BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Pemilihan
Umum (Pemilu) di Indonesia pertama kali dilaksanakan pada tahun 1955 yakni pada
masa Indonesia menganut sistem Demokrasi Liberal. Pada Pemilu pertama ini
diikuti oleh 28 partai politik, diantaranya empat besar pemenang Pemilu adalah
PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Empat partai tersebut merupakan partai yang kuat
dengan jumlah massa pendukung yang besar.
Hasil
Pemilu tahun 1955 memperkuat kedudukan tiga aliran besar yaitu nasionalis,
islam dan komunis. Tetapi seiring berjalannya waktu, format ini dirubah menjadi
berdasarkan kepada UUD 45. Masjumi jatuh karena dibubarkan oleh soekarno, PKI
jatuh karena dikaitkan dengan peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Pengalaman-pengalaman itu memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap hasil Pemilihan
umum tahun 1971. Golongan Karya yang notabene merupakan organisasi politik
menjadi pilihan akhir untuk rakyat Indonesia. Sehingga kemenangan penuh untuk Golongan
Karya dalam Pemilihan umum tahun 1971 diraihnya.
Golongan
Karya menjadi sebuah fenomena baru dalam perpolitikan di Indonesia. Karena
selain Golongan Karya ikut dalam Pemilu, Golkar pun sangat dekat dengan
pemerintah karena menjadi pendukung utama pemerintah Orde Baru. Pemerintah pun
dinilai sangat mendukung Golongan Karya, sehingga dengan kemenangan penuh yang
diraih Golkar menjadikan terbentuknya isu bahwa Pemilihan Umum tahun 1971
merupakan formalitas semata.
Dengan
melihat Latar Belakang Masalah di atas, maka penulis mengajukan sebuah judul,
yaitu Pemilihan Umum 1971: Tinjauan Atas Kemenangan Golkar Pada Pemilu Tahun
1971.
B.
Rumusan
dan Batasan Masalah
Berdasarkan latar
belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka permasalahan utama yang
akan diangkat dalam penulisan ini adalah “Bagaimana Berlangsungnya
Pemilihan Umum Tahun 1971”.
Untuk lebih memfokuskan penulisan ini, penulis membatasi permasalahan
yang dirumuskan ke dalam pertanyaan-pertanyaan berikut ini:
1. Bagaimana
kehidupan partai politik pasca Supersemar?
2. Bagaimana
strategi Golkar menjelang Pemilihan umum 1971?
3. Bagaimana
pelaksanaan dan hasil Pemilihan umum 1971?
4. Bagaimana
dampak dari kemenangan Golkar terhadap pemerintahan Orde Baru?
C.
Tujuan
Penelitian
Berdasarkan
rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk memaparkan
tentang Pemilihan Umum 1971, terutama membahas tentang strategi Golkar sebagai
pemenang.
Adapun
tujuan-tujuan khususnya antara lain:
1. Mendeskripsikan
kehidupan partai politik pasca Supersemar?
2. Mendeskripsikan
strategi Golkar menjelang Pemilihan umum 1971?
3. Mendeskripsikan
pelaksanaan dan hasil Pemilihan umum 1971?
4. Mendeskripsikan
dampak dari kemenangan Golkar terhadap pemerintahan Orde Baru?
D.
Sistematika
Penulisan
Untuk memudahkan memahami penulisan ini, maka
penulis menggunakan sistematika sebagai berikut:
BAB
I PENDAHULUAN
Dalam
bab ini penulis mengungkapkan latar belakang masalah, mengapa penulis memilih
tema ini. Selain itu, bab ini juga memuat rumusan masalah yang bertujuan agar
pembahasan dalam makalah ini terfokus terhadap suatu masalah. Bab ini juga
memuat tujuan penulisan yang menjelaskan tentang hal-hal yang akan disampaikan
untuk menjawab permasalahan yang telah ditentukan. Bagian selanjutnya adalah
sistematika penulisan.
BAB II BERLANGSUNGNYA PEMILIHAN UMUM
TAHUN 1971
Bab ini berisi tentang perkembangan
partai politik pasca supersemar, strategi Golongan Karya menjelang Pemilu 1971,
pelaksanaan dan hasil Pemilihan umum tahun 1971 dan dampak dari kemenangan Golongan
Karya terhadap pemerintahan Orde Baru.
BAB III KESIMPULAN
Pada bab ini penulis mengemukakan kesimpulan
terhadap beberapa permasalahan yang telah diajukan sebelumnya. Hal ini tentunya
dilakukan setelah penulis menemukan semua fakta yang ada dengan didukung oleh
berbagai literatur yang telah dibaca dan didiskusikan sebelumnya.
BAB
II
PEMILIHAN
UMUM 1971
A. Kondisi Politik Pasca Supersemar
1966
Peristiwa
G 30 S merupakan peristiwa yang merubah situasi politik Republik Indonesia.
Peristiwa yang terjadi pada masa demokrasi terpimpin itu tidak hanya
menimbulkan kegoncangan terhadap partai politik khususnya PKI yang mempunyai
posisi dominan dalam perpolitikan Indonesia, tetapi juga beruntun dengan
kejatuhan kharisma Presiden Soekarno di mata rakyat Indonesia. Pada masa
Demokrasi Terpimpin pemimpin PKI D.N Aidit mempunyai posisi yang dekat dengan Presiden
Soekarno, terutama atas beberapa dukungan PKI terhadap konsep-konsep Presiden
Soekarno tentang Nasakom. D.N Aidit menyatakan bahwa:
Kita
menghendaki kerjasama juga sampai sesudah Pemilihan umum, dengan tidak peduli
siapa yang akan menang nanti. Dan apa yang kita inginkan ini adalah sesuai
dengan semboyan Republik kita “Bhineka Tunggal Ika.” (Departemen Agitprop CC
PKI, 1954)
Peristiwa
G 30 S membawa situasi perpolitikan kepada kondisi paradoks, dimana PKI yang
awalnya mempunyai posisi dominan, setelah peristiwa tersebut berubah drastis
karena disebut sebagai dalang peristiwa berdarah itu. Partai itu diganyang
dimana-mana, hingga partai tersebut bubar pada 12 Maret 1966. Selain dampak
terhadap PKI, peristiwa G 30 S juga perlahan menurunkan pamor Presiden Soekarno
yang pada masa itu dekat dengan PKI. Massa menuntut tiga tuntutan yang dikenal
dengan TRITURA pada 10 Januari 1966. Tindak lanjut terhadap situasi tersebut
berlanjut hingga keluarnya Surat Perintah 11 Maret kepada Mayor Jenderal
Soeharto. John Rossa (2008: 5) menyatakan bahwa Soeharto menuduh Partai Komunis
Indonesia (PKI) mendalangi G 30 S, dan selanjutnya menyusun rencana pembasmian
terhadap orang-orang yang terkait dengan partai itu. Presiden Soekarno yang
mempunyai kedekatan dengan PKI tidak luput dari upaya pembasmian tersebut, hingga
akhirnya semakin terdesak pada Sidang Umum MPRS tahun 1966 setelah pidato
pertanggunggjawabannya (Nawaksara) ditolak
MPRS yang diketuai A.H Nasution.
Penolakan
pidato pertanggung jawaban Soekarno atas kekacauan politik yang terjadi dalam
peristiwa G 30 S semakin mendesak posisi Soekarno sebagai Presiden Republik
Indonesia. Titik puncak dari hal tersebut adalah diturunkannya Soekarno sebagai
Presiden dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat Presiden melalui Sidang
Istimewa MPRS tahun 1967.
Sidang
Istimewa MPRS telah memutuskan untuk menarik kembali mandat MPRS dari Presiden
Soekarno serta segala kekuasaan pemerintahan negara dari tangannya. Soekarno
juga dilarang untuk melakukan kegiatan politik sampai dengan Pemilihan umum.
(tersedia
dalam http://sociopolitica.wordpress.com/2011/03/20/kisah-pertarungan-politik-setelah-surat-perintah-11-maret-1966-4/
diakses pada 30/09/2012).
Pergantian
dari Presiden Soekarno kepada pejabat Presiden Soeharto sering disebut sebagai
pergantian dari suatu Orde, yakni Orde Lama (masa kepemimpinan Soekarno) kepada
Orde Baru (masa kepemimpinan Soeharto). Status Jenderal Soeharto sebagai
pejabat Presiden dirubah menjadi Presiden melalui sidang MPRS tahun 1968.
Poerwantana (1994: 78) menyatakan bahwa beberapa keputusan penting dari sidang
tersebut antara lain:
1. Tap
XLIV/MPRS/68 yang menetapkan Jenderal Soeharto menjadi Presiden RI untuk masa
lima tahun (1968-1973)
2. Tap
XLI/MPRS/68 yang menetapkan perlunya dibentuk kabinet Pembangunan dengan tugas
pokok melaksanakan program yang disebut panca Krida.
3. Tap
XLII/MPRS/68 yang menetapkan penyelenggaraan Pemilu selambat-lambatnya tanggal
5 Juli 1971.
Ketetapan
MPRS tahun 1968 menetapkan Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia,
sekaligus dilakukan perombakan kabinet. Presiden Soeharto melakukan pembersihan
lembaga tertinggi dan tinggi negara tersebut dari sejumlah anggota yang
dianggap terlibat dalam peristiwa G 30 S.
Pemilihan
umum yang pada masa kepemimpinan Presiden Soekarno direncanakan akan
dilaksanakan pada tahun 1968, oleh Presiden Soeharto dirubah menjadi tahun 1971
melalui Sidang MPRS tahun 1967 dan ditetapkan pada Tap XLII/MPRS/68 dengan
merubah Ketetapan MPRS XI Tahun 1966 yang mengamanatkan agar Pemilu bisa
diselenggarakan dalam tahun 1968. Melalui
keluarnya ketetapan tersebut, Pemilu
diundur menjadi tahun 1968. Tanggapan partai-partai terhadap waktu pelaksanaan Pemilu
menimbulkan pro kontra, khususnya antara partai islam dengan partai non-islam.
Harapan
dan perhitungan tersebut, membuat partai-partai Islam lebih antusias untuk
diselenggarakannya suatu Pemilihan umum yang lebih cepat setelah Soekarno
jatuh. Sementara sebaliknya, kelompok independen, partai-partai non ideologi
Islam dan juga tentara, meskipun sama-sama menghendaki Pemilihan umum,
cenderung untuk tidak terburu-buru. Suatu Pemilihan umum yang lebih cepat dan
terburu-buru dianggap hanya akan menguntungkan partai-partai ideologistis yang
berasal dari struktur politik lama warisan Orde Lama dalam sistim Demokrasi
Terpimpin ala Soekarno. (terdapat dalam http://sociopolitica.wordpress.com/2009/10/28/golkar-perjalanan-dari-masa-lampau-ke-titik-nadir-2009-2/
diakses pada 30/09/2012).
Perdebatan
tentang waktu pelaksanaan Pemilu akhirnya berakhir setelah Presiden Soeharto
melalui Sidang MPRS tahun 1967 menyatakan Pemilu akan dilaksanakan pada tahun
1971. Keputusan tersebut ditetapkan melalui ketetapan MPRS tahun 1968.
B.
Partai
Politik Peserta Pemilihan Umum 1971
Kemelut
yang terjadi pasca peristiwa G 30 S berimplikasi terhadap kehidupan
partai-partai politik di Indonesia. PKI sebagai partai pemenang yang menempati
posisi empat pada Pemilihan Umum 1955 dinyatakan dilarang setelah diklaim
Soeharto sebagai dalang peristiwa G 30 S. Dengan tidak adanya PKI, partai
politik besar peserta Pemilu 1955 yang masih berpartisipasi dalam Pemilihan
umum 1971 diantaranya ialah Partai Nasional Indonesia baru (PNI), Nahdlatul
Ulama (NU), dan Masyumi yang berubah menjadi Parmusi.
Partai
Nasional Indonesia (PNI) pada masa pasca peristiwa G 30 S sempat mengalami perpecahan dengan terbaginya
PNI menjadi dua kubu, yang pertama PNI di bawah Osa-Usep dan PNI di bawah
Ali-Surachman. Perpecahan ini berkaitan dengan dukungan terhadap Presiden
Soekarno yang setelah peristiwa G 30 S banyak dikaitkan dengan peristiwa
tersebut. PNI kubu Osa-Usep lebih bersifat netral dalam masalah yang terjadi
terhadap Soekarno, berlainan dengan kubu Ali-Surachman yang tetap memberi
dukungan terhadap Soekarno. Massa pendukung Soekarno yang banyak berasal dari
Jawa Tengah dan Jawa Timur banyak dipertimbangkan oleh kedua kubu dalam
mengambil langkah partai. Kelompok Osa-Usep lebih bersifat netral terhadap
permasalahan Soekarno, terutama berkaitan dengan strategi Pemilihan umum
mendatang. Pada tahun 21 Januari 1967, Sekjen PNI Usep Ranawidjaja SH yang
berseberangan dengan kelompok Ali-Surachman menegaskan tak ada hubungan antara
PNI dan Presiden Soekarno, karena Soekarno berada di luar PNI (tersedia dalam http://sociopolitica.wordpress.com/2011/03/16/kisah-pertarungan-politik-setelah-surat-perintah-11-maret-1966-3/
diakses pada 30/09/2012).
Partai
politik lain peserta Pemilu 1955 yang berpartisipasi kembali dalam Pemilu 1971
diantaranya NU dan Masyumi yang menjelma menjadi Parmusi. Kedua partai adalah
partai Islam yang pada Pemilu 1955 menempati posisi atas perolehan suara.
Tokoh-tokoh Masyumi seperti Mohammad Roem dan kawan dalam struktur lama dilarang
untuk berpartisipasi dalam Pemilihan umum 1971, sehingga Masyumi baru yang
bernama Parmusi tidak banyak diduduki oleh tokoh-tokoh sentral. Tokoh kompromi
yang muncul memimpin partai baru Parmusi adalah Mintaredja SH (tersedia dalam http://sociopolitica.wordpress.com/2009/10/28/golkar-perjalanan-dari-masa-lampau-ke-titik-nadir-2009-2/
diakses pada 30/09/2012). Berkaitan dengan dilarangnya Masyumi dan
tokoh-tokohnya mengikuti Pemilihan umum hingga berganti nama dan struktur
menjadi Parmusi di bawah Mintaredja SH, Ricklefs (2008: 615) menyatakan bahwa:
Pemerintah
belum yakin sudah cukup melemahkan partai-partai politik, maka Ali Murtopo ikut
campur dalam kompetisi kepemimpinan PNI. Soeharto memaksakan agar kepemimpinan
Parmusi berada di tangan orang yang dapat dipercayainya secara politik, H.
Mohammed Safaat Mintaredja.
Di
luar partai politik alumni Pemilu 1955, Pemilihan umum 1971 diikuti oleh
kekuatan politik baru yaitu Golongan Karya (Golkar). Golkar berbeda dengan
partai lainnya yang menjadi peserta Pemilu. Golkar diidentifikasikan sebagai
pengelompokan yang punya ‘posisi’ dalam UUD 1945 yakni unsur “Golongan-Golongan”
dalam Pasal 2 Bab II.
Sejarah Partai Golkar bermula pada
tahun 1964 dengan berdirinya Sekber Golkar di masa akhir pemerintahan Presiden
Soekarno. Sekber Golkar didirikan oleh Golongan militer, khususnya perwira
Angkatan Darat ( seperti Letkol Suhardiman dari SOKSI) menghimpun
berpuluh-puluh organisasi pemuda, wanita, sarjana, buruh, tani, dan nelayan
dalam Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar).
Organisasi-organisasi yang terhimpun
ke dalam Sekber GOLKAR ini kemudian dikelompokkan berdasarkan keKaryaannya ke
dalam 7 (tujuh) Kelompok Induk Organisasi (KINO), yaitu:
1. Koperasi Serbaguna Gotong Royong
(KOSGORO)
2. Sentral Organisasi Karyawan Swadiri
Indonesia (SOKSI)
3. Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong
(MKGR)
4. Organisasi Profesi
5. Ormas Pertahanan Keamanan (HANKAM)
6. Gerakan Karya Rakyat Indonesia
(GAKARI)
7. Gerakan Pembangunan Untuk menghadapi
Pemilu 1971,
7 KINO yang merupakan kekuatan inti
dari Sekber GOLKAR tersebut, mengeluarkan keputusan bersama pada tanggal 4
Februari 1970 untuk ikut menjadi peserta Pemilu melalui satu nama dan tanda
gambar yaitu Golongan Karya (GOLKAR). (tersedia dalam http://www.golkar.or.id/tentang/sejarah
diakses pada 30/09/2012).
Golkar pada masa berdirinya tahun
1964 dimaksudkan untuk menjadi fasilitator aspirasi politik Angkatan Darat. Daniel
Lev (‘The Political Role of the Army
in Indonesia’, Pacific Affairs, 1963) menyatakan bahwa:
“Sesungguhnya,
Golkar adalah pembentukan kembali suatu kelompok parlementer yang sudah ada,
yakni Sekber Golkar (Sekretariat Bersama Golongan Karya), yang dibentuk pada
1964 di bawah perlindungan Angkatan Darat untuk mengendalikan dan memobilisasi
anggota-anggota parlemen yang ditunjuk oleh Presiden Soekarno guna mewakili
bermacam-macam ‘Golongan Karya’ dalam masyarakat Indonesia, seperti buruh,
tani, pemuda, wanita dan tentara. Selama Demokrasi Terpimpin, Angkatan Darat
mendukung fungsionalisme sebagai suatu alat untuk mengesahkan partisipasi
politiknya sendiri”. (terdapat dalam http://sociopolitica.wordpress.com/2009/10/30/golkar-perjalanan-dari-masa-lampau-ke-titik-nadir-2009-3/
diakses pada 30/09/2012).
Berpartisipasinya
kekuatan baru (Golkar) dalam Pemilu 1971 menambah warna Pemilu bila
dibandingkan dengan Pemilu tahun 1955. Struktur partai Golkar yang banyak
dipengaruhi oleh Angkatan Darat mempunyai warnanya tersendiri dalam Pemilihan
umum serta dalam aspek sosial, ekonomi, politik mendatang.
C.
Strategi
Golongan Karya Menghadapi Pemilu Tahun 1971
Munculnya
Golkar pada tahun 1964 merupakan cikal bakal dari adanya Partai Golongan Karya,
kemunculan Golkar adalah untuk mendobrak kebekuan dan kegagalan kehidupan
social politik di bawah Demokrasi Terpimpin masa Soekarno. Dalam dua kurun
waktu sebelumnya, yakni masa Demokrasi Parlementer sesudah Pemilihan Umum 1955
dan masa Demokrasi terpimpin 1959-1965, kekuatan social politik yang ada belum
berhasil menjalankan fungsi selaku alat demokrasi yang pas untuk kebutuhan
Indonesia. Kepartaian pada dua kurun waktu tersebut menurut Herbert Feith
mengikuti aliran, dimana terdapat lima aliran, yaitu tradisi jawa, Islam,
nasionalisme radikal, komunisme dan sosial demokrasi.
Format
politik di Indonesia menjelang pemilu tahun 1971 mengalami perubahan, tidak
lagi mengacu kepada politik aliran lagi tetapi mengacu kepada sistem politik
yang dikehendaki oleh UUD 45. Dalam rangka mempersiapkan diri untuk menghadapi
Pemilihan Umum 1971, tercipta momentum bagi Golkar untuk memperbaharui
kehidupan politik yang ideologistis menjadi kehidupan politik yang diperbarui
dan modern. Penempatan diri sebagai kekuatan pembaharu itu membuat Golkar
menjadi menarik bagi kekuatan-kekuatan baru dalam masyarakat kala itu, terutama
kalangan cendekiawan di masyarakat serta kalangan intelektual muda yang masih
mempunyai ikatan dan basis yang kuat di lingkungan perguruan tinggi. Bersama
kalangan militer yang berpikiran pembaharu, sejalan dengan hasil Seminar
Angkatan Darat II serta unsure birokrasi yang sudah diperbaharui pula oleh
pemerintahan baru Pasca Soekarno, kaum cendekiawan tersebut menjadi bagian yang
menopang Golkar sebagai kekuatan politik yang berpotensi melahirkan kehidupan
politik yang lebih baik dan bisa diharapkan untuk menegakkan demokrasi.
Menghadapi
pola yang ideologistis, Golkar dengan topangan tiga unsure utamanya, telah
mendorong ke depan Pncasila dan UUD 1945 sebagai perangkat dan tema tengan yang
bisa diterima oleh mereka yang tidak punya ikatan-ikatan ideologis. Golkar
menarik kaum abangan yang membutuhkan perlindungan baru setelah merosotnya PNI,
sebagaimana ia juga menarik kalangan beragama Islam yang berpikiran moderat dan
tidak ideologistis, serta masyarakat lain yang tidak beragama Islam.
Kelompok-kelompok dalam masyarakat yang disebut terakhir ini, selama
bertahun-tahun ada dalam kecemasan dan himpitan pertarungan antara
kecenderungan komunistis dan kecenderungan fundamental dalam Islam. Terdapat
pula kelompok dalam masyarakat yang merasa tertekan oleh kekuasaan totaliter
yang tidak demokratis di masa Soekarno, menerima Golkar sebagai alternatif
penyelamat.
Indonesia
dibawah pemerintahan Soeharto membuat banyak kebijaksanaan untuk mempermudah
laju Golkar untuk memenangkan pemilu tahun 1971
Isu kampanye sangat berpengaruh kepada
kemenangan Golkar…Hal ini semakin diperkuat dengan adanya sejumlah
kebijaksanaan yang dikeluarkan pemerintah bagi usaha memenangkan Golongan
Karya, diantaranya di dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 12/1969 tentang
perlu adanya monoloyalitas pegawai negeri kepada pemerintah. Kemudian dipertegas
dengan kebijaksanaan tentang pelarangan pegawai negeri ikut dalam salah satu
organisasi politik tanpa seijin atasan (Notosusanto, 1993:518)
Sehingga para Pegawai Negeri Sipil tidak berani
memihak kepada partai politik lain, jika hal tersebut dilakukan maka sangsi
pemecatan akan dikeluarkan.
D.
Pelaksanaan
Pemilihan Umum tahun 1971
Ini
merupakan pemilihan umum kedua yang dilakukan rakyat Indonesia dan menjadi
pemilihan umum pertama yang diadakan pada masa Orde Baru. Pemilihan umum yang
diselenggarakan pada tanggal 3 Juli 1971 ini diikuti oleh 10 peserta yang
terdiri dari 9 partai politik dan 1 organisasi masyarakat. Ke-9 partai politik
tersebut yaitu Partai Nahdlatul Ulama, Partai Muslim
Indonesia, Partai Serikat Islam Indonesia, Persatuan Tarbiyah Islamiiah, Partai
Nasionalis Indonesia, Partai Kristen Indonesia, Partai Katholik, Partai Ikatan
Pendukung Kemerdekaan Indonesia, Partai Murba. Sedangkan 1 organisasi
masyarakat yaitu Sekber Golongan Karya. Lima besar
pemenang pemilihan umum tahun 1971 yaitu Golongan
Karya, Nahdlatul
Ulama, Parmusi,
Partai Nasional Indonesia,
dan Partai
Syarikat Islam Indonesia.
Penyelenggaraan
pemilihan umum pada tahun 1971 dimaksudkan untuk memilih anggota DPR. Dengan menganut sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan
sistem stelsel daftar, artinya besarnya kekuatan perwakilan organisasi dalam
DPR dan DPRD, berimbang dengan besarnya dukungan pemilih karena pemilih
memberikan suaranya kepada Organisasi Peserta Pemilu. Sedangkan asas Pemilihan umum tahun 1971 dilaksanakan dengan asas
langsung, umum, bebas, dan rahasia (LUBER).
1. Langsung, artinya bahwa pemilih langsung memberikan suaranya menurut hati
nura-ninya, tanpa perantara, dan tanpa tingkatan.
2. Umum, artinya semua warga negara yang telah memenuhi persyaratan
minimal dalam usia, mempunyai hak memilih dan dipilih.
3. Bebas, artinya bahwa setiap pemilih
bebas menentukan pilihannya menurut hati nura-ninya, tanpa ada pengaruh,
tekanan, paksaan dari siapapun dan dengan cara apapun.
4. Rahasia, artinya bahwa pemilih dalam memberikan suara dijamin tidak
akan diketahui oleh siapapun dan dengan cara apapun mengenai siapa yang
dipilihnya.
Dasar hukum yang digunakan
pada pemilihan umum tahun 1971 adalah :
1. TAP MPRS No. XI/MPRS/1966
2. TAP MPRS No. XLII/MPRS/1966
3. UU Nomor
15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan /
Perwakilan Rakyat
4. UU Nomor 16 Tahun 1969
tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.
Mengenai Badan Penyelenggara Pemilu, dibentuk Lembaga Pemilihan
Umum (LPU) yang didasarkan pada Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1970. LPU
diketuai oleh Menteri Dalam Negeri yang keanggotaannya terdiri atas Dewan
Pimpinan, Dewan Pertimbangan, Sekretariat Umum LPU dan Badan Perbekalan dan
Perhubungan. Struktur organisasi penyelenggara di pusat, disebut Panitia
Pemilihan Indonesia (PPI), di provinsi disebut Panitia Pemilihan Daerah Tingkat
I (PPD I), di kabupaten/kotamadya disebut Panitia Pemilihan Daerah Tingkat II,
di kecamatan disebut Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan di desa/kelurahan
disebut Panitia Pendaftaran Pemilih (Pantarlih). Untuk melaksanakan pemungutan
dan penghitungan suara dibentuk Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
Bagi warga negara RI di luar negeri dibentuk Panitia Pemilihan Luar Negeri
(PPLN), Panitia Pemungutan Suara Luar Negeri (PPSLN), dan Kelompok
Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri (KPPSLN) yang bersifat sementara (adhoc).
Hasil pemilu 1971 tampak mendukung dan
memantapkan posisi pemerintah dalam strategi pembangunan politik. Golkar menang
mutlak dengan mayoritas suara sebesar 62,8% dari semua pemilih yang syah.
Satu-satunya partai yang berhasil bertahan adalah NU yang mendapatkan 18,7%
suara. PNI mengalami kekalahan berat dan hanya berhasil memperoleh 6,9% suara.
Parmusi yang diperkirakan akan mendapatkan suara dari pendukung Masjumi hanya
mendapatkan 5,4% suara. Partai-partai Nasrani pun mengalami kemerosotan hanya
mendapatkan 2,4% suara (Alfian, 1992:76)
E. Dampak Kemenangan Golongan
Karya Terhadap Negara
Pemilihan umum pada tahun 1971 adalah fase kedua pemerintahan Orde Baru,
pemilu tersebut diikuti oleh 9 partai politik. Diantara parpol juga terdapat
suatu golongan yakni Golkar (Golongan Karya), dan Golkar telah membawa episode Baru
bagi pemerintahan Presiden Soeharto. Tahun 1971 sampai tahun 1977 memenangkan
berbagai “event” yang sangat berarti bagi bangsa Indonesia.
Pada pemilu tahun 1971 Golongan Karya (Golkar) dengan memperoleh 227 kursi
ditambah 100 kursi yang diangkat telah menjadi salah satu kunci sukses Presiden
Soeharto menjadi orang nomer satu di negeri ini untuk kedua kalinya. Hal
tersebut tidak terlepas dari langkah taktis yang dilakukan oleh Presiden
Soeharto yang mendapat dukungan kuat dari militer yang waktu itu bisa dikatakan
sebagai salah satu “pahlawan” yang memegang peranan penting bagi bangsa
Indonesia setelah “kesuksesan” menumpas pergerakan PKI (Partai Komunis
Indonesia), terutama yang terkait dengan G 30 S/PKI-nya.
Kemenangan Golkar yang hampir absolut pada pemilu tahun 1971, sebenarnya
adalah suatu kemenangan yang hampir tidak pernah terjadi pada suatu negara yang
menganut sistem multi partai. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah bagaimana
Golkar bisa menjadi partai single
majority bahkan berlangsung hingga pemilu tahun1997, Sesuatu yang menurut
kami adalah kelebihan dari Presiden Soeharto, yakni langkah-langkah taktisnya
dalam kebijakan politik, yang beliau gunakan secara “harmonis” guna mendukung
kebijakan-kebijakannya yang lain.
Langkah-langkah politik Presiden Soeharto dalam membangun kekuatan
politiknya lebih kuat dan tak tergeser antara lain dengan menjadikan Golkar
sebagai soko guru penyangganya. Hal-hal yang dilakukannya antara lain :
- Memasukkan unsur militer dalam Golkar baik personal maupun sistem,
yakni sistem partai yang mirip dengan sistem militer. Hal ini dilakukan
karena basis Presiden Soeharto sendiri yang berasal dari militer dan pengaruhnya
yang kuat dari militer itu sendiri, sehingga lebih memudahkan Presiden
Soeharto dalam mendoktrin sebuah kebijakan
- Selain basis militer, Golkar juga mempunyai basis lain yakni para
pegawai negeri, dengan diwajibkannya para pegawai negeri tersebut masuk
KORPRI semakin memudahkan Presiden Soeharto menggiring para pegawai
negerinya ke Golkar dan membatasi gerak pegawai negeri dalam pentas
politik sehingga mereka hanya berfungsi sebagai “robot” penghasil suara
bagi Golkar.
- Kebijakan politik yang membatasi gerak partai seperti adanya konsepsi
massa mengambang, yakni salah satu contohnya adalah adanya larangan
melakukan kegiatan kepartaian bagi partai selain
Golkar.
a.
Segitiga Kekuatan
Politik Orde Baru
Suksesi Pak Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia periode 1971-1977
serta berbagai kebijakannya, tidak terlepas dari berbagai elemen pendukung kedudukannya.
Dalam pemerintahan Orde Baru dikenal segitiga kekuatan politik Orde Baru yang
terbentuk sejak tahun 1968 yakni: Militer, Golkar dan Tekhnokrat yang
kekuatannya semakin jelas ketika partai-partai lain diharuskan melakukan fusi
pada tahun 1973.
Militer adalah salah satu dan bisa dikatakan sebagai senjata ampuh yang
krusial bagi kepemimpinan Soeharto. Militer bertindak sebagai stabilisator dan
dinamisator sangat diharapkan untuk menunjang kesuksesan program dari kalangan
Tekhnokrat dalam rangka pembangunan ekonomi, maupun program pemerintah yang
lain seperti dalam bidang politik. Dominasi militer ini terlihat jelas dalam
berbagai jabatan pemerintahan. Keberadaan militer sebagai salah satu kekuatan
politik utama pada masa Orde Baru, sangat berpengaruh terhadap pendidikan
politik masyarakat. Sehingga pendidikan politik yang dapat diserap oleh
masyarakat salah, pendidikan yang mengacu pada pola establisment penguasa dan
masyarakat hanya dipolakan pada kondisi pasif (Lailatul Izza 1995 : 35).
Golkar sebagai salah satu elemen dalam percaturan politik di Indonesia
mempunyai fungsi yang vital terutama dalam mensukseskan gagasan-gagasan
Presiden Soeharto di Dewan. Kemenangan Golkar yang hampir selalu mutlak dalam
pemilu menjadikan posisi Golkar tak tersentuh oleh partai lain. Hal-hal di atas
tidak terlepas dari permainan kebijakan Presiden Soeharto dengan membatasi
gerak partai politik. Selain kebijakan konsepsi massa mengambang yang disusul
dengan pengharusan fusi bagi partai-partai yang ada pada tahun 1973 semakin
menguntungkan Golkar karena fusi yang dibentuk PPP dan PDI malah semakin
membuat gerak kedua partai tersebut tersendat mengingat banyak masalah intern
akibat dilakukaknya fusi dan Golkar melenggang semakin kuat.
Penyangga ketiga dari Orde Baru adalah para tekhnokrat. Tidak terlepas dari
peranan militer yang labil menaruh kepercayaan kepada golongan Tekhnokrat untuk
membuat kebijakan nasional, yang dipandang lebih mempunyai keahlian dan
pengalaman dalam pembangunan (Lailatul Izza 1995: 29) dan para tekhnokrat ini
adalah orang-orang pilihan Presiden, sehingga dengan mudah Presiden menjadi
penentu segala kebijakan. Ketiga elemen tersebut saling terkait dan mendukung
kepemimpinan Presiden Soeharto.
b. Pengaruh Terhadap Sosial-Ekonomi
Periode antara tahun 1971-1977 merangkum dua program kerja pembangunan Orde
Baru yakni REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun). Yakni PELITA I, antara 1
April 1969-31 Maret 1974 dan Program PELITA II yang dimulai pada tanggal 1
April 1974-1 April 1979. PELITA di atas adalah program rencana pembangunan yang
berkelanjutan dari Orde Baru yang tiap pelita mempunyai fokus tersendiri dalam
tiap tahapnya. Kebijakan pembangunan dalam setiap PELITA didasarkan atas pola
umum pembangunan jangka panjang. Tujuan pembangunan dalam setiap PELITA adalah
sama, yakni : pertanian. Ialah meningkatkan penghasilan produsen pertanian,
sehingga mereka terangsang untuk membeli barang-barang keperluan sehari-hari
yang dihasilkan oleh sektor industri. Perkembangan sektor industri akan
menyebabkan pola penghematan devisa disamping dapat meramping tenaga kerja yang
cukup banyak ( Marwati Djoened Poesponegoro dkk, 1993 : 443 ).
Dalam bidang politik pertahanan juga merangkum berbagai peristiwa politik
baik dalam negeri maupun luar negeri, dalam percaturan politik misalnya terjadi
pemfusian partai-partai yang ada pada waktu itu. Yakni Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) yang didominasi oleh golongan Islam dan Partai Demokrasi
Indonesia (PDI) yang umumnya beranggotakan golongan nasionalis dan Kristen.
Presiden Soeharto yang memonopoli suara di dewan, dengan mengangkat 600 dari
1000 anggota MPR dan dalam DPR Presiden Soeharto mengangkat 100 orang sedang
400 orang anggota dewan yang lain umumnya didominasi oleh Golkar.
Dalam percaturan politik luar negeri Indonesia (Orde Baru) juga menjadi
fungsi dan peran yang cukup penting seperti menjadi tuan rumah KTT ASEAN yang
berlangsung di Bali 1977 dan bergabungnya Timor Timor menjadi Propinsi ke-27
Indonesia pada tahun 1974.
Presiden Soeharto berusaha memusatkan perhatiannya ke dalam negeri dan
menjauhkan Indonesia dari mata dunia Internasional (Jeffry A. Winter, 1999:
VIII), memang pendapat tidak sepenuhnya Presiden Soeharto menjauhkan Indonesia
dari mata dunia internasional, itu dapat kita lihat dari beberapa perannya
dalam KTT ASEAN, namun pendapat Winter di atas juga ada benarnya terutama pada
masa 1971-1977 dimana pada masa ini dapat dikatakan sebagai masa tindak lanjut
dari pimpinan Orde Baru yang dimulai sejak pengangkatan Presiden Soeharto tahun
1967 sebagai hasil pemilu.
Pemerintahan Orde Baru antara tahun 1971-1977 bisa di katakan sebagai fase
penting Orde Baru dalam mengokohkan posisinya terutama dalam percaturan politik
dalam negeri. Dengan politik harmoninya yakni pembangunan ekonomi yang
diimbangi dengan penataan kondisi sosial politik yang kondusif. Hal inilah yang
menurut kami salah satu kunci keberhasilan pembuatan kebijakan-kebijakan Orde
Baru Presiden Soeharto- meskipun
terkadang hal itu mengekang tumbuhnya
kebebasan berdemokrasi.
BAB III
KESIMPULAN
Sejatinya Pemilu
1971 merupakan kenyataan bahwa pemerintah Orde Baru berhasil member kesempatan
bagi masyarakat mengemukakan aspirasi dan kehendak mereka. Namun dibalik
kesuksesan tersebut muncul kekhawatiran pemerintah terhadap kemungkinan
munculnya kembali tingkah laku politik yang bebas (liberal) secara tak
terbatas. Hal ini diantisipasi oleh pemerintah dengan usaha-usaha untuk menjinakkan
partai-partai politik, antara lain menghalang-halangi mereka yang dianggap
keras atau radikal duduk dalam pemerintahan.
Sejak dari
permulaan Orde Baru, ide Pemilihan Umum nasional mendapat dukungan dari
berbagai sumber. “Dalam Pemilihan Umum ini para pemimpin partai melihat
kesempatan untuk memperbaiki kedudukan mereka sebagai wakil rakyat dan membuat
parlemen sekali lagi menjadi lembaga pemeritahan yang utama. Dalam pada itu,
beberapa kelompok mahasiswa dan kekuatan-kekuatan lain yang pro Orde Baru, baik
sipil maupun militer, ingin memanfaatkan kepartaian secara menyeluruh. Tetapi,
demikian lebih jauh diuraikan, bagi Presiden Soeharto dan orang-orang yang
sangat dekat dengannya, Pemilihan Umum tidaklah dimaksudkan untuk mengacaukan
sistem politik -dengan membiarkan partai-partai bersaing untuk memperoleh
dukungan rakyat seperti pada 1955, atau dengan menciptakan saluran-saluran
komunikasi baru antara elite dan massa- melainkan untuk menyelamatkan kendali
kekuasaan parlemen MPR, dan lembaga-lembaga legislatif daerah yang tidak dapat
ditentang.
Untuk tujuan ini,
diciptakanah sebuah organisasi politik baru, Golkar (Golongan Karya), di bawah
pimpinan Jenderal Soemitro, Amir Moertono dan Darjatmo dari Departemen
Pertahanan. Juga Mayor Jenderal Amir Mahmud dari Departemen Dalam Negeri
(dengan tanggung jawab atas pegawai negeri daerah) dan Brigadir Jenderal Ali
Moertopo, asisten pribadi Presiden Soeharto, yang sangat berpengalaman dalam
operasi politik dan pengendalian partai-partai politik.
DAFTAR
PUSTAKA
Alfian. (1992). Pemikiran
dan perubahan politik Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.
Poerwantana,
P. K. (1994). Partai Politik Di
Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Poesponegoro, M & Notosusanto, N. Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI.
Jakarta: Balai Pustaka.
Ricklefs,
M. C. (2008). Sejarah Indonesia Modern
1200-2008. Jakarta: Serambi.
Roosa,
John. (2008). Dalih Pembunuhan Massal
Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto. Jakarta: Institut Sejarah Sosial
Indonesia dan Hasta Mitra.
Sumber
Internet:
[Online] Tersedia di
[30 September 2012]
[Online] Tersedia di http://sociopolitica.wordpress.com/2009/10/28/golkar-perjalanan-dari-masa-lampau-ke-titik-nadir-2009-2/
[30 September 2012]
[Online]
Tersedia di http://sociopolitica.wordpress.com/2009/10/30/golkar-perjalanan-dari-masa-lampau-ke-titik-nadir-2009-3/
[30 September 2012]
[Online] Tersedia di http://sociopolitica.wordpress.com/2011/03/20/kisah-pertarungan-politik-setelah-surat-perintah-11-maret-1966-4/
[30 September 2012]
[30 September 2012]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar