Jumat, 27 Desember 2013

Makalah Otonomi Daerah


BAB 1
PENDAHULUAN

A.                Latar Belakang Masalah
Otonomi daerah menjadi sesuatu yang disakralkan pasca Reformasi 1998, banyaknya perdebatan seputar otonomi daerah sebagai manifestasi dari desentralisasi kekuasaan pemerintahan mendorong Pemerintah untuk secara sungguhsungguh merealisasikan konsep otonomi daerah secara jujur, penuh kerelaan dan konsekuen mengingat wacana dan konsep otonomi daerah memiliki sejarah yang sangat panjang seiring berdirinya Republik ini. Menurut aspek yuridis formal, sejak pertama kali muncul dalam UU No. 1 tahun 1945 sampai dengan UU No. 5 tahun 1974, semangat otonomi daerah sudah kelihatan dan menjadi dasar hukum pelaksanaan pemerintahan di daerah. Hanya saja semangat para penyelenggara pemerintahan masih jauh dari idealisme konsep otonomi daerah itu sendiri. Bahasa yang digunakan juga belum seringkas dan selugas otonomi daerah, masih seputar bagaimana mengatur urusan rumah tangga (Marbun, 2005:45).
Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik yang terdiri dari provinsi-provinsi dan kabupaten/kota yang merupakan daerah otonom dan memiliki hak otonomi daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Hak otonomi bukan berarti untuk memecah daerah-daerah yang ada di Indonesia melainkan untuk lebih memajukan daerah dengan melibatkan peran aktif masyarakat daerah, peran aktif masyarakat di daerah dapat dilakukan dengan cara pemberian otonomi tersebut. Otonomi daerah merupakan salah satu kebijakan pengembangan wilayah yang mencoba merubah sistem sentralistik menjadi desentralistik. Melalui kebijakan ini, diharapkan dapat mempercepat proses pembangunan pada tingkat lokal, memberi ruang gerak pada bidang politik, pengelolaan keuangan daerah dan efisiensi pemanfaatan sumber daya daerah untuk kepentingan masyarakat lokal, sehingga muncul formulasi dan model pembangunan daerah yang efisien dan terdesentralisasi.
Sejak tahun 1945 sampai era Orde Baru, pemerintahan bersifat sentral dan di era Reformasi ini diganti dengan asas desentralisasi atau otonomi yang pertama kali diturunkan berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan  UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang kemudian dilanjutkan dengan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Pemerintah pusat memberikan keleluasaan kepada masyarakatnya untuk mengelola dan memanajemen potensi yang dimiliki masing-masing daerah yang diwadahi oleh pemerintah daerah. Bagian Penjelasan Umum Undang-undang No. 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa:
Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan Pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Hal tersebut telah jelas bahwa pemberian otonomi kepada daerah pada intinya adalah untuk memberikan keleluasaan daerah dalam menyelenggarakan urusan Pemerintahan yang tumbuh, hidup, dan berkembang di daerah demi terciptanya peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, pegembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta keserasian hubungan antara pusat dan daerah sesuai dengan prakarsa dan aspirasi masyarakat di daerah. Sungguhpun demikian, selama kurun waktu hampir satu dasa warsa pelaksanaan otonomi daerah pasca Reformasi 1998, masih saja ditemui kesenjangan posisi, kewenangan dan tanggung jawab serta implementasi dari regulasiregulasi yang telah ditetapkan.
  Dalam perkembangannya, konsepsi mengenai otonomi daerah yang pada dasarnya merupakan sistem Pemerintahan desentralisasi atau tidak dari pusat sering terjadi kesalahpahaman dalam menjalankannya. Apakah hal tersebut dikarenakan masih minimnya pengetahuan mengenai konsep desentralisasi, atau mungkin karena kurang siapnya baik itu masyarakat atau pemimpin daerah dalam menjalankan proses otonomi daerah. Berangkat dari kenyataankenyataan tersebut, tulisan ini berusaha untuk menelaah kembali makna otonomi daerah, baik sebagai sebuah konsep maupun sebagai sebuah sistem yang dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang yang berlaku. Hal inilah yang menjadi ketertarikan penulis untuk mengkaji lebih dalam mengenai hal tersebut, dengan mengangkat judul “Otonomi Daerah di Indonesia Pada Masa Reformasi”.

B.                Rumusan dan Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, terdapat beberapa permasalahan yang akan menjadi kajian dalam penulisan makalah ini. Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam tulisan ini adalah “Bagaimana Pelaksanaan Otonomi Daerah pada Masa Reformasi?”. Untuk memudahkan dan mengarahkan dalam pembahasan, penulis mengidentifikasi beberapa permasalahan dalam beberapa bentuk pertanyaan sebagai berikut :
1.        Bagaimana latar belakang munculnya Otonomi Daerah?
2.        Bagaimana implikasi kebijakan otonomi daerah di bidang politik, ekonomi dan pendidikan pada masa Reformasi?
3.        Bagaimana permasalahan dan upaya mengatasi masalah yang terjadi dalam otonomi daerah pada masa Reformasi?

C.                Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan dari penulisan makalah ini memiliki tujuan umum dan tujuan khusus. Adapun yang menjadi tujuan umumnya yaitu bermaksud untuk memperoleh informasi mengenai pelaksanaan otonomi daerah pada masa Reformasi. Sedangkan tujuan khusus dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1.        Untuk mengetahui latar belakang munculnya Otonomi Daerah.
2.        Untuk mengidentifikasi implikasi kebijakan otonomi daerah di bidang politik, ekonomi dan pendidikan pada masa Reformasi.
3.        Untuk menganalisis permasalahan dan upaya mengatasi masalah yang terjadi dalam otonomi daerah pada masa Reformasi.
D.                Manfaat Penulisan
Dengan adanya penulisan karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik bagi penulis maupun yang membacanya. Bagi penulis sendiri sebagai sarana untuk memperluas ilmu, wawasan serta pengalaman dalam melakukan suatu penulisan. Selain itu juga dapat digunakan sebagai landasan awal untuk penulisan selanjutnya. Bagi pembaca dapat memberikan informasi mengenai otonomi daerah yang terjadi di indonesia baik dalam bidang politik, ekonomi maupun pendidikan pada masa era Reformasi. Bagi Jurusan Pendidikan Sejarah, dapat memperkaya referensi tentang penulisan sejarah. Dan lebih luasnya bagi Universitas Pendidikan Indonesia, sebagai pelengkap dalam memperkaya khasanah keilmuan dan melengkapi kepustakaan karya tulis ilmiah.

E.                Metode dan Teknik Penulisan
Metode yang digunakan adalah metode historis. Metode sejarah menurut Gottschalk (1985: 32) adalah proses kritis rekaman dan peninggalan masa lampau. istiwa-peristiwa yang sejarah berdasarkan informasi lisan melalui tokoh-tokoh yang berhubungan dengan suatu perisr=tiwa sejarahMetodologi sejarah merupakan suatu keseluruhan metode-metode, prosedur, konsep kerja, aturan-aturan dan teknik yang sistematis yang digunakan oleh para penulis sejarah atau sejarawan dalam mengungkapkan peristiwa sejarah. Dalam metodologi penelitian sejarah, terdapat beberapa tahapan diantaranya: pertama, heuristik yaitu merupakan tahap awal dalam penulisan sejarah seperti mencari, menemukan dan mengumpulkan fakta-fakta atau sumber-sumber. Kedua, kritik yaitu suatu proses menyelidiki serta menilai secara kritis terhadap sumber data yang diperoleh, penilaian terhadap sumber-sumber itu meliputi dua aspek yakni kritik intern dan kritik ekstern. Ketiga, interpretasi yaitu penafsiran terhadap fakta-fakta sejarah aufassung. Tahap keempat, historiografi yaitu pelukisan sejarah, gambaran sejarah tentang peristiwa yang terjadi pada masa lampau yang disusun berdasarkan hasil penelitian dan disusun menjadi satu kesatuan yang utuh.
Adapun teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah dengan studi kepustakaan, sebagai langkah awal penulis mengumpulkan sumber-sumber yang sesuai dengan fokus kajian penelitian yang diperoleh dari berbagai sumber atau literatur. Baik dari buku, internet, dan berbagai sumber lainnya yang relevan dengan topik kajian yang dibahas, sehingga diharapkan bisa memperkaya isi dari karya ilmiah ini. Setelah itu penulis menganalisis setiap sumber yang diperoleh dengan membandingkan antara sumber yang satu dengan sumber yang lain, sehingga diperoleh data-data yang penulis anggap otentik, kemudian data-data tersebut penulis paparkan dalam bentuk karangan deskriptif-naratif berupa penulisan makalah ini.

F.                 Sistematika Penulisan
Bab I Pendahuluan, pada bab ini penulis berusaha untuk memaparkan dan menjelaskan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah yang terbagi menjadi beberapa permasalahan dan pembatasan masalah guna memfokuskan kajian penulisan sesuai dengan permasalahan utama, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode dan tekhnik penelitian serta sistematika penulisan.
Bab II Tinjauan Kepustakaan, disini akan dijabarkan mengenai konsep-konsep atau teori-teori yang terdapat dalam permasalahan yang dikaji, yang berisi mengenai suatu pengarahan dan penjelasan mengenai topik permasalahan yang penulis angkat dengan mengacu pada suatu tinjauan pustaka melalui suatu metode studi kepustakaan, sehingga dapat memperjelas isi pembahasan yang penulis uraikan berdasarkan data-data temuan yang didapatkan.
Bab III Pembahasan/Isi, yaitu membahas mengenai bab hasil penulisan tentang “Otonomi Daerah Pada Masa Reformasi Di Indonesia”. Pembahasan bab ini dikembangkan menjadi beberapa sub pokok bahasan, yaitu pertama, mengenai latar belakang otonomi daerah. Kedua, mengenai implikasi kebijakan otonomi daerah dalam bidang politik, ekonomi dan pendidikan. Ketiga, mengenai permasalahan yang timbul dalam otonomi daerah dan cara penyelesaiannya.
Bab IV Penutup, berisi mengenai kesimpulan dari pembahasan pada bab isi dan hasil analisis yang penulis lakukan merupakan kesimpulan secara menyeluruh yang menggambarkan mengenai Otonomi Daerah Pada Masa Reformasi Di Indonesia, sesuai dengan rumusan masalah yang penulis ajukan dalam penulisan karya ilmiah ini.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.                HAKIKAT OTONOMI DAERAH
Otonomi atau autonomy berasal dari bahasa Yunani, autos yang berarti sendiri dan nomous yang berarti hukum atau peraturan. Dengan demikian, otonomi pada dasarnya memuat makna kebebasan dan kemandirian. Otonomi daerah berarti kebebasan dan kemandirian daerah dalam menentukan langkah-langkah sendiri (Widarta, 2001:2).
Sarundajang (1999:35) menyatakan bahwa otonomi daerah pada hakekatnya adalah:
1.      Hak mengurus rumah tangga sendiri bagi suatu daerah otonom. Hak tersebut bersumber dari wewenang pangkal dan urusan-urusan Pemerintah (pusat) yang diserahkan kepada daerah. Istilah sendiri dalam hak mengatur dan mengurus rumah tangga merupakan inti keotonomian suatu daerah;
2.      Dalam kebebasan menjalankan hak mengurus dan mengatur rumah tangga sendiri, daerah tidak dapat menjalankan hak dan wewenang otonominya itu diluar batas-batas wilayah daerahnya;
3.      Daerah tidak boleh mencampuri hak mengatur dan mengurus rumah tangga daerah lain sesuai dengan wewenang pangkal dan urusan yang diserahkan kepadanya;
4.      Otonomi tidak membawahi otonomi daerah lain, hak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri tidak merupakan hak mengatur dan mengurus rumah tangga daerah lain.
Dalam menyelenggarakan Pemerintahannnya dianut tiga asas yaitu:
1.      Desentralisasi adalah penyerahan wewenang Pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan Pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2.      Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang Pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.
3.      Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari Pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari Pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu
menurut Muslimin bahwa otonomi diartikan sebagai Pemerintahan sendiri. Sedangkan pengertian otonomi daerah menurut Fernandez adalah pemberian hak, wewenang, dan kewajiban kepada daerah yang memungkinkan daerah tersebut dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan Pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan (Salam, 2004:89).
Otonomi Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sedangkan daerah otonom selanjutnya disebut daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

B.                 ASAS-ASAS PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH
Dalam pelaksanaan otonomi, dikenal tiga bentuk asas dalam penyelenggaraan Pemerintahan daerah yakni :
1.         Asas Desentralisasi
a.)    Menurut Rondinelli, desentralisasi merupakan sebagai transfer tanggng jawab dalam perencanaan, manajemen dan alokasi sumber-sumber dari Pemerintah pusat dan agen-agennya kepada unit kementerian Pemerintah pusat, unit yang ada di bawah level Pemerintah, otoritas atau korporasi publik semi otonom, otoritas regional atau fungsional dalam wilayah yang luas, atau lembaga privat non Pemerintah dan organisasi nirlaba (Rosyada, 2005:150).
b.)    Menurut M. Turner dan D. Hulme berpandangan bahwa yang dimaksud dengan desentralisasi adalah transfer kewenangan untuk menyelenggarakan beberapa pelayanan kepada publik dari seseorang atau agen Pemerintah pustaa kepada beberapa individu atau agen lain yang lebih dekat ke publik yang dilayani (Rosyada, 2005:151).

Dari pemaknaan asas desentralisasi tersebut dapat diklasifikasi dalam beberapa hal, diantaranya: (1) desentralisasi sebagai penyerahan kewenangan dan kekuasaan; (2) desentralisasi sebagai pelimpahan kekuasaan dan kewenangan; (3) desentralisasi sebagai pembagian, penyebaran, pemencaran, dan pemberian kekuasaan dan kewenangan; serta (4) desentralisasi sebagai sarana dalam pembagian dan pembentukan daerah Pemerintahan.

2.                  Asas Dekonsentrasi
Menurut Laica Marzuki, dekonsentrasi merupakan ambtelijke decentralisastie atau delegatie van bevoegdheid, yakni pelimpahan kewenangan dari alat perlengkapan Negara di pusat kepada instansi bawahan, guna melaksanakan pekerjaan tertentu dalam penyelenggaraan Pemerintahan. Pemerintah pusat tidak kehilangan kewenangannya karena instansi bawahan melaksanakan tugas atas nama Pemerintah pusat.
Sedangkan menurut Bagir Manan, dekonsentrasi hanya bersangkutan dengan penyelenggaraan administrasi negara, karena itu bersifat kepegawaian (ambtelijk). Kehadiran dekonsentarsi semata-mata untuk ”melancarkan” penyelenggaraan Pemerintahan sentral di daerah. Penerapan asas dekonsentrasi dalam penyelenggaraan Pemerintahan mendapat legitimasi yang kuat, mengingat keberadaannya telah diatur di dalam Pasal 1 ayat (8) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, yang berbunyi “Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayahnya. (UU No. 32 Tahun 2004, ps 1 ayat 8).


3.                  Asas Tugas Pembantuan
Daerah otonom selain melaksanakan asas desentralisasi juga dapat diserahi kewenangan untuk melaksanakan tugas pembantuan (medebewind). Tugas pembantuan dalam Pemerintahan daerah adalah tugas untuk ikut melaksanakan peraturan perundang-undangan bukan saja yang ditetapkan oleh Pemerintah pusat akan tetapi juga yang ditetapkan oleh Pemerintah daerah tingkat atasnya.
Menurut Irawan Soejito (1981: 117), tugas pembantuan itu dapat berupa tindakan mengatur (tugas legislatif) atau dapat pula berupa tugas eksekutif (beschikken). Daerah yang mendapat tugas pembantuan diwajibkan untuk mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskan. Amrah Muslim menafsirkan tugas pembantuan (medebewind) adalah kewenangan Pemerintah daerah menjalankan sendiri aturan-aturan dari Pemerintah pusat atau Pemerintah daerah yang lebih tinggi tingkatannya. Daerah terikat melaksanakan peraturan perundang-undangan termasuk yang diperintahkan atau diminta (vorderen) dalam rangka tugas pembantuan. Tugas pembantuan dalam hal-hal tertentu dapat dijadikan semacam “terminal” menuju penyerahan penuh suatu urusan kepada daerah atau tugas pembantuan merupakan tahap awal sebagai persiapan menuju kepada penyerahan penuh.

C.                LANDASAN OTONOMI DAERAH
Dari sisi sejarah perkembangan penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah telah dihadirkan berbagai Peraturan Perundangan yang mengatur penyelengaraan mengenai Pemerintahan Daerah antara lain:
1.         UU No. 1 tahun 1945. Kebijakan Otonomi daerah pada masa ini lebih menitikberatkan pada dekonsentrasi. Kepala daerah hanyalah kepanjangan tangan Pemerintahan Pusat.
2.         UU No. 22 tahun 1948. Mulai tahun ini Kebijakan otonomi daerah lebih menitikberatkan pada desentralisasi. Tetapi masih ada dualisme peran di kepala daerah, di satu sisi ia punya peran besar untuk daerah, tapi juga masih menjadi alat Pemerintah pusat.
3.         UU No. 1 tahun 1957. Kebijakan otonomi daerah pada masa ini masih bersifat dualisme, di mana kepala daerah bertanggung jawab penuh pada DPRD, tetapi juga masih alat Pemerintah pusat.
4.         Penetapan Presiden No.6 tahun 1959. Pada masa ini kebijakan otonomi daerah lebih menekankan dekonsentrasi. Melalui penpres ini kepala daerah diangkat oleh Pemerintah pusat terutama dari kalangan pamong praja.
5.         UU No. 18 tahun 1965. Kebijakan otonomi daerah menitikberatkan pada desentralisasi dengan memberikan otonomi yang seluas-luasnya bagi daerah, sedangkan dekonsentrasi diterapkan hanya sebagai pelengkap saja.
6.         UU No. 5 tahun 1974. Setelah terjadinya G.30.S PKI pada dasarnya telah terjadi kevakuman dalam pengaturan penyelenggaraan Pemerintahan di daerah sampai dengan dikeluarkanya UU NO. 5 tahun 1974 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas perbantuan.
7.         UU No. 22 tahun 1999. Pemerintah daerah sebagai titik sentral dalam penyelenggaraan Pemerintahan dan pembangunan dengan mengedepankan otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.

Seiring dengan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945, kebijakan tentang Pemerintahan Daerah mengalami perubahan yang cukup mendasar. Perubahan dilatarbelakangi oleh kehendak untuk menampung semangat otonomi daerah dalam memperjuangkan kesejahteraan masyarakat daerah. Otonomi daerah memberi keleluasaan kepada daerah mengurus urusan rumah tangganya sendiri secara demokratis dan bertanggung jawab dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada masa reformasi diberlakukannya UU no. 22 dan 29 tahun 1999 tentang otonomi daerah. Dengan berbagai macam perubahan dan kebutuhan, UU tersebut akhirnya direvisi menjadi UU no. 32 dan 33 tahun 2004 Pemerintah daerah diberikan wewenang untuk mengatur segala urusan rumah tangganya masing-masing. Tuntutan bagi Pemerintah daerah untuk mengembangkan potensi yang dimiliki dengan menjalankan roda Pemerintahan yang efektif dan efisien sesuai dengan kemampuan masing-masing daerah.
BAB III
PARADIGMA BARU OTONOMI DAERAH DAN IMPLIKASINYA

A.                Latar Belakang Otonomi Daerah

Kebijakan otonomi daerah lahir ditengah gejolak tuntutan berbagai daerah terhadap berbagai kewenangan yang selama 20 tahun Pemerintahan Orde Baru menjalankan mesin sentralistiknya. UU No. 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian disusul dengan UU No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa menjadi tiang utama tegaknya sentralisasi kekuasaan Orde Baru. Semua mesin partisipasi dan prakarsa yang sebelumnya tumbuh sebelum Orde Baru berkuasa, secara perlahan dilumpuhkan dibawah kontrol kekuasaan. Stabilitas politik demi kelangsungan investasi ekonomi (pertumbuhan) menjadi alasan pertama bagi Orde Baru untuk mematahkan setiap gerak prakarsa yang tumbuh dari rakyat. Paling tidak ada dua faktor yang berperan kuat dalam mendorong lahirnya kebijakan otonomi daerah berupa UU No. 22/1999. Pertama, faktor internal yang didorong oleh berbagai protes atas kebijakan politik sentralisme di masa lalu. Kedua, adalah faktor eksternal yang dipengaruhi oleh dorongan internasional terhadap kepentingan investasi terutama untuk efisiensi dari biaya investasi yang tinggi sebagai akibat korupsi dan rantai birokrasi yang panjang.
Selama lima tahun pelaksanaan UU No. 22 tahun 1999, otonomi daerah telah menjadi kebutuhan politik yang penting untuk memajukan kehidupan demokrasi. Bukan hanya kenyataan bahwa masyarakat Indonesia sangat heterogen dari segi perkembangan politiknya, namun juga otonomi sudah menjadi alas bagi tumbuhnya dinamika politik yang diharapkan akan mendorong lahirnya prakarsa dan keadilan. Walaupun ada upaya kritis bahwa otonomi daerah tetap dipahami sebagai jalan lurus bagi eksploitasi dan investasi, namun sebagai upaya membangun prakarsa ditengah-tengah surutnya kemauan baik (good will) penguasa, maka otonomi daerah dapat menjadi jalan alternatif bagi tumbuhnya harapan bagi kemajuan daerah.

Pada saat rakyat Indonesia disibukkan dengan pelaksanakan Pemilu 2004, Departemen Dalam Negeri (Depdagri) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melakukan revisi terhadap UU No. 22 tahun 1999. Dilihat dari proses penyusunan revisi, paling tidak ada dua cacat yang dibawa oleh UU yang baru (UU No. 32 tahun 2004) yakni, proses penyusunan yang tergesa-gesa dan tertutup ditengah-tengah rakyat sedang melakukan hajatan besar pemilu. Padahal UU otonomi daerah adalah kebijakan yang sangat penting dan menyangkut tentang kualitas pelaksanaan partisipasi rakyat dan pelembagaan demokrasi. Kedua, UU tersebut disusun oleh DPR hasil pemilu 2004 dimana pada waktu penyusunan revisi tersebut anggota DPR sudah mau demisioner. Tanggal 29 September 2004 bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan anggota DPR periode 1999-2004, Sidang Paripurna DPR menyetujui rancangan perubahan (revisi) terhadap UU No. 22 tahun 1999 menjadi UU No. 32 tahun 2004. Tanggal 1 Oktober anggota DPR baru hasil pemilu 2004 dilantik. Secara de facto DPR pemilu 1999 sudah kehilangan relevansinya untuk menyusun dan mengagendakan pembahasan kebijakan yang sangat krusial.
Tibalah saatnya Pemerintahan diuji kesungguhannya untuk menjalankan amanat politik rakyat, termasuk komitmennya mengenai pelaksanaan desentralisasi. Pasang surut desentralisasi yang diwarnai dengan tarik ulur kepentingan pusat dan daerah harus segera digantikan dengan penciptaan sistem Pemerintahan di tingkat lokal yang demokratis.  Sehubungan dengan itu, maka diperlukan upaya yang sistematis untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan desentralisasi yang berlangsung selama ini. Dibutuhkan indikator desentralisasi yang membuka ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas politik di tingkat lokal (political equality), mengedepankan pelayanan kepada kepentingan publik (local accountability), dan meningkatkan akselerasi pembangunan sosial ekonomi yang berbasis pada kebutuhan masyarakat setempat (local responsibility). Selain harus tercermin dalam produk kebijakan, indikator-indikator itu juga harus terimplementasi dalam praktek desentralisasi yang dijalankan oleh Pemerintahan lokal.
B.                 Implikasi Kebijakan Otonomi Daerah di bidang Politik, Ekonomi dan Pendidikan
Implementasi otonomi daerah telah memasuki era baru setelah Pemerintah dan DPR sepakat untuk mengesahkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Sejalan dengan diberlakukannya undang-undang otonomi tersebut memberikan kewenangan penyelenggaraan Pemerintah daerah yang lebih luas, nyata dan bertanggung jawab. Adanya perimbangan tugas fungsi dan peran antara Pemerintah pusat dan Pemerintah daerah tersebut menyebabkan masing-masing daerah harus memiliki penghasilan yang cukup, daerah harus memiliki sumber pembiayaan yang memadai untuk memikul tanggung jawab penyelenggaraan Pemerintahan daerah. Dengan demikian diharapkan masing-masing daerah akan dapat lebih maju, mandiri, sejahtera dan kompetitif di dalam pelaksanaan Pemerintahan maupun pembangunan daerahnya masing-masing. Adapun implikasi otonomi daerah dalam beberapa bidang yaitu sebagai berikut :
1.         Bidang Politik
Kebijaksanaan otonomi daerah yang baru membawa implikasi yang luas diantaranya terhadap pembinaan birokrasi di daerah, sekalipun segala sesuatu yang menyangkut masalah kepegawaian masih tetap menggunakan peraturan perundangan yang sudah ada, yaitu Undang-Undang Pokok Kepegawaian. Hal ini dinyatakan dengan tegas dalam pasal 75 UU no.22 tahun 1999 yang menyatakan “ Norma, standar dan prosedur mengenai pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, gaji,  tunjangan, kesejahteraan, hak dan kewajiban, serta kedudukan hukum pegawai negeri sipil daerah, ditetapkan dengan perundang-undangan.
Akan tetapi daerah mempunyai wewenang yang luas, khususnya propinsi, kabupaten, dan kota untuk membuat perencanaan kepegawaian yang sesuai dengan kebutuhan pada waktu tertentu. Demikian pula daerah mempunyai kewenangan untuk melakukan pembinaan, pendidikan dan latihan bagi aparat penyelenggara pemerintah daerah. Hal itu dinyatakan dengan tegas pula dalam pasal 76 UU no.22 tahun 1999, yaitu “daerah mempunyai wewenang untuk melakukan pengangkatan, pemberhentian, penetapan pensiun, gaji tunjangan, dan kesejahteraan pegawai serta pendidikan dan pelatihan sesuai dengan peraturan daerah berdasarkan perundang-undangan.
Tentu saja hal ini akan membawa implikasi yang sangat luas, terutama yang menyangkut pola rekrutmen dan pembinaan. Hanya saja yang perlu diperhatikan adalah mengingat potensi daerah berbeda satu sama lainnya maka sudah seharusnya memperhatikan dimensi keadilan dan kesetaraan antara satu daerah dengan daerah lainnya, jangan sampai menimbulkan diskrepansi sosial yang membawa akibat gejolak sosial politik di daerah.
2.         Bidang Ekonomi
Sektor perekonomian sangat sensitif apabila dihubungkan dengan proses otonomi daerah. Pembangunan ekonomi suatu daerah seharusnya lebih baik apabila diselenggarakan dengan konsep desentralisasi. Pembangunan ekonomi adalah suatu proses dimana suatu masyarakat menciptakan suatu lingkungan yang mempengaruhi hasil-hasil indikator ekonomi seperti kenaikan kesempatan kerja. Lingkungan yang dimaksud sebagai sumber daya perencanaan meliputi lingkungan fisik, peraturan dan perilaku (Blakley, 1989)
Dalam proses pengembangan ekonomi lokal, Pemerintah daerah bersama dengan organisasi berbasis masyarakat mendorong dan merangsang kegiatan yang dapat meningkatkan aktivitas usaha serta penciptaan lapangan pekerjaan. Dalam pelaksanaan otonomoi daerah, pembangunan ekonomi lokal (PEL) memiliki pengaruh besar terhadap suatu daerah. Hal ini tidak lain adalah untuk penguatan daya saing ekonomi lokal untuk pengembangan ekonomi daerah. Kemandirian dalam melakukan kegitan ekonomi dapat menambah pendapatan asli daerah (PAD), selain itu tingkat pemberdayaan masyarakat kecil juga dapat terlaksana.
Dengan adanya otonomi daerah, suatu daerah dituntut untuk lebih peka dan bertanggung jawab terhadap permasalahan ekonomi lokal sekaligus mengoptimalkan potensi ekonomi yang dimilikinya. Maka dari itu perlu adanya tata kelola ekonomi daerah supaya terbentuk otonomi daerah yang baik. Di negara kita maupun di berbagai macam daerah sering meneriakkan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, efisiensi, partisipasi yang tidak lain hanya menuju ke arah good governance. Seperti halnya otonomi daerah harus memiliki tata kelola ekonomi yang baik, dengan mempertimbangkan fungsi desentralisasi yang semakin kompleks khususnya di bidang ekonomi.
Ciri utama suatu daerah yang mampu menjalankan otonomi daerah dapat dilihat dari kemampuan daerah untuk membiayai pembangunan di daerahnya dengan tingkat ketergantungan kepada Pemerintah pusat dengan proporsi yang sangat kecil. Artinya kemandirian keuangan adalah hal yang paling diutamakan dalam terwujudnya otonomi daerah. Dengan adanya kemandirian tersebut, suatu daerah diharapkan mampu dalam pengumpulan PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang menjadi bagian terbesar dalam mobilisasi dana penyelenggaraan Pemerintahan daerah dan sudah sewajarnya PAD dijadikan tolak ukur dalam pelaksanaan otonomi daerah. Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan yang diperoleh dari sektor pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengeloalaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan salah satu komponen sumber pendapatan daerah sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 79 undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah, berdasarkan pasal 79 UU 22/1999 disimpulkan bahwa sesuatu yang diperoleh Pemerintah daerah yang dapat diukur dengan uang karena kewenangan (otoritas) yang diberikan masyarakat dapat berupa hasil pajak daerah dan retribusi daerah. Sumber pendapatan daerah terdiri Pendapatan asli daerah, yaitu:
a.)      Hasil Pajak Daerah. Menurut Davey ( 1988:118) Pemerintah daerah memiliki wewenang untuk menjangkau sumber pajak di daerah yakni melalui pemungutan langsung serta menetapkan tarif di daerah. Pajak- pajak tersebut antara lain pajak atas jasa, pajak atas produksi, pajak atas kendaraan, dan lain-lain.
b.)      Hasil Retribusi Daerah. Pemerintah Daerah juga memiliki wewenang dalam menetapkan retribusi daerah serta menarik retribusi dalam rangka pemasukan daerah.

3.    Bidang Pendidikan
Pada otonomi daerah banyak Undang-undang yang mengatur khusus mengenai pendidikan salah satu undang-undang yang diimplementasikan dalam pendidikan yaitu UU Nomor 2 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, privatisasi Perguruan Tinggi Negeri dengan status baru BHMN melalui PP no 60 tahun 2000 sampai UU No.32 tahun 2004  tentang Pemerintahan daerah dan UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah yang mengatur konsep, sistem dan pola pendidikan juga kewenangan di sektor pendidikan yang digariskan bagi pusat maupun daerah.
Desentralisasi pendidikan secara konseptual dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu, pertama desentralisasi kewenangan disektor pendidikan dan kedua desentralisasi pendidikan dengan fokus pada pemberian kewenangan yang lebih besar ditingkat sekolah. Konsep pertama berkaitan dengan penyelenggaraan Pemerintah dari pusat ke daerah sebagai wujud dari demokratisasi, kebijakaan yang dimaksud lebih pada kebijakaan pendidikan dan aspek pendanaannya dari Pemerintah pusat ke daerah. Pada konsep kedua lebih fokus terhadap pemberian kewenangan yang lebih besar ditingkat manejemen sekolah untuk meningkatkan kualitas pendidikannya.
Adanya desentralisasi pendidikan bukan berarti Pemerintah pusat lepas tangan atau tidak mencampuri urusan pendidikan. Pemerintah pusat masih mempertahankan kewenangannya dalam dunia pendidikan yang terdapat pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 tahun 2000 mengenai kewenangan Pemerintah dan kewenangan provinsi sebagai daerah otonomi. Kewenangan tersebut diantaranya berhubungan dengan standar kompetensi siswa serta pengaturan kurikulum nasional, standar materi pelajaran pokok, gelar akademik, biaya penyelenggaraan pendidikan, benda cagar budaya dan kalender akademik.
Kebijakan otonomi daerah dalam pendidikan memberikan dampak baik positif maupun negatif. Daerah yang dapat memanfaatkan kondisi yang ada tentu saja akan memberikan dampak positif dari otonomi daerah tersebut. Fenomena muncul raja-raja kecil didaerah diakibatkan ketika kontrol Pemerintah pusat tidak lagi berperan dalam pengambilan keputusan dan pengawasan hal ini menjadi dampak negatif jika Pemerintah belum siap dalam desentralisasi. Kebijakan desentralisasi ini kemungkinan akan menimbulkan jurang pemisah antara daerah yang maju dan tidak. Pemerataan yang tidak berhasil terlihat jelas dari kualitas pendidikan yang dihasilkan tiap daerah. Kemungkinan yang terjadi karena tidak meratanya pendistribusian tenaga guru. Daerah yang kaya akan jauh lebih banyak menyedot tenaga guru yang berkualitas. Akhirnya daerah-daerah tertentu di Indonesia akan kelebihan guru dan daerah yang lainnya kekurangan tenaga guru. Desentralisasi pendidikan menentukan pula hasil belajar siswa. Hal ini disebabkan pembuatan silabus materi pembelajaran dibuat berdasarkan kebutuhan siswa, keadaan sekolah dan kondisi daerah. Perbedaan-perbedaan tersebut memberikan kemungkinan terjadinya hasil belajar siswa.
Salah satu hasil dari desentralisasi pendidikan adanya implikasi konsep manajemen berbasis sekolah (MBS) yang mulai diimplementasikan pada sekolah-Sekolah Dasar dan Menengah di beberapa provinsi di Indonesia. Desentralisai pendidikan menajadi suatu gagasan yang brilian namun juga menjadi suatu tantangan bagi kita. Dalam bukunya Sam M. Chan dan Tuti T.Sam yang berjudul Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah, dituliskan:
 Adapun tantangan yang harus diperhitungkan dalam pengimplementasian kebijakan ini adalah munculnya individu-individu/lembaga-lembaga serakah yang mencari kesempatan dalam kesempitan...( Sam, 2005:12).

C.                Permasalahan Dan Upaya Mengatasi Masalah Yang Terjadi Dalam Otonomi Daerah Pada Masa Reformasi
1.        Permasalahan Yang Timbul Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah
Dalam UU No. 32 tahun 2004 pasal 1 ayat 5, pengertian otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan Pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Setelah berlakunya peraturan tersebut, daerah diberi berbagai kewenangan untuk mengatur urusan rumah tangganya, hal ini menimbulkan berbagai masalah timbul akibat kewenangan tersebut. Permasalahan yang timbul antara lain:
a.)    Kondisi SDM aparatur pemerintahan yang belum menunjang sepenuhnya pelaksanaan  otonomi daerah.
Penyelenggaraan otonomi daerah yang baik haruslah didukung oleh kondisi SDM aparatur pemerintah yang memiliki kualitas yang cakap sehingga dapat menjalankan berbagai kewenangan pemerintah daerah. Namun sayangnya hal ini cukup sulit untuk diwujudkan. Pentingnya posisi manusia karena manusia merupakan unsur dinamis dalam organisasi yang bertindak/berfungsi sebagai subjek penggerak roda organisasi Pemerintahan. Oleh sebab itu kualitas mentalitas dan kapasitas manusia yang kurang memadai dengan sendirinya melahirkan impikasi yang kurang menguntungkan bagi penyelenggaraan otonomi daerah. Manusia pelaksana Pemerintah daerah dapat di kelompokkan menjadi:
1.)      Pemerintah daerah yang terdiri dari kepala daerah dan dewan perwakilan daerah (DPRD). Dalam kenyataan syarat syarat yang di tentukan bagi seorang kepala daerah belum cukup menjamin tuntutan kualitas yang ada.
2.)      Alat-alat perlengkapan daerah yakni aparatur daerah dan pegawai daerah.
3.)      Rakyat daerah yakni sebagai komponen environmental (lingkungan)yang merupakan sumber energi terpenting bagi daerah sebagai organisasi yang bersifat terbuka.
Para aparatur Pemerintah daerah pada umumnya memiliki kualitas yang belum memadai, hal ini juga disebabkan oleh kurangnya kemampuan daerah dalam merekrut pegawai baru yang berada di luar struktur Pemerintahan sebelumnya. Menurut Widjaja (2003:37) Daerah mempunyai kewenangan untuk mengangkat perangkat daerah, namun belum cukup jelas kewenangannya untuk merekrut perangkat daerah baru yang berada di luar struktur Pemerintahan sebelumnya, misalnya merekrut dari kalangan LSM, Perguruan Tinggi, kalangan Swasta Profesional dan lain-lain. Hal ini menyebabkan daerah sulit untuk mendapatkan calon-calon pegawai yang cakap.

b.)      Bergesernya Korupsi Dari Pusat Ke Daerah
Korupsi yang awalnya terjadi pada Pemerintah pusat bergeser ke daerah karena daerah diberikan wewenang sendiri dalam mengatur keuangannya. Banyak pejabat daerah yang masih mempunyai kebiasaan menghambur-hamburkan uang rakyat untuk ke luar Negeri dengan alasan studi banding. Otonomi daerah memberikan kewenangan yang sangat penting bagi kepala daerah. Hal ini juga menyebabkan adanya kedekatan pribadi antara kepala daerah dan pengusaha yang ingin berinvestasi di daerah. Dengan begitu maka akan terjadi pemerasan dan penyuapan.

c.)    Eksploitasi Pendapatan Daerah
Salah satu konsekuensi otonomi adalah kewenangan daerah yang lebih besar dalam pengelolaan keuangannya, mulai dari proses pengumpulan pendapatan sampai pada alokasi pemanfaatan pendapatan daerah tersebut. Dalam kewenangan semacam ini sebenarnya sudah muncul inherent risk, risiko bawaan, bahwa daerah akan melakukan upaya maksimalisasi, bukan optimalisasi, perolehan pendapatan daerah. Upaya ini didorong oleh kenyataan bahwa daerah harus mempunyai dana yang cukup untuk melakukan kegiatan, baik itu rutin maupun pembangunan. Daerah harus membayar seluruh gaji seluruh pegawai daerah, pegawai pusat yang statusnya dialihkan menjadi pegawai daerah, dan anggota legislatif daerah. Di samping itu daerah juga dituntut untuk tetap menyelenggarakan jasa-jasa publik dan kegiatan pembangunan yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dengan alasan di atas, biasanya Pemerintah daerah kemudian berusaha mencari pendapatan daerah sebanyak mungkin, seperti melalui pemungutan pajak, retribusi, hingga eksploitasi daerah yang maksimal.

d.)      Kurangnya  Pemahaman Terhadap Konsep Desentralisasi Dan Otonomi Daerah
Pasal 18 UUD 1945 menyebutkan bahwa Indonesia adalah Negara Kesatuan yang terdesentralisasi. Pada kenyataan pemahaman terhadap desentralisasi dan otonomi daerah masih kurang. Pemerintah pusat dan Pemerintah daerah masih belum memaksimalkan perannya dalam Pemerintahan. Mentalitas dari aparat Pemerintah baik pusat maupun daerah masih belum mengalami perubahan yang mendasar. Hal ini terjadi karena perubahan sistem tidak dibarengi penguatan kualitas sumber daya manusia yang menunjang sistem Pemerintahan yang baru. Pelayanan publik yang diharapkan, yaitu birokrasi yang sepenuhnya mendedikasikan diri untuk untuk memenuhi kebutuhan rakyat sebagai pengguna jasa adalah pelayanan publik yang ideal. Untuk merealisasikan bentuk pelayanan publik yang sesuai dengan asas desentralisasi diperlukan perubahan paradigma secara radikal dari aparat birokrasi sebagai unsur utama dalam pencapaian tata Pemerintahan lokal.

e.)       Penyediaan Aturan Pelaksanaan Otonomi Daerah Yang Belum Memadai
Pada awalnya peraturan mengenai pelaksanaan otonomi daerah di tetapkan dalam  Ketetapan MPR-RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selanjutnya lahirlah UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya UU No. 25/1999 yang mengatur hubungan keuangan pusat dan daerah, menggantikan UU No. 5/1974 yang sentralistik. Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah daerah, ditetapkan berdasarkan kuatnya tuntutan masyarakat akan perlunya mengatur diri sendiri sebagai dampak negatif dari sentralisasi yang dirasakan terlalu lama semasa Orde Baru. Oleh karena tuntutan masyarakat itu terlalu mendesak dan harus direspon dalam waktu singkat, maka Pemerintah dengan persetujuan DPR-RI mengeluarkan undang-undang tentang Pemerintah daerah. Namun sesuai dengan prosesnya yang mendesak, tentu saja materi isi dan substansinya masih banyak kekurangan dan kelemahan dan perlu diantisipasi oleh daerah. (Widjaja, 1999:1-2).
Menurut Widjaja (2003:35-37) ada beberapa hal yang harus dicermati mengenai peraturan pelaksanaan Pemerintah daerah yang telah di susun, antara lain:
1.         Pembagian Daerah.
2.         Pembentukan dan Susunan Daerah
3.         Kewenangan Daerah
4.         Bentuk dan Susunan Pemerintah Daerah

f.)       Potensi Munculnya Konflik Antar Daerah
Dengan pelaksanaan otonomi daerah muncul gejala etno-sentrisme atau fenomena primordial kedaerahan semakin kuat. Indikasi etno-sentrisme ini terlihat dalam beberapa kebijakan di daerah yang menyangkut pemekaran daerah, pemilihan kepala daerah, rekruitmen birokrasi lokal dan pembuatan kebijakan lainnya. Selain itu, ancaman disintegrasi juga dapat memicu sebuah konflik. Dengan adanya pelimpahan pelimpahan wewenang kepada daerah menyebabkan daerah menjadi terbagi-bagi dan muncul kesenjangan yakni ketimpangan pembangunan antara daerah yang sumber dayanya kaya dengan daerah yang hanya memiliki sumber daya alam yang sedikit.
 Adanya potensi sumber daya alam di suatu wilayah, juga rawan menimbulkan perebutan dalam menentukan batas wilayah masing-masing. Konflik horizontal sangat mudah tersulut. Di era otonomi daerah tuntutan pemekaran wilayah juga semakin kencang dimana-mana. Pemekaran ini telah menjadikan NKRI terkerat-kerat menjadi wilayah yang berkeping-keping. Satu provinsi pecah menjadi dua-tiga provinsi, satu kabupaten pecah menjadi dua-tiga kabupaten, dan seterusnya, semakin berkeping-keping NKRI semakin mudah separatisme dan perpecahan terjadi.


2.         Upaya Mengatasi Masalah Yang Terjadi Dalam Otonomi Daerah Pada Masa Reformasi
Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan dalam otonomi daerah adalah sebagai berikut :
a.)    Pemerintah pusat harus melaksanakan otonomi daerah dengan penuh keikhlasan agar daerah dapat memperoleh hak untuk mengolah sumber daya di daerah secara optimal.
b.)    Bahwa tujuan dan semangat yang melandasi otonomi daerah adalah hasrat untuk menggali sendiri pendapatan daerahnya serta kewenangan untuk meningkatkan PAD masing-masing daerah menuju peningkatan kesejahteraan masing-masing daerah menuju peningkatan masyarakat daerah, oleh karena itu untuk mencegah kondisi disintesif, pemda dalam rangka otonomi daerah perlu mengembangkan strategi efesiensi dalam segala bidang.
c.)    Untuk menopang pelaksanaan otonomi daerah perlu dikembangkan ekonomi kerakyatan secara sistematis, mensinergikan kegiatan lembaga/institusiriset pada PTN/PTS di daerah dengan industri kecil menengah dan tradisional.
d.)   Merekomendasikan kepada pemerintah untuk memperbaiki dasar-dasar ekonomi yang sudah rapuh, dengan mengembangkan usaha kecil/menengah dan koperasi menjadi lebih produktif serta berupaya terus untuk memberantas kemiskinan structural.
e.)    Memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam dengan baik agar supaya sumber kekayaan yang tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal dan secara lestari.
f.)     Mendorong desentralisasi pembangunan daerah, mendayagunakan lembaga di daerah khususnya DPRD untuk memiliki wewenang dan kemandirian dalam membuat produk hukum pembangunan di daerah. Ketentuan-ketentuan yang menyangkut perizinan, pengelolaan, pendayagunaan dan lain sebagainya yang berkaitan dengan masalah pembangunan yang di rumuskan oleh DPRD dan pemerintah daerah.
D.                Studi Kasus
Otonomi Daerah Provinsi Banten
Pembentukan daerah otonom pada dasarnya dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat disamping sebagai sarana pemberdayaan publik, termasuk juga pendidikan politik lokal didalamnya. Untuk itu, pembentukan daerah harus mempertimbangkan berbagai faktor, seperti: (1) kemampuan ekonomi, (2) potensi daerah, (3) luas wilayah, (4) kependudukan, (5) pertimbangan aspek sosial-politik, (6) pertimbangan aspek sosial-budaya, serta (7) pertimbangan dan syarat lainnya, untuk dapat memungkinkan daerah itu dapat menyelenggarakan dan mewujdukan tujuan dibentuknya daerah otonom. Pemekaran pun terjadi di tanah Banten, melalui Undang-undang No 23 tahun 2000 Propinsi Banten akhirnya terbentuk setelah memisahkan diri dari Provinsi Jawa Barat.
Sampai pada tahun 1998, Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang, dan Kabupaten Serang, masih menjadi bagian dari Provinsi Jawa Barat. Terjadi pula isu pemekaran pada tingkat kabupaten/kota di Propinsi Banten yakni pemekaran dari Kabupaten Pandeglang menjadi 2 kabupaten baru, yakni Calon Kabupaten Caringin dan Calon Kabupaten Cibaliung. Sedangkan isu pemekaran di Kabupaten Lebak menjadi Calon Kabupaten Cilangkahan (Lebak Selatan) yang telah melewati kajian akademik Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri maupun dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa dengan predikat lulus bersyarat, serta di Kabupaten Serang saat ini telah dimekarkan dengan dikeluarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2007 tentang pembentukan Kota Serang dimana sekarang ini Kabupaten Serang sedang mencari lokasi untuk menentukan ibu kota kabupaten. Kemudian Kabupaten Tangerang yang telah dimekarkan menjadi Kabupaten Tangerang dan Kabupaten Tangerang Selatan. Isu-isu pemekaran ini menimbulkan pro dan kontra diantara masyarakat banyak, bahkan terkadang antara eksekutif dengan legislatif mengalami perbedaan pandangan apakah mendukung atau tidak mendukung proses pemekaran suatu daerah.
Faktor kepentingan juga lah yang bermain, cost and benefit yang cukup menentukan dalam membagi kelompok pro dan kontra, yang akan diuntungkan otomatis akan mendukung proses pemekaran sedangkan yang dirugikan akan menolak proses pemekaran ini. Sebuah kabupaten induk akan menolak proses pemekaran apabila akibat dari pemekaran yang terjadi akan mengurangi PAD kabupaten tersebut, bahkan akan mengganggu kelangsungan pendapatan kabupaten induk. Lain halnya ketika kabupaten baru yang terbentuk dari proses pemekaran ini adalah beban bagi kabupaten induk, proses pemekaran akan didukung. Demikian pula pemekaran di level kecamatan pun banyak terjadi di berbagai wilayah, dimana seharunya memperhatikan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan. Di Kabupaten Lebak telah terjadi beberapa pemekaran dalam level kecamatan yakni diantaranya adalah Kecamatan Cijaku dimekarkan kecamatan baru yakni Kecamatan Cigemblong, Kecamatan Malingping dimekarkan kecamatan baru Kecamatan Wanasalam, Kecamatan Panggarangan dimekarkan kecamatan baru Kecamatan Cihara, dan Kecamatan Bayah dimekarkan kecamatan baru Kecamatan Cilograng. Pada level desa, jumlah desa/kelurahan di Provinsi Banten pada tahun 2008 hanya terdapat 1.504 desa/kelurahan bertambah menjadi 1.535 desa/kelurahan pada akhir tahun 2010 berarti ada penambahan sebanyak 31 desa dalam rentang 24 bulan, artinya setiap bulan lebih dari satu desa (1,29) baru terbentuk/dimekarkan.
Provinsi Banten sampai saat ini memiliki 8 Kabupaten/Kota. Berikut ini Nama Kabupaten/Kota di Provinsi Banten sampai tahun 1998, sebelum ada pemekaran daerah, yaitu : Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang, dan Kabupaten Serang. Dan berikut ini Nama Kabupaten/Kota di Provinsi Banten yang merupakan hasil pemekaran daerah sejak tahun 1999, yaitu : Kota Cilegon, pemekaran dari Kabupaten Serang, 20 April 1999. Kota Serang, pemekaran dari Kabupaten Serang, 17 Juli 2007. Kota Tangerang Selatan, pemekaran dari Kabupaten Tangerang, 29 Oktober 2008. (http://nahrawi.wordpress.com/2009/05/14/pemekaran-daerah-di-provinsibanten/).


Implikasi Otonomi Daerah Terhadap Kehidupan  Masyarakat Banten
1.                  Bidang Politik
Dampak pemekaran wilayah Banten menjadi sebuah provinsi dalam bidang politik adalah  Banten memiliki pemerintahan daerah sendiri . Dengan adanya kewenangan daerah yang diberikan oleh pemerintah pusat, maka Banten berhak melakukan pemilihan kepala daerah sendiri dalam hal ini yang menjadi kepala pemerintahan Banten adalah Gubernur dan wakil gubernur yang dipilih langsung oleh masyarakat Banten melalui Pilkada. Walaupun pada awal pembentukan Banten menjadi sebuah provinsi, gubernur pertama Banten Gubernur Hakamuddin Djamal dipilih oleh Pemerintah Pusat. Namun selanjutnya  Pada tahun 2002  pemilihan gubernur dan wakil gubernur Banten di pilih oleh  DPRD Banten yang memilih Djoko Munandar dan Ratu Atut Chosiyah sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Banten pertama. Dan Akhirnya masyarakat Banten memiliki hak untuk memilih langsung gubernur dan wakil gubernurnya sendiri yakni, tanggal 6 Desember 2006 dilaksanakan Pemilihan Kepala Daerah langsung, yang dimenangi oleh pasangan Ratu Atut Choisiyah dan Mohammad Masduki, kedua-duanya menjabat pada periode 2007-2011. Selanjutnya selain memiliki pemerintahan sendiri, Banten juga memiliki wilayah pemerintahan sendiri tanpa terikat dengan provinsi sebelumnya yakni provinsi Jawa Barat. Wilayah Banten terletak di antara 5º7'50"-7º1'11" Lintang Selatan dan 105º1'11"-106º7'12" Bujur Timur, berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2000 luas wilayah Banten adalah 9.160,70 km². Provinsi Banten terdiri dari 4 kota, 4 kabupaten, 154 kecamatan, 262 kelurahan, dan 1.273 desa. (http://id.wikipedia.org/wiki/Banten)

2.                  Bidang Sosial Budaya
Dengan adanya otonomi daerah, maka Banten sebagai suatu provinsi memiliki pengakuan bahwa secara kultural Banten memiliki budaya sendiri yang berbeda dengan provinsi lainnya di Indonesia. Potensi dan kekhasan budaya masyarakat Banten, antara lain seni bela diri Pencak silat, Debus, Rudad, Umbruk, Tari Saman, Tari Topeng, Tari Cokek, Dog-dog, Palingtung, dan Lojor. Di samping itu juga terdapat peninggalan warisan leluhur antara lain Masjid Agung Banten Lama, Makam Keramat Panjang, dan masih banyak peninggalan lainnya. Di Provinsi Banten terdapat Suku Baduy. Suku Baduy Dalam merupakan suku asli Sunda Banten yang masih menjaga tradisi antimodernisasi, baik cara berpakaian maupun pola hidup lainnya. Suku Baduy-Rawayan tinggal di kawasan Cagar Budaya Pegunungan Kendeng seluas 5.101,85 hektare di daerah Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak. Perkampungan masyarakat Baduy umumnya terletak di daerah aliran Sungai Ciujung di Pegunungan Kendeng. Daerah ini dikenal sebagai wilayah tanah titipan dari nenek moyang, yang harus dipelihara dan dijaga baik-baik, tidak boleh dirusak.

3.                  Bidang ekonomi
Pertumbuhan sektor-sektor perekonomian dapat dilihat dari pergeseran bersih, yaitu penjumlahan dari komponen PP dan PPW. Apabila pergeseran bersih bernilai positif, maka pertumbuhan sektor-sektor perekonomian termasuk dalam kelompok pertumbuhan cepat, dan apabila pergeseran bersih bernilai negatif maka pertumbuhan sektor-sektor perekonomian pada suatu wilayah termasuk dalam kelompok pertumbuhan lambat. Berdasarkan tabel dibawah, menunjukkan bahwa pada masa sebelum otonomi daerah tahun 1994-1996, hanya ada satu sektor yang termasuk dalam kelompok pertumbuhan cepat, yaitu sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Delapan sektor lainnya, yaitu sektor pertanian, sektor pertambangan, sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih, sector bangunan, sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi, dan sektor jasa-jasa termasuk dalam kelompok pertumbuhan lambat. Secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi Provinsi Banten memiliki pertumbuhan yang lambat.


Pergeseran Bersih Sektor-sektor Perekonomian Provinsi Banten Sebelum dan Pada Masa Otonomi Daerah
No
 Sektor
Sebelum Otonomi Daerah
Masa Otonomi
1994-1996
1997-1999
2000-2002
(Rp)
(%)
(Rp)
(%)
(Rp)
(%)
1
Pertanian
-68.761
-5
132.221,28
8
62.801,97
4
2
Pertambangan
-5.360
-16
-16.511,04
-42
924,84
5
3
Industri pengolahan
-204.495
-45
-1.136.990,04
-12
333.485,66
4
4
Listrik, Gas dan Air Bersih
-13.671
-3
-81.638,44
-13
45.413,15
6,5
5
Bangunan
-25.047
-4
-317.715,34
-38
51.714,32
13
6
Perdagangan, Hotel dan Restoran
-193.131
-8
-12.357,47
-0.4
172.299,35
6
7
Pengangkutan dan Komunikasi
-83.467
-7
-233.832,60
-15
262.726,88
20
8
Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
17.349
4
-162.918,96
-24
-8.748,80
-2
9
Jasa-jasa
-136.893
-18
99.685,52
11
17.905,25
2

Total
-713.476
-102
-1.730.057,09
-125,4
938.552,62
58,5
Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat, 1994-2002; BPS Provinsi Banten, 2000-2002 (Nazara, 2006:90).
Pada masa sebelum otonomi periode 1997-1999, ada dua sektor yang termasuk dalam pertumbuhan cepat, yaitu sektor pertanian dan sektor jasa-jasa. Tujuh sektor lainnya termasuk dalam kelompok pertumbuhan lambat, yaitu sektor
pertambangan, sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih, sektor
bangunan, sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi, dan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Tetapi pada periode tersebut secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi Provinsi Banten memiliki pertumbuhan yang lambat. Pada masa otonomi daerah tahun 2000-2002,
sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan masuk dalam kelompok pertumbuhan lambat, sedangkan delapan sektor lainnya termasuk dalam kelompok pertumbuhan cepat. Secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi Provinsi Banten pada masa otonomi daerah memiliki pertumbuhan yang cepat.
Dengan adanya otonomi daerah, maka Banten dapat mengatur sendiri perekonomiannya. Potensi sektor pertanian terus dikembangkan. Luas lahan panen dan besarnya produksi padi yang dihasilkan terus bertambah, dari 337.986 ha dan 1.756.037 ton pada 2005 menjadi 364,721 ha, dan 1.812.495 ton pada 2006. Praktik budidaya selama kurun tahun 2002 2004 semakin membaik, tercermin dari laju pertumbuhan produksi rata rata lebih tinggi, (11,16% per tahun) dari laju pertumbuhan lahan panen rata rata (2,33% per tahun). Meskipun laju pertumbuhan produksi perluas lahan panen untuk jenis tanaman palawija meningkat, pola dan praktis produksinya relatif belum berkembang. Laju pertumbuhan rata rata luas lahan panen 2,48% per tahun, namun laju pertumbuhan rata-rata produksinya hanya 4,08% per tahun, atau dengan rasio mencapai 1,64%. Di antara semua tanaman palawija, ubi kayu dan kacang kedelai memiliki rasio laju pertumbuhan produksi rata rata berbanding laju pertumbuhan luas panen rata rata di angka 1 (masing masing 1,41 dan 6,75). Budidaya ternak meningkat dari tahun ke tahun, mulai dart sapi potong, sapi perah, kerbau, kuda, kambing, domba dan babi. jumlah populasi ternak yang di budidayakan semakin meningkat antara tahun 2002 2004 dengan rata rata laju pertumbuhan jumlah dan jenis populasi sebesar 24,97% per tahun.
Kenerja sektor perikanan mencakup perikanan tangkap (laut dan perairan umum) dan perikanan budidaya (laut, tambak, kolam, sawah, keramba, jaring terapung). Produksi perikanan hingga 2004 mancapai 76.324,05 ton dengan nilai Rp 538.130 miliar, menurun dibanding produksi tahun 2002 mencapai 87.279,40 ton dengan nilai produksi Rp 588.101 niliar, karena pengaruh menurunya produksi perikanan tangkap hingga sebesar 2,95%. Kontribusi perikanan tangkap terhadap total produksi perikanan mancapai 70,98%, dengan milai produksi sebesar 54,24%. Sedangkan kontribusi perikanan budidaya sebesar 29,02% dengan nilai produksi 45,76%. Sektor pariwisata juga merupakan salah satu sektor yang dikembangkan oleh pemerintah daerah Banten karena Banten merupakan provinsi yang kaya akan potensi pariwisata, antara lain, taman nasional ujung kulon, pantai carita, pantai umang, dan lain-lain. (http://www.indonesia.go.id/in/pemerintah-daerah/provinsi-Banten/sumber-daya-alam).
4.                  Bidang Infrastruktur
Dengan adanya otonomi daerah, maka Banten sebagai suatu provinsi memiliki hak dan tanggung jawab untuk membangun berbagai instruktur yang menunjang bagi kehidupan masyarakat Banten. Hal ini terlihat dengan adanya pembangunan infrastruktur pemerintahan, seperti pembangunan kantor DPRD, kantor Gubernur, dan lain-lain. Dalam bidang pendidikan, pemerintah daerah Banten berupaya membangun sekolah-sekolah maupun memperbaiki sekolah yang keadaannya tidak layak. Selain itu, pembangunan infrastruktur jalan raya di provinsi Banten juga di lakukan karena banyak mengalami kerusakan. Menurut Portal Nasional RI PT Banten Global Development (BGD) menyiapkan lima proyek infrastruktur prioritas guna mengembangkan wilayah Banten. Lima proyek tersebut adalah Jembatan Selat Sunda (JSS), kawasan ekonomi khusus (KEK) Tanjung Lesung, Bandara Panimbang, tol Panimbang-Serang, dan mass rapid transit (MRT) rute Serpong-Tangerang-Rawa Buntu. (http://www.indonesia.go.id/in/kementrian/kementrian/kementrianperindustrian/695-sarana-dan-prasarana/11527-bgd-siapkan lima-proyek-infrastruktur-di-Banten).
BAB IV PENUTUP
KESIMPULAN

Otonomi daerah adalah suatu keadaan yang memungkinkan daerah dapat mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang dimilikinya secara optimal. Pemberian otonomi daerah adalah mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran masyarakat serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga pada hakikatnya tujuan otonomi daerah adalah untuk memberdayakan daerah dan mensejahterakan rakyat.
Implementasi otonomi daerah telah memasuki era baru setelah Pemerintah dan DPR sepakat untuk mengesahkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Sejalan dengan diberlakukannya undang-undang otonomi tersebut memberikan kewenangan penyelenggaraan Pemerintah daerah yang lebih luas. Hal ini dapat terlihat dari beberapa aspek, diantaranya adalah aspek politik, ekonomi dan pendidikan. Dalam Desentralisasi politik adanya sebuah birokrasi yang muncul, dalam pendidikan otonomi daerah menempatkan sekolah sebagai garis depan dalam berperilaku untuk mengelola pendidikan. Desentralisasi juga memberikan apresiasi terhadap perbedaan kemampuan dan keberanekaragaman kondisi daerah dan rakyatnya. Dalam bidang ekonomi diharapkan munculnya kemandirian dalam mengelola keuangan daerah.
Sejalan dengan itu, Pemerintah Daerah harus dapat mendayagunakan potensi sumber daya daerah secara optimal. Dengan semakin berkurangnya tingkat ketergantungan Pemerintah Daerah terhadap Pemerintah Pusat, Daerah dituntut mampu meningkatkan profesionalisme aparatur Pemerintah Daerah, melaksanakan reformasi akuntansi keuangan daerah dan manajemen keuangan daerah, melaksanakan perencanaan strategik secara benar, sehingga akan memacu terwujudnya otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi, dan bertanggung jawab. 
Adapun dampak negatif dari otonomi daerah adalah munculnya kesempatan bagi oknum-oknum di tingkat daerah untuk melakukan berbagai pelanggaran, munculnya pertentangan antara pemerintah daerah dengan pusat, serta timbulnya kesenjangan antara daerah yang pendapatannya tinggi dengan daerah yang masih berkembang. Bisa dilihat bahwa masih banyak permasalahan yang mengiringi berjalannya otonomi daerah di Indonesia. Permasalahan-permasalahan itu tentu harus dicari penyelesaiannya agar tujuan awal dari otonomi daerah dapat tercapai dengan baik.


















DAFTAR PUSTAKA

Davey, K.J. (1988). Pembiayaan Pemerintah Daerah. Jakarta: UI Press.

Marbun, B. (2005). Otonomi Daerah 19452005 Proses dan Realita Perkembangan Otda Sejak Zaman Kolonial sampai Saat Ini. Jakarta: Pustaka Sinar harapan.

Nazara, C.M. (2006). Dampak Otonomi Daerah Terhadap Pemekaran Provinsi Banten. Skripsi pada FEM IPB Bogor: tidak diterbitkan.

Rosyada, D. et al. (2005). Demokrasi, Hak Asasi Manusia &Masyarakat Madani. Jakarta: Tim Icce Uin Jakarta dan Prenada Media.

Salam, D. (2004). Otonomi Daerah, Dalam Perspektif Lingkungan, Nilai dan Sumber Daya. Bandung: Djambatan.

Sam, C. dkk. (2008). Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Sarundajang. (1999). Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Soejito, I. (1981). Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Jakarta: Bina Aksara.

Syahrir. dkk. (2001). Pemulihan Ekonomi dan Otonomi Daerah(refleksi pemikiran partai golkar. Jakarta: LASPI.

Widarta. (2001). Cara Mudah Memahami Otonomi Daerah. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama.

Widjaja, H. (2003). Pemerintah Desa/marga Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Widjaja, H. (2003). Titik Berat Otonomi pada Daerah Tingkat II. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Nahrawi. (2009). Pemekaran Daerah Di Provinsi Banten. [Online]. Tersedia : http://nahrawi.wordpress.com/2009/05/14/pemekaran-daerah-di-provinsi-banten/. [27 November 2012].

Portal Nasional RI. (2009). Sumber Daya Alam Banten. [Online]. Tersedia: http://www.indonesia.go.id/in/pemerintah-daerah/provinsi-banten/sumber-daya-alam [09 Desember 2012].

Portal Nasional RI. (2012). BGD Siapkan Lima Proyek Infrastrukrut Di Banten. [Online]. Tersedia: http://www.indonesia.go.id/in/kementerian/kementerian/kementerian-perindustrian/695-sarana-dan-prasarana/11527-bgd-siapkan-lima-proyek-infrastruktur-di-banten [09 Desember 2012]

5 komentar: