BAB
1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Otonomi daerah menjadi sesuatu yang disakralkan
pasca Reformasi 1998, banyaknya perdebatan seputar otonomi daerah sebagai
manifestasi dari desentralisasi kekuasaan pemerintahan mendorong Pemerintah
untuk secara sungguh‐sungguh merealisasikan konsep otonomi daerah secara
jujur, penuh kerelaan dan konsekuen mengingat wacana dan konsep otonomi daerah
memiliki sejarah yang sangat panjang seiring berdirinya Republik ini. Menurut aspek
yuridis formal, sejak pertama kali muncul dalam UU No. 1 tahun 1945 sampai
dengan UU No. 5 tahun 1974, semangat otonomi daerah sudah kelihatan dan menjadi
dasar hukum pelaksanaan pemerintahan di daerah. Hanya saja semangat para
penyelenggara pemerintahan masih jauh dari idealisme konsep otonomi daerah itu
sendiri. Bahasa yang digunakan juga belum seringkas dan selugas otonomi daerah,
masih seputar bagaimana mengatur urusan rumah tangga (Marbun, 2005:45).
Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk
Republik yang terdiri dari provinsi-provinsi dan kabupaten/kota yang merupakan
daerah otonom dan memiliki hak otonomi daerah sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Hak otonomi
bukan berarti untuk memecah daerah-daerah yang ada di Indonesia melainkan untuk
lebih memajukan daerah dengan melibatkan peran aktif masyarakat daerah, peran
aktif masyarakat di daerah dapat dilakukan dengan cara pemberian otonomi
tersebut. Otonomi daerah merupakan salah satu kebijakan
pengembangan wilayah yang mencoba
merubah sistem sentralistik menjadi desentralistik. Melalui kebijakan ini,
diharapkan dapat mempercepat proses pembangunan pada tingkat lokal, memberi
ruang gerak pada bidang politik, pengelolaan keuangan daerah dan efisiensi
pemanfaatan sumber daya
daerah untuk kepentingan masyarakat lokal, sehingga muncul formulasi dan model
pembangunan daerah yang efisien dan terdesentralisasi.
Sejak tahun 1945 sampai era Orde Baru, pemerintahan bersifat sentral dan
di era Reformasi ini diganti dengan asas desentralisasi atau otonomi yang
pertama kali diturunkan berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah, yang kemudian dilanjutkan dengan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah dan UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah. Pemerintah pusat
memberikan keleluasaan kepada masyarakatnya untuk mengelola dan memanajemen
potensi yang dimiliki masing-masing daerah yang diwadahi oleh pemerintah
daerah. Bagian
Penjelasan Umum Undang-undang No. 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa:
Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam
arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan Pemerintahan
di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang ini.
Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan,
peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan
pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Hal
tersebut telah jelas bahwa pemberian otonomi kepada daerah pada intinya adalah
untuk memberikan keleluasaan daerah dalam menyelenggarakan urusan Pemerintahan
yang tumbuh, hidup, dan berkembang di daerah demi terciptanya peningkatan
pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, pegembangan kehidupan demokrasi,
keadilan dan pemerataan serta keserasian hubungan antara pusat dan daerah
sesuai dengan prakarsa dan aspirasi masyarakat di daerah. Sungguhpun demikian,
selama kurun waktu hampir satu dasa warsa pelaksanaan otonomi daerah pasca Reformasi
1998, masih saja ditemui kesenjangan posisi, kewenangan dan tanggung jawab
serta implementasi dari regulasi‐regulasi
yang telah ditetapkan.
Dalam
perkembangannya, konsepsi mengenai otonomi daerah yang pada dasarnya merupakan
sistem Pemerintahan desentralisasi atau tidak dari pusat sering terjadi
kesalahpahaman dalam menjalankannya. Apakah hal tersebut dikarenakan masih
minimnya pengetahuan mengenai konsep desentralisasi, atau mungkin karena kurang
siapnya baik itu masyarakat atau pemimpin daerah dalam menjalankan proses
otonomi daerah. Berangkat dari kenyataan‐kenyataan tersebut, tulisan ini berusaha untuk menelaah kembali makna
otonomi daerah, baik sebagai sebuah konsep maupun sebagai sebuah sistem yang
dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang yang berlaku. Hal inilah yang menjadi ketertarikan penulis untuk
mengkaji lebih dalam mengenai hal tersebut, dengan mengangkat judul “Otonomi Daerah di Indonesia Pada Masa
Reformasi”.
B.
Rumusan dan Pembatasan Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang telah dipaparkan diatas, terdapat beberapa permasalahan
yang akan menjadi kajian dalam penulisan makalah ini. Adapun yang menjadi pokok
permasalahan dalam tulisan ini adalah “Bagaimana
Pelaksanaan Otonomi Daerah pada Masa Reformasi?”. Untuk memudahkan dan
mengarahkan dalam pembahasan, penulis mengidentifikasi beberapa permasalahan
dalam beberapa bentuk pertanyaan sebagai berikut :
1.
Bagaimana latar belakang
munculnya Otonomi Daerah?
2.
Bagaimana implikasi
kebijakan otonomi daerah di bidang politik, ekonomi dan pendidikan pada masa Reformasi?
3.
Bagaimana
permasalahan dan upaya mengatasi masalah yang terjadi dalam otonomi daerah pada
masa Reformasi?
C.
Tujuan Penulisan
Berdasarkan
rumusan masalah tersebut, maka tujuan dari penulisan makalah ini memiliki
tujuan umum dan tujuan khusus. Adapun yang menjadi tujuan umumnya yaitu
bermaksud untuk memperoleh informasi mengenai pelaksanaan otonomi daerah pada
masa Reformasi. Sedangkan tujuan khusus dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Untuk mengetahui latar belakang
munculnya Otonomi Daerah.
2.
Untuk mengidentifikasi implikasi
kebijakan otonomi daerah di bidang politik, ekonomi dan pendidikan pada masa Reformasi.
3.
Untuk
menganalisis permasalahan dan upaya mengatasi masalah yang terjadi dalam
otonomi daerah pada masa Reformasi.
D.
Manfaat Penulisan
Dengan adanya penulisan karya tulis ilmiah ini diharapkan
dapat memberikan manfaat, baik bagi penulis maupun yang membacanya. Bagi penulis sendiri sebagai sarana untuk
memperluas ilmu, wawasan serta pengalaman dalam melakukan suatu penulisan. Selain itu juga dapat digunakan
sebagai landasan awal untuk penulisan
selanjutnya. Bagi pembaca dapat
memberikan informasi mengenai otonomi daerah yang terjadi di indonesia baik
dalam bidang politik, ekonomi maupun pendidikan pada masa era Reformasi. Bagi
Jurusan Pendidikan Sejarah, dapat
memperkaya
referensi tentang penulisan
sejarah. Dan lebih luasnya bagi Universitas
Pendidikan Indonesia, sebagai pelengkap dalam memperkaya khasanah keilmuan dan
melengkapi kepustakaan karya tulis
ilmiah.
E.
Metode dan Teknik Penulisan
Metode yang digunakan adalah metode historis. Metode
sejarah menurut Gottschalk (1985: 32) adalah proses kritis rekaman dan
peninggalan masa lampau. Metodologi sejarah merupakan suatu
keseluruhan metode-metode, prosedur, konsep kerja, aturan-aturan dan teknik
yang sistematis yang digunakan oleh para penulis sejarah atau sejarawan dalam
mengungkapkan peristiwa sejarah. Dalam metodologi penelitian sejarah, terdapat
beberapa tahapan diantaranya: pertama, heuristik yaitu merupakan tahap awal
dalam penulisan sejarah seperti mencari, menemukan dan mengumpulkan fakta-fakta
atau sumber-sumber. Kedua, kritik yaitu suatu proses menyelidiki serta menilai
secara kritis terhadap sumber data yang diperoleh, penilaian terhadap
sumber-sumber itu meliputi dua aspek yakni kritik intern dan kritik ekstern.
Ketiga, interpretasi yaitu penafsiran terhadap fakta-fakta sejarah aufassung.
Tahap keempat, historiografi yaitu pelukisan sejarah, gambaran sejarah tentang
peristiwa yang terjadi pada masa lampau yang disusun berdasarkan hasil
penelitian dan disusun menjadi satu kesatuan yang utuh.
Adapun teknik
pengumpulan data yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah dengan studi
kepustakaan, sebagai langkah awal penulis mengumpulkan sumber-sumber yang
sesuai dengan fokus kajian penelitian yang diperoleh dari berbagai sumber atau
literatur. Baik dari buku, internet, dan berbagai sumber lainnya yang
relevan dengan topik kajian yang dibahas, sehingga diharapkan bisa memperkaya
isi dari karya ilmiah ini. Setelah itu
penulis menganalisis setiap sumber yang diperoleh dengan membandingkan antara
sumber yang satu dengan sumber yang lain, sehingga diperoleh data-data yang
penulis anggap otentik, kemudian data-data tersebut penulis paparkan dalam
bentuk karangan deskriptif-naratif berupa penulisan makalah ini.
F.
Sistematika Penulisan
Bab I Pendahuluan, pada bab ini penulis berusaha untuk
memaparkan dan menjelaskan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah
yang terbagi menjadi beberapa permasalahan dan pembatasan masalah guna
memfokuskan kajian penulisan sesuai dengan permasalahan utama, tujuan penulisan,
manfaat penulisan, metode dan tekhnik penelitian serta sistematika penulisan.
Bab II Tinjauan Kepustakaan, disini akan dijabarkan mengenai konsep-konsep atau teori-teori yang terdapat
dalam permasalahan yang dikaji, yang berisi mengenai
suatu pengarahan dan penjelasan mengenai topik permasalahan yang penulis angkat
dengan mengacu pada suatu tinjauan pustaka melalui suatu metode studi
kepustakaan, sehingga dapat memperjelas isi pembahasan yang penulis uraikan berdasarkan data-data temuan yang didapatkan.
Bab
III Pembahasan/Isi, yaitu membahas mengenai bab hasil
penulisan tentang “Otonomi Daerah Pada Masa Reformasi Di Indonesia”. Pembahasan
bab ini dikembangkan menjadi beberapa
sub pokok bahasan,
yaitu pertama, mengenai latar
belakang otonomi daerah. Kedua, mengenai implikasi kebijakan otonomi daerah
dalam bidang politik, ekonomi dan pendidikan. Ketiga, mengenai permasalahan
yang timbul dalam otonomi daerah dan cara penyelesaiannya.
Bab IV Penutup, berisi mengenai kesimpulan dari
pembahasan pada bab isi dan hasil analisis yang penulis lakukan merupakan
kesimpulan secara menyeluruh yang menggambarkan mengenai Otonomi Daerah Pada Masa Reformasi Di Indonesia, sesuai dengan rumusan masalah yang
penulis ajukan dalam penulisan karya ilmiah ini.
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
A.
HAKIKAT
OTONOMI DAERAH
Otonomi atau autonomy berasal dari bahasa
Yunani, autos yang berarti sendiri dan nomous yang berarti hukum
atau peraturan. Dengan demikian, otonomi pada dasarnya memuat makna kebebasan
dan kemandirian. Otonomi daerah berarti kebebasan dan kemandirian daerah dalam
menentukan langkah-langkah sendiri (Widarta, 2001:2).
Sarundajang (1999:35) menyatakan bahwa otonomi
daerah pada hakekatnya adalah:
1.
Hak mengurus rumah tangga sendiri bagi suatu daerah otonom. Hak tersebut
bersumber dari wewenang pangkal dan urusan-urusan Pemerintah (pusat) yang
diserahkan kepada daerah. Istilah sendiri dalam hak mengatur dan mengurus rumah
tangga merupakan inti keotonomian suatu daerah;
2.
Dalam kebebasan menjalankan hak mengurus dan mengatur rumah tangga
sendiri, daerah tidak dapat menjalankan hak dan wewenang otonominya itu diluar
batas-batas wilayah daerahnya;
3.
Daerah tidak boleh mencampuri hak mengatur dan mengurus rumah tangga
daerah lain sesuai dengan wewenang pangkal dan urusan yang diserahkan
kepadanya;
4.
Otonomi tidak membawahi otonomi daerah lain, hak mengatur dan mengurus
rumah tangga sendiri tidak merupakan hak mengatur dan mengurus rumah tangga
daerah lain.
Dalam menyelenggarakan Pemerintahannnya dianut tiga
asas yaitu:
1.
Desentralisasi adalah penyerahan wewenang Pemerintahan oleh Pemerintah
kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan Pemerintahan dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2.
Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang Pemerintahan oleh Pemerintah
kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di
wilayah tertentu.
3.
Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau
desa dari Pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari Pemerintah
kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu
menurut Muslimin bahwa otonomi diartikan sebagai Pemerintahan
sendiri. Sedangkan
pengertian otonomi daerah menurut Fernandez adalah pemberian hak, wewenang, dan
kewajiban kepada daerah yang memungkinkan daerah tersebut dapat mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna
penyelenggaraan Pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan
pelaksanaan pembangunan (Salam, 2004:89).
Otonomi Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan Pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan,
sedangkan daerah otonom selanjutnya disebut daerah adalah kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus
urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
B.
ASAS-ASAS PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH
Dalam pelaksanaan otonomi, dikenal tiga bentuk asas
dalam penyelenggaraan Pemerintahan daerah yakni :
1.
Asas Desentralisasi
a.)
Menurut Rondinelli, desentralisasi merupakan sebagai transfer tanggng
jawab dalam perencanaan, manajemen dan alokasi sumber-sumber dari Pemerintah
pusat dan agen-agennya kepada unit kementerian Pemerintah pusat, unit yang ada
di bawah level Pemerintah, otoritas atau korporasi publik semi otonom, otoritas
regional atau fungsional dalam wilayah yang luas, atau lembaga privat non Pemerintah
dan organisasi nirlaba (Rosyada, 2005:150).
b.)
Menurut M. Turner dan D. Hulme berpandangan bahwa yang dimaksud dengan
desentralisasi adalah transfer kewenangan untuk menyelenggarakan beberapa
pelayanan kepada publik dari seseorang atau agen Pemerintah pustaa kepada
beberapa individu atau agen lain yang lebih dekat ke publik yang dilayani
(Rosyada, 2005:151).
Dari pemaknaan asas desentralisasi tersebut dapat
diklasifikasi dalam beberapa hal, diantaranya: (1) desentralisasi sebagai
penyerahan kewenangan dan kekuasaan; (2) desentralisasi sebagai pelimpahan
kekuasaan dan kewenangan; (3) desentralisasi sebagai pembagian, penyebaran,
pemencaran, dan pemberian kekuasaan dan kewenangan; serta (4) desentralisasi
sebagai sarana dalam pembagian dan pembentukan daerah Pemerintahan.
2.
Asas Dekonsentrasi
Menurut Laica Marzuki, dekonsentrasi merupakan ambtelijke
decentralisastie atau delegatie van bevoegdheid, yakni pelimpahan
kewenangan dari alat perlengkapan Negara di pusat kepada instansi bawahan, guna
melaksanakan pekerjaan tertentu dalam penyelenggaraan Pemerintahan. Pemerintah
pusat tidak kehilangan kewenangannya karena instansi bawahan melaksanakan tugas
atas nama Pemerintah pusat.
Sedangkan menurut Bagir Manan, dekonsentrasi hanya
bersangkutan dengan penyelenggaraan administrasi negara, karena itu bersifat
kepegawaian (ambtelijk). Kehadiran dekonsentarsi semata-mata untuk ”melancarkan” penyelenggaraan Pemerintahan
sentral di daerah. Penerapan asas dekonsentrasi dalam penyelenggaraan Pemerintahan
mendapat legitimasi yang kuat, mengingat keberadaannya telah diatur di dalam
Pasal 1 ayat (8) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah,
yang berbunyi “Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang Pemerintahan oleh Pemerintah
Pusat kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah dan/atau kepada instansi
vertikal di wilayahnya. (UU No. 32 Tahun 2004, ps 1 ayat 8).
3.
Asas Tugas Pembantuan
Daerah otonom selain melaksanakan asas
desentralisasi juga dapat diserahi kewenangan untuk melaksanakan tugas
pembantuan (medebewind). Tugas pembantuan dalam Pemerintahan daerah
adalah tugas untuk ikut melaksanakan peraturan perundang-undangan bukan saja
yang ditetapkan oleh Pemerintah pusat akan tetapi juga yang ditetapkan oleh Pemerintah
daerah tingkat atasnya.
Menurut Irawan Soejito (1981: 117), tugas
pembantuan itu dapat berupa tindakan mengatur (tugas legislatif) atau dapat
pula berupa tugas eksekutif (beschikken). Daerah yang mendapat tugas
pembantuan diwajibkan untuk mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskan.
Amrah Muslim menafsirkan tugas pembantuan (medebewind) adalah kewenangan
Pemerintah daerah menjalankan sendiri aturan-aturan dari Pemerintah pusat atau Pemerintah
daerah yang lebih tinggi tingkatannya. Daerah terikat melaksanakan peraturan
perundang-undangan termasuk yang diperintahkan atau diminta (vorderen) dalam
rangka tugas pembantuan. Tugas pembantuan dalam hal-hal tertentu dapat
dijadikan semacam “terminal” menuju penyerahan penuh suatu urusan kepada daerah
atau tugas pembantuan merupakan tahap awal sebagai persiapan menuju kepada
penyerahan penuh.
C.
LANDASAN OTONOMI DAERAH
Dari sisi sejarah perkembangan penyelenggaraan Pemerintahan
di Daerah telah dihadirkan berbagai Peraturan Perundangan yang mengatur
penyelengaraan mengenai Pemerintahan Daerah antara lain:
1.
UU No. 1 tahun 1945. Kebijakan
Otonomi daerah pada masa ini lebih menitikberatkan pada dekonsentrasi. Kepala
daerah hanyalah kepanjangan tangan Pemerintahan Pusat.
2.
UU No. 22 tahun 1948. Mulai tahun
ini Kebijakan otonomi daerah lebih menitikberatkan pada desentralisasi. Tetapi
masih ada dualisme peran di kepala daerah, di satu sisi ia punya peran besar
untuk daerah, tapi juga masih menjadi alat Pemerintah pusat.
3.
UU No. 1 tahun 1957. Kebijakan
otonomi daerah pada masa ini masih bersifat dualisme, di mana kepala daerah
bertanggung jawab penuh pada DPRD, tetapi juga masih alat Pemerintah pusat.
4.
Penetapan Presiden No.6 tahun
1959. Pada masa ini kebijakan otonomi daerah lebih menekankan dekonsentrasi.
Melalui penpres ini kepala daerah diangkat oleh Pemerintah pusat terutama dari
kalangan pamong praja.
5.
UU No. 18 tahun 1965. Kebijakan
otonomi daerah menitikberatkan pada desentralisasi dengan memberikan otonomi
yang seluas-luasnya bagi daerah, sedangkan dekonsentrasi diterapkan hanya
sebagai pelengkap saja.
6.
UU No. 5 tahun 1974. Setelah
terjadinya G.30.S PKI pada dasarnya telah terjadi kevakuman dalam pengaturan
penyelenggaraan Pemerintahan di daerah sampai dengan dikeluarkanya UU NO. 5
tahun 1974 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas perbantuan.
7.
UU No. 22 tahun 1999. Pemerintah
daerah sebagai titik sentral dalam penyelenggaraan Pemerintahan dan pembangunan
dengan mengedepankan otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
Seiring dengan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun
1945, kebijakan tentang Pemerintahan Daerah mengalami perubahan yang cukup
mendasar. Perubahan dilatarbelakangi oleh kehendak untuk menampung semangat
otonomi daerah dalam memperjuangkan kesejahteraan masyarakat daerah. Otonomi
daerah memberi keleluasaan kepada daerah mengurus urusan rumah tangganya
sendiri secara demokratis dan bertanggung jawab dalam bingkai Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Pada masa reformasi diberlakukannya UU no. 22 dan 29 tahun
1999 tentang otonomi daerah. Dengan berbagai macam perubahan dan kebutuhan, UU
tersebut akhirnya direvisi menjadi UU no. 32 dan 33 tahun 2004 Pemerintah
daerah diberikan wewenang untuk mengatur segala urusan rumah tangganya
masing-masing. Tuntutan bagi Pemerintah daerah untuk mengembangkan potensi yang
dimiliki dengan menjalankan roda Pemerintahan yang efektif dan efisien sesuai
dengan kemampuan masing-masing daerah.
BAB III
PARADIGMA BARU OTONOMI DAERAH DAN IMPLIKASINYA
A.
Latar Belakang Otonomi
Daerah
Kebijakan otonomi daerah lahir
ditengah gejolak tuntutan berbagai daerah terhadap berbagai kewenangan yang
selama 20 tahun Pemerintahan Orde Baru menjalankan
mesin sentralistiknya. UU No. 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian disusul dengan UU
No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa menjadi tiang utama tegaknya
sentralisasi kekuasaan Orde Baru. Semua mesin partisipasi dan prakarsa yang
sebelumnya tumbuh sebelum Orde Baru berkuasa, secara perlahan dilumpuhkan
dibawah kontrol kekuasaan. Stabilitas politik demi kelangsungan investasi
ekonomi (pertumbuhan) menjadi alasan pertama bagi Orde Baru untuk mematahkan
setiap gerak prakarsa yang tumbuh dari rakyat. Paling
tidak ada dua faktor yang berperan kuat dalam mendorong lahirnya kebijakan
otonomi daerah berupa UU No. 22/1999. Pertama, faktor internal yang didorong
oleh berbagai protes atas kebijakan politik sentralisme di masa lalu. Kedua,
adalah faktor eksternal yang dipengaruhi oleh dorongan internasional terhadap
kepentingan investasi terutama untuk efisiensi dari biaya investasi yang tinggi
sebagai akibat korupsi dan rantai birokrasi yang panjang.
Selama lima tahun pelaksanaan UU
No. 22 tahun 1999, otonomi daerah telah menjadi kebutuhan politik yang penting
untuk memajukan kehidupan demokrasi. Bukan hanya kenyataan bahwa masyarakat
Indonesia sangat heterogen dari segi perkembangan politiknya, namun juga
otonomi sudah menjadi alas bagi tumbuhnya dinamika politik yang diharapkan akan
mendorong lahirnya prakarsa dan keadilan. Walaupun ada upaya kritis bahwa
otonomi daerah tetap dipahami sebagai jalan lurus bagi eksploitasi dan
investasi, namun sebagai upaya membangun prakarsa ditengah-tengah surutnya
kemauan baik (good will) penguasa,
maka otonomi daerah dapat menjadi jalan alternatif bagi tumbuhnya harapan bagi kemajuan
daerah.
Pada saat rakyat Indonesia
disibukkan dengan pelaksanakan Pemilu 2004, Departemen Dalam Negeri (Depdagri)
dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melakukan revisi terhadap UU No. 22 tahun
1999. Dilihat dari proses penyusunan revisi, paling tidak ada dua cacat yang
dibawa oleh UU yang baru (UU No. 32 tahun 2004) yakni, proses penyusunan yang
tergesa-gesa dan tertutup ditengah-tengah rakyat sedang melakukan hajatan besar
pemilu. Padahal UU otonomi daerah adalah kebijakan yang sangat penting dan
menyangkut tentang kualitas pelaksanaan partisipasi rakyat dan pelembagaan
demokrasi. Kedua, UU tersebut disusun oleh DPR hasil pemilu 2004 dimana pada
waktu penyusunan revisi tersebut anggota DPR sudah mau demisioner. Tanggal 29
September 2004 bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan anggota DPR periode
1999-2004, Sidang Paripurna DPR menyetujui rancangan perubahan (revisi)
terhadap UU No. 22 tahun 1999 menjadi UU No. 32 tahun 2004. Tanggal 1 Oktober anggota DPR baru hasil pemilu 2004
dilantik. Secara de facto
DPR pemilu 1999 sudah kehilangan relevansinya untuk menyusun dan mengagendakan
pembahasan kebijakan yang sangat krusial.
Tibalah saatnya Pemerintahan diuji
kesungguhannya untuk menjalankan amanat politik rakyat, termasuk komitmennya
mengenai pelaksanaan desentralisasi. Pasang surut desentralisasi yang diwarnai
dengan tarik ulur kepentingan pusat dan daerah harus segera digantikan dengan
penciptaan sistem Pemerintahan di tingkat lokal yang demokratis. Sehubungan
dengan itu, maka diperlukan upaya yang sistematis untuk melakukan evaluasi
menyeluruh terhadap pelaksanaan desentralisasi yang berlangsung selama ini.
Dibutuhkan indikator desentralisasi yang membuka ruang bagi masyarakat untuk
berpartisipasi dalam berbagai aktivitas politik di tingkat lokal (political equality), mengedepankan
pelayanan kepada kepentingan publik (local
accountability), dan meningkatkan akselerasi pembangunan sosial ekonomi
yang berbasis pada kebutuhan masyarakat setempat (local responsibility). Selain harus tercermin dalam produk
kebijakan, indikator-indikator itu juga harus terimplementasi dalam praktek
desentralisasi yang dijalankan oleh Pemerintahan lokal.
B.
Implikasi
Kebijakan Otonomi Daerah di bidang Politik, Ekonomi dan Pendidikan
Implementasi otonomi daerah telah memasuki era
baru setelah Pemerintah dan DPR sepakat untuk mengesahkan UU Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Sejalan dengan diberlakukannya
undang-undang otonomi tersebut memberikan kewenangan penyelenggaraan Pemerintah
daerah yang lebih luas, nyata dan bertanggung jawab. Adanya perimbangan tugas
fungsi dan peran antara Pemerintah pusat dan Pemerintah daerah tersebut menyebabkan
masing-masing daerah harus memiliki penghasilan yang cukup, daerah harus
memiliki sumber pembiayaan yang memadai untuk memikul tanggung jawab
penyelenggaraan Pemerintahan daerah. Dengan demikian diharapkan masing-masing
daerah akan dapat lebih maju, mandiri, sejahtera dan kompetitif di dalam
pelaksanaan Pemerintahan maupun pembangunan daerahnya masing-masing. Adapun
implikasi otonomi daerah dalam beberapa bidang yaitu sebagai berikut :
1.
Bidang
Politik
Kebijaksanaan otonomi daerah yang baru membawa
implikasi yang luas diantaranya
terhadap pembinaan birokrasi di daerah, sekalipun segala sesuatu yang
menyangkut masalah kepegawaian masih tetap menggunakan peraturan perundangan
yang sudah ada, yaitu Undang-Undang
Pokok Kepegawaian. Hal ini dinyatakan dengan
tegas dalam pasal 75 UU no.22 tahun 1999 yang menyatakan “ Norma, standar dan prosedur mengenai
pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, gaji, tunjangan, kesejahteraan, hak dan kewajiban,
serta kedudukan hukum pegawai negeri sipil daerah, ditetapkan dengan
perundang-undangan.
Akan tetapi daerah mempunyai
wewenang yang luas, khususnya propinsi, kabupaten, dan kota untuk membuat
perencanaan kepegawaian yang sesuai dengan kebutuhan pada waktu tertentu.
Demikian pula daerah mempunyai kewenangan untuk melakukan pembinaan, pendidikan
dan latihan bagi aparat penyelenggara pemerintah daerah. Hal itu dinyatakan
dengan tegas pula dalam pasal 76 UU no.22 tahun 1999, yaitu “daerah mempunyai
wewenang untuk melakukan pengangkatan, pemberhentian, penetapan pensiun, gaji
tunjangan, dan kesejahteraan pegawai serta pendidikan dan pelatihan sesuai
dengan peraturan daerah berdasarkan perundang-undangan.
Tentu saja hal ini akan membawa
implikasi yang sangat luas, terutama yang menyangkut pola rekrutmen dan
pembinaan. Hanya saja yang perlu diperhatikan adalah mengingat potensi daerah
berbeda satu sama lainnya maka sudah seharusnya memperhatikan dimensi keadilan
dan kesetaraan antara satu daerah dengan daerah lainnya, jangan sampai
menimbulkan diskrepansi sosial yang membawa akibat gejolak sosial politik di
daerah.
2.
Bidang Ekonomi
Sektor perekonomian sangat sensitif apabila dihubungkan dengan proses
otonomi daerah. Pembangunan ekonomi suatu daerah seharusnya lebih baik apabila
diselenggarakan dengan konsep desentralisasi. Pembangunan ekonomi adalah suatu
proses dimana suatu masyarakat menciptakan suatu lingkungan yang mempengaruhi
hasil-hasil indikator ekonomi seperti kenaikan kesempatan kerja. Lingkungan
yang dimaksud sebagai sumber daya perencanaan meliputi lingkungan fisik,
peraturan dan perilaku (Blakley, 1989)
Dalam proses pengembangan ekonomi lokal, Pemerintah daerah bersama
dengan organisasi berbasis masyarakat mendorong dan merangsang kegiatan yang
dapat meningkatkan aktivitas usaha serta penciptaan lapangan pekerjaan. Dalam
pelaksanaan otonomoi daerah, pembangunan ekonomi lokal (PEL) memiliki pengaruh
besar terhadap suatu daerah. Hal ini tidak lain adalah untuk penguatan daya
saing ekonomi lokal untuk pengembangan ekonomi daerah. Kemandirian dalam
melakukan kegitan ekonomi dapat menambah pendapatan asli daerah (PAD), selain
itu tingkat pemberdayaan masyarakat kecil juga dapat terlaksana.
Dengan adanya otonomi daerah, suatu daerah dituntut untuk lebih peka dan
bertanggung jawab terhadap permasalahan ekonomi lokal sekaligus mengoptimalkan
potensi ekonomi yang dimilikinya. Maka dari itu perlu adanya tata kelola
ekonomi daerah supaya terbentuk otonomi daerah yang baik. Di negara kita maupun
di berbagai macam daerah sering meneriakkan prinsip-prinsip transparansi,
akuntabilitas, efisiensi, partisipasi yang tidak lain hanya menuju ke arah good governance. Seperti halnya otonomi
daerah harus memiliki tata kelola ekonomi yang baik, dengan mempertimbangkan
fungsi desentralisasi yang semakin kompleks khususnya di bidang ekonomi.
Ciri utama suatu daerah yang mampu
menjalankan otonomi daerah dapat dilihat dari kemampuan daerah untuk membiayai
pembangunan di daerahnya dengan tingkat ketergantungan kepada Pemerintah pusat
dengan proporsi yang sangat kecil. Artinya kemandirian keuangan adalah hal yang
paling diutamakan dalam terwujudnya otonomi daerah. Dengan adanya kemandirian
tersebut, suatu daerah diharapkan mampu dalam pengumpulan PAD (Pendapatan Asli
Daerah) yang menjadi bagian terbesar dalam mobilisasi dana penyelenggaraan Pemerintahan
daerah dan sudah sewajarnya PAD dijadikan tolak ukur dalam pelaksanaan otonomi
daerah. Pendapatan
Asli Daerah adalah penerimaan yang diperoleh
dari sektor pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah,
hasil pengeloalaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan
asli daerah yang sah. Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan salah satu
komponen sumber pendapatan daerah sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 79
undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah, berdasarkan
pasal 79 UU 22/1999 disimpulkan bahwa sesuatu yang diperoleh Pemerintah daerah
yang dapat diukur dengan uang karena kewenangan (otoritas) yang diberikan
masyarakat dapat berupa hasil pajak daerah dan retribusi daerah. Sumber
pendapatan daerah terdiri Pendapatan asli daerah, yaitu:
a.) Hasil Pajak Daerah. Menurut Davey ( 1988:118) Pemerintah
daerah memiliki wewenang untuk menjangkau sumber pajak di daerah yakni melalui
pemungutan langsung serta menetapkan tarif di daerah. Pajak- pajak tersebut
antara lain pajak atas jasa, pajak atas produksi, pajak atas kendaraan, dan
lain-lain.
b.) Hasil Retribusi Daerah. Pemerintah Daerah juga
memiliki wewenang dalam menetapkan retribusi daerah serta menarik retribusi
dalam rangka pemasukan daerah.
3.
Bidang Pendidikan
Pada
otonomi
daerah banyak Undang-undang yang mengatur khusus mengenai pendidikan salah satu
undang-undang yang diimplementasikan dalam pendidikan yaitu UU Nomor 2 tahun
2003 tentang sistem
pendidikan nasional, privatisasi Perguruan
Tinggi Negeri dengan status baru BHMN melalui PP
no 60 tahun 2000 sampai UU No.32 tahun 2004
tentang Pemerintahan daerah dan UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah yang mengatur konsep, sistem dan pola pendidikan juga kewenangan di sektor pendidikan yang digariskan bagi
pusat maupun daerah.
Desentralisasi pendidikan secara
konseptual dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu, pertama desentralisasi
kewenangan disektor pendidikan dan kedua desentralisasi pendidikan dengan fokus pada pemberian kewenangan yang lebih
besar ditingkat sekolah. Konsep pertama berkaitan dengan penyelenggaraan Pemerintah
dari pusat ke daerah sebagai
wujud dari demokratisasi, kebijakaan yang dimaksud lebih pada kebijakaan
pendidikan dan aspek pendanaannya
dari Pemerintah pusat ke daerah. Pada konsep kedua lebih fokus terhadap pemberian kewenangan yang
lebih besar ditingkat manejemen sekolah untuk meningkatkan kualitas
pendidikannya.
Adanya
desentralisasi pendidikan bukan berarti Pemerintah pusat lepas tangan atau
tidak mencampuri urusan pendidikan. Pemerintah pusat masih mempertahankan
kewenangannya dalam dunia pendidikan yang terdapat pada Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 25 tahun 2000 mengenai kewenangan Pemerintah dan
kewenangan provinsi sebagai daerah otonomi. Kewenangan tersebut diantaranya
berhubungan dengan standar kompetensi siswa serta pengaturan kurikulum
nasional, standar materi pelajaran pokok, gelar akademik, biaya penyelenggaraan
pendidikan, benda cagar budaya dan kalender akademik.
Kebijakan
otonomi daerah dalam pendidikan memberikan dampak baik positif maupun negatif.
Daerah yang dapat memanfaatkan kondisi yang ada tentu saja akan memberikan
dampak positif dari otonomi daerah tersebut. Fenomena muncul raja-raja kecil
didaerah diakibatkan ketika kontrol Pemerintah pusat tidak lagi berperan dalam
pengambilan keputusan dan pengawasan hal ini menjadi dampak negatif jika Pemerintah
belum siap dalam desentralisasi. Kebijakan desentralisasi ini kemungkinan akan
menimbulkan jurang pemisah antara daerah yang maju dan tidak. Pemerataan yang
tidak berhasil terlihat jelas dari kualitas pendidikan yang dihasilkan tiap
daerah. Kemungkinan yang terjadi karena tidak meratanya pendistribusian tenaga
guru. Daerah yang kaya akan jauh lebih banyak menyedot tenaga guru yang berkualitas.
Akhirnya daerah-daerah tertentu di Indonesia akan kelebihan guru dan daerah
yang lainnya kekurangan tenaga guru. Desentralisasi pendidikan menentukan pula
hasil belajar siswa. Hal ini disebabkan pembuatan silabus materi pembelajaran
dibuat berdasarkan kebutuhan siswa, keadaan sekolah dan kondisi daerah.
Perbedaan-perbedaan tersebut memberikan kemungkinan terjadinya hasil belajar
siswa.
Salah satu hasil dari
desentralisasi pendidikan adanya implikasi konsep manajemen berbasis sekolah (MBS)
yang mulai
diimplementasikan pada sekolah-Sekolah
Dasar dan Menengah di beberapa provinsi di Indonesia. Desentralisai pendidikan menajadi suatu
gagasan yang brilian namun juga menjadi suatu tantangan bagi kita. Dalam
bukunya Sam M. Chan dan Tuti T.Sam yang berjudul Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah, dituliskan:
Adapun tantangan
yang harus diperhitungkan dalam pengimplementasian kebijakan ini adalah
munculnya individu-individu/lembaga-lembaga serakah yang mencari kesempatan
dalam kesempitan...( Sam, 2005:12).
C.
Permasalahan Dan Upaya Mengatasi Masalah Yang Terjadi
Dalam Otonomi Daerah Pada Masa Reformasi
1.
Permasalahan Yang Timbul Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah
Dalam UU No. 32 tahun 2004 pasal 1
ayat 5, pengertian otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan Pemerintah dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Setelah
berlakunya peraturan tersebut, daerah diberi berbagai kewenangan untuk mengatur
urusan rumah tangganya, hal ini menimbulkan berbagai masalah timbul akibat
kewenangan tersebut. Permasalahan yang timbul antara lain:
a.) Kondisi SDM
aparatur pemerintahan yang belum menunjang
sepenuhnya pelaksanaan otonomi daerah.
Penyelenggaraan otonomi daerah yang baik haruslah didukung oleh kondisi SDM
aparatur pemerintah yang memiliki kualitas
yang cakap sehingga dapat menjalankan berbagai kewenangan pemerintah
daerah. Namun sayangnya hal ini cukup sulit untuk diwujudkan. Pentingnya
posisi manusia karena manusia merupakan unsur dinamis dalam organisasi yang
bertindak/berfungsi sebagai subjek penggerak roda organisasi Pemerintahan. Oleh
sebab itu kualitas mentalitas dan kapasitas manusia yang
kurang memadai dengan sendirinya melahirkan impikasi yang kurang menguntungkan
bagi penyelenggaraan otonomi daerah. Manusia
pelaksana Pemerintah daerah dapat di kelompokkan menjadi:
1.)
Pemerintah daerah yang terdiri dari kepala daerah dan
dewan perwakilan daerah (DPRD). Dalam kenyataan syarat syarat yang di tentukan
bagi seorang kepala daerah belum cukup menjamin tuntutan kualitas yang ada.
2.)
Alat-alat perlengkapan daerah yakni aparatur daerah
dan pegawai daerah.
3.)
Rakyat daerah yakni sebagai komponen environmental
(lingkungan)yang merupakan sumber energi terpenting bagi daerah sebagai
organisasi yang bersifat terbuka.
Para aparatur Pemerintah daerah pada
umumnya memiliki kualitas yang belum memadai, hal ini juga disebabkan oleh
kurangnya kemampuan daerah dalam merekrut pegawai baru yang berada di luar
struktur Pemerintahan sebelumnya. Menurut Widjaja (2003:37) Daerah mempunyai
kewenangan untuk mengangkat perangkat daerah, namun belum cukup jelas
kewenangannya untuk merekrut perangkat daerah baru yang berada di luar struktur
Pemerintahan sebelumnya, misalnya merekrut dari kalangan LSM, Perguruan Tinggi,
kalangan Swasta Profesional dan lain-lain. Hal ini menyebabkan daerah sulit
untuk mendapatkan calon-calon pegawai yang cakap.
b.)
Bergesernya Korupsi Dari Pusat Ke Daerah
Korupsi yang awalnya terjadi pada Pemerintah pusat bergeser ke daerah
karena daerah diberikan wewenang sendiri dalam mengatur keuangannya. Banyak
pejabat daerah yang masih mempunyai kebiasaan menghambur-hamburkan uang rakyat
untuk ke luar Negeri dengan alasan studi banding. Otonomi
daerah memberikan kewenangan yang sangat penting bagi kepala daerah. Hal ini
juga menyebabkan adanya kedekatan pribadi antara kepala daerah dan pengusaha
yang ingin berinvestasi di daerah. Dengan begitu maka akan terjadi pemerasan
dan penyuapan.
c.)
Eksploitasi Pendapatan Daerah
Salah satu
konsekuensi otonomi adalah kewenangan daerah yang lebih besar dalam pengelolaan
keuangannya, mulai dari proses pengumpulan pendapatan sampai pada alokasi pemanfaatan
pendapatan daerah tersebut. Dalam kewenangan semacam ini sebenarnya sudah
muncul inherent risk, risiko bawaan,
bahwa daerah akan melakukan upaya maksimalisasi, bukan optimalisasi, perolehan
pendapatan daerah. Upaya ini didorong oleh kenyataan bahwa daerah harus
mempunyai dana yang cukup untuk melakukan kegiatan, baik itu rutin maupun
pembangunan. Daerah harus membayar seluruh gaji seluruh pegawai daerah, pegawai
pusat yang statusnya dialihkan menjadi pegawai daerah, dan anggota legislatif
daerah. Di samping itu daerah juga dituntut untuk tetap menyelenggarakan
jasa-jasa publik dan kegiatan pembangunan yang membutuhkan biaya yang tidak
sedikit. Dengan alasan di atas, biasanya Pemerintah daerah kemudian berusaha
mencari pendapatan daerah sebanyak mungkin, seperti melalui pemungutan pajak,
retribusi, hingga eksploitasi daerah yang maksimal.
d.)
Kurangnya Pemahaman Terhadap Konsep
Desentralisasi Dan Otonomi Daerah
Pasal
18 UUD 1945 menyebutkan bahwa Indonesia
adalah Negara Kesatuan yang terdesentralisasi. Pada kenyataan pemahaman
terhadap desentralisasi dan otonomi daerah masih kurang. Pemerintah pusat dan Pemerintah
daerah masih belum memaksimalkan perannya dalam Pemerintahan. Mentalitas dari aparat Pemerintah baik pusat maupun daerah
masih belum mengalami perubahan yang mendasar. Hal ini terjadi karena perubahan
sistem tidak dibarengi penguatan kualitas sumber daya manusia yang menunjang
sistem Pemerintahan yang baru. Pelayanan publik yang diharapkan, yaitu
birokrasi yang sepenuhnya mendedikasikan diri untuk untuk memenuhi kebutuhan
rakyat sebagai pengguna jasa adalah pelayanan publik yang ideal. Untuk
merealisasikan bentuk pelayanan publik yang sesuai dengan asas desentralisasi
diperlukan perubahan paradigma secara radikal dari aparat birokrasi sebagai
unsur utama dalam pencapaian tata Pemerintahan lokal.
e.)
Penyediaan Aturan Pelaksanaan Otonomi Daerah Yang
Belum Memadai
Pada awalnya peraturan mengenai pelaksanaan otonomi daerah di tetapkan
dalam Ketetapan MPR-RI Nomor XV/MPR/1998
tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan
Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan
Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selanjutnya lahirlah
UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya UU No. 25/1999 yang
mengatur hubungan keuangan pusat dan daerah, menggantikan UU No. 5/1974 yang
sentralistik. Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah daerah,
ditetapkan berdasarkan kuatnya tuntutan masyarakat akan perlunya mengatur diri
sendiri sebagai dampak negatif dari sentralisasi yang dirasakan terlalu lama
semasa Orde Baru. Oleh karena tuntutan masyarakat itu terlalu mendesak dan
harus direspon dalam waktu singkat, maka Pemerintah dengan persetujuan DPR-RI
mengeluarkan undang-undang tentang Pemerintah daerah. Namun sesuai dengan
prosesnya yang mendesak, tentu saja materi isi dan substansinya masih banyak
kekurangan dan kelemahan dan perlu diantisipasi oleh daerah. (Widjaja,
1999:1-2).
Menurut Widjaja (2003:35-37) ada beberapa hal yang harus dicermati mengenai
peraturan pelaksanaan Pemerintah daerah yang telah di susun, antara lain:
1.
Pembagian Daerah.
2.
Pembentukan
dan Susunan Daerah
3.
Kewenangan Daerah
4.
Bentuk dan Susunan Pemerintah
Daerah
f.)
Potensi Munculnya Konflik
Antar Daerah
Dengan pelaksanaan otonomi daerah muncul gejala etno-sentrisme atau
fenomena primordial kedaerahan semakin kuat. Indikasi
etno-sentrisme ini terlihat dalam beberapa kebijakan di daerah yang menyangkut
pemekaran daerah, pemilihan kepala daerah, rekruitmen
birokrasi lokal dan pembuatan kebijakan lainnya. Selain itu,
ancaman disintegrasi juga dapat memicu sebuah konflik. Dengan adanya pelimpahan
pelimpahan wewenang kepada daerah menyebabkan daerah menjadi terbagi-bagi dan
muncul kesenjangan yakni ketimpangan pembangunan antara daerah yang sumber dayanya
kaya dengan daerah yang hanya memiliki sumber daya alam yang sedikit.
Adanya potensi sumber daya alam di
suatu wilayah, juga rawan menimbulkan perebutan dalam menentukan batas wilayah
masing-masing. Konflik horizontal sangat mudah tersulut. Di era otonomi daerah tuntutan
pemekaran wilayah juga semakin kencang dimana-mana. Pemekaran ini telah
menjadikan NKRI terkerat-kerat menjadi wilayah yang berkeping-keping. Satu
provinsi pecah menjadi dua-tiga provinsi, satu kabupaten pecah menjadi dua-tiga
kabupaten, dan seterusnya, semakin
berkeping-keping NKRI semakin mudah separatisme dan perpecahan terjadi.
2.
Upaya Mengatasi Masalah Yang Terjadi Dalam Otonomi Daerah
Pada Masa Reformasi
Beberapa upaya
yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan dalam otonomi daerah adalah
sebagai berikut :
a.) Pemerintah
pusat harus melaksanakan otonomi daerah dengan penuh keikhlasan agar daerah
dapat memperoleh hak untuk mengolah sumber daya di daerah secara optimal.
b.) Bahwa
tujuan dan semangat yang melandasi otonomi daerah adalah hasrat untuk menggali
sendiri pendapatan daerahnya serta kewenangan untuk meningkatkan PAD
masing-masing daerah menuju peningkatan kesejahteraan masing-masing daerah
menuju peningkatan masyarakat daerah,
oleh karena itu untuk mencegah kondisi disintesif, pemda dalam rangka otonomi
daerah perlu mengembangkan strategi efesiensi dalam segala bidang.
c.) Untuk menopang pelaksanaan otonomi daerah
perlu dikembangkan ekonomi kerakyatan secara sistematis, mensinergikan kegiatan
lembaga/institusiriset pada PTN/PTS di daerah dengan industri kecil menengah
dan tradisional.
d.) Merekomendasikan kepada pemerintah untuk
memperbaiki dasar-dasar ekonomi yang sudah rapuh, dengan mengembangkan usaha
kecil/menengah dan koperasi menjadi lebih produktif serta berupaya terus untuk
memberantas kemiskinan structural.
e.) Memanfaatkan
dan mengelola sumber daya alam dengan baik agar supaya sumber kekayaan yang
tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal dan secara lestari.
f.) Mendorong
desentralisasi pembangunan daerah, mendayagunakan lembaga di daerah khususnya
DPRD untuk memiliki wewenang dan kemandirian dalam membuat produk hukum
pembangunan di daerah. Ketentuan-ketentuan yang menyangkut perizinan,
pengelolaan, pendayagunaan dan lain sebagainya yang berkaitan dengan masalah
pembangunan yang di rumuskan oleh DPRD dan pemerintah daerah.
D.
Studi Kasus
Otonomi Daerah Provinsi
Banten
Pembentukan daerah otonom pada dasarnya
dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat disamping sebagai sarana pemberdayaan publik, termasuk
juga pendidikan politik lokal didalamnya. Untuk itu, pembentukan daerah harus
mempertimbangkan berbagai faktor, seperti: (1) kemampuan ekonomi, (2) potensi
daerah, (3) luas wilayah, (4) kependudukan, (5) pertimbangan aspek
sosial-politik, (6) pertimbangan aspek sosial-budaya, serta (7) pertimbangan
dan syarat lainnya, untuk dapat memungkinkan daerah itu dapat menyelenggarakan
dan mewujdukan tujuan dibentuknya daerah otonom. Pemekaran pun terjadi di tanah
Banten, melalui Undang-undang No 23 tahun 2000 Propinsi Banten akhirnya
terbentuk setelah memisahkan diri dari Provinsi Jawa Barat.
Sampai pada tahun 1998, Kota Tangerang, Kabupaten
Tangerang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang, dan Kabupaten Serang, masih
menjadi bagian dari Provinsi Jawa Barat. Terjadi pula isu pemekaran pada tingkat kabupaten/kota di Propinsi
Banten yakni pemekaran dari Kabupaten Pandeglang menjadi 2 kabupaten baru,
yakni Calon Kabupaten Caringin dan Calon Kabupaten Cibaliung. Sedangkan isu
pemekaran di Kabupaten Lebak menjadi Calon Kabupaten Cilangkahan (Lebak
Selatan) yang telah melewati kajian akademik Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam
Negeri maupun dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa dengan predikat lulus
bersyarat, serta di Kabupaten Serang saat ini telah dimekarkan dengan
dikeluarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2007 tentang pembentukan Kota Serang
dimana sekarang ini Kabupaten Serang sedang mencari lokasi untuk menentukan ibu
kota kabupaten. Kemudian Kabupaten Tangerang yang telah dimekarkan menjadi
Kabupaten Tangerang dan Kabupaten Tangerang Selatan. Isu-isu pemekaran ini
menimbulkan pro dan kontra diantara masyarakat banyak, bahkan terkadang antara
eksekutif dengan legislatif mengalami perbedaan pandangan apakah mendukung atau
tidak mendukung proses pemekaran suatu daerah.
Faktor kepentingan juga lah yang bermain, cost
and benefit yang cukup menentukan dalam membagi kelompok pro dan kontra,
yang akan diuntungkan otomatis akan mendukung proses pemekaran sedangkan yang
dirugikan akan menolak proses pemekaran ini. Sebuah kabupaten induk akan
menolak proses pemekaran apabila akibat dari pemekaran yang terjadi akan
mengurangi PAD kabupaten tersebut, bahkan akan mengganggu kelangsungan
pendapatan kabupaten induk. Lain halnya ketika kabupaten baru yang terbentuk
dari proses pemekaran ini adalah beban bagi kabupaten induk, proses pemekaran
akan didukung. Demikian pula pemekaran di level kecamatan pun banyak terjadi di
berbagai wilayah, dimana seharunya memperhatikan Peraturan Pemerintah No. 19
Tahun 2008 tentang Kecamatan. Di Kabupaten Lebak telah terjadi beberapa
pemekaran dalam level kecamatan yakni diantaranya adalah Kecamatan Cijaku
dimekarkan kecamatan baru yakni Kecamatan Cigemblong, Kecamatan Malingping
dimekarkan kecamatan baru Kecamatan Wanasalam, Kecamatan Panggarangan dimekarkan
kecamatan baru Kecamatan Cihara, dan Kecamatan Bayah dimekarkan kecamatan baru
Kecamatan Cilograng. Pada level desa, jumlah desa/kelurahan di Provinsi Banten
pada tahun 2008 hanya terdapat 1.504 desa/kelurahan bertambah menjadi 1.535
desa/kelurahan pada akhir tahun 2010 berarti ada penambahan sebanyak 31 desa
dalam rentang 24 bulan, artinya setiap bulan lebih dari satu desa (1,29) baru
terbentuk/dimekarkan.
Provinsi Banten sampai saat ini memiliki 8
Kabupaten/Kota. Berikut ini Nama Kabupaten/Kota di Provinsi Banten sampai tahun
1998, sebelum ada pemekaran daerah, yaitu : Kota Tangerang, Kabupaten
Tangerang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang, dan Kabupaten Serang. Dan
berikut ini Nama Kabupaten/Kota di Provinsi Banten yang merupakan hasil
pemekaran daerah sejak tahun 1999, yaitu : Kota Cilegon, pemekaran dari
Kabupaten Serang, 20 April 1999. Kota Serang, pemekaran dari Kabupaten Serang,
17 Juli 2007. Kota Tangerang Selatan, pemekaran dari Kabupaten Tangerang, 29
Oktober 2008. (http://nahrawi.wordpress.com/2009/05/14/pemekaran-daerah-di-provinsibanten/).
Implikasi Otonomi Daerah Terhadap
Kehidupan Masyarakat Banten
1.
Bidang
Politik
Dampak pemekaran wilayah Banten
menjadi sebuah provinsi dalam bidang politik adalah Banten memiliki pemerintahan daerah sendiri .
Dengan adanya kewenangan daerah yang diberikan oleh pemerintah pusat, maka
Banten berhak melakukan pemilihan kepala daerah sendiri dalam hal ini yang
menjadi kepala pemerintahan Banten adalah Gubernur dan wakil gubernur yang
dipilih langsung oleh masyarakat Banten melalui Pilkada. Walaupun pada awal
pembentukan Banten menjadi sebuah provinsi, gubernur pertama Banten Gubernur Hakamuddin
Djamal dipilih oleh Pemerintah Pusat. Namun
selanjutnya Pada tahun 2002 pemilihan gubernur dan wakil gubernur Banten
di pilih oleh DPRD
Banten yang memilih Djoko Munandar
dan Ratu Atut Chosiyah
sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Banten pertama. Dan Akhirnya masyarakat
Banten memiliki hak untuk memilih langsung gubernur dan wakil gubernurnya
sendiri yakni, tanggal 6 Desember 2006 dilaksanakan Pemilihan Kepala Daerah
langsung, yang dimenangi oleh pasangan Ratu Atut Choisiyah dan Mohammad
Masduki, kedua-duanya menjabat pada periode 2007-2011.
Selanjutnya selain memiliki pemerintahan sendiri, Banten juga memiliki wilayah
pemerintahan sendiri tanpa terikat dengan provinsi sebelumnya yakni provinsi
Jawa Barat. Wilayah Banten terletak di antara 5º7'50"-7º1'11" Lintang
Selatan dan 105º1'11"-106º7'12" Bujur
Timur, berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
23 tahun 2000
luas wilayah Banten adalah 9.160,70 km². Provinsi Banten terdiri dari 4 kota,
4 kabupaten,
154 kecamatan,
262 kelurahan,
dan 1.273 desa.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Banten)
2.
Bidang
Sosial
Budaya
Dengan adanya otonomi daerah, maka Banten
sebagai suatu provinsi memiliki pengakuan bahwa secara kultural Banten memiliki
budaya sendiri yang berbeda dengan provinsi lainnya di Indonesia. Potensi dan
kekhasan budaya masyarakat Banten, antara lain seni bela diri Pencak
silat, Debus,
Rudad, Umbruk, Tari Saman, Tari Topeng, Tari Cokek, Dog-dog, Palingtung, dan
Lojor. Di samping itu juga terdapat peninggalan warisan leluhur antara lain
Masjid Agung Banten Lama, Makam Keramat Panjang, dan masih banyak peninggalan lainnya.
Di Provinsi Banten terdapat Suku Baduy. Suku Baduy Dalam merupakan suku asli Sunda Banten yang
masih menjaga tradisi antimodernisasi, baik cara berpakaian maupun pola hidup
lainnya. Suku Baduy-Rawayan tinggal di kawasan Cagar Budaya Pegunungan Kendeng
seluas 5.101,85 hektare di daerah Kanekes, Kecamatan Leuwidamar,
Kabupaten
Lebak. Perkampungan masyarakat Baduy umumnya terletak di daerah aliran
Sungai Ciujung di Pegunungan Kendeng. Daerah ini dikenal sebagai wilayah tanah
titipan dari nenek moyang, yang harus dipelihara dan dijaga baik-baik, tidak
boleh dirusak.
3.
Bidang
ekonomi
Pertumbuhan
sektor-sektor perekonomian dapat dilihat dari pergeseran bersih, yaitu
penjumlahan dari komponen PP dan PPW. Apabila pergeseran bersih bernilai
positif, maka pertumbuhan sektor-sektor perekonomian termasuk dalam kelompok
pertumbuhan cepat, dan apabila pergeseran bersih bernilai negatif maka
pertumbuhan sektor-sektor perekonomian pada suatu wilayah termasuk dalam kelompok
pertumbuhan lambat. Berdasarkan tabel dibawah, menunjukkan bahwa pada masa
sebelum otonomi daerah tahun 1994-1996, hanya ada satu sektor yang termasuk
dalam kelompok pertumbuhan cepat, yaitu sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Delapan sektor
lainnya, yaitu sektor pertanian, sektor pertambangan, sektor industri
pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih, sector bangunan, sektor perdagangan, hotel dan
restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi, dan sektor jasa-jasa termasuk
dalam kelompok pertumbuhan lambat. Secara
keseluruhan pertumbuhan ekonomi Provinsi Banten memiliki pertumbuhan yang
lambat.
Pergeseran Bersih Sektor-sektor
Perekonomian Provinsi Banten Sebelum dan Pada Masa Otonomi Daerah
No
|
Sektor
|
Sebelum Otonomi
Daerah
|
Masa Otonomi
|
||||
1994-1996
|
1997-1999
|
2000-2002
|
|||||
(Rp)
|
(%)
|
(Rp)
|
(%)
|
(Rp)
|
(%)
|
||
1
|
Pertanian
|
-68.761
|
-5
|
132.221,28
|
8
|
62.801,97
|
4
|
2
|
Pertambangan
|
-5.360
|
-16
|
-16.511,04
|
-42
|
924,84
|
5
|
3
|
Industri pengolahan
|
-204.495
|
-45
|
-1.136.990,04
|
-12
|
333.485,66
|
4
|
4
|
Listrik, Gas dan Air
Bersih
|
-13.671
|
-3
|
-81.638,44
|
-13
|
45.413,15
|
6,5
|
5
|
Bangunan
|
-25.047
|
-4
|
-317.715,34
|
-38
|
51.714,32
|
13
|
6
|
Perdagangan, Hotel
dan Restoran
|
-193.131
|
-8
|
-12.357,47
|
-0.4
|
172.299,35
|
6
|
7
|
Pengangkutan dan
Komunikasi
|
-83.467
|
-7
|
-233.832,60
|
-15
|
262.726,88
|
20
|
8
|
Keuangan, Persewaan
dan Jasa Perusahaan
|
17.349
|
4
|
-162.918,96
|
-24
|
-8.748,80
|
-2
|
9
|
Jasa-jasa
|
-136.893
|
-18
|
99.685,52
|
11
|
17.905,25
|
2
|
|
Total
|
-713.476
|
-102
|
-1.730.057,09
|
-125,4
|
938.552,62
|
58,5
|
Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat,
1994-2002; BPS Provinsi Banten, 2000-2002 (Nazara, 2006:90).
Pada
masa sebelum otonomi periode 1997-1999, ada dua sektor yang termasuk dalam
pertumbuhan cepat, yaitu sektor pertanian dan sektor jasa-jasa. Tujuh sektor
lainnya termasuk dalam kelompok pertumbuhan lambat, yaitu sektor
pertambangan,
sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih, sektor
bangunan,
sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi, dan
sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Tetapi pada periode tersebut
secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi Provinsi Banten memiliki pertumbuhan
yang lambat. Pada masa otonomi daerah tahun 2000-2002,
sektor
keuangan, persewaan dan jasa perusahaan masuk dalam kelompok pertumbuhan
lambat, sedangkan delapan sektor lainnya termasuk dalam kelompok pertumbuhan
cepat. Secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi Provinsi Banten pada masa otonomi
daerah memiliki pertumbuhan yang cepat.
Dengan
adanya otonomi daerah, maka Banten dapat mengatur sendiri perekonomiannya.
Potensi sektor pertanian terus dikembangkan. Luas lahan panen dan besarnya
produksi padi yang dihasilkan terus bertambah, dari 337.986 ha dan 1.756.037
ton pada 2005 menjadi 364,721 ha, dan 1.812.495 ton pada 2006. Praktik budidaya
selama kurun tahun 2002 2004 semakin membaik, tercermin dari laju pertumbuhan
produksi rata rata lebih tinggi, (11,16% per tahun) dari laju pertumbuhan lahan
panen rata rata (2,33% per tahun). Meskipun laju pertumbuhan produksi perluas
lahan panen untuk jenis tanaman palawija meningkat, pola dan praktis
produksinya relatif belum berkembang. Laju pertumbuhan rata rata luas lahan
panen 2,48% per tahun, namun laju pertumbuhan rata-rata produksinya hanya 4,08%
per tahun, atau dengan rasio mencapai 1,64%. Di antara semua tanaman palawija,
ubi kayu dan kacang kedelai memiliki rasio laju pertumbuhan produksi rata rata
berbanding laju pertumbuhan luas panen rata rata di angka 1 (masing masing 1,41
dan 6,75). Budidaya ternak meningkat dari tahun ke tahun, mulai dart sapi
potong, sapi perah, kerbau, kuda, kambing, domba dan babi. jumlah populasi
ternak yang di budidayakan semakin meningkat antara tahun 2002 2004 dengan rata
rata laju pertumbuhan jumlah dan jenis populasi sebesar 24,97% per tahun.
Kenerja
sektor perikanan mencakup perikanan tangkap (laut dan perairan umum) dan
perikanan budidaya (laut, tambak, kolam, sawah, keramba, jaring terapung).
Produksi perikanan hingga 2004 mancapai 76.324,05 ton dengan nilai Rp 538.130
miliar, menurun dibanding produksi tahun 2002 mencapai 87.279,40 ton dengan
nilai produksi Rp 588.101 niliar, karena pengaruh menurunya produksi perikanan
tangkap hingga sebesar 2,95%. Kontribusi perikanan tangkap terhadap total
produksi perikanan mancapai 70,98%, dengan milai produksi sebesar 54,24%.
Sedangkan kontribusi perikanan budidaya sebesar 29,02% dengan nilai produksi
45,76%. Sektor pariwisata juga merupakan salah satu sektor yang dikembangkan
oleh pemerintah daerah Banten karena Banten merupakan provinsi yang kaya akan
potensi pariwisata, antara lain, taman nasional ujung kulon, pantai carita,
pantai umang, dan lain-lain. (http://www.indonesia.go.id/in/pemerintah-daerah/provinsi-Banten/sumber-daya-alam).
4.
Bidang
Infrastruktur
Dengan adanya otonomi daerah, maka
Banten sebagai suatu provinsi memiliki hak dan tanggung jawab untuk membangun
berbagai instruktur yang menunjang bagi kehidupan masyarakat Banten. Hal ini
terlihat dengan adanya pembangunan infrastruktur pemerintahan, seperti
pembangunan kantor DPRD, kantor Gubernur, dan lain-lain. Dalam bidang
pendidikan, pemerintah daerah Banten berupaya membangun sekolah-sekolah maupun
memperbaiki sekolah yang keadaannya tidak layak. Selain itu, pembangunan
infrastruktur jalan raya di provinsi Banten juga di lakukan karena banyak
mengalami kerusakan. Menurut Portal Nasional RI PT Banten Global Development
(BGD) menyiapkan lima proyek infrastruktur prioritas guna mengembangkan wilayah
Banten. Lima proyek tersebut adalah Jembatan Selat Sunda (JSS), kawasan ekonomi
khusus (KEK) Tanjung Lesung, Bandara Panimbang, tol Panimbang-Serang, dan mass
rapid transit (MRT) rute Serpong-Tangerang-Rawa Buntu. (http://www.indonesia.go.id/in/kementrian/kementrian/kementrianperindustrian/695-sarana-dan-prasarana/11527-bgd-siapkan lima-proyek-infrastruktur-di-Banten).
BAB IV PENUTUP
KESIMPULAN
Otonomi
daerah adalah suatu keadaan yang memungkinkan daerah dapat mengaktualisasikan
segala potensi terbaik yang dimilikinya secara optimal. Pemberian otonomi daerah adalah mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran masyarakat
serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi,
pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga pada hakikatnya tujuan otonomi
daerah adalah untuk memberdayakan daerah dan mensejahterakan rakyat.
Implementasi
otonomi daerah telah memasuki era baru setelah Pemerintah dan DPR sepakat untuk
mengesahkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33
Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Sejalan dengan diberlakukannya undang-undang otonomi tersebut memberikan
kewenangan penyelenggaraan Pemerintah daerah yang lebih luas. Hal ini dapat terlihat
dari beberapa aspek, diantaranya adalah aspek politik, ekonomi dan pendidikan.
Dalam Desentralisasi politik adanya sebuah birokrasi yang
muncul, dalam pendidikan
otonomi daerah menempatkan sekolah sebagai garis depan dalam berperilaku
untuk mengelola pendidikan. Desentralisasi juga memberikan apresiasi terhadap
perbedaan kemampuan dan keberanekaragaman kondisi daerah dan rakyatnya. Dalam bidang ekonomi diharapkan
munculnya kemandirian dalam mengelola keuangan daerah.
Sejalan dengan itu, Pemerintah Daerah harus dapat
mendayagunakan potensi sumber daya daerah secara optimal. Dengan semakin
berkurangnya tingkat ketergantungan Pemerintah Daerah terhadap Pemerintah
Pusat, Daerah dituntut mampu meningkatkan profesionalisme aparatur Pemerintah
Daerah, melaksanakan reformasi akuntansi keuangan daerah dan manajemen keuangan
daerah, melaksanakan perencanaan strategik secara benar, sehingga akan memacu
terwujudnya otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi, dan bertanggung jawab.
Adapun
dampak negatif
dari otonomi daerah adalah munculnya kesempatan bagi oknum-oknum di tingkat
daerah untuk melakukan berbagai pelanggaran, munculnya pertentangan antara
pemerintah daerah dengan pusat, serta timbulnya kesenjangan antara daerah yang
pendapatannya tinggi dengan
daerah yang masih berkembang. Bisa
dilihat bahwa masih banyak permasalahan yang mengiringi berjalannya otonomi
daerah di Indonesia. Permasalahan-permasalahan itu tentu harus dicari
penyelesaiannya agar tujuan awal dari otonomi daerah dapat tercapai dengan baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Davey, K.J. (1988). Pembiayaan Pemerintah Daerah. Jakarta:
UI Press.
Marbun,
B. (2005). Otonomi Daerah 1945‐2005 Proses dan Realita
Perkembangan Otda Sejak Zaman Kolonial sampai Saat Ini.
Jakarta: Pustaka Sinar harapan.
Nazara,
C.M. (2006). Dampak Otonomi Daerah Terhadap Pemekaran Provinsi Banten. Skripsi pada FEM IPB Bogor: tidak diterbitkan.
Rosyada,
D. et al. (2005). Demokrasi, Hak Asasi Manusia &Masyarakat Madani.
Jakarta: Tim Icce Uin Jakarta dan Prenada Media.
Salam,
D. (2004). Otonomi Daerah, Dalam Perspektif Lingkungan, Nilai dan Sumber
Daya. Bandung: Djambatan.
Sam, C. dkk. (2008). Kebijakan
Pendidikan Era Otonomi Daerah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sarundajang. (1999). Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Soejito, I. (1981). Hubungan Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah. Jakarta: Bina Aksara.
Syahrir. dkk. (2001). Pemulihan
Ekonomi dan Otonomi Daerah(refleksi pemikiran partai golkar. Jakarta:
LASPI.
Widarta. (2001). Cara Mudah Memahami Otonomi Daerah. Yogyakarta:
Lapera Pustaka Utama.
Widjaja, H. (2003). Pemerintah
Desa/marga Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Widjaja, H. (2003). Titik Berat
Otonomi pada Daerah Tingkat II. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah.
Nahrawi. (2009). Pemekaran Daerah Di Provinsi Banten. [Online]. Tersedia : http://nahrawi.wordpress.com/2009/05/14/pemekaran-daerah-di-provinsi-banten/. [27 November 2012].
Portal Nasional RI. (2009). Sumber Daya Alam Banten. [Online]. Tersedia: http://www.indonesia.go.id/in/pemerintah-daerah/provinsi-banten/sumber-daya-alam [09 Desember 2012].
Portal Nasional RI. (2012).
BGD Siapkan Lima Proyek Infrastrukrut Di
Banten. [Online]. Tersedia: http://www.indonesia.go.id/in/kementerian/kementerian/kementerian-perindustrian/695-sarana-dan-prasarana/11527-bgd-siapkan-lima-proyek-infrastruktur-di-banten [09 Desember 2012]
kalau boleh tau sumber nya siapa?
BalasHapusemmmmmmmm kalo ga salah daftar pustaka tuh sumbernya
Hapusmaaf sebelumnya, saya izin copas ya.. trimakasih ^^
BalasHapusmaaf yah saya izin copas
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus