BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang Masalah
Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme (KKN) di Indonesia bukan barang baru lagi, bahkan sudah menjadi
budaya yang sukar untuk dilenyapkan. KKN berawal pada masyarakat Jawa yang
mengenal budaya Patron-Client melalui upeti. Upeti merupakan pajak yang
sifatnya wajib seperti yang dijelaskan oleh Anzar Abdullah (2009: 2), bahwa:
Upeti dalam
perspektif sejarah, sebenarnya adalah pajak, namun tidak mengikat dan tidak
merupakan keharusan; namun keberadaannya merupakan kewajiban. Upeti tidak lain
adalah sumbangan, hadiah atau sejenisnya, yang diwujudkan dalam berbagai
terminology yang berbeda-beda.
Abdullah (2009) juga
menjelaskan bahwa pada masa kerajaan Mataram Islam abad ke-17 diberlakukan
sistem upeti seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Rakyat memberikan upeti
baik berupa barang atau “uang pelicin” untuk menyenangkan hati penguasa. Hal
tersebut dilakukan untuk tujuan-tujuan tertentu, misalnya rakyat memberikan
upeti kepada Raja karena rakyat ingin hubungan sosial, ekonomi, dan politik
dengan raja tetap langgeng meskipun pada kenyataannya rakyat hidup melarat.
Perlakuan-perlakuan seperti ini menggambarkan- yang oleh Abdullah (Suhartono,
2001) dikategorikan sebagai penyuapan. Abdullah (Suhartono, 2001) menyatakan
bahwa:
Pemberian
sesuatu untuk tujuan tertentu telah dapat dikategorikan sebagai penyuapan
(bribery), penyogokan dengan berbagai bentuk seperti uang (baca: uang pelicin, uang rokok, uang bensin, uang kopi, dan
lain-lain) barang-barang kesukaan penguasa.
Upeti yang merupakan
kegiatan penyuapan pada zaman feodal diperkuat dengan kedatangan kolonialisme
ke Nusantara. Tentu
saja Kolonialisme menjadi faktor pendorong menjamurnya praktek-praktek KKN di
Nusantara. Hal
tersebut merupakan warisan budaya yang sampai sekarang eksistensinya mendarah daging di Indonesia.
Pada awal era reformasi
praktek-praktek KKN ditunjukkan dengan adanya Kasus Buloggate II yang
melibatkan mantan Mensesneg Akbar Tandjung, Ketua Yayasan Raudatul Jannah
Dadang Sukandar, dan kontraktor penyalur sembako Winfried Simatupang yang
diduga menyelewengkan dana
non-bujeter Bulog sebesar 40 Milyar. Kasus ini dikategorikan KKN karena dalam
pengelolaan dananya, Akbar Tandjung, Dadang Sukandar, dan Winfried Simatupang
tidak mengikuti tata cara yang sudah berlaku dalam Keputusan Presiden Nomor: 8
Tahun 1994 Tentang Pelaksanaan APBN, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan
Presiden Nomor: 8 Tahun 1997 dan Keputusan Presiden Nomor: 24 tahun 1995
Tentang Pengadaan Barang dan Jasa (Dewanto, 2004: 116). Selain itu, dana
non-bujeter sebesar 40 Milyar diduga diselewengkan Akbar Tandjung untuk
kepentingan kampanye-nya dan Partai Golkar.
Alasan penulis mengkaji
Kasus Buloggate II karena yang pertama, posisi
Akbar Tandjung pada saat kasus terjadi menjabat sebagai Mensesneg ke-6 dan
Ketua DPR ke-16; kedua, Dana
non-bujuter Bulog yang dicanangkan lebih besar daripada dana pada kasus
Buloggate I; ketiga, Dana yang
dikorupsi adalah dana bulog yang merupakan milik rakyat; dan yang keempat, kasus ini memiliki dampak yang sangat
luas karena pada saat itu Golkar merupakan partai yang besar dan pengikutnya
pun cukup banyak.
1.2.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah di atas, dengan demikian yang menjadi rumusan masalah
pada penulisan makalah ini adalah: “Bagaimana Upaya Pemberantasan Korupsi Pada
Awal Reformasi (Studi kasus: Buloggate II)”. Adapun yang benjadi batasan
masalah dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana upaya Pemberantasan Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme (KKN) di Indonesia pada awal reformasi?
2.
Bagaimana latar belakang terjadinya
kasus Buloggate II?
3.
Bagaimana proses terjadinya kasus
Buloggate II?
4.
Bagaimana upaya pemberantasan Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme (KKN) pada kasus Buloggate II?
1.3.
Tujuan
Penulisan Makalah
Adapun
yang menjadi tujuan dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Menjelaskan upaya Pemberantasan Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme (KKN) di Indonesia pada awal reformasi (tahun).
2.
Menjelaskan latar belakang terjadinya
kasus Buloggate II.
3.
Menjelaskan proses terjadinya kasus
Buloggate II.
4.
Menjelaskan upaya pemberantasan Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme (KKN) pada kasus Buloggate II.
1.4.
Sistematika
Penulisan
Sistematika
penulisan makalah ini adalah:
BAB I, merupakan pendahuluan dari
penulisan. Dalam bab ini dijelaskan mengenai latar belakang masalah yang akan
dikaji, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II, merupakan pembahasan. Dalam bab
ini akan diuraikan mengenai upaya pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
(KKN) pada masa awal reformasi (tahun), latar belakang terjadinya kasus
Buloggate II, proses terjadinya kasus Buloggate II, dan upaya pemberantasan
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) pada kasus Buloggate II.
BAB III, merupakan kesimpulan. Pada bab
ini penulis akan menjelaskan kesimpulan dari pembahasan sebelumnya.
DAFTAR
PUSTAKA
BAB
II
KASUS BULOGGATE II
1.1.
Upaya
Pemberantasan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) Pada Masa Awal Reformasi
Korupsi
di Indonesia merupakan masalah yang paling sulit untuk diatasi, karena sudah
tersebar ke seluruh bagian pemerintahan. Sehingga upaya-upaya pemberantasannya
sangat sulit dilakukan, bahkan tersendat-sendat. Sejak Indonesia pertama kali
merdeka hingga sekarang, pemerintah selalu berupaya untuk menindak dan
mengurangi kasus korupsi. Namun pembahasan pada bab ini hanya difokuskan pada
upaya pemerintah memberantas korupsi pada masa awal reformasi. Menurut
Atmasasmita (2004 : 17) :
“Esensi era reformasi adalah perubahan
sikap mental yang mendasar dari seluruh lapisan masyarakat terutama sikap
mental elite politik untuk segera meninggalkan budaya paternalistik dan
keunggulan feodalisme yang sering terbukti melecehkan dan menegasikan supermasi
hukum dengan mengedepankan kekuasaan semata-mata, menutup transparansi dan
berlindung di balik rahasia jabatan semata-mata, merendahkan kode etik profesi
dan tanggung jawab profesi dan tidak menghargai perindungan hak asasi manusia”
Kebijakan Hukum dalam
pemberantasan korupsi di masa awal reformasi
-
UU
28/1999
Keberhasilan
pemberantasan korupsi tidak hanya semata-mata bertumpu kepada langkah penegakan
hukum yang bersifat refresif
melainkan juga tergantung dari pelaksanaan langkah preventif yang efektif.
Langkah preventif yang dimaksud adalah dengan mempersiapkan tatanan
pemerintahan yang bersih dan berwibawa (good governance). Langkah tersebut
sudah dimulai dilaksanakan dengan diberlakukannya UU No 28 tahun 1999 tentang
Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Berwibawa. UU Nomor 28 tahun 1998 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN di hasilkan oleh
pemerintah dan DPR sebagai langkah strategis untuk menciptakan good governance. Langkah strategis ini
dapat dilihat dari hal-hal sebagai berikut :
-
Sasaran UU No 28/1999 adalah para
penyelenggara negara yang meliputi: Pejabat Lembaga Tertinggi Negara, Lembaga
Tinggi Negara, Gubernur, Walikota/Bupati, Hakim, Polisi, Jaksa, Pejabat BUMN/D
dan Pimpro/Bendaharawan Proyek.
-
UU No 28 /1999 merupakan rambu-rambu
moral dan merupakan kebijakan hukum yang bersifat preventif dengan
mengedepankan regulasi yang bersifat administratif
-
UU No 28/1999 telah memerintahkan
pembentukan Komisi Harta Kekayaan Penyelengara Negara yang merupakan lembaga
independen dan terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat dengan memiliki
wewenang “subpoena” dan penyelidikan
-
UU No 28/1999 telah menetapkan perbuatan kolusi dan nepotisme sebagai
tindak pidana (baru) dan berdiri sendiri.
-
UU
31/1999
Dilakukan
penyempurnaan dari UU 3/1971 dengan dikeluarkannya UU 31/1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Menurut Atmasasmita (2004: 2 )
penyusunan UU No 31 tahun1999 telah mempertimbangkan setiap faktor yang dapat
melemahkan ketahanan sistem peradilan pidana dalam memberantas korupsi yang
sudah melembaga baik di sektor publik maupun di sektor swasta. Terdapat empat
pembaruan mendasar dalam UU tersebut, yaitu : Pertama, tindak pidana korupsi telah dirumuskan secara formil,
yaitu meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada negara, pelaku tindak
tindak pidana korupsi tetap dituntut dan diajukan ke sidang pengadilan dan
dapat dipidana hukum. Kedua,
dianutnya sistem pembuktian terbalik murni yang mewajibkan kepada terdakwa di
muka sidang pengadilan untuk membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan dari
hasil dari korupsi. Ketiga, pemberian
uang diatas jumlah tertentu (10.000.000) harus dianggap suap kecuali dapat
dibuktikan sebaliknya. Yang keempat,
penyitaan atas harta kekayaan terdakwa dapat dilaksankan baik sebelum maupun
sesudah dijatuhkannya putusan pengadilan dan tidak dibatasi oleh masa kadaluarsa.
Secara
operasional agar UU tersebut mencapai
tujuannya maka keberadaan suatu lembaga baru untuk melaksanakannya sangat
diperlukan disamping Instansi Kepolisisan dan Kejaksaan. Dan diharapkan
keberadaan lembaga baru ini dapat secara proaktif meningkatkan kinerja
instansi-instansi tersebut atau juga dengan inisiatifnya melaksanakan tugas
penyidikan dan penuntutan apalagi masyarakat luas mendukung keberadaan lembaga
baru tersebut disamping “political will” yang kuat dari pemimpin pemerintahan.
Adanya
lembaga baru yang menangani pemberantasan korupsi akan berada dalam lingkup
sistem pidana yang berlaku. Agar operasional lembaga ini kuat, maka dilakukan
revisi pada KUHAP, dan hal ini merupakan sesuatu yang harus serta sebagai
prasyarat untuk keberhasilan pemberantasan tindak pidana korupsi. Efektifitas
keberadaan Komisi Pemeriksa Harta Kekayaan Negara (KPKPN) merupakan faktor
pendukung yang utama dalam membantu efisiensi kinerja lembaga baru tersebut.
-
UU
No 30/2002 (tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi)
KPTPK
sebagai sebuah komisi yang diserahi tugassebagai pemberantas korupsi,oleh UU
ini diberi kewenangan untuk menjalankan tugasnya dengan sebagaimana mestinya.
Namun pada kenyataannya, komisi belum bisa dimanfaatkan secara maksimal.
Penyebabnya adalah kurangnya SDM yang dimiliki oleh komisi ini, kewenangan
KPTPK yang besar itu tidak ditopang oleh SDM yang memadai. Akibatnya KPTPK
belum bisa menghasilkan hasil kerja yang kongkrit (http://wikinfonews.blogspot.com).
1.2.
Latar
Belakang Terjadinya Kasus Buloggate II
Buloggate adalah kasus yang sangat terkenal di Indonesia
karena sering menjerat petinggi-petinggi Negara. Kasus ini merupakan kasus
penyelewengan dana Non Budgeter Bulog (Badan Urusan Logistik). Dana Non
Budgeter Bulog sendiri adalah dana di luar APBN yang dimiliki Bulog yang
digunakan sebagai dana cadangan di saat kondisi logistik negara terdesak. Sedangkan Istilah
Bulloggate sendiri menurut artikel yg dimuat dalam blog (ginoo.wordpress.com)
merupakan istilah yang dipengaruhi oleh peristiwa dari Amerika Serikat.
Peristiwa itu diawali dari laporan investigatif jurnalisitik AS yang bernama
Carl Bernstein dan Bob Woodward di koran The washington Post pada tahun
1972-1973. Laporan itu menguak skandal penyadapan yang dilakukan oleh tim
kampanye presiden Richard Nixon dari Partai republik, terhadap markas kampanye Partai
Demokrat yang menjadi lawannya dalam pemilihan presiden. Peristiwa pembobolan
markas kampanye Partai Demokrat ini terjadi pada 17 Juni 1972. Akibat dari
laporan investigatif yang dilakukan duet wartawan ini, Presiden Nixon
terjungkal dari kekuasaannya dan mengundurkan diri 8 Agustus 1974. Skandal yang
dikenal sebagai skandal “Water gate”, yang berasal dari nama kompleks bangunan
berlantai 11 di Washington DC, dimana markas kampanye Partai Demokrat terletak
di lantai 6. Begitu terkenalnya kata “gate” kemudian dipakai secara salah
kaprah, untuk menamakan berbagai skandal lainnya, seperti Irangate, Bruneigate
dan Buloggate
Di Indonesia ada dua kasus Buloggate. Pada kasus Buloggate
pertama yang melibatkan Gus Dur yakni Presiden Indonesia pada waktu itu atas
persetujuannya memberikan dana non budgeter bulog kepada Yanatera (Yayasan
Bina Sejahtera) Bulog yang dikelola oleh mantan Wakabulog Sapuan. Sapuan
sendiri akhirnya divonis 2 tahun penjara dan terbuksi bersalah
menggelapkan dana non bujeter Bulog sebesar 35 milyar rupiah. Kasus ini pula
yang mengantarkan Gus Dur lengser di tahun 2001. Setelah sebelumnya ia
menerima dua kali memorandum DPR RI.
Dalam kasus Buloggate II yang akan
kami bahas ini telah terjadi pengaliran dana untuk pengadaan sembako di
Indonesia yang dialirkan dari pemerintah melalui rapat kabinet dan diputuskan
memakai dana non budgeter Bulog yang dikepalai oleh Rahardi Ramelan dan
disalurkan ke Menteri Sekretaris Negara yang merangkap sebagai Ketua DPR RI dan
Ketua Umum DPP Partai Golkar Akbar Tanjung. Kemudian dari Menteri Sekretaris
Negara tersebut disalurkan kembali kepada Yayasan Raudlatul Jannah yang hal ini
melibatkan Dadang Sukandar dan Winfried Simatupang, dan Winfried adalah salah
satu kader Golkar.
Yang menjadi permasalahan adalah pengaliran dana dari Rapat Kabinet dan penyaluran dana dari Yayasan Raudlatul Jannah yang dianggap sebagai yayasan fiktif.
Yang menjadi permasalahan adalah pengaliran dana dari Rapat Kabinet dan penyaluran dana dari Yayasan Raudlatul Jannah yang dianggap sebagai yayasan fiktif.
Kasus ini pada akhirnya
berlarut-larut hingga saat in. mungkin hal tersebut disebabkan oleh jabatan para pihak
yang bermasalah sehingga menimbulkan “conflict
of interest” dari pemerintah karena walau bagaimanapun Kejaksaan Agung dan
pihak kepolisian adalah berada dibawah pemerintah sehingga sangat sulit untuk
membedakan mana kepentingan politik dan mana kepentingan hukum.
Menurut Miriam Budiarjo dalam buku
Dasar-dasar Ilmu politik menyatakan negara manapun semuanya mengakui adanya
suatu asas persamaan didepan hukum atau Equality Before The Law, seperti asas
hukum Rule Of Law yang dipakai dalam negara Anglo Saxon bahwa Rule Of law
melingkupi:
1. Supremacy Of Law
2. Equality before the law
3. Constitrution based on human
rights.
Hal seperti inilah yang seharusnya
menjadi pedoman bagi penegakan supremasi hukum di Indonesia. Hal ini sebenarnya telah tercantum
dalam Undang Undang Dasar tahun 1945 tepatnya pasal 27. yang berbunyi :
Segala
warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak adakecualinya.
Sehingga jelas dalam negara republik
Indonesia tidak ada perbedaan dalam perlakuan hukum bagi seluruh warga negara.
1.3.
Proses
Terjadinya Kasus Buloggate II
Kasus
buloggate bermula dari kucuran dana sebesar 40 miliar yang mengalir dari BULOG
ke Mensesneg. Dana tersebut dikeluarkan dalam rangka pengadaan dan pembagian
sembako untuk rakyat miskin sebagai tindaklanjut dari perintah lisan Presiden
B.J. Habibie pada pertemuan tertutup tertanggal
10 Februari 1999. Saat
kasus ini mencuat sorotan
tajam tertuju kepada Akbar Tanjung, mengingat posisi dia sebagai Ketua DPR dan
juga Ketua Umum Partai Golkar.
Dalam
pertemuan tersebut (10 Februari
1999) Presiden
memberikan tugas kepada Mensesneg untuk mengkoordinasi pengadaan dan pembagian
sembako untuk rakyat miskin.Yang kemudian menjadi masalah adalah dalam
menjalankan tugasnya tersebut Akbar Tanjung selaku Mensesneg saat itu menggunakan dana non-budgeter BULOG,
padahal dana tersebut seharusnya hanya diperuntukkan
bagi keperluan, fungsi dan tugas BULOG.
Akbar
Tanjung selaku Mensesneg, menerima dua kali cheque dengan nilai seluruhnya
sebesar 40 miliar rupiah dari BULOG dengan tanpa membuat tandaterima atau Berita Acara Serah Terima, yang
melanggar Dasar Akuntansi BULOG (Syamsudin: ,4). Akbar Tanjung kemudian
menunjuk Yayasan Raudatul Jannah yang diketuai oleh Dadang Sukandar, kemudian
juga menunjuk Winfried Simatupang selaku rekanan pelaksana dalam pengadaan dan
pembagian sembako.
Akbar
Tanjung disebut menyerahkan cheque senilai total 40 miliar rupiah kepada Dadang
Sukandar tanpa tanda terima atau kontrak kerja. Kemudian Dadang Sukandar
menyerahkan cheque sebesar 40 miliar rupiah tersebut kepada Winfried Simatupang
selaku mitra kerjanya untuk melaksanakan pembelian dan pembagian sembako. Namun
pembelian tersebut ternyata tidak terlaksana, hal tersebut mengakibatkan maksud
dan tujuan perintah Presiden pada pertemuan terbatas tanggal 10 Februari 1999
tidak terlaksana.
Sebelum
adanya perintah Presiden tanggal 10 Februari tersebut, BPKP menemukan kejanggalan dalam keuangan di BULOG. Mereka
menemukan bahwa ada sejumlah dana yang tidak dicatatkan dalam neraca keuangan
BULOG, padahal hal tersebut tidak sesuai dengan dasar akuntansi.BPKP memberikan
saran agar pengelolaan keuangan secara non-neraca tersebut dihentikan dan tidak
dilaksanakan lagi. Namun ketua BULOG saat itu, Rahadi Ramelan memandang perlu
untuk tetap melaksanakan pengelolaan keuangan secara non-neraca tersebut. Untuk
itu maka Rahardi Ramelan mengirim surat kepada Presiden yang intinya memohon
agar pengelolaan keuangan secara non-neraca
tersebut tetap dipertahankan. Presiden kemudian
menyetujui permohonan tersebut dan meminta kepada sejumlah jajaran menterinya,
salahsatunya Mensesneg untuk membantu hal tersebut.
Dalam hal ini Mensesneg menyetujui pendapat dari Rahardi Ramelan untuk tetap melaksanakan
pengelolaan keuangan secara non-neraca, yang mana hal tersebut seharusnya bukan
kewenangannya. Meskipun penyaluran dana non-budgeter BULOG merupakan tindak
lanjut langsung dari perintah lisan Presiden B.J. Habibie tertanggal 10
Februari 1999, namun kasus Buloggate baru digulirkan pada 2001 di masa
pemerintahan Presiden Megawati.
Akbar
Tanjung sendiri resmi menjaditersangkapada 7 Januari
2002.Secara tidak langsung dalam sebuah konferensi pers, Jaksa Agung MA Rachman
SH menyatakan mantan Mensesneg Akbar Tandjung sebagai tersangka kasus
penyalahgunaan dana non-budgeter Bulog Rp 40 miliar. Walaupun terus didesak
wartawan, Rachman hanya mengemukakan bahwa pada 5 Januari 2002 dirinya sudah
menerima surat izin dari Presiden Megawati untuk memeriksa Akbar sebagai
tersangka (Suara Merdeka, 5/9/2002).
Selain Akbar Tanjungjugaadaduanama lain yang dijadikan sebagai tersangka yakni Dadang Sukandar dan
Winfried Simatupang. Kejakgung membentuk tim untuk menyidik kasus dugaan
penyalahgunaan dana non-budgeter Bulog dengan tersangka Akbar Tandjung, Ketua
Yayasan Raudatul Jannah Dadang Sukandar, dan Kontraktor Pengadaan dan
Penyaluran Bahan Kebutuhan Pokok Winfried Simatupang(Suara Merdeka, 5/9/2002).
Dalam status tersangkatersebut Akbar Tanjung masih diperbolehkan untuk menunaikan ibadah
haji padaFebruari 2002.Alasan Kejakgung memperbolehkan Akbar untuk berangkat ke tanah suci adalah karena Akbar
dianggap bersikap kooperatif. Setelah menunaikan ibadah haji, Kejakgung secara resmi
menahan Akbar di Rumah Tahanan Kejakgung. Sebelumnyasempatberedarisubahwa Akbar
akanmelarikandiri, namun justru terhadang masa pendukungnya yang seharian
mendemo Kejakgung.Proses penahanannya alot karena Akbar bersikeras tidak mau
menandatangani surat penahanan dirinya. Baru pada dini harinya, dia bersedia
menandatangani surat tersebut(Suara
Merdeka, 30/1/2004).
Sidang perdana kasus Akbar dkk digelar di PengadilanNegeri
Jakarta Pusatpada 25 Maret 2002 (Suara
Merdeka, 30/1/2004). Mengingatposisi Akbar Tanjung yang merupakan Ketua
DPR dan juga KetuaUmum PartaiGolkar saat itu,
sidangkasusbuloggateiniselalupenuholehpengunjung yang mendukungdanjuga yang
kontra terhadap
Akbar Tanjung. Sidang perdananya sendiri memacetkan lalu
lintas di kawasan tersebut. Hal tersebut sempat mengakibatkan jalannya
sidang menjadi sulit. Pada sidang-sidang berikutnya majelis hakim beberapa kali memindahkan tempat persidangan untuk mengatasi
membludaknya pengunjung sidang tersebut.
Dalam menghadapi persidangan, Akbars empat mengganti tim
pengacaranya yang semula beranggotakan Hotma Sitompul, Ruhut Sitompul, dan
Tommy Sihotang menjadi Amir Syamsudin, Denny Kailimang, Martin Pongrekun dkk. Proses
persidangan kasus buloggate ini terbilang cukup berjalan alot. Majelis Hakim baru membuat putusan pada
September 2002, dengan para tersangka yakni Akbar Tanjung, DadangSukandar dan
Winfried Simatupang dinyatakanbersalah.
1.4.
Upaya
Pemberantasan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) Pada Kasus Buloggate II
Kasus
Buloggate II merupakan kasus politik dan hukum, meskipun pada kenyataannya
didominasi oleh politik. Dalam upaya pemberantasannya era reformasi menyuguhkan
penyelesaian melalui supremasi hukum dan supremasi politik. Jalur penegakkan
hukum didukung oleh sebagian besar pihak melalui Pengadilan. Dan hal tersebut
menurut Dekan Fakultas Hukum UI Abdul Bari Bazed, SH, MH (Dewanto, 2004: xii)
merupakan langkah yang tepat untuk menyelesaikan Kasus Buloggate II. Sedangkan
supremasi politik dilakukan dengan membentuk Pansus (Panitia Khusus) Buloggate
II di kalangan DPR. Namun pada kenyataannya pembentukkan Pansus ini tidak
teralisasikan karena banyak kalangan dari anggota fraksi Golkar yang menolak.
Selain itu, menurut Anggota DPR fraksi PKB (partai kebangkitan bangsa) Effendi
Choirie (2001) menjelaskan ada beberapa faktor yang menyebabkan pembentukkan
Pansus Buloggate gagal, diantaranya adalah:
a. Administratif.
Ketika PKB memasukkan surat pembentukkan Pansus Buloggate II ke Sekretariat
Jendral seharusnya disampaikan ke setiap anggota, karena langkah tersebut
merupakan persyaratan administrasi. Namun pada kenyataannya surat yang
dimasukkan PKB tidak pernah keluar. Dalam hal ini diduga bahwa ada permainan
dari orang yang terlibat dengan Sekretariat Jendral sehingga prosesnya sengaja
diulur-ulur.
b. Pengawasan
yang harus dilakukan oleh DPR sekarang adalah terhadap pemerintahan sekarang,
bukan pemerintahan yang dulu.
Alasan-alasan seperti itu dianggap
Choirie sebagai alasan yang tidak mendasar. Dan gagalnya pembentukkan Pansus Buloggate
oleh DPR menimbulkan krisis ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Untuk mengurangi
kesubjektivismean pembahasan ini maka ada baiknya memandang penyelesaian kasus
ini dari berbagai sudut pandang, seperti dari pihak PDI-Perjuangan, PKB, Golkar,
dan Saksi Ahli Prof. Dr. Ismail Sunny.
Bagi Sekretaris Korwil
PDI Perjuangan di Negeri Belanda M.D. Kartaprawira (2002), Kasus Buloggate II
yang melibatkan Akbar Tandjung sebagai Ketua DPR dan Ketua Partai Golkar
sebagai sebuah skenario yang dibuat-buat untuk menyelamatkan Akbar Tandjung saja.
menurut Kusadi
(Unpad),
meskipun Akbar Tandjung selalu saja mengelak melakukan penyelewengan tetapi ada
sinyal-sinyal yang menyatakan bahwa ia melakukan Tindak Pidana Korupsi. Hal ini
terbukti dengan dimunculkannya nama Yayasan Raudhatul Jannah sebagai penyalur
sembako yang fiktif, pengembalian dana sebesar Rp. 32 Milyarkepada Negara oleh
Winfried Simatupang. Hal tersebutlah yang memperkuat adanya Tindakan Pidana
Korupsi yang dilakukan oleh Akbar Tandjung, Dadang Sukandar, Winfried
Simatupang, dan pejabat-pejabat Golkar lainnya untuk menikmati kucuran Dana non-Bujeter
Bulog. Maka dari itu,supremasi hukum perlu ditegakkan untuk menyelesaikan Kasus
Buloggate II. Di samping itu, menurut Kartaprawira (2002) proses politik dengan
pembentukan Pansus pun perlu ditegakkan.
Penegakan supremasi
hukum terbukti dengan tindakan Megawati yang mempercepat pemberian surat ijin
pemeriksaan Akbar Tandjung kepada Jaksa Agung (Kartaprawira, 2002: http://www.korwilpdip.org/bulog0204/02.htm).
Namun tindakan yang dilakukan Megawati mendapat reaksi berupa tuduhan-tuduhan
bahwa tujuan tindakan tersebut hanya untuk menjatuhkan Partai Golkar saja.
Dalam hal ini rezim Megawati tetap menegakkan supremasi hukum dengan
berdasarkan bahwa penegakkan hukum berlaku pada siapapun baik itu tokoh/pribadi
seseorang maupun pejabat atau penguasa yang menjarah kekayaan rakyat.
Proses politik dengan
dibentuknya Pansus oleh DPR merupakan hak DPR untuk melakukan penyelidikan pada
Kasus Buloggate II. Seperti yang dijelaskan oleh Kartaprawira (2002), bahwa
Pembentukan
Pansus adalah hak DPR yang bersumber pada hak yang melakukan penyelidikan,
sehingga dalam kehidupan demokrasi, DPR tidak khusus melakukan tugas sempit
legislative, tapi juga memberi input kepada institusi judikatif (juga
eksekutif) tentang hasil temuannya yang sudah tentu harus ditindaklanjuti oleh
aparat penegak hukum.
Pembentukan Pansus oleh
DPR disambuat baik oleh fraksi PDI-P, bahkan menurut Kartaprawira (2002) sangat
penting dibentuknya Pansus untuk mendorong laju roda reformasi dan memberikan
dukungan politik yang kuat kepada aparat penegak hukum untuk menjalankan proses
hukum. Pembentukkan Pansus sempat ditunda karena ada keberatan dari pihak fraksi
PDI-P. Menurut Nuhkholis Majid (http://www.korwilpdip.org/bulog020402.htm),
penundaan pembentukan Pansus Buloggate II bukan merupakan bagian kemacetan
politk pemerintahan Megawati. Langkah ini dinilai benar karena jika
pembentukkan Pansus dipaksakan sekarang sama saja dengan memasuki perangkap
Partai Golkar dan hanya akan mengikat kaki dan tangan aparat legislatif DPR.
Pihak Golkar yang menolak dibentuknya Pansus akan menang dalam pemilihan suara
dan Pansus tidak akan terbentuk. Disamping itu, Megawati ingin mengibarkan
bendera supremasi hukum. Dalam rapat akbar peringatan HUT PDI-P di Lapangan
Lima Semarang (Jateng, Minggu (17/3) (http://www.korwilpdip.org/bulog020402.htm)
mengatakan bahwa “ Indonesia adalah Negara berdasarkan hukum, bukan berdasarkan
kekuasaan. Tempat seseorang mengetahui bersalah atau tidak adalah pengadilan.” Menurut
Ketua Fraksi PDI-P Roy BB Janis (2002), sikap abstain yang ditujukkan PDI-P
merupakan keputusan paratai dan memang hal tersebut merupakan insruksi dari
DPP.
Namun pada kenyataannya,
sikap tegas PDI-P berbanding terbalik dalam penghitungan suara pembentukan
Pansus. Hal ini dibuktikan dengan Abstain-nya suara PDI-P sebanyak 92 dari 100
orang dalam pembentukan Pansus Buloggate II. Berikut tabel hasil penghitungan
suara pembentukkan Pansus terhadap kasus dana non-budgeter Bulog menurut situs
Hukum Online (http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol5908/sikap-pdip-banci-dpr-tolak-pembentukan-pansus-buloggate-ii-
Fraksi
|
Setuju
|
Menolak
|
Abstain
|
Jumlah
|
PDI-P
|
5
|
3
|
92
|
100
|
Golkar
|
-
|
110
|
-
|
110
|
PPP
|
1
|
33
|
1
|
35
|
PKB
|
19
|
-
|
-
|
19
|
Reformasi
|
37
|
-
|
-
|
37
|
TNI/Polri
|
-
|
36
|
-
|
36
|
PBB
|
-
|
6
|
1
|
7
|
KKI
|
8
|
-
|
-
|
8
|
PDU
|
3
|
5
|
-
|
8
|
Total
|
73
|
193
|
94
|
360
|
Di lain pihak- dalam hal ini PKB, sangat bersemangat
dalam rangka pembentukkan Pansus Buloggate II. Menurut anggota DPR Fraksi PKB Efendie
Choirie (2001), dukungan pembentukkan Pansus Buloggate II bukan karena rasa
dendam akibat Kasus Buloggate I yang melibatkan Suwondo dan melengserkan
Gusdur, namun memang salah satu tugas DPR adalah melakukan kontrol terhadap kelakuan-kelakuan yang menyangkut
KKN baik yang dilakukan pada jaman Soeharto, Habibie, Gus Dur, maupun Megawati.
Choirie (2001) menilai pentingnya penyelesaian Kasus Buloggate dengan melalui
pembentukkan pansus sebagai pressurepolitic
dari DPR disamping proses hukum. Langkah tersebut membantu memaksimalkan kerja
Jaksa Agung dalam menegakkan hukum. Dukungan Fraksi PKB ditunjukkan dalam
pemilihan suara pembentukkan Pansus Buloggate, seperti yang bisa dilihat dalam
tabel diatas bahwa semua anggota Fraksi PKB setuju dengan dibentuknya Pansus.
Selain itu dukungan pembentukan Pansus Buloggate II
datang dari Ketua Umum DPP PKB ‘Kuningan’ Alwi Shihab. Shihab (2002) mengakui
bahwa PKB tidak pantang menyerah menggolkan Pansus Buloggate II. Shihab (2002)
menjelaskan pada Tempo News Room bahwa “Kami tidak ragu-ragu menjalankan itu.
prinsip dasar kami, kalau dulu ada Pansus Buloggate I, kenapa hal itu sekarang
hal itu tidak kami lakukan.”
Kasus Buloggate yang melibatkan Akbar Tandjung
merupakan masalah bagi Partai Golkar. Pasalnya ketika kasus ini terjadi Akbar
Tandjung menjabat sebagai Ketua Umum Partai Golkar. Disamping itu, Partai
Golkar memiliki pengikut yang cukup besar baik di pusat maupun di
daerah-daerah.
Golkar bersikap ambivalensi dalam memandang kasus
ini. Di satu sisi, Golkar ingin menuntaskan kasus secara hukum, namun di sisi
lain Golkar tidak menerima penahanan Akbar Tandjung sebagai bagian dari
peyelesaian hukum (http://www.saldiisra.web.id/index.php?option=com_content&view=article&id=29:penahananakbartandjung&catid=1:artikelkompas&Itemid=2).
Jika melihat kembali tabel hasil penghitungan suara
pembentukkan Pansus Buloggate II, Golkar yang paling unggul menolak
pembentukkan Pansus. Jumlah anggota yang menolak sebanyak 110 dari 110 anggota.
Memang dalam hal ini terlihat sekali Golkar tidak menginginkan supremasi
politik tegak dalam kasus hukum. Seperti yang dijelaskan Bomer Pasaribu (2002)
dalam Suara Merdeka bahwa:
Yang perlu
dikedepankan adalah supremasi hukum. tidak ada supremasi politik dala
kasus-kasus hukum. karena itu, bila Akbar tetap divonis maka yang patut diduga
adalah adanya supremasi politik pada persoalan hukum.
Bagi Golkar kasus
ini merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup mereka. Pasalnya, jika Akbar
Tandjung terbukti bersalah maka pamor Partai Golkar akan jatuh dan kondisi
tersebut berpengaruh terhadap perolehan suara pada PEMILU 2004. Maka dari itu
Golkar banting tulang untuk menentang dibentuknya Pansus oleh DPR, mencegah
pengunduran diri Akbar Tandjung sebagai Ketua DPR, mencegah dibentuknya Dewan
Kehormatan DPR (http://www.saldiisra.web.id/index.php?option=com_content&view=article&id=29:penahananakbartandjung&catid=1:artikelkompas&Itemid=2).Di
samping itu, Saldi Isra (2002) menyebutkan ada kemungkinan dana 40 Milyar
tersebut digunakan untuk kepentingan Golkar. Jika memang hal itu benar,
kesalahan Akbar Tandjung merupakan kejahatan kriminal, kehatan politik, dan kejahatan
moral.
Namun ketika supremasi
hukum ditegakkan sikap ambivalensi Golkar terlihat jelas sekali. Setelah
penahanan Akbar Tandjung terjadi beberapa reaksi yang datang dari Golkar
seperti yang disebutkan oleh Umar Said (2002), diantaranya adalah pertama, melakukan perlawanan politik
dari tingkat pusat hingga ke daerah-daerah; kedua,menarik
anggota Partai Golkar yang ada di Kabinet;
ketiga, memboikot kegiatan DPR dalam lingkaran fraksi Partai Golkar.
Di samping itu, Akbar
Tandjung mendapatkan dukungan kuat dari para simpatisan Golkar seperti Wakil
Sekjen DPP Partai Golkar Bomer Pasaribu dan sejumlah pengurus DPD Golkar dari
berbagai daerah antara lain DPD Riau, Lampung, Jambi, Jawa Timur, Jawa Tengah,
Jawa Barat, Banten, dan Papua yang berkumpul dalam Rapat Pimpinan IV dan V (http://www.suaramerdeka.com/harian/0209/04/nas6.htm).
Apapun yang terjadi mereka tetap menginginkan Akbar Tanjdung menjabat sebagai
Ketua Umum Partai Golkar karena mereka yakin bahwa Akbar Tandjung tidak
bersalah dan berharap agar vonisnya bebas.
Kasus ini pun
memberikan dampak yang kurang baik bagi Partai Golkar. Seperti yang dijelaskan
Tomsa (Azwar, 2009: 140-141) bahwa ada 3 dampak negative bagi Partai Golkar.
Pertama, kasus
tersebut membuka kembali friksi faksi-faksi yang ada di Golkar yang
mengakibatkan rusaknya citra yang sudah terbangun sebelumnya bahwa Golkar
merupakan organisasi yang solid dan terbukti mampu mengatasi perselisihan
diantara para kadernya tanpa terjadi perpecahan. Kedua, kasus itu mengingatkan
public kembali tentang persepsi bahwa Golkar masih mempraktekan praktik korupsi
sebagaimana yang terjadi di Orde Baru. Ketiga, kasus ini juga merusak citra
Akbar sebagai keputusan hukum yang bersifat tetap dari Mahkamah Agung.
Bagi Partai Golkar, Kasus Buloggate II
ini mencemarkan nama baiknya yang selama 32 tahun berdiri tegak dalam sistem
pemerintahan. Penulis menginterpretasikan bahwa pada saat itu terjadi krisis
kepercayaan dari rakyat kepada Golkar karena korupsi yang terjadi di era Orde
Baru, kembali terjadi di era reformasi.
Prof. Dr. Ismail Suny,
SH, MCL (2004) yang merupakan saksi ahli dalam persidangan kasus dugaan
penyalahgunaan dana non-budgeter, Senin, 3 Juni 2002, memandang bahwa Akbar
Tandjung dalam kasus ini tidak bersalah karena hanya menjalankan perintah
Presiden BJ Habibie sebagaimana tugas, fungsi, dan kedudukannya sebagai
Mensesneg dalam Keppres No. 104/ 1998 beritkut.
Sekretariat Negara adalah lembaga pemerintah yang
memberi dukungan staf dan pelayanan administrasi sehari-hari kepada presiden
dalam menyelenggarakan kekuasaan presiden kekuasaan pemerintahan Negara dan
kepada wakil presiden.
Jadi
memang dalam hal ini Mensesneg mengikuti perintah presiden untuk mengatasi masalah krisis pangan yang terjadi.
Pasca jatuhnya rezim
Orde Baru terjadi krisis yang luar biasa, situasi politik yang penuh
ketidakpastian, krisis kepercayaan pada pemerintah, dan krisis pangan. Untuk
mengatasi kondisi tersebut Presiden BJ Habibie melakukan tindakan darurat
dengan memerintahkan Bulog menyisihkan dana Rp. 40 Milyar yang diserahkan
kepada Mensesneg Akbar Tandjung melalui penyaluran sembako. Dalam prosesnya,
Suny ( Dewanto, 2004: 7) memandang bahwa posisi Akbar Tandjung hanya sebagai
saksi karena tidak menandatangani kwitansi penerimaan. Dalam kasus ini
Mensesneg menyaksikan dana diserahkan pihak Bulog kepada Ketua Yayasan Raudatul
Jannah Dadang Sukandar (Dewanto, 2004: 14).
KESIMPULAN
Kasus
Buloggate II merupakan kasus politik, hukum, dan moral yang melibatkan Akbar Tandjung, Winfried Simatupang, dan
Dadang Sukandar. Bermula dari kondisi Indonesia pasca jatuhnya Orde Baru yang
mengalami krisis multidmensi. Presiden mengeluarkan perintah darurat agar Bulog
mengeluarkan dana non-budgeter Bulog senilai Rp. 40 Milyar untuk mengatasi
krisis pangan yang sedang terjadi dengan kordinatornya Akbar Tandjung, namun
dalam kondisi darurat ini proses penyaluran dana tidak melalui birokrasi yang
seharusnya. Akibatnya kasus ini diduga sebagai tindak pidana korupsi.
Era
reformasi menyuguhkan penyelesaian
Kasus Buloggate II dengan supremasi hukum dan politik. Jalur penegakkan hukum
didukung oleh semua pihak melalui Pengadilan Tinggi Jakarta dan Pengadilan
Negeri Jakarta. Sedangkan penegakkan politik melalui pembentukkan Pansus (PanitiaKhusus) di DPR tidak teralisasikan karena mayoritas
menolak pembentukkan Pansus. Alasan gagalnya pembentukan Pansus Buloggate II
adalah masalah administrative dan pendapat sebagian besar anggota DPR bahwa kasus tersebut sebaiknya diserahkan
sepenuhnya pada proses hukum saja.
Sorotan
utama dalam kasus Buloggate ini adalah keterlibatan Akbar Tanjung, mengingat
posisinya yang cukup penting saat itu yaitu sebagai Ketua DPR dan juga Ketua
Umum Partai Golkar. Dalam pemberantasan kasus Buloggate ini, ada dua kubu yang
menyatakan Akbar Tandjung bersalah dan tidak bersalah. Pendapat yang menyatakan
Akbar Tandjung bersalah didasari pada bbeberapa alasan diantaranya adanya penyalahgunaan wewenang oleh
yang bersangkutan. Penyalahgunaan wewenang tersebut yakni dengan menerima dana
non-budgeter BULOG yang
seharusnya dana tersebut hanya untuk dipergunakan bagi keperluan Bulog.
Kemudian dalam proses pengadaan tersebut dilakukan dengan
menunjuk pihak kedua yaitu Dadang Sukandar seKelaku ketua Yayasan Raudatul jannah, dan pihak ketiga
yaitu Winfried Simatupang selaku kontraktor pengadaan sembako tanpa adanya
proses tender. Disinyalir juga bahwa Yayasan Raudatul Jannah tersebut merupakan
fiktif. Dalam penyaluran dana sebesar Rp. 40 Milyar kepada pihak kedua dan
pihak ketiga tersebut, Akbar Tandjung kurang atau tidak melakukan pengawasan,
akibatnya pengadaan sembako tersebut tidak terlaksana dikarenakan setelah dana
tersebut mengalir kepada pihak ketiga ternyata ada penyelewengan dari pihak
ketiga tersebut.
Kubu yang kedua menyatakan bahwa Akbar Tandjung tidak
bersalah. Pendapat tersebut didasari oleh beberapa alasan, diantaranya adalah pertama, tugas, kedudukan, dan fungsi
Akbar Tandjung sebagai Mensesneg yaitu memberikan dukungan staf dan pelayanan
administrasi sehari-hari kepada presiden dalam menyelenggarakan kekuasaan
presiden, kekuasaan pemerintahan Negara dan kepada Wakil Presiden; kedua, posisi Akbar Tandjung hanya
sebagai saksi dan tidak menandatangani cek.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Atmasasmita, Romli. (2004). Sekitar Masalah Korupsi. Bandung: Mandar
Maju
Azwar, Rully Chairul. (2009). Politik Komunikasi Partai Golkar di Tiga
Era: Dari Partai Hegemonik ke Partai yang Berorientasi “Proses”. ___:
Grasindo
Budiarjo, M. (1999). Dasar Ilmu Politik. Gramedia: Jakarta
Dewanto, Kodrat Wahyu. (2004). Pakar Hukum Menyatakan Akbar Tandjung Tidak
Layak Jadi Terdakwa. Jakarta: Infomediatama Selaras.
Nurdjana, Igm. (2010). Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Syamsuddin, Amir. (2004). Putusan Perkara Akbar Tandjung, Analisis
Yuridis Para Ahli Hukum. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Internet
Choirie,
Effendie. 4 Desember 2001. Kasus Akbar
Tandjung Harus di Proses Secara Politik [online]. Tersedia di: http://perspektifbaru.com/wawancara/299. [12 November 2012]
Isra,
Saldi. 22 April 2010. Penahanan Akbar
Tandjung [online]. Tersedia di: http://www.saldiisra.web.id/index.php?option=com_content&view=article&id=29:penahananakbartandjung&catid=1:artikelkompas&Itemid=2.
[12 November
2012]
Kartaprawira.
1 April 2002. Kasus Buloggate II- Ujian
Atas Supremasi Hukum [online]. Tersedia di: http://www.korwilpdip.org/bulog020402.htm.
[12
November 2012]
Nafi, M. Rahardi
Ungkap Skenario Mahakam Kasus Buloggate[online]. Tersedia di http://www.tempo.co/read/news/2004/09/29/05548742/Rahardi-Ungkap-Skenario-Mahakam-Kasus-Buloggate.[28 November 2012]
Said, Umar. 11 Januari 2002. Aspek
Hukum, Politik, dan Moraal Kasus Akbar Tandjung [online]. Tersedia di:
http://annabelle.aumars.perso.sfr.fr/Aspek%20politik-hukum-moral%20kasus%20Akbar%20Tanjung.htm [12 November 2012)
Suara
Merdeka, 5 September 2002.Akbar Terkejut,
Langsung Banding [online]. Tersedia di http://www.suaramerdeka.com/harian/0209/05/nas1.htm [25 November
2012]
Suara
Merdeka, 30 Januari 2004. Kronologi Kasus
Akbar [online]. Tersedia di http://www.suaramerdeka.com/harian/0401/30/nas2.htm.[25 November
2012]
Samariansyah, I. Efek Komunikasi Kasus Akbar Tanjung [online].Tersedia di http://isandri.blogspot.com/2007/07/efek-komunikasi-kasus-akbar-tanjung.html.[25
November 2012]
Analisa Kasus Buloggate II Ditinjau Dari Fungsi Dan Peran Hukum Birokrasi
Negara [online].
Tersedia di http://ginooo.wordpress.com/2009/04/16/analisis-kasus-buloggate-ii/ [12 November 2012]
Habibie dan Akbar Dinilai Berbohong [online].
Tersedia di: http://www.suaramerdeka.com/harian/0209/04/nas6.htm: [12 November
2012]
Korupsi
Ruskandar Disamakan Seperti Rahardi Ramelan
[online].Tersedia di http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol5225/korupsi-ruskandar-disamakan-seperti-rahardi-ramelan.[28
November 2012]
PKB Maju Terus Perjuangkan Pansus
Buloggate II
[online]. Tersedia di: http://www.tempo.co/read/news/2002/06/10/05512608/PKB-Maju-Terus-Perjuangkan-Pansus-Buloggate-II.
[12
November 2012]
Sikap
PDI-P “Banci”, DPR Tolak Pembentukan
Pansus Buloggate II
[online]. Tersedia di: http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol5908/sikap-pdip-banci-dpr-tolak-pembentukan-pansus-buloggate-ii-.
[12
November 2012]
Jurnal
Abdullah,
Anzar. (2009). “Upeti: Cikal Bakal Lahirnya Budaya Korupsi (Sebuah Perspektif
Historis”. Journal of Historical Studies.
10, (1), 1-18.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar