tokoh/pribadi seseorang maupun pejabat atau penguasa yang menjarah kekayaan rakyat.
Proses politik dengan dibentuknya Pansus oleh DPR merupakan hak DPR untuk melakukan penyelidikan pada Kasus Buloggate II. Seperti yang dijelaskan oleh Kartaprawira (2002), bahwa
Pembentukan Pansus adalah hak DPR yang bersumber pada hak yang melakukan penyelidikan, sehingga dalam kehidupan demokrasi, DPR tidak khusus melakukan tugas sempit legislative, tapi juga memberi input kepada institusi judikatif (juga eksekutif) tentang hasil temuannya yang sudah tentu harus ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum.

Pembentukan Pansus oleh DPR disambuat baik oleh fraksi PDI-P, bahkan menurut Kartaprawira (2002) sangat penting dibentuknya Pansus untuk mendorong laju roda reformasi dan memberikan dukungan politik yang kuat kepada aparat penegak hukum untuk menjalankan proses hukum. Pembentukkan Pansus sempat ditunda karena ada keberatan dari pihak fraksi PDI-P. Menurut Nuhkholis Majid (http://www.korwilpdip.org/bulog020402.htm), penundaan pembentukan Pansus Buloggate II bukan merupakan bagian kemacetan politk pemerintahan Megawati. Langkah ini dinilai benar karena jika pembentukkan Pansus dipaksakan sekarang sama saja dengan memasuki perangkap Partai Golkar dan hanya akan mengikat kaki dan tangan aparat legislatif DPR. Pihak Golkar yang menolak dibentuknya Pansus akan menang dalam pemilihan suara dan Pansus tidak akan terbentuk. Disamping itu, Megawati ingin mengibarkan bendera supremasi hukum. Dalam rapat akbar peringatan HUT PDI-P di Lapangan Lima Semarang (Jateng, Minggu (17/3) (http://www.korwilpdip.org/bulog020402.htm) mengatakan bahwa “ Indonesia adalah Negara berdasarkan hukum, bukan berdasarkan kekuasaan. Tempat seseorang mengetahui bersalah atau tidak adalah pengadilan.” Menurut Ketua Fraksi PDI-P Roy BB Janis (2002), sikap abstain yang ditujukkan PDI-P merupakan keputusan paratai dan memang hal tersebut merupakan insruksi dari DPP.
Namun pada kenyataannya, sikap tegas PDI-P berbanding terbalik dalam penghitungan suara pembentukan Pansus. Hal ini dibuktikan dengan Abstain-nya suara PDI-P sebanyak 92 dari 100 orang dalam pembentukan Pansus Buloggate II. Berikut tabel hasil penghitungan suara pembentukkan Pansus terhadap kasus dana non-budgeter Bulog menurut situs Hukum Online (http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol5908/sikap-pdip-banci-dpr-tolak-pembentukan-pansus-buloggate-ii-
Fraksi
Setuju
Menolak
Abstain
Jumlah
PDI-P
5
3
92
100
Golkar
-
110
-
110
PPP
1
33
1
35
PKB
19
-
-
19
Reformasi
37
-
-
37
TNI/Polri
-
36
-
36
PBB
-
6
1
7
KKI
8
-
-
8
PDU
3
5
-
8
Total
73
193
94
360
Di lain pihak- dalam hal ini PKB, sangat bersemangat dalam rangka pembentukkan Pansus Buloggate II. Menurut anggota DPR Fraksi PKB Efendie Choirie (2001), dukungan pembentukkan Pansus Buloggate II bukan karena rasa dendam akibat Kasus Buloggate I yang melibatkan Suwondo dan melengserkan Gusdur, namun memang salah satu tugas DPR adalah melakukan kontrol terhadap kelakuan-kelakuan yang menyangkut KKN baik yang dilakukan pada jaman Soeharto, Habibie, Gus Dur, maupun Megawati. Choirie (2001) menilai pentingnya penyelesaian Kasus Buloggate dengan melalui pembentukkan pansus sebagai pressurepolitic dari DPR disamping proses hukum. Langkah tersebut membantu memaksimalkan kerja Jaksa Agung dalam menegakkan hukum. Dukungan Fraksi PKB ditunjukkan dalam pemilihan suara pembentukkan Pansus Buloggate, seperti yang bisa dilihat dalam tabel diatas bahwa semua anggota Fraksi PKB setuju dengan dibentuknya Pansus.
Selain itu dukungan pembentukan Pansus Buloggate II datang dari Ketua Umum DPP PKB ‘Kuningan’ Alwi Shihab. Shihab (2002) mengakui bahwa PKB tidak pantang menyerah menggolkan Pansus Buloggate II. Shihab (2002) menjelaskan pada Tempo News Room bahwa “Kami tidak ragu-ragu menjalankan itu. prinsip dasar kami, kalau dulu ada Pansus Buloggate I, kenapa hal itu sekarang hal itu tidak kami lakukan.”
Kasus Buloggate yang melibatkan Akbar Tandjung merupakan masalah bagi Partai Golkar. Pasalnya ketika kasus ini terjadi Akbar Tandjung menjabat sebagai Ketua Umum Partai Golkar. Disamping itu, Partai Golkar memiliki pengikut yang cukup besar baik di pusat maupun di daerah-daerah.
Golkar bersikap ambivalensi dalam memandang kasus ini. Di satu sisi, Golkar ingin menuntaskan kasus secara hukum, namun di sisi lain Golkar tidak menerima penahanan Akbar Tandjung sebagai bagian dari peyelesaian hukum (http://www.saldiisra.web.id/index.php?option=com_content&view=article&id=29:penahananakbartandjung&catid=1:artikelkompas&Itemid=2).
Jika melihat kembali tabel hasil penghitungan suara pembentukkan Pansus Buloggate II, Golkar yang paling unggul menolak pembentukkan Pansus. Jumlah anggota yang menolak sebanyak 110 dari 110 anggota. Memang dalam hal ini terlihat sekali Golkar tidak menginginkan supremasi politik tegak dalam kasus hukum. Seperti yang dijelaskan Bomer Pasaribu (2002) dalam Suara Merdeka bahwa:
Yang perlu dikedepankan adalah supremasi hukum. tidak ada supremasi politik dala kasus-kasus hukum. karena itu, bila Akbar tetap divonis maka yang patut diduga adalah adanya supremasi politik pada persoalan hukum.

Bagi Golkar kasus ini merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup mereka. Pasalnya, jika Akbar Tandjung terbukti bersalah maka pamor Partai Golkar akan jatuh dan kondisi tersebut berpengaruh terhadap perolehan suara pada PEMILU 2004. Maka dari itu Golkar banting tulang untuk menentang dibentuknya Pansus oleh DPR, mencegah pengunduran diri Akbar Tandjung sebagai Ketua DPR, mencegah dibentuknya Dewan Kehormatan DPR (http://www.saldiisra.web.id/index.php?option=com_content&view=article&id=29:penahananakbartandjung&catid=1:artikelkompas&Itemid=2).Di samping itu, Saldi Isra (2002) menyebutkan ada kemungkinan dana 40 Milyar tersebut digunakan untuk kepentingan Golkar. Jika memang hal itu benar, kesalahan Akbar Tandjung merupakan kejahatan kriminal, kehatan politik, dan kejahatan moral.
Namun ketika supremasi hukum ditegakkan sikap ambivalensi Golkar terlihat jelas sekali. Setelah penahanan Akbar Tandjung terjadi beberapa reaksi yang datang dari Golkar seperti yang disebutkan oleh Umar Said (2002), diantaranya adalah pertama, melakukan perlawanan politik dari tingkat pusat hingga ke daerah-daerah; kedua,menarik anggota Partai Golkar yang ada di Kabinet; ketiga, memboikot kegiatan DPR dalam lingkaran fraksi Partai Golkar.
Di samping itu, Akbar Tandjung mendapatkan dukungan kuat dari para simpatisan Golkar seperti Wakil Sekjen DPP Partai Golkar Bomer Pasaribu dan sejumlah pengurus DPD Golkar dari berbagai daerah antara lain DPD Riau, Lampung, Jambi, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, dan Papua yang berkumpul dalam Rapat Pimpinan IV dan V  (http://www.suaramerdeka.com/harian/0209/04/nas6.htm). Apapun yang terjadi mereka tetap menginginkan Akbar Tanjdung menjabat sebagai Ketua Umum Partai Golkar karena mereka yakin bahwa Akbar Tandjung tidak bersalah dan berharap agar vonisnya bebas.
Kasus ini pun memberikan dampak yang kurang baik bagi Partai Golkar. Seperti yang dijelaskan Tomsa (Azwar, 2009: 140-141) bahwa ada 3 dampak negative bagi Partai Golkar.
Pertama, kasus tersebut membuka kembali friksi faksi-faksi yang ada di Golkar yang mengakibatkan rusaknya citra yang sudah terbangun sebelumnya bahwa Golkar merupakan organisasi yang solid dan terbukti mampu mengatasi perselisihan diantara para kadernya tanpa terjadi perpecahan. Kedua, kasus itu mengingatkan public kembali tentang persepsi bahwa Golkar masih mempraktekan praktik korupsi sebagaimana yang terjadi di Orde Baru. Ketiga, kasus ini juga merusak citra Akbar sebagai keputusan hukum yang bersifat tetap dari Mahkamah Agung.

Bagi Partai Golkar, Kasus Buloggate II ini mencemarkan nama baiknya yang selama 32 tahun berdiri tegak dalam sistem pemerintahan. Penulis menginterpretasikan bahwa pada saat itu terjadi krisis kepercayaan dari rakyat kepada Golkar karena korupsi yang terjadi di era Orde Baru, kembali terjadi di era reformasi.
Prof. Dr. Ismail Suny, SH, MCL (2004) yang merupakan saksi ahli dalam persidangan kasus dugaan penyalahgunaan dana non-budgeter, Senin, 3 Juni 2002, memandang bahwa Akbar Tandjung dalam kasus ini tidak bersalah karena hanya menjalankan perintah Presiden BJ Habibie sebagaimana tugas, fungsi, dan kedudukannya sebagai Mensesneg dalam Keppres No. 104/ 1998 beritkut.
Sekretariat Negara adalah lembaga pemerintah yang memberi dukungan staf dan pelayanan administrasi sehari-hari kepada presiden dalam menyelenggarakan kekuasaan presiden kekuasaan pemerintahan Negara dan kepada wakil presiden.
Jadi memang dalam hal ini Mensesneg mengikuti perintah presiden untuk mengatasi  masalah krisis pangan yang terjadi.
Pasca jatuhnya rezim Orde Baru terjadi krisis yang luar biasa, situasi politik yang penuh ketidakpastian, krisis kepercayaan pada pemerintah, dan krisis pangan. Untuk mengatasi kondisi tersebut Presiden BJ Habibie melakukan tindakan darurat dengan memerintahkan Bulog menyisihkan dana Rp. 40 Milyar yang diserahkan kepada Mensesneg Akbar Tandjung melalui penyaluran sembako. Dalam prosesnya, Suny ( Dewanto, 2004: 7) memandang bahwa posisi Akbar Tandjung hanya sebagai saksi karena tidak menandatangani kwitansi penerimaan. Dalam kasus ini Mensesneg menyaksikan dana diserahkan pihak Bulog kepada Ketua Yayasan Raudatul Jannah Dadang Sukandar (Dewanto, 2004: 14).











KESIMPULAN


Kasus Buloggate II merupakan kasus politik, hukum, dan moral yang melibatkan  Akbar Tandjung, Winfried Simatupang, dan Dadang Sukandar. Bermula dari kondisi Indonesia pasca jatuhnya Orde Baru yang mengalami krisis multidmensi. Presiden mengeluarkan perintah darurat agar Bulog mengeluarkan dana non-budgeter Bulog senilai Rp. 40 Milyar untuk mengatasi krisis pangan yang sedang terjadi dengan kordinatornya Akbar Tandjung, namun dalam kondisi darurat ini proses penyaluran dana tidak melalui birokrasi yang seharusnya. Akibatnya kasus ini diduga sebagai tindak pidana korupsi.
Era reformasi menyuguhkan penyelesaian Kasus Buloggate II dengan supremasi hukum dan politik. Jalur penegakkan hukum didukung oleh semua pihak melalui Pengadilan Tinggi Jakarta dan Pengadilan Negeri Jakarta. Sedangkan penegakkan politik melalui pembentukkan Pansus (PanitiaKhusus)  di DPR tidak teralisasikan karena mayoritas menolak pembentukkan Pansus. Alasan gagalnya pembentukan Pansus Buloggate II adalah masalah administrative dan pendapat sebagian besar anggota DPR  bahwa kasus tersebut sebaiknya diserahkan sepenuhnya pada proses hukum saja.
Sorotan utama dalam kasus Buloggate ini adalah keterlibatan Akbar Tanjung, mengingat posisinya yang cukup penting saat itu yaitu sebagai Ketua DPR dan juga Ketua Umum Partai Golkar. Dalam pemberantasan kasus Buloggate ini, ada dua kubu yang menyatakan Akbar Tandjung bersalah dan tidak bersalah. Pendapat yang menyatakan Akbar Tandjung bersalah didasari pada bbeberapa alasan diantaranya adanya penyalahgunaan wewenang oleh yang bersangkutan. Penyalahgunaan wewenang tersebut yakni dengan menerima dana non-budgeter BULOG yang seharusnya dana tersebut hanya untuk dipergunakan bagi keperluan Bulog.
Kemudian dalam proses pengadaan tersebut dilakukan dengan menunjuk pihak kedua yaitu Dadang Sukandar seKelaku ketua Yayasan Raudatul jannah, dan pihak ketiga yaitu Winfried Simatupang selaku kontraktor pengadaan sembako tanpa adanya proses tender. Disinyalir juga bahwa Yayasan Raudatul Jannah tersebut merupakan fiktif. Dalam penyaluran dana sebesar Rp. 40 Milyar kepada pihak kedua dan pihak ketiga tersebut, Akbar Tandjung kurang atau tidak melakukan pengawasan, akibatnya pengadaan sembako tersebut tidak terlaksana dikarenakan setelah dana tersebut mengalir kepada pihak ketiga ternyata ada penyelewengan dari pihak ketiga tersebut.
Kubu yang kedua menyatakan bahwa Akbar Tandjung tidak bersalah. Pendapat tersebut didasari oleh beberapa alasan, diantaranya adalah pertama, tugas, kedudukan, dan fungsi Akbar Tandjung sebagai Mensesneg yaitu memberikan dukungan staf dan pelayanan administrasi sehari-hari kepada presiden dalam menyelenggarakan kekuasaan presiden, kekuasaan pemerintahan Negara dan kepada Wakil Presiden; kedua, posisi Akbar Tandjung hanya sebagai saksi dan tidak menandatangani cek.
















DAFTAR PUSTAKA

Buku

Atmasasmita, Romli. (2004). Sekitar Masalah Korupsi. Bandung: Mandar Maju

Azwar, Rully Chairul. (2009). Politik Komunikasi Partai Golkar di Tiga Era: Dari Partai Hegemonik ke Partai yang Berorientasi “Proses”. ___: Grasindo

Budiarjo, M. (1999). Dasar Ilmu Politik. Gramedia: Jakarta


Dewanto, Kodrat Wahyu. (2004). Pakar Hukum Menyatakan Akbar Tandjung Tidak Layak Jadi Terdakwa. Jakarta: Infomediatama Selaras.

Nurdjana, Igm. (2010). Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Syamsuddin, Amir. (2004). Putusan Perkara Akbar Tandjung, Analisis Yuridis Para Ahli Hukum. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan


Internet

Choirie, Effendie. 4 Desember 2001. Kasus Akbar Tandjung Harus di Proses Secara Politik [online]. Tersedia di: http://perspektifbaru.com/wawancara/299. [12 November 2012]

Isra, Saldi. 22 April 2010. Penahanan Akbar Tandjung [online]. Tersedia di: http://www.saldiisra.web.id/index.php?option=com_content&view=article&id=29:penahananakbartandjung&catid=1:artikelkompas&Itemid=2. [12 November 2012]

Kartaprawira. 1 April 2002. Kasus Buloggate II- Ujian Atas Supremasi Hukum [online]. Tersedia di: http://www.korwilpdip.org/bulog020402.htm. [12 November 2012]

Nafi, M. Rahardi Ungkap Skenario Mahakam Kasus Buloggate[online]. Tersedia di http://www.tempo.co/read/news/2004/09/29/05548742/Rahardi-Ungkap-Skenario-Mahakam-Kasus-Buloggate.[28 November 2012]

Said, Umar. 11 Januari 2002. Aspek Hukum, Politik, dan Moraal Kasus Akbar Tandjung [online]. Tersedia di: http://annabelle.aumars.perso.sfr.fr/Aspek%20politik-hukum-moral%20kasus%20Akbar%20Tanjung.htm  [12 November 2012)

Suara Merdeka, 5 September 2002.Akbar Terkejut, Langsung Banding [online]. Tersedia di http://www.suaramerdeka.com/harian/0209/05/nas1.htm [25 November 2012]
Suara Merdeka, 30 Januari 2004. Kronologi Kasus Akbar  [online]. Tersedia di http://www.suaramerdeka.com/harian/0401/30/nas2.htm.[25 November 2012]
Samariansyah, I. Efek Komunikasi Kasus Akbar Tanjung [online].Tersedia di http://isandri.blogspot.com/2007/07/efek-komunikasi-kasus-akbar-tanjung.html.[25 November 2012]

Analisa Kasus Buloggate II Ditinjau Dari Fungsi Dan Peran Hukum Birokrasi Negara [online]. Tersedia di http://ginooo.wordpress.com/2009/04/16/analisis-kasus-buloggate-ii/ [12 November 2012]


Habibie dan Akbar Dinilai Berbohong [online]. Tersedia di: http://www.suaramerdeka.com/harian/0209/04/nas6.htm: [12 November 2012]
Korupsi Ruskandar Disamakan Seperti Rahardi Ramelan [online].Tersedia di http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol5225/korupsi-ruskandar-disamakan-seperti-rahardi-ramelan.[28 November 2012]

PKB Maju Terus Perjuangkan Pansus Buloggate II [online]. Tersedia di: http://www.tempo.co/read/news/2002/06/10/05512608/PKB-Maju-Terus-Perjuangkan-Pansus-Buloggate-II. [12 November 2012]
Sikap PDI-P “Banci”, DPR Tolak Pembentukan Pansus Buloggate II [online]. Tersedia di: http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol5908/sikap-pdip-banci-dpr-tolak-pembentukan-pansus-buloggate-ii-. [12 November 2012]


Jurnal
Abdullah, Anzar. (2009). “Upeti: Cikal Bakal Lahirnya Budaya Korupsi (Sebuah Perspektif Historis”. Journal of Historical Studies. 10, (1), 1-18.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar