Jumat, 27 Desember 2013

Makalah Mengenai Pemilu


BAB I
PENDAHULUAN
A.         Latar Belakang Masalah
Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia pertama kali dilaksanakan pada tahun 1955 yakni pada masa Indonesia menganut sistem Demokrasi Liberal. Pada Pemilu pertama ini diikuti oleh 28 partai politik, diantaranya empat besar pemenang Pemilu adalah PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Empat partai tersebut merupakan partai yang kuat dengan jumlah massa pendukung yang besar.
Hasil Pemilu tahun 1955 memperkuat kedudukan tiga aliran besar yaitu nasionalis, islam dan komunis. Tetapi seiring berjalannya waktu, format ini dirubah menjadi berdasarkan kepada UUD 45. Masjumi jatuh karena dibubarkan oleh soekarno, PKI jatuh karena dikaitkan dengan peristiwa Gerakan 30 September 1965. Pengalaman-pengalaman itu memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap hasil Pemilihan umum tahun 1971. Golongan Karya yang notabene merupakan organisasi politik menjadi pilihan akhir untuk rakyat Indonesia. Sehingga kemenangan penuh untuk Golongan Karya dalam Pemilihan umum tahun 1971 diraihnya.
Golongan Karya menjadi sebuah fenomena baru dalam perpolitikan di Indonesia. Karena selain Golongan Karya ikut dalam Pemilu, Golkar pun sangat dekat dengan pemerintah karena menjadi pendukung utama pemerintah Orde Baru. Pemerintah pun dinilai sangat mendukung Golongan Karya, sehingga dengan kemenangan penuh yang diraih Golkar menjadikan terbentuknya isu bahwa Pemilihan Umum tahun 1971 merupakan formalitas semata.
Dengan melihat Latar Belakang Masalah di atas, maka penulis mengajukan sebuah judul, yaitu Pemilihan Umum 1971: Tinjauan Atas Kemenangan Golkar Pada Pemilu Tahun 1971.

B.         Rumusan dan Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka permasalahan utama yang akan diangkat dalam penulisan ini adalah “Bagaimana Berlangsungnya Pemilihan Umum Tahun 1971”.
Untuk lebih memfokuskan penulisan ini, penulis membatasi permasalahan yang dirumuskan ke dalam pertanyaan-pertanyaan berikut ini:
1.      Bagaimana kehidupan partai politik pasca Supersemar?
2.      Bagaimana strategi Golkar menjelang Pemilihan umum 1971?
3.      Bagaimana pelaksanaan dan hasil Pemilihan umum 1971?
4.      Bagaimana dampak dari kemenangan Golkar terhadap pemerintahan Orde Baru?

C.         Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk memaparkan tentang Pemilihan Umum 1971, terutama membahas tentang strategi Golkar sebagai pemenang.
Adapun tujuan-tujuan khususnya antara lain:
1.      Mendeskripsikan kehidupan partai politik pasca Supersemar?
2.      Mendeskripsikan strategi Golkar menjelang Pemilihan umum 1971?
3.      Mendeskripsikan pelaksanaan dan hasil Pemilihan umum 1971?
4.      Mendeskripsikan dampak dari kemenangan Golkar terhadap pemerintahan Orde Baru?



D.         Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan memahami penulisan ini, maka penulis menggunakan sistematika sebagai berikut:
BAB  I  PENDAHULUAN
 Dalam bab ini penulis mengungkapkan latar belakang masalah, mengapa penulis memilih tema ini. Selain itu, bab ini juga memuat rumusan masalah yang bertujuan agar pembahasan dalam makalah ini terfokus terhadap suatu masalah. Bab ini juga memuat tujuan penulisan yang menjelaskan tentang hal-hal yang akan disampaikan untuk menjawab permasalahan yang telah ditentukan. Bagian selanjutnya adalah sistematika penulisan.
BAB II BERLANGSUNGNYA PEMILIHAN UMUM TAHUN 1971
           Bab ini berisi tentang perkembangan partai politik pasca supersemar, strategi Golongan Karya menjelang Pemilu 1971, pelaksanaan dan hasil Pemilihan umum tahun 1971 dan dampak dari kemenangan Golongan Karya terhadap pemerintahan Orde Baru.
BAB  III  KESIMPULAN
Pada bab ini penulis mengemukakan kesimpulan terhadap beberapa permasalahan yang telah diajukan sebelumnya. Hal ini tentunya dilakukan setelah penulis menemukan semua fakta yang ada dengan didukung oleh berbagai literatur yang telah dibaca dan didiskusikan sebelumnya.









BAB II
PEMILIHAN UMUM 1971

A.    Kondisi Politik Pasca Supersemar 1966
Peristiwa G 30 S merupakan peristiwa yang merubah situasi politik Republik Indonesia. Peristiwa yang terjadi pada masa demokrasi terpimpin itu tidak hanya menimbulkan kegoncangan terhadap partai politik khususnya PKI yang mempunyai posisi dominan dalam perpolitikan Indonesia, tetapi juga beruntun dengan kejatuhan kharisma Presiden Soekarno di mata rakyat Indonesia. Pada masa Demokrasi Terpimpin pemimpin PKI D.N Aidit mempunyai posisi yang dekat dengan Presiden Soekarno, terutama atas beberapa dukungan PKI terhadap konsep-konsep Presiden Soekarno tentang Nasakom. D.N Aidit menyatakan bahwa:
Kita menghendaki kerjasama juga sampai sesudah Pemilihan umum, dengan tidak peduli siapa yang akan menang nanti. Dan apa yang kita inginkan ini adalah sesuai dengan semboyan Republik kita “Bhineka Tunggal Ika.” (Departemen Agitprop CC PKI, 1954)
Peristiwa G 30 S membawa situasi perpolitikan kepada kondisi paradoks, dimana PKI yang awalnya mempunyai posisi dominan, setelah peristiwa tersebut berubah drastis karena disebut sebagai dalang peristiwa berdarah itu. Partai itu diganyang dimana-mana, hingga partai tersebut bubar pada 12 Maret 1966. Selain dampak terhadap PKI, peristiwa G 30 S juga perlahan menurunkan pamor Presiden Soekarno yang pada masa itu dekat dengan PKI. Massa menuntut tiga tuntutan yang dikenal dengan TRITURA pada 10 Januari 1966. Tindak lanjut terhadap situasi tersebut berlanjut hingga keluarnya Surat Perintah 11 Maret kepada Mayor Jenderal Soeharto. John Rossa (2008: 5) menyatakan bahwa Soeharto menuduh Partai Komunis Indonesia (PKI) mendalangi G 30 S, dan selanjutnya menyusun rencana pembasmian terhadap orang-orang yang terkait dengan partai itu. Presiden Soekarno yang mempunyai kedekatan dengan PKI tidak luput dari upaya pembasmian tersebut, hingga akhirnya semakin terdesak pada Sidang Umum MPRS tahun 1966 setelah pidato pertanggunggjawabannya (Nawaksara) ditolak MPRS yang diketuai A.H Nasution.
Penolakan pidato pertanggung jawaban Soekarno atas kekacauan politik yang terjadi dalam peristiwa G 30 S semakin mendesak posisi Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia. Titik puncak dari hal tersebut adalah diturunkannya Soekarno sebagai Presiden dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat Presiden melalui Sidang Istimewa MPRS tahun 1967.
Sidang Istimewa MPRS telah memutuskan untuk menarik kembali mandat MPRS dari Presiden Soekarno serta segala kekuasaan pemerintahan negara dari tangannya. Soekarno juga dilarang untuk melakukan kegiatan politik sampai dengan  Pemilihan umum.
(tersedia dalam http://sociopolitica.wordpress.com/2011/03/20/kisah-pertarungan-politik-setelah-surat-perintah-11-maret-1966-4/ diakses pada 30/09/2012).
Pergantian dari Presiden Soekarno kepada pejabat Presiden Soeharto sering disebut sebagai pergantian dari suatu Orde, yakni Orde Lama (masa kepemimpinan Soekarno) kepada Orde Baru (masa kepemimpinan Soeharto). Status Jenderal Soeharto sebagai pejabat Presiden dirubah menjadi Presiden melalui sidang MPRS tahun 1968. Poerwantana (1994: 78) menyatakan bahwa beberapa keputusan penting dari sidang tersebut antara lain:
1.      Tap XLIV/MPRS/68 yang menetapkan Jenderal Soeharto menjadi Presiden RI untuk masa lima tahun (1968-1973)
2.      Tap XLI/MPRS/68 yang menetapkan perlunya dibentuk kabinet Pembangunan dengan tugas pokok melaksanakan program yang disebut panca Krida.
3.      Tap XLII/MPRS/68 yang menetapkan penyelenggaraan Pemilu selambat-lambatnya tanggal 5 Juli 1971.
Ketetapan MPRS tahun 1968 menetapkan Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia, sekaligus dilakukan perombakan kabinet. Presiden Soeharto melakukan pembersihan lembaga tertinggi dan tinggi negara tersebut dari sejumlah anggota yang dianggap terlibat dalam peristiwa G 30 S.  
Pemilihan umum yang pada masa kepemimpinan Presiden Soekarno direncanakan akan dilaksanakan pada tahun 1968, oleh Presiden Soeharto dirubah menjadi tahun 1971 melalui Sidang MPRS tahun 1967 dan ditetapkan pada Tap XLII/MPRS/68 dengan merubah Ketetapan MPRS XI Tahun 1966 yang mengamanatkan agar Pemilu bisa diselenggarakan dalam tahun 1968.  Melalui  keluarnya ketetapan tersebut, Pemilu diundur menjadi tahun 1968. Tanggapan partai-partai terhadap waktu pelaksanaan Pemilu menimbulkan pro kontra, khususnya antara partai islam dengan partai non-islam.
Harapan dan perhitungan tersebut, membuat partai-partai Islam lebih antusias untuk diselenggarakannya suatu Pemilihan umum yang lebih cepat setelah Soekarno jatuh. Sementara sebaliknya, kelompok independen, partai-partai non ideologi Islam dan juga tentara, meskipun sama-sama menghendaki Pemilihan umum, cenderung untuk tidak terburu-buru. Suatu Pemilihan umum yang lebih cepat dan terburu-buru dianggap hanya akan menguntungkan partai-partai ideologistis yang berasal dari struktur politik lama warisan Orde Lama dalam sistim Demokrasi Terpimpin ala Soekarno. (terdapat dalam http://sociopolitica.wordpress.com/2009/10/28/golkar-perjalanan-dari-masa-lampau-ke-titik-nadir-2009-2/ diakses pada 30/09/2012).
Perdebatan tentang waktu pelaksanaan Pemilu akhirnya berakhir setelah Presiden Soeharto melalui Sidang MPRS tahun 1967 menyatakan Pemilu akan dilaksanakan pada tahun 1971. Keputusan tersebut ditetapkan melalui ketetapan MPRS tahun 1968.


B.     Partai Politik Peserta Pemilihan Umum 1971
Kemelut yang terjadi pasca peristiwa G 30 S berimplikasi terhadap kehidupan partai-partai politik di Indonesia. PKI sebagai partai pemenang yang menempati posisi empat pada Pemilihan Umum 1955 dinyatakan dilarang setelah diklaim Soeharto sebagai dalang peristiwa G 30 S. Dengan tidak adanya PKI, partai politik besar peserta Pemilu 1955 yang masih berpartisipasi dalam Pemilihan umum 1971 diantaranya ialah Partai Nasional Indonesia baru (PNI), Nahdlatul Ulama (NU), dan Masyumi yang berubah menjadi Parmusi.
Partai Nasional Indonesia (PNI) pada masa pasca peristiwa G 30 S  sempat mengalami perpecahan dengan terbaginya PNI menjadi dua kubu, yang pertama PNI di bawah Osa-Usep dan PNI di bawah Ali-Surachman. Perpecahan ini berkaitan dengan dukungan terhadap Presiden Soekarno yang setelah peristiwa G 30 S banyak dikaitkan dengan peristiwa tersebut. PNI kubu Osa-Usep lebih bersifat netral dalam masalah yang terjadi terhadap Soekarno, berlainan dengan kubu Ali-Surachman yang tetap memberi dukungan terhadap Soekarno. Massa pendukung Soekarno yang banyak berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur banyak dipertimbangkan oleh kedua kubu dalam mengambil langkah partai. Kelompok Osa-Usep lebih bersifat netral terhadap permasalahan Soekarno, terutama berkaitan dengan strategi Pemilihan umum mendatang. Pada tahun 21 Januari 1967, Sekjen PNI Usep Ranawidjaja SH yang berseberangan dengan kelompok Ali-Surachman menegaskan tak ada hubungan antara PNI dan Presiden Soekarno, karena Soekarno berada di luar PNI             (tersedia dalam http://sociopolitica.wordpress.com/2011/03/16/kisah-pertarungan-politik-setelah-surat-perintah-11-maret-1966-3/ diakses pada 30/09/2012).
Partai politik lain peserta Pemilu 1955 yang berpartisipasi kembali dalam Pemilu 1971 diantaranya NU dan Masyumi yang menjelma menjadi Parmusi. Kedua partai adalah partai Islam yang pada Pemilu 1955 menempati posisi atas perolehan suara. Tokoh-tokoh Masyumi seperti Mohammad Roem dan kawan dalam struktur lama dilarang untuk berpartisipasi dalam Pemilihan umum 1971, sehingga Masyumi baru yang bernama Parmusi tidak banyak diduduki oleh tokoh-tokoh sentral. Tokoh kompromi yang muncul memimpin partai baru Parmusi adalah Mintaredja SH (tersedia dalam http://sociopolitica.wordpress.com/2009/10/28/golkar-perjalanan-dari-masa-lampau-ke-titik-nadir-2009-2/ diakses pada 30/09/2012). Berkaitan dengan dilarangnya Masyumi dan tokoh-tokohnya mengikuti Pemilihan umum hingga berganti nama dan struktur menjadi Parmusi di bawah Mintaredja SH, Ricklefs (2008: 615) menyatakan bahwa:
Pemerintah belum yakin sudah cukup melemahkan partai-partai politik, maka Ali Murtopo ikut campur dalam kompetisi kepemimpinan PNI. Soeharto memaksakan agar kepemimpinan Parmusi berada di tangan orang yang dapat dipercayainya secara politik, H. Mohammed Safaat Mintaredja.
Di luar partai politik alumni Pemilu 1955, Pemilihan umum 1971 diikuti oleh kekuatan politik baru yaitu Golongan Karya (Golkar). Golkar berbeda dengan partai lainnya yang menjadi peserta Pemilu. Golkar diidentifikasikan sebagai pengelompokan yang punya ‘posisi’ dalam UUD 1945 yakni unsur “Golongan-Golongan” dalam Pasal 2 Bab II.
Sejarah Partai Golkar bermula pada tahun 1964 dengan berdirinya Sekber Golkar di masa akhir pemerintahan Presiden Soekarno. Sekber Golkar didirikan oleh Golongan militer, khususnya perwira Angkatan Darat ( seperti Letkol Suhardiman dari SOKSI) menghimpun berpuluh-puluh organisasi pemuda, wanita, sarjana, buruh, tani, dan nelayan dalam Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Organisasi-organisasi yang terhimpun ke dalam Sekber GOLKAR ini kemudian dikelompokkan berdasarkan keKaryaannya ke dalam 7 (tujuh) Kelompok Induk Organisasi (KINO), yaitu:
1.      Koperasi Serbaguna Gotong Royong (KOSGORO)
2.      Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI)
3.      Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR)
4.      Organisasi Profesi
5.      Ormas Pertahanan Keamanan (HANKAM)
6.      Gerakan Karya Rakyat Indonesia (GAKARI)
7.      Gerakan Pembangunan Untuk menghadapi Pemilu 1971,
7 KINO yang merupakan kekuatan inti dari Sekber GOLKAR tersebut, mengeluarkan keputusan bersama pada tanggal 4 Februari 1970 untuk ikut menjadi peserta Pemilu melalui satu nama dan tanda gambar yaitu Golongan Karya (GOLKAR). (tersedia dalam http://www.golkar.or.id/tentang/sejarah diakses pada 30/09/2012).
Golkar pada masa berdirinya tahun 1964 dimaksudkan untuk menjadi fasilitator aspirasi politik Angkatan Darat. Daniel Lev (‘The Political Role of the Army in Indonesia’, Pacific Affairs, 1963) menyatakan bahwa:
“Sesungguhnya, Golkar adalah pembentukan kembali suatu kelompok parlementer yang sudah ada, yakni Sekber Golkar (Sekretariat Bersama Golongan Karya), yang dibentuk pada 1964 di bawah perlindungan Angkatan Darat untuk mengendalikan dan memobilisasi anggota-anggota parlemen yang ditunjuk oleh Presiden Soekarno guna mewakili bermacam-macam ‘Golongan Karya’ dalam masyarakat Indonesia, seperti buruh, tani, pemuda, wanita dan tentara. Selama Demokrasi Terpimpin, Angkatan Darat mendukung fungsionalisme sebagai suatu alat untuk mengesahkan partisipasi politiknya sendiri”. (terdapat dalam http://sociopolitica.wordpress.com/2009/10/30/golkar-perjalanan-dari-masa-lampau-ke-titik-nadir-2009-3/ diakses pada 30/09/2012).
Berpartisipasinya kekuatan baru (Golkar) dalam Pemilu 1971 menambah warna Pemilu bila dibandingkan dengan Pemilu tahun 1955. Struktur partai Golkar yang banyak dipengaruhi oleh Angkatan Darat mempunyai warnanya tersendiri dalam Pemilihan umum serta dalam aspek sosial, ekonomi, politik mendatang.

C.    Strategi Golongan Karya Menghadapi Pemilu Tahun 1971
            Munculnya Golkar pada tahun 1964 merupakan cikal bakal dari adanya Partai Golongan Karya, kemunculan Golkar adalah untuk mendobrak kebekuan dan kegagalan kehidupan social politik di bawah Demokrasi Terpimpin masa Soekarno. Dalam dua kurun waktu sebelumnya, yakni masa Demokrasi Parlementer sesudah Pemilihan Umum 1955 dan masa Demokrasi terpimpin 1959-1965, kekuatan social politik yang ada belum berhasil menjalankan fungsi selaku alat demokrasi yang pas untuk kebutuhan Indonesia. Kepartaian pada dua kurun waktu tersebut menurut Herbert Feith mengikuti aliran, dimana terdapat lima aliran, yaitu tradisi jawa, Islam, nasionalisme radikal, komunisme dan sosial demokrasi.
            Format politik di Indonesia menjelang pemilu tahun 1971 mengalami perubahan, tidak lagi mengacu kepada politik aliran lagi tetapi mengacu kepada sistem politik yang dikehendaki oleh UUD 45. Dalam rangka mempersiapkan diri untuk menghadapi Pemilihan Umum 1971, tercipta momentum bagi Golkar untuk memperbaharui kehidupan politik yang ideologistis menjadi kehidupan politik yang diperbarui dan modern. Penempatan diri sebagai kekuatan pembaharu itu membuat Golkar menjadi menarik bagi kekuatan-kekuatan baru dalam masyarakat kala itu, terutama kalangan cendekiawan di masyarakat serta kalangan intelektual muda yang masih mempunyai ikatan dan basis yang kuat di lingkungan perguruan tinggi. Bersama kalangan militer yang berpikiran pembaharu, sejalan dengan hasil Seminar Angkatan Darat II serta unsure birokrasi yang sudah diperbaharui pula oleh pemerintahan baru Pasca Soekarno, kaum cendekiawan tersebut menjadi bagian yang menopang Golkar sebagai kekuatan politik yang berpotensi melahirkan kehidupan politik yang lebih baik dan bisa diharapkan untuk menegakkan demokrasi.
            Menghadapi pola yang ideologistis, Golkar dengan topangan tiga unsure utamanya, telah mendorong ke depan Pncasila dan UUD 1945 sebagai perangkat dan tema tengan yang bisa diterima oleh mereka yang tidak punya ikatan-ikatan ideologis. Golkar menarik kaum abangan yang membutuhkan perlindungan baru setelah merosotnya PNI, sebagaimana ia juga menarik kalangan beragama Islam yang berpikiran moderat dan tidak ideologistis, serta masyarakat lain yang tidak beragama Islam. Kelompok-kelompok dalam masyarakat yang disebut terakhir ini, selama bertahun-tahun ada dalam kecemasan dan himpitan pertarungan antara kecenderungan komunistis dan kecenderungan fundamental dalam Islam. Terdapat pula kelompok dalam masyarakat yang merasa tertekan oleh kekuasaan totaliter yang tidak demokratis di masa Soekarno, menerima Golkar sebagai alternatif penyelamat.
            Indonesia dibawah pemerintahan Soeharto membuat banyak kebijaksanaan untuk mempermudah laju Golkar untuk memenangkan pemilu tahun 1971
Isu kampanye sangat berpengaruh kepada kemenangan Golkar…Hal ini semakin diperkuat dengan adanya sejumlah kebijaksanaan yang dikeluarkan pemerintah bagi usaha memenangkan Golongan Karya, diantaranya di dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 12/1969 tentang perlu adanya monoloyalitas pegawai negeri kepada pemerintah. Kemudian dipertegas dengan kebijaksanaan tentang pelarangan pegawai negeri ikut dalam salah satu organisasi politik tanpa seijin atasan (Notosusanto, 1993:518)
Sehingga para Pegawai Negeri Sipil tidak berani memihak kepada partai politik lain, jika hal tersebut dilakukan maka sangsi pemecatan akan dikeluarkan.
D.    Pelaksanaan Pemilihan Umum tahun 1971
Ini merupakan pemilihan umum kedua yang dilakukan rakyat Indonesia dan menjadi pemilihan umum pertama yang diadakan pada masa Orde Baru. Pemilihan umum yang diselenggarakan pada tanggal 3 Juli 1971 ini diikuti oleh 10 peserta yang terdiri dari 9 partai politik dan 1 organisasi masyarakat. Ke-9 partai politik tersebut yaitu Partai Nahdlatul Ulama, Partai Muslim Indonesia, Partai Serikat Islam Indonesia, Persatuan Tarbiyah Islamiiah, Partai Nasionalis Indonesia, Partai Kristen Indonesia, Partai Katholik, Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia, Partai Murba. Sedangkan 1 organisasi masyarakat yaitu Sekber Golongan Karya. Lima besar pemenang pemilihan umum tahun 1971 yaitu Golongan Karya, Nahdlatul Ulama, Parmusi, Partai Nasional Indonesia, dan Partai Syarikat Islam Indonesia.
Penyelenggaraan pemilihan umum pada tahun 1971 dimaksudkan untuk memilih anggota DPR. Dengan menganut sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan sistem stelsel daftar, artinya besarnya kekuatan perwakilan organisasi dalam DPR dan DPRD, berimbang dengan besarnya dukungan pemilih karena pemilih memberikan suaranya kepada Organisasi Peserta Pemilu. Sedangkan asas Pemilihan umum tahun 1971 dilaksanakan dengan asas langsung, umum, bebas, dan rahasia (LUBER).
1.      Langsung, artinya bahwa pemilih langsung memberikan suaranya menurut hati nura-ninya, tanpa perantara, dan tanpa tingkatan.
2.    Umum, artinya semua warga negara yang telah memenuhi persyaratan minimal dalam usia, mempunyai hak memilih dan dipilih.
3. Bebas, artinya bahwa setiap pemilih bebas menentukan pilihannya menurut hati nura-ninya, tanpa ada pengaruh, tekanan, paksaan dari siapapun dan dengan cara apapun.
4. Rahasia, artinya bahwa pemilih dalam memberikan suara dijamin tidak akan diketahui oleh siapapun dan dengan cara apapun mengenai siapa yang dipilihnya.
Dasar hukum yang digunakan pada pemilihan umum tahun 1971 adalah :
1. TAP MPRS No. XI/MPRS/1966
2. TAP MPRS No. XLII/MPRS/1966
3. UU Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota Badan Per­musyawaratan / Perwakilan Rakyat
4. UU Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.
Mengenai Badan Penyelenggara Pemilu, dibentuk Lembaga Pemilihan Umum (LPU) yang didasarkan pada Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1970. LPU diketuai oleh Menteri Dalam Negeri yang keanggotaannya terdiri atas Dewan Pimpinan, Dewan Pertimbangan, Sekretariat Umum LPU dan Badan Perbekalan dan Perhubungan. Struktur organisasi penyelenggara di pusat, disebut Panitia Pemilihan Indonesia (PPI), di provinsi disebut Panitia Pemilihan Daerah Tingkat I (PPD I), di kabupaten/kotamadya disebut Panitia Pemilihan Daerah Tingkat II, di kecamatan disebut Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan di desa/kelurahan disebut Panitia Pendaftaran Pemilih (Pantarlih). Untuk melaksanakan pemungutan dan penghitungan suara dibentuk Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Bagi warga negara RI di luar negeri dibentuk Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN), Panitia Pemungutan Suara Luar Negeri (PPSLN), dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri (KPPSLN) yang bersifat sementara (ad­hoc).
Hasil pemilu 1971 tampak mendukung dan memantapkan posisi pemerintah dalam strategi pembangunan politik. Golkar menang mutlak dengan mayoritas suara sebesar 62,8% dari semua pemilih yang syah. Satu-satunya partai yang berhasil bertahan adalah NU yang mendapatkan 18,7% suara. PNI mengalami kekalahan berat dan hanya berhasil memperoleh 6,9% suara. Parmusi yang diperkirakan akan mendapatkan suara dari pendukung Masjumi hanya mendapatkan 5,4% suara. Partai-partai Nasrani pun mengalami kemerosotan hanya mendapatkan 2,4% suara (Alfian, 1992:76)
E.     Dampak Kemenangan Golongan Karya Terhadap Negara
Pemilihan umum pada tahun 1971 adalah fase kedua pemerintahan Orde Baru, pemilu tersebut diikuti oleh 9 partai politik. Diantara parpol juga terdapat suatu golongan yakni Golkar (Golongan Karya), dan Golkar telah membawa episode Baru bagi pemerintahan Presiden Soeharto. Tahun 1971 sampai tahun 1977 memenangkan berbagai “event” yang sangat berarti bagi bangsa Indonesia.
Pada pemilu tahun 1971 Golongan Karya (Golkar) dengan memperoleh 227 kursi ditambah 100 kursi yang diangkat telah menjadi salah satu kunci sukses Presiden Soeharto menjadi orang nomer satu di negeri ini untuk kedua kalinya. Hal tersebut tidak terlepas dari langkah taktis yang dilakukan oleh Presiden Soeharto yang mendapat dukungan kuat dari militer yang waktu itu bisa dikatakan sebagai salah satu “pahlawan” yang memegang peranan penting bagi bangsa Indonesia setelah “kesuksesan” menumpas pergerakan PKI (Partai Komunis Indonesia), terutama yang terkait dengan G 30 S/PKI-nya.
Kemenangan Golkar yang hampir absolut pada pemilu tahun 1971, sebenarnya adalah suatu kemenangan yang hampir tidak pernah terjadi pada suatu negara yang menganut sistem multi partai. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah bagaimana Golkar bisa menjadi partai single majority bahkan berlangsung hingga pemilu tahun1997, Sesuatu yang menurut kami adalah kelebihan dari Presiden Soeharto, yakni langkah-langkah taktisnya dalam kebijakan politik, yang beliau gunakan secara “harmonis” guna mendukung kebijakan-kebijakannya yang lain.
Langkah-langkah politik Presiden Soeharto dalam membangun kekuatan politiknya lebih kuat dan tak tergeser antara lain dengan menjadikan Golkar sebagai soko guru penyangganya. Hal-hal yang dilakukannya antara lain :
  1. Memasukkan unsur militer dalam Golkar baik personal maupun sistem, yakni sistem partai yang mirip dengan sistem militer. Hal ini dilakukan karena basis Presiden Soeharto sendiri yang berasal dari militer dan pengaruhnya yang kuat dari militer itu sendiri, sehingga lebih memudahkan Presiden Soeharto dalam mendoktrin sebuah kebijakan
  2. Selain basis militer, Golkar juga mempunyai basis lain yakni para pegawai negeri, dengan diwajibkannya para pegawai negeri tersebut masuk KORPRI semakin memudahkan Presiden Soeharto menggiring para pegawai negerinya ke Golkar dan membatasi gerak pegawai negeri dalam pentas politik sehingga mereka hanya berfungsi sebagai “robot” penghasil suara bagi Golkar.
  3. Kebijakan politik yang membatasi gerak partai seperti adanya konsepsi massa mengambang, yakni salah satu contohnya adalah adanya larangan melakukan kegiatan kepartaian bagi partai selain Golkar.            
a.      Segitiga Kekuatan Politik Orde Baru
Suksesi Pak Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia periode 1971-1977 serta berbagai kebijakannya, tidak terlepas dari berbagai elemen pendukung kedudukannya. Dalam pemerintahan Orde Baru dikenal segitiga kekuatan politik Orde Baru yang terbentuk sejak tahun 1968 yakni: Militer, Golkar dan Tekhnokrat yang kekuatannya semakin jelas ketika partai-partai lain diharuskan melakukan fusi pada tahun 1973.
Militer adalah salah satu dan bisa dikatakan sebagai senjata ampuh yang krusial bagi kepemimpinan Soeharto. Militer bertindak sebagai stabilisator dan dinamisator sangat diharapkan untuk menunjang kesuksesan program dari kalangan Tekhnokrat dalam rangka pembangunan ekonomi, maupun program pemerintah yang lain seperti dalam bidang politik. Dominasi militer ini terlihat jelas dalam berbagai jabatan pemerintahan. Keberadaan militer sebagai salah satu kekuatan politik utama pada masa Orde Baru, sangat berpengaruh terhadap pendidikan politik masyarakat. Sehingga pendidikan politik yang dapat diserap oleh masyarakat salah, pendidikan yang mengacu pada pola establisment penguasa dan masyarakat hanya dipolakan pada kondisi pasif (Lailatul Izza 1995 : 35).
Golkar sebagai salah satu elemen dalam percaturan politik di Indonesia mempunyai fungsi yang vital terutama dalam mensukseskan gagasan-gagasan Presiden Soeharto di Dewan. Kemenangan Golkar yang hampir selalu mutlak dalam pemilu menjadikan posisi Golkar tak tersentuh oleh partai lain. Hal-hal di atas tidak terlepas dari permainan kebijakan Presiden Soeharto dengan membatasi gerak partai politik. Selain kebijakan konsepsi massa mengambang yang disusul dengan pengharusan fusi bagi partai-partai yang ada pada tahun 1973 semakin menguntungkan Golkar karena fusi yang dibentuk PPP dan PDI malah semakin membuat gerak kedua partai tersebut tersendat mengingat banyak masalah intern akibat dilakukaknya fusi dan Golkar melenggang semakin kuat.
Penyangga ketiga dari Orde Baru adalah para tekhnokrat. Tidak terlepas dari peranan militer yang labil menaruh kepercayaan kepada golongan Tekhnokrat untuk membuat kebijakan nasional, yang dipandang lebih mempunyai keahlian dan pengalaman dalam pembangunan (Lailatul Izza 1995: 29) dan para tekhnokrat ini adalah orang-orang pilihan Presiden, sehingga dengan mudah Presiden menjadi penentu segala kebijakan. Ketiga elemen tersebut saling terkait dan mendukung kepemimpinan Presiden Soeharto.
b.      Pengaruh Terhadap Sosial-Ekonomi
Periode antara tahun 1971-1977 merangkum dua program kerja pembangunan Orde Baru yakni REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun). Yakni PELITA I, antara 1 April 1969-31 Maret 1974 dan Program PELITA II yang dimulai pada tanggal 1 April 1974-1 April 1979. PELITA di atas adalah program rencana pembangunan yang berkelanjutan dari Orde Baru yang tiap pelita mempunyai fokus tersendiri dalam tiap tahapnya. Kebijakan pembangunan dalam setiap PELITA didasarkan atas pola umum pembangunan jangka panjang. Tujuan pembangunan dalam setiap PELITA adalah sama, yakni : pertanian. Ialah meningkatkan penghasilan produsen pertanian, sehingga mereka terangsang untuk membeli barang-barang keperluan sehari-hari yang dihasilkan oleh sektor industri. Perkembangan sektor industri akan menyebabkan pola penghematan devisa disamping dapat meramping tenaga kerja yang cukup banyak ( Marwati Djoened Poesponegoro dkk, 1993 : 443 ).
Dalam bidang politik pertahanan juga merangkum berbagai peristiwa politik baik dalam negeri maupun luar negeri, dalam percaturan politik misalnya terjadi pemfusian partai-partai yang ada pada waktu itu. Yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang didominasi oleh golongan Islam dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang umumnya beranggotakan golongan nasionalis dan Kristen. Presiden Soeharto yang memonopoli suara di dewan, dengan mengangkat 600 dari 1000 anggota MPR dan dalam DPR Presiden Soeharto mengangkat 100 orang sedang 400 orang anggota dewan yang lain umumnya didominasi oleh Golkar.
Dalam percaturan politik luar negeri Indonesia (Orde Baru) juga menjadi fungsi dan peran yang cukup penting seperti menjadi tuan rumah KTT ASEAN yang berlangsung di Bali 1977 dan bergabungnya Timor Timor menjadi Propinsi ke-27 Indonesia pada tahun 1974.
Presiden Soeharto berusaha memusatkan perhatiannya ke dalam negeri dan menjauhkan Indonesia dari mata dunia Internasional (Jeffry A. Winter, 1999: VIII), memang pendapat tidak sepenuhnya Presiden Soeharto menjauhkan Indonesia dari mata dunia internasional, itu dapat kita lihat dari beberapa perannya dalam KTT ASEAN, namun pendapat Winter di atas juga ada benarnya terutama pada masa 1971-1977 dimana pada masa ini dapat dikatakan sebagai masa tindak lanjut dari pimpinan Orde Baru yang dimulai sejak pengangkatan Presiden Soeharto tahun 1967 sebagai hasil pemilu.
Pemerintahan Orde Baru antara tahun 1971-1977 bisa di katakan sebagai fase penting Orde Baru dalam mengokohkan posisinya terutama dalam percaturan politik dalam negeri. Dengan politik harmoninya yakni pembangunan ekonomi yang diimbangi dengan penataan kondisi sosial politik yang kondusif. Hal inilah yang menurut kami salah satu kunci keberhasilan pembuatan kebijakan-kebijakan Orde Baru  Presiden Soeharto- meskipun terkadang hal itu mengekang tumbuhnya kebebasan berdemokrasi.







BAB III
KESIMPULAN
            Sejatinya Pemilu 1971 merupakan kenyataan bahwa pemerintah Orde Baru berhasil member kesempatan bagi masyarakat mengemukakan aspirasi dan kehendak mereka. Namun dibalik kesuksesan tersebut muncul kekhawatiran pemerintah terhadap kemungkinan munculnya kembali tingkah laku politik yang bebas (liberal) secara tak terbatas. Hal ini diantisipasi oleh pemerintah dengan usaha-usaha untuk menjinakkan partai-partai politik, antara lain menghalang-halangi mereka yang dianggap keras atau radikal duduk dalam pemerintahan.
            Sejak dari permulaan Orde Baru, ide Pemilihan Umum nasional mendapat dukungan dari berbagai sumber. “Dalam Pemilihan Umum ini para pemimpin partai melihat kesempatan untuk memperbaiki kedudukan mereka sebagai wakil rakyat dan membuat parlemen sekali lagi menjadi lembaga pemeritahan yang utama. Dalam pada itu, beberapa kelompok mahasiswa dan kekuatan-kekuatan lain yang pro Orde Baru, baik sipil maupun militer, ingin memanfaatkan kepartaian secara menyeluruh. Tetapi, demikian lebih jauh diuraikan, bagi Presiden Soeharto dan orang-orang yang sangat dekat dengannya, Pemilihan Umum tidaklah dimaksudkan untuk mengacaukan sistem politik -dengan membiarkan partai-partai bersaing untuk memperoleh dukungan rakyat seperti pada 1955, atau dengan menciptakan saluran-saluran komunikasi baru antara elite dan massa- melainkan untuk menyelamatkan kendali kekuasaan parlemen MPR, dan lembaga-lembaga legislatif daerah yang tidak dapat ditentang.
            Untuk tujuan ini, diciptakanah sebuah organisasi politik baru, Golkar (Golongan Karya), di bawah pimpinan Jenderal Soemitro, Amir Moertono dan Darjatmo dari Departemen Pertahanan. Juga Mayor Jenderal Amir Mahmud dari Departemen Dalam Negeri (dengan tanggung jawab atas pegawai negeri daerah) dan Brigadir Jenderal Ali Moertopo, asisten pribadi Presiden Soeharto, yang sangat berpengalaman dalam operasi politik dan pengendalian partai-partai politik.
DAFTAR PUSTAKA

Alfian. (1992). Pemikiran dan perubahan politik Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.
Poerwantana, P. K. (1994). Partai Politik Di Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Poesponegoro, M & Notosusanto, N. Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI. Jakarta: Balai Pustaka.
Ricklefs, M. C. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi.
Roosa, John. (2008). Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto. Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra.

Sumber Internet:
[Online]      Tersedia di
[30 September 2012]
[30 September 2012]
                   [30 September 2012]
[30 September 2012]
[Online]      Tersedia di http://www.golkar.or.id/tentang/sejarah
[30 September 2012]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar